"Kau lagi ngapain, Dimas? Kenapa tidak pergi kerja hari ini? Sudah tidak butuh uang lagi memangnya?" tanya seorang pria paruh baya kepadaku, dia adalah pemilik kamar kontrakan yang sedang aku tinggali saat ini.
"Aku baru saja dipecat dari pekerjaan melelahkan itu, Wak. Aku nganggur mulai sekarang," sahutku dari dalam kamar kontrakan. Kemudian aku merebahkan tubuh di atas kasur lantai usai melempar tas yang selalu aku bawa ke tempat kerja.
"Sayang sekali, padahal Wak mau pinjem uang dulu tadinya. Wak kebetulan lagi kehabisan uang buat main Mahjong di rumah Koh Dedi," ujar pemilik kontrakan.
Ia sebenarnya memiliki nama lengkap Riandi Sukirman, tapi suka dipanggil Wak oleh semua penghuni kontrakan. Ia juga memiliki hobi berjudi dengan teman-teman sebayanya dan biasanya akan berjudi hingga larut malam di rumah Koh Dedi, pria paruh baya keturunan Chindo.
Aku mengabaikan suara Wak dan hanya memejamkan mata sembari berpikir sangat keras. Kejadian yang menimpaku selama dua tahun kebelakang ini sungguh terlalu menyakitkan hingga membuatku ingin bunuh diri.
Bagaimana tidak? Dua tahun yang lalu kedua orang tuaku meninggal bersamaan gara-gara kecelakaan pesawat setelah pulang berbisnis dari Amerika. Perusahaan ayah pun langsung gulung tikar setahun kemudian dan semua harta keluargaku disita oleh bank untuk menutup hutang.
Aku sendiri anak sematawayang dari kedua orang tuaku. Dan ayahku juga anak sematawayang dari nenekku.
Aku hanya punya seorang kerabat dari keluarga ibuku, yang keberadaannya tak pernah aku ketahui hingga saat ini.
Singkatnya, aku hidup sebatang kara sejak dua tahun yang lalu. Tak ada lagi tempat untuk pulang karena semuanya telah mengilang beriringan dengan kepergian kedua orang tuaku.
Belum lagi, aku harus batal nikah karena tunanganku memutuskan untuk menyudahi hubungan setelah ia mengetahui musibah keluargaku. Wanita sialan itu lebih memilih pergi alih-alih mendukungku dalam keadaan susah.
Dan sekarang hidupku semakin melarat usai dipecat dari perusahaan tempatku bekerja selama satu tahun ini.
Aku difitnah selingkuh dengan istri bos di tempatku bekerja, sehingga aku langsung dipecat begitu saja tanpa mampu memberikan penjelasan apa pun.
"Dunia ini memang sudah gila! Kenapa nasib buruk selalu datang kepada orang-orang baik? Tuhan memang tidak pernah adil," ucapku mengeluh, tak terasa ada air mata yang turun dari kedua bola mataku.
Omong-omong, aku belum memperkenalkan diri dengan benar. Namaku Dimas Baskara, usiaku tepat 27 tahun pada tahun ini. Aku belum menikah gara-gara diputuskan tunanganku sebelumnya, dan aku belum kepikiran mencari wanita penggantinya.
Selain itu, aku gemar sekali bermain game online bertema petualangan fantasi. Aku juga suka menonton kartun dari Jepang atau Anime sejak SMP dulu.
Yah, walau sekarang sudah tidak terlalu sering nonton anime, tapi setidaknya aku masih menyukai film kartun itu.
Ding! Ding! Ding!
Sebuah pesan Whatsapp tiba-tiba masuk ke ponselku. Pesan itu berasal dari Andika – Teman sebangku waktu SMP, yang sudah lama sekali tak pernah aku temui.
[Apa kabar, Bro? Kau lagi di mana sekarang? Aku kebetulan lagi di Bandung, bisa ketemu nggak kira-kira?] isi pesan Andika.
[Aku lagi di kontrakan, Bro. Kau mau ngapain datang ke Bandung? Bikin sumpek saja tahu nggak?] balasku dengan sebuah candaan.
[Aku lagi di gedung Saraga, ada event cosplay besar di sini soalnya. Buruan kesini selagi acaranya baru mulai.] pesan Andika.
Aku tidak langsung membalasnya kali ini, kulihat waktu pada ponsel yang sudah menunjukan pukul 1 siang. Dan seharusnya acara tersebut memang baru saja dimulai.
Aku sejujurnya sangat suka bercosplay menjadi tokoh-tokoh kartun kesukaanku sejak zaman SMA dulu, dan semakin aktif lagi saat kuliah karena ada komunitasnya di sana.
Aku pun bisa bertemu dengan mantan tunanganku dari hobi itu, yang kebetulan ia juga punya hobi bercosplay sama sepertiku.
"Sial, kenapa aku malah kepikiran Anggie sekarang? Padahal aku sudah coba lupain dia, tapi masih saja terbayang kalau sudah bahas tentang cosplay," umpat ku usai membayangkan beberapa kenangan indah bersama mantan ku bernama Anggie.
[Bro, cepetan datang kesini, Bro. Kau mesti lihat ini pakai mata sendiri.] pesan Andika masuk lagi ke ponselku.
[Apaan sih? Aku sudah tobat dari acara wibu bau bawang kayak gitu.] balasku agak tidak senang. Lagi pula, aku sudah tak mau hadir lagi atau buang-buang waktu di acara semacam itu.
[Ada Anggie sama calon suaminya di sini. Dia lagi sebar undangan pernikahan sama anak-anak cosplay.] pesan Andika.
Hatiku langsung terasa sakit setelah membaca pesan dari temanku itu, rasanya seperti ada ribuan pedang yang menusuk secara bersamaan tanpa memberi ampun sama sekali.
Padahal kami baru saja putus beberapa bulan yang lalu, tapi Anggie sudah mendapatkan pria lain, bahkan sudah membagikan surat undangan pernikahan.
"Brengsek! Jalang itu pasti pernah selingkuh sewaktu masih jadi tunanganku! Pantas saja dia bisa menemukan pria lain dalam sekejap," ucap ku mengumpat sangat kasar. Aku lalu beranjak pergi dari kamar kontrakan karena kemarahanku tiba-tiba meledak begitu saja.
Terlepas dari hubunganku dengan Anggie sekarang, aku masih ingin menemuinya untuk melihat dengan mata sendiri calon suami dari mantanku itu. Aku juga ingin membandingkan kelebihan pria itu dengan sosok diriku saat ini.
