Di sebuah dusun bernama Pek Yang, yang berada puluhan meter di kaki sebuah gunung provinsi Hunan terlihat seorang pria paruh baya yang memakai caping lebar berjalan perlahan dibawah terik sinar matahari siang itu.
Masyarakat Dusun Pek Yang yang sedang mengaso di rumah mereka hanya melihat pria tersebut sekilas lalu saja, karena memang dusun mereka sedang menjadi pusat keramaian disebabkan akan diadakannya acara besar oleh seorang hartawan ternama yang menjadi orang terkaya di situ.
Tak berapa lama, tampak pria yang bersembunyi dibalik caping lebarnya duduk dibawah sebatang pohon yang rindang dan meletakkan buntalan pakaian nya di akar pohon tersebut.
"Permisi paman, benarkah ini dusun Pek Yang?" Tanya bocah remaja yang baru saja melewati tempat itu.
"Ya", Jawab lelaki paruh baya itu tanpa melihat siapa yang bertanya.
Tanpa basa basi lagi, remaja itu duduk di dekat pria tersebut sambil mengipas tubuhnya dengan topi pelajar yang tadi dipakainya.
"Paman orang dusun sini ya?"
"Pendatang" sahut pria setengah tua itu dengan suara agak berat.
"Kenalkan, namaku Siaw Jin, Lim Siaw Jin. Nama paman siapa? .... Kalau boleh tau?"
"Panggil saja aku paman Bu".
"Paman kesini sendirian?"
"Ya".
Tiba-tiba, wajah ceria remaja itu menjadi keruh. Dengan nada sedih dia berkata,
"Paman, bolehkah aku minta tolong?"
"Hemmh," Sahut Paman Bu.
"Aku kemari bertiga, tapi ketika melewati gunung itu, Kakak lelaki dan adik perempuan ku menghilang".
Lewat ujung caping nya, lelaki paruh baya atau kita sebut saja Paman Bu melirik ke arah Siaw Jin yang sedang berkaca kaca matanya.
"Menghilang?" Tanya Paman Bu sedikit tertarik.
"Ya Paman, adikku tergelincir, Kak Gin turun mencarinya, namun sampai sekarang mereka entah dimana!" Sahut Siaw Jin menahan tangisnya.
"Mari kita cari mereka". Sambil berdiri, Paman Bu meraba buntalan pakaiannya.
Siaw Jin pun berjalan mengikuti Paman Bu sambil menunjuk arah yang tadi dilewatinya.
Setelah 15 menit berjalan, kedua nya sampai di tepian jurang yang agak dalam namun masih bisa dituruni perlahan lahan.
"Adik Kim terperosok ke sana paman".
"Ayo", Seru Paman Bu sambil menuruni lereng jurang tersebut.
Setengah jam mereka berdua menuruni tebing bebatuan itu, akhirnya mereka tiba di bagian bawah jurang yang dipenuhi oleh pepohonan rindang dan tanaman jalar yang lebat.
Setelah Paman Bu menelusuri daerah itu, dia lalu mengajak Siaw Jin ke arah barat.
"Jejak mereka kesana".
Siaw Jin yang masih berusia 11 tahun itu segera mengikuti Paman Bu tanpa berani mengeluarkan suara.
Tempat itu memang kelihatan seram dan angker, apalagi bagi anak seperti Siaw Jin yang kelihatannya seperti anak orang kaya yang manja.
Setelah hari menjelang sore, mereka tiba di sebuah dataran luas yang dipayungi oleh pepohonan besar yang tinggi.
Dari kejauhan, Paman Bu melihat sebuah Goa yang sedikit tertutup rumput liar menjalar. Paman Bu menarik lengan Siaw Jin perlahan sambil meletakkan telunjuk nya di depan mulut.
Dengan mengendap endap, keduanya berjalan perlahan mendekati Gua itu.
"Ada orang didalam!" Bisik Paman Bu kepada Siaw Jin.
Tampak Siaw Jin hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali sebagai tanda bahwa ia mengerti.
