NovelToon NovelToon

Dear Nina

Berita Duka

Langit terlihat mendung, angin berhembus menerpa tubuh gadis yang duduk dipinggir pusara sang ayah. Airmata nya tak henti-henti menetes membasahi pipinya. Ia hanya diam membisu tak menjawab pertanyaan siapapun. Pria yang mengenakan kacamata hitam tak jauh dari tempatnya duduk hanya bisa melihat dari jarak yang tidak terlalu jauh itu.

Dia tidak sendiri melainkan banyak orang yang datang gurung berkabung atas kepergian Sang Ayah. Mereka berbelasungkawa atas apa yang telah terjadi. Sang Ibu terus mengelus bahu putrinya dengan lembut.

"Nina ayo kita pulang Nak.." ucap Sang ibu.

"Ibu duluan aja ya, Nina masih mau disini." ucap Nina lirih. Satu persatu orang mulai pergi dari tempat pemakaman itu. Daniel, Liam, Kanaya dan Dini juga hadir berbelasungkawa pada keluarga Nina. Daniel menepuk pundak sahabatnya dan pergi dari sana, sementara itu dirinya hanya diam menatap gadis kecil menatap pusara ayahnya.

Cukup lama mereka berdua ditempat yang sama, tak ada yang beranjak sedikitpun. Namun kemudian ia memberanikan diri untuk mendekati Nina. Ia menghembuskan nafasnya panjang dan menepuk bahu Nina. Gadis itu mendongak menatapnya dan seketika wajahnya berubah menjadi marah.

"Ngapain disini?" begitulah tanya nya dengan nada yang super duper ketus.

"Saya turut berdukacita de–"

"Nggak perlu, pergi dari sini!!" Oh ayolah apa gadis ini masih menyalahkan dirinya? Ia tak tahu harus bagaimana jika seperti ini.

"Nina dengarkan saya–"

"Apa om belum puas? Kalau saja waktu itu ayah nggak kecelakaan karena Om serempet mungkin Ayah masih hidup Om!" Kini suara Nina begitu lirih menatap Bara. Pria yang sejak tadi diam ditempat nya adalah Bara.

"Kamu menyalahkan saya atas kematian ayahmu?" tanya Bara seolah tak percaya dengan pikiran gadis didepannya itu.

"Terus salah siapa? Karena memang Om yang Serempet Ayah!" ucapnya marah. Rasanya Bara ingin menghilang saat ini juga, sikap Nina masih terlalu kekanak-kanakan apakah dirinya bisa menepati ucapannya saat berbicara dengan Kedua orang Tua Nina sebelumnya.

"Ayo pulang sekarang."

"Nggak mau. Pulang aja sana, Aku bisa pulang sendiri." ucapnya tegas. Bara menghembuskan nafasnya gusar, ia mencoba untuk bersabar menghadapi Nina.

"Jangan ikutin aku. Pergi sana!"

"Nina ingat kamu itu istri saya!" Langkah Nina terhenti, Bara menghembuskan nafasnya kasar. Ia tak tahu bagaimana caranya menghadapi gadis ini. Bukan karena apa? Mereka kenal hanya sekedarnya saja. Bara hanya tahu Nina adalah karyawan Keira dan Nina tahu Bara karena sahabat bosnya. Kenapa mereka jadi serumit ini? Kejadian itu membuat Bara masuk dalam keluarga Nina yang jujur saja dirinya tak terlalu tahu.

Ia ingat betul bagaimana permintaan Ayah Nina saat dirumah sakit. Ayahnya ingin menikahkan Nina dengan orang yang tepat, Jujur saja dirinya tak ingin masuk kedalam urusan yang diluar keluarga nya itu. Nina memiliki kekasih dan Nina diminta untuk memanggil kekasihnya. Bara menawarkan untuk memanggil penghulunya agar keinginan Ayah Nina terkabulkan. Nina memohon pada Romi kekasihnya untuk datang kerumah sakit, karena memang Romi sudah lama berpacaran dengan Nina. Keluarga juga sudah tahu semua tentang Romi jadi apa salahnya untuk diluruskan tujuan dan maksud itu.