Karena seharusnya Anggie bukan wanita matre yang sangat rakus akan harta, makanya aku masih bingung begitu Anggie memutuskan hubungan denganku waktu itu.
Singkatnya, aku pergi ke gedung Saraga dalam waktu kurang dari lima belas menit. Kontrakanku kebetulan cukup dekat dengan tempat ini, dan jalanan juga tidak terlalu macet sehingga aku bisa tiba dengan cepat.
Aku langsung saja mencari Andika setelah memarkir motor di tempat yang sudah di sediakan, dan aku berhasil menemukannya di dalam toilet gedung Saraga.
"Kau yakin Anggie sudah sebar undangan pernikahan? Kau tak salah lihat orang, kan?" Aku langsung mencerca Andika begitu saja.
"Yakin, Bro. Aku juga dapet satu," jawab Andika seraya menunjukan surat undangan dari mantanku.
Aku seketika tersentak ketika melihat isi undangan tersebut, terutama saat aku melihat nama calon mempelai pria dan foto-foto mereka yang tercetak jelas di surat undangan.
"Kevin! Sialan, ternyata bajingan itu yang sudah merebut Anggie dariku," ucapku berteriak sangat keras di dalam toilet. Pria bernama Kevin ini adalah musuh bebuyutanku di tempat kuliah dulu.
Sebenarnya tak hanya aku dan Kevin yang saling bermusuhan, orang tua ku juga bermusuhan dengan orang tua Kevin dalam urusan bisnis. Konflik di antara kami juga sudah tak terhitung lagi, bahkan aku pernah hampir membunuh Kevin karena kemarahanku sudah tak bisa dibendung lagi.
"Apa kau kenal dengan pria bernama Kevin ini? Kau sepertinya tak terima Anggie menikah sama Kevin?" tanya Andika sangat polos, yang sontak membuatku ingin meninju perut buncitnya untuk melampiaskan kemarahan.
"Bro? Apa kau baik-baik saja? Kenapa wajahmu sangat pucat sekali?" tanya Andika lagi tiba-tiba merapat hingga ke depan wajahku.
"Aku tak apa, Bro. Cuman masih kaget saja," jawabku seraya berjalan keluar dari toilet.
"Kau mau kemana sekarang, Bro? Apa kau masih berniat menemui Anggie?" tanya Andika mengekoriku dari belakang. Si gendut yang satu ini sepertinya tak akan membiarkan aku pergi seorang diri.
"Aku sudah tak minat melihat jalang sama bajingan itu, aku juga sudah tak minat sama acara wibu bau bawang ini. Aku cuman pengen sendirian sekarang," jawabku sembari mempercepat langkah kaki untuk meninggalkan Andika. Aku hanya memerlukan tempat sepi dan sebatang rokok untuk meredakan amarahku saat ini.
Untung saja Andika bisa mengerti keinginanku, sehingga ia tidak terus mengikutiku dan kembali fokus ke acara Cosplay. Sedangkan aku sendiri sudah tiba di sebuah kursi taman yang kutemukan tak jauh dari belakang gedung Saraga.
Suasana di sini sangat sepi, cocok sekali dengan suasana hatiku yang sudah tidak memiliki siapapun di dunia ini.
'Oh sial, kenapa hidupku jadi kayak begini? Apa salahku Tuhan hingga Engkau memberikan penderitaan yang datang bertubi-tubi?' batin ku meringis getir.
Aku pun sudah malas pergi kemana-kemana kalau sudah begini, hanya ingin duduk di kursi sembari terus menghisap rokok. Benak ku sesekali membayangkan betapa indah bila aku bisa memutar waktu atau memiliki kesempatan untuk pindah ke dunia lain seperti pada anime yang pernah aku tonton.
'Andai saja ada portal yang bisa membawaku pergi ke dunia lain, aku mungkin akan langsung memasukinya tanpa ragu sama sekali. Lagian aku sudah tak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, jadi tak akan masalah kalau aku bisa mendapatkan kehidupan baru di dunia lain. Minimal aku harus bisa menikahi sorang wanita kucing bertubuh seksi, terus memiliki banyak anak nanti. Ah, betapa indahnya bila aku memiliki kehidupan seperti itu,' pikirku mengkhayal sembari menatap beberapa cosplayer yang berlalu lalang di kejauhan.
"Cepat-cepat! Kita harus segera membawa gadis ini ke tempat Bos. Dia sandera yang sangat berharga."
"Aku tahu, kau tak usah mengingatkan aku lagi."
"Kalau kau sudah tahu, lantas kenapa kau parkir mobil sejauh itu? Kau ini bodoh atau gimana sih?"
Sebuah percakapan tiba-tiba terdengar dari arah belakang, sontak menarik perhatiaku karena merasa cukup penasaran.
Aku pun memicingkan mata saat melihat tiga pria botak dengan setelan preman sedang membawa seorang gadis secara paksa, mana gadis itu sudah tidak sadarkan diri.
Tersentaklah hatiku pada saat itu juga, sebab gadis yang dibawa pergi oleh ketiga preman itu masih kenalanku.
'Ayuni? Kok bisa? Apa yang terjadi?' batinku bertanya-tanya, heran akan situasi tersebut.
Aku pun spontan mengikuti ketiga preman itu secara diam-diam dan mencoba mencaritahu niat mereka.
Omong-omong, gadis bernama Ayuni itu adiknya Anggie, anak bungsu dan sekarang harusnya masih duduk di bangku SD, kelas lima.
Aku dulu sering main dengan Ayuni sewaktu masih berhubungan dengan Anggie, kebetulan hobi kami juga sama sehingga mudah akrab, terlebih Ayuni gemar sekali bercosplay gara-gara sering melihat Anggie, makanya ia juga manapaki jejak yang sama seperti kakaknya.
"Tolong ... Siapa saja tolong aku ... Kak Anggie ... Kak Dimas ... Tolong aku ...."
Ayuni tiba-tiba berteriak sembari memberontak, tampak baru memulihkan kesadaran.
'Sial! Kenapa Ayuni pakai bawa-bawa namaku? Bukankah Anggie sudah sama Kevin sekarang?' batinku bingung jadinya. Mau tak mau harus turun tangan kalau sudah begini urusannya.
Namun, aku sadar bukan lawan dari ketiga preman itu, lantas aku berbalik saja dan berniat meminta bantuan orang lain.
Ciiiiit!
Sayangnya ada sebuah mobil jip hitam yang tiba-tiba datang menghampiri ketiga preman itu, seorang pria paruh baya turun dari mobil setelahnya.