Setelah jarak keduanya hanya 20 meter dari pintu goa, tiba tiba Siaw Jin dikagetkan dengan auman singa yang menggetarkan jantungnya.
Tak berselang lama, tampak lah seorang pria tua berambut putih bersama seekor singa jantan yang besar disampingnya.
"Siapa kalian? Mau apa ke tempatku?" Seru kakek tua yang memiliki wajah tenang dan lembut itu.
"Maafkan kami yang mengendap-endap seperti musuh, perkenalkan, hamba panglima Bu Eng Ki dan hamba di utus oleh kaisar untuk menjemput xiansu".
Jawab Paman Bu yang sebenarnya adalah seorang panglima tua kerajaan Qing sembari berlutut.
Siaw Jin yang kaget dan bingung segera mengikuti paman Bu berlutut tepat di samping panglima Bu Eng Ki.
"Bangunlah, mari kita masuk". Ajak sang kakek yang ternyata adalah orang terdekat kaisar qing yang sedang memerintah saat itu.
Masuklah mereka berdua mengikuti kakek tua tersebut menuju ke dalam goa yang mulutnya tidak berapa besar.
Sesampainya mereka di dalam, keduanya kaget melihat ruangan yang amat sangat luas dan bersih.
Namun yang sangat mengagetkan Siaw Jin adalah ketika dia melihat kedua saudaranya yang menyambut mereka di gua itu dalam keadaan selamat dan baik baik saja.
Flash back on...
Pada masa itu, di kota terlarang yang menjadi tempat tinggal kaisar Tiongkok sedang terjadi masalah besar.
Pasalnya adalah gara gara sepasang pedang pusaka yang telah disimpan ratusan tahun hilang dari dalam tempat penyimpanan khusus istana kaisar.
Dalam sebuah ruangan terdengar suara kaisar yang sedang marah kepada penjaga yang ada disana.
"Bagaimana bisa pedang itu hilang tanpa ada yang tau kemana. Sudah ratusan tahun barang berharga itu tidak pernah terpisah dari leluhurku. Apa saja kerja kalian hah?"
Tiba tiba masuklah seorang pria tua berambut putih menenangkan kaisar.
"Paduka, jangan buang buang energi anda dengan memarahi pengawal pengawal ini. Jaga kesehatan mu yang mulia. Masalah sepasang pedang pusaka putih biar aku yang mendapatkannya kembali".
"Baiklah Xiansu, aku percayakan permasalahan ini padamu". Sahut kaisar sembari meninggalkan kakek yang di panggil Xiansu (Dewa) bersama para penjaga.
Sebenarnya siapakah Xiansu si kakek berambut putih yang sangat di dengar perkataannya oleh kaisar itu?
Dia adalah seorang manusia sakti yang merupakan keluarga kaisar pula, umurnya sudah mencapai 53 tahun namun tidak ada yang pernah mengalahkan nya dalam ilmu beladiri dan pengobatan china.
Keesokan harinya, Xiansu segera pamit kepada sang kaisar untuk memulai penyelidikannya tentang pusaka kerajaan yang hilang itu.
Flash back off...
###~***~###
Dusun Pek Yang pagi ini terlihat sangat sibuk.
Ratusan warga dusun sedang sibuk melakukan persiapan untuk pelaksanaan acara seorang hartawan yang sangat kaya yang tinggal di dusun itu atau tepatnya berasal dari dusun itu.
Terlihat beberapa orang baru saja tiba mengawal seorang pria 50 tahun yang berwajah segar kemerahan dan sedikit gemuk.
"Hartawan Ki sudah datang, hartawan Ki tiba".
Seru beberapa orang dusun yang ikut melakukan persiapan di sebuah bangunan besar yang berapa tepat di pusat perdusunan tersebut.
Setelah Hartawan Ki duduk, dia segera bertanya,
"Bagaimana persiapan nya? Apa ada yang kurang?"