Sebenarnya juga Bara hanya ingin bertanggung jawab soal kesalahannya saat menyerempet Ayah Nina. Hanya itu, semua biaya rumah sakit dan pengobatan dirinya yang urus. Namun saat dirinya berkunjung keadaan Ayah Nina memang tak stabil. Diawal Dokter juga mengatakan bahwa Ayah Nina memiliki penyakit jantung. Mendengar jawaban Romi yang tak mau menikahi Nina dengan alasan Nina adalah gadis miskin. Dan Selama ini Romi hanya menganggap Nina mainan disaat itulah Ayah Nina tersulut emosi, keadaan nya semakin memburuk. Sementara Penghulu sudah datang dengan membawa berkasnya.

"Ayah cuma mau lihat kamu bersama orang yang tepat Nak, Ayah nggak mau kamu dapet orang nggak baik seperti Romi. Maafin ayah ya."

"Nak Bara... Tolong jaga Nina ya, Saya sangat malu sekali dengan jawaban Romi. Bahkan saya sempat terfikir untuk meminta Nak Bara menikahi putri saya. Tapi dengan Romi saja mendapatkan perlakuan seperti itu, apa lagi Nak Bara. Keluarga kami tidak pantas bersanding dengan Nak Bara."

"Kenapa Anda berbicara seperti itu, Jangan pikirkan hal yang tidak perlu dipikirkan."

"Nina adalah putri satu-satunya di keluarga kami, adik-adik nya masih kecil. Saya hanya ingin putri saya bersama dengan orang yang baik."

"Saya yang akan menikah dengan Nina." Itulah ucapan Bara sebelum menjadi bimbang sendiri seperti ini. Bahkan dirinya berjanji di depan Ibu dan ayah Nina akan menjaga Nina dengan sepenuh hatinya. Bukan hanya didepan orang tua Nina kan? Yang namanya pernikahan itu sakral, Tanpa menyebutkan janji saja dirinya sudah membuat Janji dengan Tuhan. Dan disinilah dirinya, dirumah Nina yang sederhana ini. Masih menggunakan Kayu, meskipun bagian depannya sudah tembok permanen.

"Nak Bara makan dulu Nak..." Bara tersenyum kecil dan mengangguk. Para keluarga berkumpul dirumah Nina tak hanya keluarga saja tapi para tetangga juga berkumpul disana.

"Nina siapin makan suami kamu." ucap Bu Mita, dia adalah ibu Nina. Bara menikahi Nina dirumah sakit, kemarin sore. Dan kondisi ayah Nina semakin memburuk saat malam hari. Ayah Nina berpulang saat jam dua dini hari dan pagi ini dimakamkan.

"Maafin sikap Nina ya Nak... Nina masih terlalu kecil untuk menikah, tapi ayahnya meminta dia menikah." ucap Mita dengan sedih. Tadi Bara memaksa Nina agar pulang bersamanya karena memang dirinya masih belum hafal jalannya.

"Saya ngerti Bu." ucap Bara pelan.

"Maaf ya Nak, makannya sederhana gini. Seadanya dulu ya." ucap Mita lagi tak enak dengan Bara. Lauk makan nya hanya ada sambel tempe dan sayur daun singkong saja.

"Nggak masalah Bu." Bara yang memang lapar pun langsung makan dengan lahap. Sementara para ibu-ibu didapur sedang rewang alias masak-masakan untuk acara tahlil malam nanti. Setelah selesai makan ia ke kamar Nina karena ia mau mandi sekarang, Ia Melihat Nina duduk di kasur yang tipis itu. Kasurnya diletakan diatas lantai yang dialasi karpet.

"Nina.."

"Kenapa?" tanya nya dingin.

"Saya mau mandi."

"Terus kenapa kesini? Ya ke kamar mandilah sana! Mau aku yang mandiin?" Bara kicep mendengar ucapan gadis didepannya itu.

"Saya nggak tau dimana kamar mandinya. Saya juga mau pinjem handuk, saya cuma bawa baju salin satu doang." ucap Bara membuat Nina berdecak. Ia berdiri dan membuka lemari, mengambil handuk berwarna pink dari dalam lemari.

"nih.. Kamar mandinya dibelakang sebelah dapur." Bara hanya mengangguk saja mendengar hal itu, ia langsung pergi dari kamar Nina. Namun belum sampai kedapur Nina menarik tangan Bara.