Aku sekali lagi tersentak dengan pemandangan ini, karena aku juga kenal betul dengan pria paruh baya itu.
'Randika Lukman! Bajingan besar itu kenapa muncul di sini?' tanyaku di dalam hati.
Pria bernama Randika itu sebenarnya pesaing bisnis ayahku semasa hidup. Ia juga ayah kandung Kevin, si bajingan yang sudah merebut Anggie dariku.
Tanpa banyak berpikir, aku langsung bergegas lebih dekat menuju orang-orang itu, berusaha menguatkan mental sekuat mungkin dan mencoba mencari cara untuk menyelamatkan Ayuni.
Sungguh beruntung sekali, aku menemukan dua pipa besi di balik pohon tempatku bersembunyi. Segera aku ambil saja sebagai senjata supaya bisa memberikan serangan kejutan.
"Jangan teriak, Ayuni! Om tak akan menyakiti kamu bila kamu mau patuh! Om hanya butuh kamu untuk mengambil benda penting dari ayahmu. Kamu akan Om lepaskan lagi nanti," ujar Randika penuh penekanan.
"Lepaskan aku! Kalian orang-orang jahat! Ayuni akan lapor sama Kak Anggie tentang rencana kalian!" ancam Ayuni masih meronta-ronta di punggung salah satu preman.
Hap!
Randika buru-buru menutup mulut Ayuni tanpa basa , mungkin takut suara Ayuni akan menarik perhatian orang-orang.
"Huu ... Huu ... Huu ...." Ayuni pun hanya bisa menangis usai wajahnya mendapatkan cap lima jari, anak sekecil itu sudah pasti akan kesakitan akibat tamparan sebelumnya.
"Brengsek! Cepat lepaskan Ayuni," teriak ku reflek berlari ke arah Randika sembari mengayunkan kedua pipa besi di tanganku.
Entah apa yang merasuki pikiranku saat ini, yang pasti aku hanya ingin menyelematkan Ayuni terlepas dari masalah yang terjadi. Aku sudah tak peduli lagi dengan identitas Ayuni, yang notabennya adik dari wanita yang sudah menyakitiku.
Bam!
Satu pipa besi berhasil aku hantamkan di belakang kepala Randika.
Bam!
Hantaman berikutnya berhasil kuberikan di perut preman yang membawa Ayuni.
Seranganku barusan sangat kuat sehingga membuat preman itu terhuyung dan menjatuhkan Ayuni.
"Lari, Ayuni! Cepat pergi ke tempat kakakmu!" teriak ku mengusir Ayuni dari tempat ini.
"Sialan! Beraninya kau menyerang kami," geram preman lainnya seraya menyerangku dengan sebuah pukulan.
Bam!
Aku spontan memblokir serangan itu dengan kedua pipa besi, berusaha menahannya sekuat tenaga agar pukulannya tidak mendarat di wajahku.
"K-Kak Dimas," ucap Ayuni getir, baru sadar aku sudah menolongnya.
"Buruan pergi, Ayuni. Kak Dimas akan menahan mereka di sini," teriak ku lagi.
"Tapi ...."
"Cepat pergi! Kamu harus sampaikan semuanya pada kakakmu tentang kebusukan Kevin dan keluarganya!" teriakan aku menyela ucapan Ayuni, tak ada banyak waktu bila Ayuni terus ragu-ragu di sini.
Bam!
Sebuah pukulan berhasil mendarat di perutku, preman yang luput dari perhatianku ternyata berhasil menyerangku dari samping.
"Ugh!" Aku menyemburkan air liur gara-gara pukulan barusan, rasa sakit pun mulai terasa dari perutku.
Namun, aku tidak terlalu peduli meski tubuhku terkena serangan, karena Ayuni bisa melarikan diri dengan cara ini.
Aku melihat gadis kecil itu terus berlari ke arah gedung Saraga sembari terus menangis, ia sepertinya masih ketakutan akibat penculikan ini.
'Aku juga harus kabur! Bisa mampus aku kalau bertarung melawan tiga preman sekaligus,' pikirku, lalu kuayunkan pipa besi ke sembarang arah untuk menghindari jangkauan serangan ketiga preman itu.
Ceklik!
Langkahku terpaksa harus terhenti oleh suara kokangan pistol yang tiba-tiba terdengar dari arah belakang, Randika telah memulihkan kesadarannya dan langsung menodongkan sebuah pistol ke arah punggungku.
"Padahal aku sudah membiarkanmu hidup sebelumnya, tapi kenapa kau malah ikut campur urusanku?!" tanya Randika.
"Apa maksudmu?!" Aku bertanya balik karena bingung.
"Hahaha. Bukankah kau selalu menderita selama beberapa tahun ini? Apa kau belum menyadarinya juga hingga sekarang?!" tanya Randika lagi.
Aku spontan membalikan badan ke arah Randika, kutatap wajah pria itu dengan penuh kebencian. Kini aku tersadar atas pertanyaan barusan, bahwa semua penderitaan yang sudah aku terima selama dua tahun ini sudah pasti berasal dari bajingan besar itu.
"Apa kau yang sudah membunuh orang tuaku?!" tanyaku memastikan.
"Coba tebak?" Randika bertanya balik.
Aku mau tak mau memikirkan kembali tragedi kecelakaan pesawat yang sudah menimpa orang tuaku sepulang dari Amerika. Katanya kecelakaan itu bisa terjadi gara-gara ada kerusakan mesin, yang menyebabkan jatuhnya kapal di tengah laut.
"Mungkinkah kau sudah menyuruh orang untuk menyabotase pesawat itu hingga terjadi kecelakaan?!" tebak ku usai berpikir cukup lama.
"Tepat sekali, kau ternyata cerdas juga," jawab Randika sembari tersenyum puas.
"Aku sudah membayar mahal untuk menyuruh orang melakukan perbuatan gila itu, bahkan aku harus memberikan keperawanan putriku sendiri demi bisa membunuh kedua orang tuamu. Tapi tak apalah, karena semua rencanaku sudah berhasil hingga saat ini," ungkap Randika.
"Brengsek! Kau sungguh jahat sekali! Apa kau sudah tak punya hati nurani?!" Aku sangat marah setelah mendengar pengakuan Randika, pikiranku sudah tak terkendali lagi dan ingin segera menghabisi bajingan besar itu dengan tanganku sendiri.
"Zaman sekarang sudah tak butuh hati nurani lagi, yang penting aku bisa mendapatkan semua yang aku mau. Jadi, tak masalah bila aku harus mengorbankan banyak nyawa tak bersalah selama aku berhasil meraih ambisiku," ujar Randika.