"Tidak ada yang kurang Tuan, semua sudah di atur sebaik baiknya." Sahut kepala pengawas yang tadi terlihat berlari mendekati hartawan Ki dengan membungkuk.
"Baiklah, segera selesaikan, nanti malam akan ada ratusan tamu tamu terhormat yang akan ku jamu. Jangan sampai ada yang kurang." Perintah hartawan Ki.
"Baik Tuan. Siap laksanakan". Seru kepala pengawas sambil mundur teratur seraya tetap membungkukkan badannya.
Saat siang hari tiba, ketika para warga sedang makan bersama setelah lelah melakukan persiapan, dari arah depan bangunan megah itu terlihat seorang kakek yang didampingi oleh pria yang memakai pakaian panglima kerajaan bersama tiga orang remaja.
Yang paling mengagetkan para warga dusun adalah sang kakek yang memakai baju putih yang sewarna dengan rambutnya itu duduk menunggangi seekor singa jantan besar yang tampak sangat indah dan menggetarkan.
"Aku ingin bertemu Song Ki Jun, sampaikan padanya sekarang juga". Seru si kakek dengan suara tenang namun tampak amarah dalam ucapannya.
Karna melihat seekor singa yang mengawal mereka, para pengawal tentu saja tidak ada yang berani mendekati Xiansu dan panglima Bu serta ketika bocah yang tidak lain adalah Lim Siaw Gin, Lim Siaw Jin dan Lim Siaw Kim yang merupakan satu satunya sosok wanita di kelompok mereka.
Tak lama berselang, keluarlah seorang hartawan gemuk yang tidak lain adalah hartawan Ki di temani oleh pengawal yang baru saja masuk memanggilnya.
"Oh, silakan masuk Xiansu, mengapa hanya berdiri di luar? Masuklah, mari masuk". Seru hartawan Ki dengan wajah sumringah.
"Aku kemari hanya ingin meminta barang yang telah kau curi dari gudang pusaka kerajaan. Sebelum para tentara kerajaan kesini, serahkan padaku segera". Kakek Xiansu berkata dengan suara lantang dan tegas.
"Tidak baik membicarakan hal yang sangat rahasia seperti itu didepan warga dusun ini, masuklah dulu. Nanti akan aku ceritakan kepadamu semuanya Xiansu". Dengan melonjorkan tangannya kearah dalam, hartawan Ki berkata sambil tersenyum ramah.
BERSAMBUNG. . .
Berjalan lah kelima orang itu di ikuti oleh singa piaraan kek Xiansu di belakangnya.
Ternyata mereka semua dibawa menuju ke sebuah ruangan di tingkat bawah oleh sang hartawan yang lebih dulu berjalan di depan mereka.
Orang orang yang melihat mereka, atau lebih tepatnya melihat singa didekat mereka bergidik ngeri ketakutan dan agak menjauh seakan memperluas jalan untuk rombongan kakek Xiansu.
Sesampainya mereka disana, para rombongan itu segera dipersilahkan duduk oleh hartawan Ki yang lebih dulu mengambil tempat duduk di kursi paling depan.
Didepan mereka telah disediakan hidangan yang lezat dan mewah. Seperti memang sudah disediakan sejak awal awal.
"Sebelum masuk ke pokok pembicaraan, mari kita santap hidangan ini, tidak baik membicarakan masalah dalam keadaan lapar". Seru hartawan Ki yang menerima sebutir pil dari bawahannya dan meminumnya.
Tanpa menunggu aba aba dari Xiansu, Siaw Jin yang memang sudah teramat lapar langsung saja memakan hidangan lezat itu dengan sangat rakus.
Melihat senyum licik di ujung bibir hartawan Ki, Xiansu bangun dari duduknya sambil berkata,
"Jangan dimakan,"
Namun terlambat, entah berapa banyak sudah makan yang masuk ke perut Siaw Jin yang langsung memegang lehernya seperti orang tercekik itu.