"Mandi dirumah bude aja." ucap Nina membuat Bara mengernyit.

"Kenapa?"

"Dirumah lagi rame banyak orang masak-masak, yang ada Om dilihatin ibu-ibu lagi emangnya mau?" Bara tak menjawab dan hanya menurut saja dengan ucapan Nina.

Tahlil

Bara merasakan hal baru yang mana dirinya mandi di air yang sudah ditampung di bak besar. Ia segera mandi dengan sabun yang dibawakan Nina, tanpa sikat gigi karena gadis itu belum mempersiapkan nya. Setelah selesai ia merasa begitu segar, ia keluar dari kamar mandi yang sudah mengenakan pakaian casual nya. Kaos berwarna Navy dengan celana training abu-abu. Rumah bude yang dimaksud adalah kakak dari ayah Nina yang tepat berada di depan rumahnya.

"Dipanggil Ibu." ucap Nina membuat Bara mengangguk, ia merapikan rambutnya dan ikut keluar dari rumah sang bude itu. Oh ya Panggil saja Bude Darmi, kakak dari Pak Darmo yaitu ayah Nina.

"Nak bisa bawa motor? Temenin ibu ke warung Bu Tini mau belanja buat tahlil." ucap Mita.

"Bisa Bu. Kenapa nggak pake mobil Bu?" tanya Bara, karena mobil Bara terparkir didepan halaman rumah bude Darmi.

"Yowalah Yo nggak bisa masuk nanti, orang jalannya kecil." Ucap Mita membuat Bara mengangguk.

"Ayo biar Bara Antar." ucapnya dengan lembut. Ia mengenakan motor metic milik Nina yang biasanya digunakan untuk pergi bekerja ketoko Keira.

"Nina jangan dikamar terus, bantu Bude siapin yang lain." ucap Mita membuat Nina mengangguk pelan. Bara menelusuri jalan bebatuan itu dengan hati-hati, dengan arahan dari Mita mereka sampai di warung sayuran dan sembako itu.

"Mita saya turut berduka cita ya." ucap Tini sang pemilik warung. Bisa dibilang warungnya memang berada didesa yang sama, hanya saja di RT yang berbeda. Jarak dari kota ke desa tempat Nina tinggal sekitar 40 menit. Nina setiap hari ke toko Keira memakan waktu setengah jam jika ngebut. Tapi kadang ia tidur dikost Dini jika lelah, kadang tidur di toko karena mess di sediakan di sana.

"Itu siapa?" tanya Tini saat Mita memilah sayuran.

"Mantu.." jawab Mita seadanya. Bara hanya diam duduk di kursi yang ada didekat warung.

"Hah yang bener kamu Mit? Kapan Nina nikah?"

"Ah panjang ceritanya, aku kesini mau belanja buat tahlil nanti malam Tin. Maaf ya ngebon dulu setengahnya." ucap Mita merasa tak enak, Tini hendak protes namun dirinya mengerti bahwa Mita dalam keadaan berduka.

" Udah Bu?" tanya Bara. Mita mengangguk pelan, Bara membantu membawa semua barang belanjaannya keatas motor. Ia mengeluarkan dompetnya dan bertanya pada Tini. Karena tadi Mita membayarnya hanya lima ratus ribu saja.

"Bara biarin ibu aja yang urus itu Nak... " Mita tak enak dengan Bara.

"Berapa Bu?" tanya Bara pada Tini.

"Totalnya satu juta, hutang Bu Mita juga masih ada lima ratus Ribu." ucapnya dengan kicep menatap Bara yang tampan.

"Tini..." Mita kesal melihat Tini, dirinya tak ingin merepotkan Bara. Biarkan dirinya saja yang menanggung semuanya.

"Ini Bu, Jadi hutang ibu saya lunas ya." ucap Bara memberikan uang pas Pada Tini. Untungnya dirinya membawa uang Cash di dompetnya.

"Kenapa malah kamu bayarin toh Nak, biarin itu jadi urusan ibu."

"Bara sudah menjadi keluarga ibu, Ayah sudah nggak ada jadi Bara yang bertanggung jawab untuk Ibu." Mereka melanjutkan perjalanan pulang. Mita terharu mendengar hal itu, namun dirinya tak bisa menerima begitu saja.