"Nah, sekarang bilang padaku kata-kata terakhirmu. Aku sudah tak punya waktu untuk terus berurusan denganmu karena aku masih punya urusan lain dengan Lesmana Group," lanjut Randika sembari menekan pelatuk pistol perlahan. Ia tampak sengaja menyebutkan nama perusahaan keluarga Anggie untuk memberitahuku tentang ambisinya.
Aku tak peduli dengan semua itu, kemarahan di dalam hatiku sudah tak bisa dibendung lagi, kemarahan ini juga mengalahkan rasa takut akan tembakan pistol.
"Mati kau, bajingan!" teriakku sekuat tenaga, tiga kata ini juga mungkin akan menjadi kata-kata terakhirku.
Aku bergegas melompat ke arah Randika dengan ayunan pipa besi di kedua tanganku, aku berniat memecahkan kepala Randika dengan serangan ini.
Dor!
Sayangnya usaha terakhirku sia-sia, Randika jelas tak akan pernah membiarkan aku menyerangnya. Satu peluru pun berhasil melesat masuk ke dalam dadaku saat ini.
Dor!
Tembakan terdengar lagi, perulu juga menembus dadaku lagi.
"Ugh!" Aku memuntahkan darah, rasa sakit akibat peluru seketika terasa di dadaku. Aku juga bisa merasakan kalau kedua peluru itu sudah melukai jantung dan hatiku.
Brugh!
Aku terkapar setelahnya, rasa sakit ini membuatku tak sanggup lagi berkata-kata, kesadaranku juga perlahan menghilang.
"AHHHH! Tidak ... Dimas ...." teriakan seorang wanita tiba-tiba menggema dari kejauhan.
Aku bisa mengenali suara wanita ini, suara yang berasal dari wanita yang paling aku cintai setelah ibuku.
Namun, aku sudah tak bisa melihat wajah wanita itu, bahkan menggerakan kepalaku saja aku sudah tak mampu.
"Cepat pergi dari sini! Jangan sampai kita ketahuan orang lain," titah Randika bergegas masuk ke dalam mobil bersama ketiga preman itu, kemudian tancap gas secepat kilat untuk melarikan diri.
"Dimas ... Dimas ... Ya Tuhan ... Bertahanlah Dimas ... Kamu jangan mati dulu, Dimas ...." suara Anggie masih bisa kudengar meski kesadaranku sudah tak bisa ku pertahankan.
"Tolong ... Tolong ... Tolong aku ..." Anggie berteriak meminta bantuan, tapi semuanya sia-sia karena hidupku sudah tak mungkin bisa diselamatkan lagi.
"Huu ... Huu .. Huu ... Maafkan aku, Dimas ... Maafkan aku ... Semua ini salahku karena harus melindungi keluargaku dari ancaman keluarga Lukman .... Huu ... Huu ... Huu ... Aku sayang kamu, Dimas. Kumohon jangan pergi dariku ...." ucapan Anggie diiringi tangisan getir, kurasakan dia memeluk tubuhku erat-erat.
Suara banyak langkah kaki datang menghampiri setelahnya, si gendut Andika juga sepertinya ada di dalam kerumunan orang-orang itu.
Sekarang aku sudah tak tahu lagi dengan kejadian berikutnya, aku hanya bisa merasakan nyawaku tertarik dari ragaku entah kemana.
Yah, mungkin inilah yang dinamakan kematian, tujuan akhir dari semua manusia yang ada di dunia ini.
Sejujurnya aku tak keberatan bila harus mati dengan cara ini, setidaknya aku masih bisa memberikan yang terbaik untuk melindungi wanita yang paling aku cintai.
'Selamat tinggal, Anggie, Ayuni, Wak, Gendut Sialan, dan juga semua orang yang mengenalku. Terima kasih untuk semua hal yang telah kalian berikan padaku selama ini. Sekarang aku akan pergi menemui kedua orang tuaku.'
Batinku masih bisa mengucapkan kalimat tersebut, entah apa alasannya, aku juga tak mengerti.
Suara tangis Anggie dan keributan orang-orang kini sudah tak bisa kudengar lagi. Seketika aku merasakan keheningan di tempat yang sangat gelap.
"Di mana ini? Apa ini alam di mana semua jiwa dikumpulkan sebelum datangnya hari kiamat?" tanyaku kebingungan, hanya ada kegelapan sejauh mataku memandang.
"Katanya kalau orang mati pasti akan bertemu Tuhan, tapi kenapa aku tak bisa menemukannya di sini? Mungkinkah aku salah jalur, terus aku malah masuk ke Neraka?" tebakku, ngeri sendiri jadinya bila hal semacam itu terjadi.
Aku pun mengingat kembali dosa-dosa selama aku hidup, terutama dosa yang selalu aku lakukan bersama Anggie.
Dulu kupikir wajar saja bila melakukan hal-hal berbau mesum semacam itu sebagai pasangan, lagian sudah jadi hal lumrah bagi semua orang.
Dan tepat ketika aku semakin terlarut akan dosa-dosa di dalam pikiran sendiri, tiba-tiba sebuah cahaya menarikku keluar dari tempat gelap itu.
"Eh apa yang terjadi? Apa aku sudah boleh masuk ke Surga sekarang?" tanyaku begitu polosnya, berharap Tuhan akan membawaku kesana karena aku sudah menyesali dosa-dosaku.
Namun...
Aku tidak bisa merasakan surga sama sekali setelah aku tertarik oleh cahaya tersebut.
'Apa yang terjadi? Kenapa aku malah merasakan kegelapan lagi?!' tanya batinku sangat bingung.
"Mohon maaf, Nyonya. Kondisi Tuan Muda sudah sangat parah. Saya tak bisa menyelamatkan nyawanya."
"Tolong bantu saya, Dok. Saya tak ingin kehilangan Brian. Hanya Brian satu-satunya keluarga yang aku miliki."
"Saya mengerti kesedihan Anda, Nyonya. Tapi kondisi Tuan Muda sudah tak bisa tertolong lagi, karena racun itu menyebar sangat ganas di dalam tubuhnya. Penyihir dari kekaisaran saja belum tentu bisa menyelamatkan nyawa Tuan Muda kalau sudah begini."
"Huu ... Huu ... Huu ... Maafkan aku, sayang. Aku gagal menjaga amanahmu untuk menjaga Brian ... Huu ... Huu ... Huu ...."
"Saya izin pamit dulu, Nyonya. Sekarang sudah larut malam."