Saat Xiansu ingin menyerang hartawan Ki, tiba tiba saja mereka berlima bersama singa itu tertimpa jaring yang lemas dan berat, ketika tuas didekat hartawan Ki ditariknya, kursi mereka pun amblas kedalam tanah.
Rupanya mereka semua terjebak dalam perangkap hartawan Ki dan ke enam sosok itu kini telah terjeblos ke penjara bawah tanah di gedung mewah milik hartawan itu.
Sayup sayup mereka hanya mendengar suara tawa hartawan Ki yang semakin terbahak bahak.
Setelah semua jatuh ke penjara bawah tanah, Xiansu dan panglima Bu segera melepaskan diri dari perangkap jaring tersebut dan ikut pula melepaskan jaring yang melibat singa dan ketiga anak remaja itu.
"Kenapa Xiansu tidak melawan dan terjebak seperti ini. Apakah benar engkau adalah Xiansu yang di maksud oleh Kaisar?" Seru panglima Bu yang mulai kurang yakin dengan orang yang sangat di hormatinya itu.
"Sudahlah, kau diam saja. Ikuti saja permainan nya". Jawab Kakek berambut putih itu seraya melihat keadaan Siaw Jin yang semakin memprihatinkan.
Kedua saudara Siaw Jin telah menangis sambil memeluk Siaw Jin yang telah pingsan dengan muka menghitam.
"Kurang ajar, mereka menaruh racun dalam makanan itu. Apakah engkau tidak tau hal itu Xiansu? Mengapa kau biarkan anak ini memakan makanan itu?".
Kini Panglima berbadan tegap itu semakin marah dan emosi. Sambil menitikkan air mata, panglima Bu terus saja menyalahkan Xiansu yang kini telah bersemedi di samping singanya yang mendekam dengan santai.
"Hei, kakek tua, berani beraninya kau mengaku sebagai Xiansu, kalau kau memang Xiansu, coba pulihkan anak ini". Dengan mata merah panglima Bu menatap kakek itu yang kini membuka matanya perlahan lahan.
"Tenang Panglima, apa kau pikir, dari awal kita kemari aku sengaja menyerahkan kalian begitu saja dalam jebakan licik hartawan itu? Jangan khawatir, semua ini sudah aku perkirakan. Sekarang tenangkan saja hatimu dan jaga anak itu jangan sampai meminum air atau cairan apapun".
Setelah berbicara, Xiansu kembali memejamkan matanya sambil duduk bersila. Kini panglima Bu perlahan lahan mulai sedikit tenang dan berusaha menenangkan Siaw Gin dan Siaw Kim.
Namun Lim Siaw Kim bagaimana pun juga adalah seorang gadis cilik yang sedikit susah di atur. Maka panglima Bu agak sedikit kewalahan dengan wanita kecil itu.
Baiklah, kita tinggalkan dulu mereka yang sedang di himpit derita itu. Mari kita lihat keadaan di dusun Pek Yang yang kini semakin bertambah kisruh setelah di kurungnya Xiansu dan panglima Bu bersama tiga anak bermarga Lim dan juga singa kesayangan Xiansu.
Ternyata tepat seperti yang dikatakan oleh Xiansu. Sore hari itu, para tentara kerajaan telah tiba mengepung tempat kediaman hartawan Ki dimana acara akan dilangsungkan malam ini harusnya meriah, namun dengan kehadiran ratusan tentara kerajaan, keadaan disana malah mencekam.
Hartawan Ki kini sibuk melakukan rapat dengan para datuk dunia hitam yang kini telah duduk di ruangan tingkat paling atas bersamanya.
Tampak belasan orang dengan berbagai macam rupa berkumpul disana.
"Menurutku, kita paksa tentara kerajaan untuk mundur. Aku rasa, dengan memakai tawanan kita itu, para pengawal akan mendengar permintaan kita Tuan". Seru seorang pria berbadan besar berambut panjang dengan muka dipenuhi jerawat batu.