"Silahkan, Dok. Saya akan mengantar Anda hingga pintu gerbang."
Aku bisa mendengar percakapan barusan dengan begitu jelas, tampaknya ada seorang dokter dan seorang wanita yang sedang membahas hasil pengobatan dari seorang pria bernama Brian.
'Tunggu sebentar! Kok aku bisa mendengar suara manusia lagi? Apa yang terjadi di sini,' batinku kembali bertanya-tanya, aku pun memberanikan diri untuk membuka mataku setelahnya.
"Eh buset! Aku lagi di mana? Kenapa aku ada di dalam sebuah kamar mewah?!" pekikku sangat terkejut begitu bisa melihat lingkungan di sekitar.
Aku buru-buru bangun dari posisi tidurku, meraba-raba tubuhku sembari terus melihat ke sekeliling.
"Tak mungkin! Aku tak mungkin hidup lagi, kan? Aku seharusnya sudah mati gara-gara ditembak bajingan besar itu."
"Anggie ... Yah, aku harus segera mencari Anggie. Dia tak boleh jatuh ke tangan orang jahat! Aku harus menyelamatkannya."
Aku beranjak begitu saja tanpa sadar, pikiran ku masih tertuju kepada Anggie dan ingin segera menemuinya lagi.
Jujur saja aku masih berpikir masih berada di dunia yang sama dengan Anggie saat ini, mengira aku berhasil diselamatkan dan sudah dirawat oleh orang kaya.
Bagaimanapun, aku mendapatkan kembali kesadaranku di dalam kamar mewah, kalau bukan orang kaya yang sudah menolongku, lantas siapa lagi?
Hanya saja langkahku langsung terhenti begitu aku melewati cermin besar yang ada di kamar itu, seketika aku mematung tanpa bisa berkata-kata.
Aku melihat diriku dari pantulan bayangan cermin, keterkejutan ku semakin besar saja. Aku bahkan hampir berteriak sangat keras bila tanganku tidak menutup mulutku.
"A-Apa yang terjadi? S-Siapa aku? K-Kenapa aku jadi remaja lagi?!" tanyaku seraya berjalan mendekat ke cermin besar itu. Aku sungguh bingung dengan kondisiku sendiri.
Aku mendapati sosok wajah tampan dari bayangan cermin itu, rambutku berwarna merah dan juga tubuhku tampak atletis dengan tinggi sekitar 170 cm.
Meski begitu, aku bisa mengetahui kalau usia anak ini masih sangat muda, mungkin masih berusia lima belas atau enam belas tahun.
Aku pun merenung untuk waktu yang lama, mencoba berpikir serasional mungkin untuk memahami kondisiku saat ini.
"ASTAGA! AKU TELAH HIDUP KEMBALI DI TUBUH ORANG LAIN!!!"
....
Beberapa saat sebelumnya.
"Apa Anda yakin ingin memberikan kesempatan hidup untuk pemuda itu? Bukankah ini akan melanggar aturan Dewa yang lain?"
"Tenang saja, aku punya hak untuk melakukannya karena dia orang yang pertama kali kuberikan hidup kedua. Lagi pula, dia memang pantas mendapatkannya setelah berjuang sampai mati demi melindungi orang lain."
"Tapi kita masih belum mengambil ingatannya? Terus, dia juga memiliki kekuatan yang tak seharusnya dimiliki manusia biasa. Saya khawatir dia akan menyalahkgunakan kekuatan itu suatu hari nanti."
"Tak apa-apa, aku memang sengaja memberikan dua berkah itu untuk membantunya bertahan hidup di dunia sana. Kau juga seharusnya sudah tahu betapa kerasnya kehidupan di sana, kan? Belum lagi masih ada ancaman dari raja iblis yang bisa datang kapan saja. Huh, sejujurnya aku khawatir dunia itu akan hancur bila aku tak mengirimnya kesana."
"Tuan, mungkinkah Anda berniat menjadikan pria bernama Dimas ini sebagai pahlawan? Anda ingin dia membunuh raja iblis di sana?"
"Tidak juga, aku hanya ingin memperbaiki dunia itu dari tangan manusia-manusia bodoh yang selalu haus akan harta dan kekuasaan. Coba kau perhatikan baik-baik, bukankah manusia di sana terlalu arogan dengan melakukan penindasan kepada ras lain?"
"Iya juga sih, Tuan. Mereka selalu merasa paling sempurna berkat kekuatan yang mereka miliki sehingga tidak peduli dengan keadaan di sekitar. Saya rasa sudah saatnya bagi mereka menyadari dampak buruk akibat keserakahan mereka."
"Kau akhirnya sadar juga, memang ini tujuan asliku dengan mengirim jiwa Dimas ke tubuh Brian. Yah, semoga saja pemuda tidak akan pernah membuatku kecewa. Kalau tidak, akan sia-sia saja aku memberinya kekuatan tangan Dewa yang bisa digunakan untuk membuat dan mempelajari apa saja."
Percakapan tersebut terjadi di alam Dewa, tempat di mana para Dewa berkumpul untuk mengatur dunia masing-masing. Sepertinya ada seorang Dewa yang sudah berbaik hati kepada Dimas, sehingga pemuda itu bisa hidup lagi di tubuh seorang pemuda bernama Brian.
***
Kembali ke dalam kamar Brian.
"Kau harus tenang, Dimas. Ini mungkin berkah karena kau bisa hidup lagi setelah mati. Tenang, tarik napas, tenang, ...."
Aku mencoba menstabilkan emosi setelah tahu kebenaran ini, percuma terus terkejut juga karena semuanya tak bisa diubah lagi.
"Sip! Aku harus cari cara untuk keluar dari kamar ini, aku tak bisa membiarkan Anggie menderita," gumamku sembari membuka gorden besar yang menutupi jendela kamar.
Namun, aku malah terkesiap begitu melihat pemandangan di luar jendela, tak ada satu pun yang bisa kulihat selain kegelapan malam dan cahaya-cahaya kecil yang terlihat jauh dari kamar ini.
Gelegar!
Guntur tiba-tiba menyambar tepat di depan jendela kamar ini, menandakan betapa tinggi posisi kamar ini, sekilas aku memang merasa seperti itu karena tak mungkin guntur bisa turun hingga sedekati ini.
"Mungkinkah kamar ini berada di lantai paling atas?" tebakku.
Aku pun mengurungkan niat pergi dari tempat ini untuk sementara waktu, dan mencoba mencari informasi lebih banyak lagi.
Bagaimanapun, tak nyaman rasanya ketika hidup di dalam tubuh orang lain, takutnya ada rahasia atau sesuatu yang di miliki pemilik tubuh sebelumnya.
Aku berjalan mondar mandir di dalam kamar sembari berpikir lagi, sesekali aku melirik ke cermin dan masih saja tetap tak menyaka dengan sosok si Brian ini.
"Kau sebenarnya punya masalah apa, Brian? Kau punya rupa sangat tampan, tubuhmu juga atletis. Tapi, kenapa kau memilih bunuh diri pakai racun?" tanyaku pada diri sendiri, siapa tahu Brian akan menyahut nanti.
Aku lalu duduk di sebuah kursi dekat meja belajar setelah mondar mandir tak jelas untuk waktu yang lama, kutemukan meja ini karena ada cahaya yang paling terang di banding cahaya lain.
Omong-omomg, aku baru sadar tak ada lampu atau listri di sini, semua cahaya berasal dari hewan seperti kunang-kunang berukuran besar.
Aku sempat membuka salah satu wadah yang menyimpan hewan seperti kunang-kunang itu, tapi aku malah disembur pakai gas kentut yang baunya sangat menyengat di hidung.
"Buku apa ini? Kenapa tebal sekali?" tanyaku, lalu membuka buku yang dimaksud dengan hati-hati.
"Eh hurup apa ini? Aksara jawa? Huruf Thailand?"
Aku bingung sendiri setelah melihat tulisan pada halaman pertama buku itu, kubuka terus hingga beberapa lembar dan ternyata semuanya memiliki huruf yang sama.
"Gimana aku bisa dapat informasi kalau baca huruf saja nggak bisa? Huh, sungguh merepotkan sekali," gumamku sembari membolak-balik buku tebal itu.
"Bentar-bentar, kalau aku berada di dunia lain, aku seharusnya punya kekuatan hebat, kan? Ya, ya, ya ... Aku pasti memilikinya," gumamku lagi setelah teringat sesuatu tentang anime bertema dunia lain.
Aku segera saja meletakan buku tebal itu, kemudian berjalan ke tengah-tengah kamar yang sangat luas ini.
Kucoba dulu sihir-sihir seperti pada anime umumnya, "Sihir ledakan api, Explosion!!!" teriakku penuh semangat kemudian.
Namun tak terjadi apa-apa setelahnya, aku juga tak bisa merasakan kekuatan sihir apapun pada tubuhku.
"Sihir api Megumin terlalu sulit kayaknya, aku coba sihir yang lebih mudah saja," gumamku, sengaja kusebut salah satu karakter Anime favoriku.
"Sihir air, tembakan air!!!" teriakku lagi masih dengan semangat yang sama.
"Sihir tanah, peluru batu!!!"
"Sihir angin, badai pisau angin!!!"
Dan begitulah seterusnya sampai aku menyebut semua jenis sihir yang pernah aku lihat pada Anime. Tapi, tak ada apapun yang terjadi selain aku kehabisan suara karena terus berteriak.
"Sial! Percuma saja aku teriak-teriak sampai suaraku habis, dunia ini mungkin masih dunia yang sama seperti tempat tinggalku sebelumnya, cuman kamar ini saja yang terlalu aneh," gerutuku kesal sendiri, tanpa sadar kusentuh buku besar itu lagi pakai tangan kanan.
"Aku ingin sekali bisa membaca buku ini, sumpah penasaran banget sama isinya," ucapku penuh harap.
Entah kenapa aku seperti punya keterikatan kuat dengan buku tebal itu, yang mengharuskan aku membacanya sampai tuntas.
Tangan kananku tiba-tiba kesemutan saat ini, kemudian banyak sekali hurup dan angka aneh yang merangsak masuk ke dalam benakku, rasanya cukup sakit karena semua pengetahuan itu bertabrakan dengan pengetahuan punyaku sendiri.
"Barusan aku kenapa ya? Kepalaku sakit banget serasa ditusuk ratusan jarum," gumamku sembari menyentuh belakang kepala pakai tangan kiri, sementara tangan kananku membuka lagi buku tebal itu.
"Oh, ternyata ini buku harian, pantas saja bentuknya sangat tebal," ucapku tanpa sadar.
"Eh? Kok aku bisa baca tulisan ini sekarang?!" pekikku tak percaya, kulihat lagi halaman pertama itu dan kubaca perlahan, "Buku harian Brian Von Argus. Aku akan tuliskan semua pengalaman hidupku di buku ini mulai sekarang. Pengalaman hidup paling mengerikan yang tak pernah bisa kuceritakan kepada orang lain."
...
Langsung kubuka saja halaman buku berikutnya tanpa menunda waktu sama sekali, kini aku sudah bisa membaca semua huruf dengan jelas, yang sudah pasti akan sangat membantuku untuk mempelajari segala hal tentang dunia ini.
[Narandra, Tahun 100, bulan 1.]
Ada sebuah tulisan kecil yang tertulis di atas halaman, sepertinya sengaja ditulis untuk pengingat Brian, sementara sisa tulisan lainnya berupa angka yang berurutan dengan paragraf yang tersusun rapi.
[Nomor 1: Hari ini adalah hari pertamaku masuk ke sekolah Elena, sekolah yang selama ini aku dambakan karena lulusannya sudah pasti bisa bekerja di kekaisaran Narandra. Aku sengaja berangkat pagi-pagi sekali karena terlalu bersemangat, juga tak sabar ingin bertemu dengan teman-teman baru. Namun, sial sekali aku malah bertemu dengan orang yang paling aku benci di hari pertama sekolahku, tak pernah kusangka ternyata Darrius juga bisa diterima di sekolah ini padahal dia anak nakal dan suka membuly orang lain.]
[Nomor 2: Sama seperti dugaanku sebelumnya, Darrius langsung membuat masalah padaku di depan banyak orang, dia selalu saja menggunakan ejekan yang sama untuk menghinaku sehingga aku benar-benar merasa malu. Lagi pula, apa salahnya kalau aku memiliki rambut merah? Menurutku rambut ini sangat unik dan langka.]
Aku spontan menyentuh rambutku setelah membaca paragraf barusan, kupikir rambut merah ini sangat keren dan uni, apalagi bisa menyala di dalam tempat yang tidak begitu terang.
[Nomor 3: Sungguh sial sekali hari ini. Aku kalah duel sihir melawan Darrius dalam sebuah test untuk menentukan masuk kelas unggulan, bajingan itu menggunakan cara licik untuk mengalahkan aku dengan memasukan racun pelumpuh pada minumanku.]