"Menurut saya, benar seperti yang dikatakan Datuk Selatan. Kita paksa mereka mundur sampai acara Tuan malam ini berjalan mulus, setelah itu baru kita pikir bagaimana selanjutnya". Sahut seorang nenek buruk rupa yang lebih dikenal dengan sebutan iblis bermuka ular.
"Baiklah, mari kita lakukan persiapan sebelum malam tiba". Ucap hartawan Ki yang lalu bangkit dari duduknya.
Mereka pun segera melakukan persiapan dan membagi tugas seperti yang sudah di atur oleh keputusan rapat sore itu.
Dua orang akan menghubungi para tentara kerajaan untuk berunding, sepuluh orang lainnya akan melakukan penjagaan dengan ketat disekitar tahanan bawah tanah. Lima orang lainnya akan mengawal hartawan Ki yang kini sedang bersiap siap menyambut para tamu undangan.
Sebenarnya, para tentara sudah lebih dulu mendapat pesan langsung dari Xiansu sebelumnya.
Apapun yang terjadi, biarkan para tamu undangan dan hartawan itu melaksanakan acaranya sampai dengan selesai.
Makanya setelah dua orang perunding yang diutus hartawan Ki pulang kembali ke gedung tersebut, mereka berdua dengan sombongnya melaporkan bahwa berkat mereka, tentara kerajaan takut dan menerima usul mereka bulat bulat.
Hingga malam hari tiba, ramailah para tamu undangan yang terdiri dari pihak pembesar kerajaan, panglima korup, hartawan kota kota lain serta para pendekar dan golongan sesat persilatan pun turut hadir di tempat itu.
Mereka menikmati hidangan dan arak serta melakukan berbagai rangkaian acara, dari mulai pertandingan silat, adu kekuatan, adu strategi yang bertujuan untuk menarik tenaga sebanyak banyaknya dalam rangka melakukan pemberontakan kepada kerajaan yang saat itu memang sedikit melemah.
Sedang asyik asyiknya melakukan pesta besar diatas, di tahanan bawah tanah tampak sedang terjadi perkelahian sengit antara sepuluh orang datuk hitam persilatan melawan tiga sosok yang tidak lain adalah Xiansu, panglima Bu dan juga ... Singa.
Siaw Jin bersama kedua saudaranya tampak masih berada di dalam kerangkeng tahanan menyaksikan perkelahian tingkat tinggi tersebut.
Kakak lelaki serta adik perempuannya hanya dapat melihat kilatan berkelebat kesana sini, namun tidak dengan Siaw Jin. Setelah tadi dia terkena racun, ketika Xiansu memberikan ramuan khusus untuk mengobatinya, matanya kini puluhan kali lebih awas dari mata orang biasa.
Telinganya juga lebih peka, perasaannya lebih sensitif dan kecerdikannya pun lebih jeli. Memang sejak pertama berjumpa dengan Siaw Jin, Xiansu telah melihat bakat yang sangat baik dari anak ini.
Makanya Xiansu segera menyiapkan semua hal yang telah para pembaca ikuti untuk mempersiapkan Siaw Jin menjadi cikal bakal penerus Xiansu dikemudian hari.
Setelah ratusan jurus dilewati, akhir nya tampak para datuk sesat itu mulai ketar ketir melakukan perlawanan dan mulai terdesak.
Jika Xiansu hanya menyerang untuk melindungi diri saja, lain hal nya dengan panglima Bu dan singa itu, serangan kedua sosok tersebut membuat sepuluh orang datuk sesat itu mengalami luka di sekujur tubuh mereka.
Seperti biasa dimanapun di belahan dunia ini. Orang yang berjiwa pengecut seperti datuk datuk sesat itu akan maju jika menguntungkan dan akan segera mundur jika keadaan sudah tidak berpihak lagi pada mereka.
Sekejap saja para datuk sesat itu sudah melarikan diri dengan menggunakan keahlian mereka sambil membawa kekalahan dan luka menghilang dalam lorong rahasia.