[Nomor 4: aku mau tak mau masuk ke kelas biasa gara-gara gagal masuk test kelas unggulan, dan rasanya sangat tidak nyaman sekali karena kebanyakan orang di sini berasal dari keluarga bangsawan jahat. Mereka hanya sekelompok anak-anak nakal yang kerjaannya selalu membuly seperti Darrius, bahkan beberapa dari mereka masih bawahan Darrius.]
[Nomor 5: Kondisiku makin memburuk saja di dalam kelas ini, aku jadi orang yang selalu dikucilkan dan bully oleh semua teman sekelasku, tak ada satupun dari mereka yang mau mengobrol atau berteman denganku, mereka takut gara-gara aku memiliki rambut berwarna merah. Katanya rambut ini kutukan dari iblis abi yang pernah menyerang kerajaan Narandra 50 tahun yang lalu.]
[Nomor 6: Sialan! Darrius hanya pecundang sialan! Dia tak berani bertarung satu lawan satu dan bisanya bawa pasukan. Aku kalah hari ini bukan berati aku lemah, tapi karena aku kecolongan saja. Meski begitu, aku tak kecewa sama sekali, sebab aku berhasil mendapatkan perhatian dari bunga sekolah alias Aluna, hehehe.]
Aku berhenti sejenak untuk mengambil napas, tak kusangka buku harian Brian ini isinya tentang perjuangan Brian dalam menghadapi masalah pembulian di sekolahnya sekaligus perjuangan untuk mendapatkan hati bunga sekolah.
Wajar sih Brian bisa memiliki pikiran seperti itu, karena aku merasa sosok pemuda ini memiliki penampilan yang sangat pantas dan bisa menarik perhatian wanita mana pun.
Kalau saja Brian tinggal di duniaku sebelumnya, dia mungkin sudah jadi playboy kelas kakap, wanita sudah pasti akan berdatangan sendiri dan mengantri untuk diisi rahimnya dengan cairan cinta.
Tak berlebihan aku memuji Brian seperti itu, sebab anak ini benar-benar sempurna dalam segi penampilan. Hanya saja aku bingung dengan alasan Brian yang selalu menjadi objek bully di sekolah, mungkin saja karena ia terlalu tampan hingga Darrius membencinya, atau karena ada hal lain? Entahlah, aku coba lanjut baca saja sampai halaman terakhir, siapa tahu aku bisa menemukan jawabannya.
Kemudian, aku lanjut membaca kembali buku harian Brian dengan cermat, tak ada satu paragraf yang aku lewati agar tidak ada informasi yang terlewat.
Air mataku menetes tanpa sadar sepanjang aku membaca buku tebal itu, curhatan Brian ternyata hanya diisi dengan penderitaan dan masalah pembulian.
[Nomor 365: Ibuku meninggal hari ini gara-gara penyakit aneh yang sudah tidak bisa disembuhkan lagi. Padahal hari ini tepat setahun aku bersekolah dan ada festival sangat penting yang harus dihadiri oleh orang tua, tapi aku terpaksa melewatkan festival itu karena harus mengadakan pemakaman ibuku.]
[Nomor 366: Aku sangat marah kepada ayahku ketika ia harus pergi bertugas ke perbatasan untuk berperang melawan ras manusia setengah serigala. Aku tak menyangka ayah begitu tega meninggalkan aku sendirian di kastil sebesar ini. Apa dia tak takut aku akan diserang bandit ketika memutuskan pergi ke medan perang?]
Aku terkejut usai membaca dua paragraf barusan, terutama saat tahu ada manusia setengah serigala dan peperangan di dunia ini. Seketika aku pun paham betul bahwa aku benar-benar telah hidup kembali di dunia lain.
Aku lanjut membaca buku harian Brian hingga nomor 730 atau hari di mana Brian sudah menulis buku harian selama dua tahun, yang artinya Brian juga sudah sekolah selama dua tahun di sekolah Elena.
[Nomor 730: Aku akhirnya bisa membuktikan kekuatanku kepada semua orang di sekolah dengan berhasil mengalahkan Darrius dalam sebuah duel resmi. Darrius kalah telak berkat jurus pamungkas yang baru saja aku kuasai seminggu yang lalu. Hanya saja kemenanganku terasa kurang lengkap karena orang tuaku tidak melihatnya. Ibuku sudah meninggal tahun lalu dan ayahku masih belum pulang dari medan perang. Katanya sih mau pulang besok, tapi aku tidak terlalu yakin.]
[Nomor 731: Ayahku ternyata benar-benar pulang hari ini dengan membawa kemenangan, aksi heroiknya selama di medan perang berhasil mendapatkan penghargaan dan hadiah yang sangat banyak dari Baginda Ratu. Hanya saja aku tidak terlalu senang atas kemenangan ayahku, karena dia juga membawa seorang istri baru atau ibu tiri bagiku.]
Aku menarik napas dalam-dalam sejenak, agak terharu juga atas kemenangan Brian dari Darrius, terlebih kemenangan ayahnya dari bangsa manusia setengah serigala. Namun, aku langsung mengerutkan kening saat membaca keluhan Brian atas ibu tiri itu, karena kupikir wajar saja bila ayahnya menikah lagi untuk memenuhi kebutuhan biologisnya.
[Nomor 913: Enam bulan berlalu semenjak ayah membawa pulang Mama Laura ke kastil ini, dan malapetaka pun muncul di dalam keluargaku tepat pada hari ini. Baginda Ratu tiba-tiba menjatuhkan hukuman sangat berat kepada keluarga Argus atas kasus tudingan pengkhianatan kepada kerajaan Narandra. Hal tersebut bisa terjadi karena Baginda Ratu mendapatkan laporan tentang asal usul Mama Laura, yang tak lain masih bagian dari ras manusia setengah serigala. Keluarga Argus pun harus diasingkan dari kerajaan Narandra dengan pindah ke wilayah perbatasan, serta harus membayar denda 1000 koin emas.]
[Nomor 920 : Keluarga Argus akhirnya tiba di wilayah perbatasan setelah menempuh perjalanan memakai kereta kuda selama satu minggu. Wilayah ini sangat kotor dan jarang sekali ada penduduk, hanya ada 30 kepala keluarga yang tinggal di sini, dan kebayakan dari mereka sudah lanjut usia. Aku, ayah, Mama Laura dan beberapa pelayan setia tinggal di sebuah kastil tua yang tampak seperti kastil hantu bila dilihat dari luar.]