"Pendekar Bu, kalian segera keluar lewat jalan belakang, bakar kembang api ini sesampainya kalian di luar. Aku akan keluar lewat pintu rahasia itu". Seruan kakek Xiansu tak dapat di bantah oleh panglima Bu yang langsung mengajak ketiga anak remaja itu seperti diperintahkan oleh Xiansu.
"Xiansu, saya minta maaf atas sikap saya siang tadi kepada Xiansu, itu karna kebodohan saya". Seru panglima Bu sebelum berangkat yang hanya dibalas dengan senyum lembut di wajah Xiansu.
BERSAMBUNG. . .
Setelah melihat bayangan panglima Bu bersama ketiga anak itu melewati tempat yang sudah dibobol oleh Xiansu sebelumnya, kini kakek berambut putih itu segera bergegas menantang orang orang nya hartawan Ki yang berada di dalam.
Ramailah para pengawal dan algojo mengepung Xiansu. Bahkan ada pula dari pihak pendekar rimba hitam yang kena hasutan hartawan Ki di tengah pesta meriah itu.
Mulailah Kakek Xiansu di serang kanan kiri depan belakang. Namun disitulah terlihat bahwa legenda tentang manusia dewa berambut putih ahli beladiri ternyata benar adanya.
Jangankan terdesak, bahkan lewat puluhan jurus saja banyak antek antek bawahan hartawan Ki yang tak bisa lagi melanjutkan perlawanan.
Aliran khi mereka dihentikan oleh Xiansu dengan beberapa pukulan tangan Xiansu yang lembut itu.
Meski lembut kelihatannya, namun desiran angin dari tenaga yang dihasilkan tangan Xiansu dapat dirasakan oleh orang orang di sekitar ruangan tersebut.
"Banyak penyerang di luar, banyak tentara kerajaan menyerang, lari,," Seruan penjaga gerbang haryawan Ki mengagetkan mereka yang ada di dalam.
Apalagi antek dan bawahan si hartawan gendut itu. Mereka sangat kaget tiba tiba mendapat serangan mendadak dari luar.
Menghadapi Xiansu seorang diri saja mereka kewalahan, apalagi kini Xiansu mendapat angin atas berupa bantuan pihak prajurit kerajaan.
Maka banyak diantara mereka yang menyerah atau melarikan diri ke berbagai penjuru. Namun lebih banyak lagi yang kena tangkap tentara kerajaan dan semua di kumpulkan di pojok ruangan besar itu.
"Jenderal, Tuan Ki melarikan diri lewat belakang". Seorang prajurit berseru kepada panglima Bu.
Dengan sigap, sang panglima pun segera mengejar diikuti Xiansu yang kini menunggangi singa besar itu menuju ke belakang.
Ternyata hartawan Ki telah dapat meloloskan diri melalui jalan rahasia dengan kereta super cepat yang dimilikinya.
"Carikan aku kuda, cepat, sebelum dia lari jauh". Teriakan panglima Bu membuat para prajurit kelabakan mencari tunggangan secepat mungkin.
Mari kita kembali melihat ruangan pesta meriah yang indah tadinya yang kini telah menjadi amat berantakan.
Ruangan itu memang sangat porak poranda. Bagi semua tamu yang kini menjadi tawanan, segera di saring oleh tentara dengan petunjuk tiga anak dan beberapa orang dusun di sana.
"Bagi orang yang tinggal di dusun ini, jongkok di sebelah kiri, cepat!!". Seru komandan regu prajurit itu.
Setelah semua dipisahkan, para tawanan yang menjadi bawahan dan antek hartawan Ki segera di belenggu dan di arak menuju kota raja untuk di adili dihadapan kaisar.
Sementara yang tidak terlibat, dilepaskan setelah sebelumnya disuruh membereskan kekacauan dan serakan serakan yang ada disitu.
Sementara panglima Bu yang menunggang kuda bersama Xiansu yang menunggangi singanya masih terus mengejar hartawan Ki dalam kegelapan malam itu.
Saat keduanya melewati sebuah hutan lebat, tiba tiba ada beberapa jaring terbang melayang ke atas mereka.
"Suiiiirrtt,,, hiaaathh". Kakek Xiansu berhasil melepaskan diri bersama singa nya. Namun tidak dengan panglima Bu yang meskipun seorang ahli peperangan, namun jika disergap begitu, mana bisa dia melepaskan diri apalagi di dalam kegelapan malam.
Panglima Bu bersama kudanya pun terperosok ke sebuah sumur dangkal yang agaknya telah dipersiapkan oleh orang orang nya hartawan Ki.
"Hihihikk,,,, cluubphh,,"
"Celaka,". Seruan Xiansu berbarengan dengan tewasnya kuda tunggangan panglima Bu yang terkena besi runcing ranjau yang di pasang di sumut tersebut.
Untung saja sang panglima berada di atas kuda nya sehingga dia hanya tergores sedikit saja. Namun kuda tunggangan nya seketika itu juga tewas dengan mulut berbusa.
Dengan cekatan, Xiansu segera merobohkan beberapa orang penyerang yang ternyata adalah bawahan rendahan si hartawan Ki itu.
Saat menuju ke penyerang terakhir, Xiansu bertanya sambil menggertak,
"Cepat katakan, kemana Tuan mu pergi? Atau kau mau ku potong anu mu?"
"Ti,, tiidak, ja, janga kakek tua, Tuan Ki pergi ke kota raja".
Setelah melumpuhkan penyerang terakhir, Xiansu berencana melakukan pengejaran lagi seorang diri. Namun, teriakan kecil dari panglima Bu menghentikan langkah kaki singa itu.
"Tolong, Xiansu". Seru panglima Bu dengan nada lemah.
Begitu kakek tua itu mendekati panglima Bu, dia sedikit kaget melihat wajah pria paruh baya itu seperti orang keracunan. Saat dia memeriksanya, ternyata memang di setiap ujung besi runcing di sumur itu di oleskan racun paling mematikan.
Untung saja panglima Bu memegang ramuan sisa mengobati Siaw Jin kemarin dan langsung meminumnya.
"Kau terkena racun ular padang gurun. Mari kita pulang dulu ke dusun". Seru kek Xiansu seraya meletakkan panglima bu di atas punggung singanya, sedangkan dia berlari sambil memegang disampingnya.
Selang beberapa saat, keduanya pun tiba disana di sambut para prajurit yang segera menolong jenderal mereka.
Kek Xiansu pun sibuk membuat ramuan dengan bahan bahan yang ada. Adapun beberapa keperluan yang tidak ada disana, tentara kerajaan dengan sigap segera mencari ke dusun atau desa terdekat.
Setelah selesai ramuan yang dibuat oleh lel Xiansu, ramuan tersebut segera dibawa ke kamar belakang paling sudut dimana panglima Bu rebah di sana.
"Siaw Gin, ajak adik mu keluar sebentar. Kalian juga, semua pengawal segera keluar. Biar aku yang mengurus Bu Tai ciangkun bersama Siaw Jin". Seruan Xiansu dibarengi derap kaki mereka yang ada di kamar itu.
Siaw Jin yang dari tadi duduk di kepala panglima Bu, atas isyarat Xiansu segera merapat ke samping panglima yang sedang terbaring dengan napas agak berat.
"Siaw Jin, lepaskan seluruh pakaian atas panglima Bu". Perintah Xiansu pada anak 11 tahun itu.
"Baik Kakek". Jawab Siaw Jin sembari melakukan perintah Xiansu dengan sigap dan hati hati.
Segera terlihat di dada sebelah kanan panglima Bu bekas goresan dan beberapa tusukan benda tajam yang berwarna hitam hangus.
Xiansu dengan cekatan memberi ramuan yang dipegangnya dalam baki hingga membuat panglima gagah perkasa itu meringis kesakitan hingga tak sadarkan diri.
"Xiansu, paman Bu?" Seruan Siaw Jin panik.