Aku spontan melihat ke sekeliling kamar usai membacanya, "Oh jadi ini kastil tua yang dimaksud Brian, pantas saja aku merasa ngeri ketika mau pergi keluar tadi. Hmm, serem juga sih kalau begini caranya," gumamku.
[Nomor 921 : Aku masuk ke sekolah baru hari ini sebagai siswa pindahan, perjalanan ke sekolah baruku terasa jauh sekali karena harus lewat lautan selama satu jam dan lanjut memakai kuda selama dua jam. Tapi rasa lelahku langsung hilang ketika sudah memasuki kelas, karena di sana aku bisa bertemu banyak sekali ras manusia setengah hewan. Untung saja mereka menyambutku dengan baik dan mau berteman tanpa peduli aku dari ras manusia. Astaga, nyaman sekali rasanya ketika bisa sekolah tanpa ada orang yang menindasku.]
[Nomor 951: Oh Dewa Agung, kenapa nasib buruk datang lagi padaku? Ayahku tiba-tiba terkena penyakit aneh seperti yang pernah di alami ibuku waktu itu, bahkan penyakit aneh ayahku sudah pada stadium akhir dan divonis mati dalam semingu. Padahal aku sudah mulai menikmati kehidupan di wilayah perbatasan ini, tapi kenapa aku harus menderita lagi?]
[Nomor 958: Pemakaman ayahku berlangsung hari ini, aku menangis sejadi-jadinya karena tak kuasa menahan rasa sedih di dalam hatiku. Kini aku benar-benar yatim piatu, hanya memiliki Mama Laura seorang.]
Aku berhenti membaca sejenak untuk mengusap air mataku, entah ini air mata punya Brian atau memang punyaku sendiri, yang pasti air mata itu mengalir cukup banyak.
Aku pun membandingkan nasib Brian dengan nasibku yang ternyata tak jauh berbeda, kita sama-sama kehilangan orang tua dan selalu dihampiiri penderitaan, terlebih kita sama-sama mati pada akhirnya.
Setelah emosiku cukup stabil, kulanjutkan membaca buku harian Brian dengan perasaan sangat berkecamuk. Lama juga kubaca buku tebal ini, mungkin sudah beberapa jam karena aku samar-samar merasakan cahaya masuk dari jendela kamar.
Tinggal lima nomor yang tersisa pada buku tebal itu, aku pun semakin penasaran dan ingin segera menuntaskan bacaanku, terutama aku sangat penasaran dengan keanehan yang terjadi pada Ibu tiri Brian selama sebulan ke belakang.
[Nomor 1091 : Mama Laura datang lagi ke dalam kamarku tadi malam, aku benar-benar ketakutan dengan gelagat aneh yang selalu ditunjukan Mama Laura baru-baru ini. Terkadang aku mendengar suara lolongan keras seperti serigala, tapi aku tidak bisa menemukan sosok apapun dari asal suara itu.]
[Nomor 1092 : Malam ini juga terjadi hal yang sama, bahkan suara lolongan itu semakin keras saja. Sebelumnya aku sudah menanyakan kebenarannya kepada beberapa pelayan, cuman aku tidak bisa menemukan jawaban apapun.]
[Nomor 1093 : Hancur sudah hidupku sekarang, semuanya benar-benar hancur hingga tak akan pernah bisa kuperbaiki lagi. Aku tak pernah menyangka kalau wujud asli Mama Laura ternyata manusia setengah rubah, dan Mama Laura menyetubuhiku dalam wujud itu. Aku anak yang sangat berdosa karena tidak bisa menahan hasrat Mama Laura.]
[Nomor 1094 : Meski Mama Laura bilang itu kebutuhannya sebagai wanita setengah rubah, dan dia bisa mengamuk bila tidak segera disalurkan. Namun aku tetap tak terima ketika Mama Laura menjadikanku sebagai pelampiasan hasratnya. Jujur saja aku merasa sangat berdosa kepada mendiang ayahku, juga aku merasa telah kehilangan semua harga diriku sebagai seorang Pria. Aku tak sanggup lagi, lebih baik aku mati saja.]
[Nomor 1095 : Aku sudah memutuskan sepenuh hati setelah berpikir seharian penuh, tepat nanti malam aku akan mengakhiri hidupku agar bisa bertemu kembali dengan ayah dan ibuku. Lagi pula, aku sudah tidak punya apapun di dunia ini, sisa-sisa harapanku benar-benar telah hancur sejak Mama Laura menyetubuhiku. Jadi, selamat tinggal dunia jahat ini ....]
Buku harian Brian selesai pada nomor 1095, yang artinya Brian sudah menulis selama tiga tahun penuh.
"Gila sih ini, si Brian niat banget nulis buku harian sampai tiga tahun. Tapi, yang lebih gila lagi tentang kematiannya, masa gara-gara tubuhnya dijamah Ibu tiri sendiri dia langsung mutusin bunuh diri? Lagian apa masalahnya, mereka tidak terikat darah dan juga karena kebutuhan mendesak, jadi kupikir wajar saja bila mereka memiliki hubungan seperti itu," gumamku sembari menutup buku tebal itu.
Brian seharusnya meminum racun itu sejak kemarin malam, dan nyawanya baru hilang tadi malam. Dia sempat bertahan selama satu hari sebelum akhirnya benar-benar pergi dari dunia ini.
"Kalau Brian mati karena racun, lantas kenapa tubuhku tidak merasakannya sekarang? Mungkinkah kondisi tubuh ini langsung disembuhkan begitu jiwaku masuk ke dalamnya? Entahlah, mungkin hanya Dewa sendiri yang mengetahuinya."
"Huaaah, aku sepertinya harus bisa membiasakan diri tinggal di dunia ini, tapi aku ingin tidur dulu karena mataku sudah tak bisa diajak kompromi lagi."
Aku pun bergegas kembali ke atas ranjang setelah meregangkan tubuhku, membaca buku harian Brian ternyata membuatku sangat lelah.
Cekiiiit!
Namun, suara pintu terbuka menghentikan langkahku saat ini, yang membuatku spontan menoleh ke arah pintu tersebut.
Dan mataku terbelalak saat melihat sosok wanita cantik yang kini sedang berlari ke arahku dengan air mata berderai, dia langsung memelukku begitu saja tanpa permisi sama sekali.
"Maafkan mama, Brian. Mama sungguh menyesal karena sudah melakukan hal sehina itu padamu. Mama mohon jangan pergi dari hidup Mama, karena hanya kamu satu-satunya orang yang Mama miliki," ucap wanita cantik itu alias ibu tiri Brian, Laura si manusia setengah rubah.
...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!