"Tidak apa, biarlah dia pingsan agar obat ini cepat meresap". Sahut Xiansu sambil melangkah ke dipan yang berjarak beberapa meter dari panglima tua itu rebah telentang.
"Kemarilah Siaw Jin, duduklah". Xiansu berkata sambil memberi isyarat dengan menepuk tangannya tepat di sebelah tempatnya duduk.
"Siaw Jin, bukankah orang tuamu di kota raja?". Tanya kek Xiansu setelah Siaw Jin duduk di situ.
"Benar Xiansu, Ayahku tinggal di pinggiran kota raja di dusun Ciok Lin. Orang orang disana biasa memanggilnya Lim Siuchai".
"Apa tujuan kalian ke dusun ini? Mengapa kalian hanya bertiga saja? Mana pengawal kalian?" Pertanyaan Xiansu yang bertubi tubi itu, membuat Siaw Jin gugup juga.
Apalagi saat Siaw Jin menatap mata Xiansu yang bening dan serasa menusuk ke ulu hatinya.
"Maaf jika sebelumnya aku berbohong pada mu dan paman Bu. Sebenarnya aku di tugas kan oleh ayah untuk membawa kak Gin dan adik Kim pergi jauh dari rumah. Malam itu, ada beberapa orang yang datang ke rumah kami membawa senjata tajam. Lalu mereka menyerang semua pengawal dan penjaga disana. Kata salah satu penyerang itu, mereka diutus untuk membunuh putra mahkota. Saat itulah ibu membawa kami lari dari rumah hingga penyerbu itu menemukan kami. Ibu dan pengawal pun menghalau mereka dan ibu hanya berpesan agar aku menjaga kakak dan adikku serta membawa mereka pergi jauh dan jangan pernah kembali. Aku tau apa maksud perkataan ayah dan ibu itu. Begitulah kisah ku, dan tanpa sengaja kami sampai ke daerah ini".
Siaw Jin mengakhiri ceritanya dengan mata sembab dan basah menahan tangisan yang mengiris hatinya.
"Ternyata benar dugaanku. Apakah ada yang tau selain engkau cerita ini?"
"Ada kek, kakak dan adik,,"
"Maksud ku, bukan kejadian keluarga kalian dibunuh. Tapi tentang para penyerbu itu ingin membunuh putra mahkota. Siapa saja yang tau hal itu?".
"Hanya aku, ibu dan ayah serta beberapa penjaga yang pastinya sekarang sudah tewas". Jawab Siaw Jin sambil tertunduk memejamkan matanya.
"Mulai sekarang, jangan kau ceritakan hal itu kepada siapapun. Cukup kita saja yang tau". Seruan kek Xiansu yang terakhir bertepatan dengan bangkitnya panglima Bu dari pembaringannya.
"Xiansu, Jadi benar, dia, dialah anak itu. Dia lah Aisin Gioro Jinsian?"
panglima Bu yang baru saja pulih seperti mendapat tenaga baru hingga dia sekejap saja telah berada tepat di depan wajah Siaw Jin.
"Aduh, Bu Thai, mengapa kau cepat sekali bangun? Ya sudahlah, rahasia ini hanya kita bertiga yang tau. Jangan sampai hal ini bocor. Ok?" Seru Xiansu dengan wajah serius.
Sambil membungkuk dan bersujud di hadapan Siaw Jin, panglima Bu berkata,
"Hormat hamba kepada paduka. Semoga yang mulia paduka panjang umur".
Siaw Jin yang belum mengerti arah pembicaraan mereka pun melongo melihat hal itu.
"Aduuuhh,, apa aku bilang! Kenapa cepat kali lah dia sadar. Bu Thai Cingkun, cepat bangun. Jangan sampai hal ini dilihat orang lain. Bagi kita, beliau adalah Siaw Jin. Rahasia besar ini harus tetap tertutup rapat sampai kita bertemu Sri baginda kaisar". Ucap Xiansu yang terpaksa di turuti oleh panglima Bu.
BERSAMBUNG. . .
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!