"fokus sama Nina Nak. Biar ibu bisa berusaha sendiri."

"Bara akan fokus sama Nina ibu tenang aja." Bara mencoba bersikap agar Mita merasa tenang, sesampainya disana dirinya membawa barang belanjaannya ke dapur. Para tetangga terkesima melihat ketampanan Bara. Terlebih anak gadis mereka yang terpesona dengan Bara yang membantu Mita membawa barang-barang bawaannya.

"Ada lagi yang perlu Bara bantu Bu?" tanya nya.

"Nggak ada, ini udah jadi urusan ibu-ibu di dapur. Kamu istirahat aja sana dikamar Nina." ucap Mita merasa tak enak dengan Bara. Ia segera keluar dari rumah itu lebih tepatnya duduk di teras dan mengeluarkan ponselnya.

"Saya mau pakaian saya, pakaian kerja juga siapkan untuk beberapa hari kedepan. Perlengkapan mandi juga, saya butuh uang cash. Dan Tolong kamu bawa buah-buahan." Begitulah percakapan yang didengar oleh Nina. Ia meletakan secangkir kopi diatas meja sebelah Bara duduk. Kursi itu terbuat dari bambu, begitu pula dengan mejanya.

"Terimakasih." ucap Bara.

"Mas Bara.." panggil anak laki-laki yang usianya sama seperti keponakan yaitu Leon. Usianya menginjak delapan tahun. Dia adalah Ari adik Nina dan yang satunya lagi berusia sepuluh tahun adalah Yuda.

"Jangan ganggu orang Ari, ke kamarmu sana. Atau main sama mas Yuda." ucap Nina membuat Ari sedih.

"Sini sama mas, duduk sini." ucap Bara pelan. Ari menurut dan duduk di sebelahnya.

"Mas itu mobil mas Barakan yaa." ucapnya seraya menunjuk kearah mobil Bara yang terparkir di sebrang sana.

"Iya kenapa?"

"Ari mau naik mobil mas Bara." ucapnya dengan pelan.

"Boleh, besok ya pas kita belanja buat acara tahlil."

"Beneran mas?" tanya nya antusias.

"Beneran dong." Ari senang sekali mendengar nya.

"Mas... Kenapa ya Ayah pergi ninggalin kita semua?" pertanyaan itu membuat Bara membisu, Nina langsung membuang muka karena airmata nya tiba-tiba menetes. Sementara Yuda memilih untuk pergi dari sana dan tidak bergabung dengan obrolan mereka.

"Allah lebih sayang Ayah, Ari jangan sedih lagi ya. Ayah bahagia bersama Allah di surga." ucap Bara seraya mengelus puncak kepalanya.

"Apa Ayah nggak bahagia disini?"

"Tentu saja bahagia. Ayah mana yang nggak bahagia Punya istri yang baik seperti ibu, punya anak cantik seperti mbak Nina, punya anak ganteng dan pintar seperti mas Yuda dan Ari... Ayah pasti bahagia Ari." Bara membawanya dalam pelukannya. Anak itu tersenyum mendengar hal itu.

"Ari janji sama Ayah. Ari akan jadi orang yang sukses buat bikin keluarga ini bahagia." ucap Ari membuat mereka terharu.

"Mas gimana caranya sukses?"

"Ari harus sekolah yang rajin, nggak boleh nakal disekolah. Mas akan sekolahin Ari sampai Ari Kuliah, nggak hanya Ari Mas Yuda juga harus kuliah agar bisa jadi orang sukses." ucap Bara membuat Ari bersemangat.

"Ari pasti sekolah yang bener." ucapnya lagi. Bara tersenyum mendengar hal itu.

.

.

Sampailah dimana Malam itu tiba, sehabis sholat isya para tetangga bahkan ada juga orang luar yang mengenal Darmo ikut hadir dalam acara tahlilan malam ini. Semua sudah siap, Bara juga sudah siap dengan sarung dan kemeja lengan pendek berwarna abu-abu itu. Ia duduk disebelah Yanto suami dari bude Darmi yang jelas kakak ipar ayah Nina (Darmo). Ari dan Yuda juga duduk disebelahnya mereka memulai tahlil bersama.

Pembacaan surah yasin dan Tahlil dilangsungkan pada saat itu juga. Mungkin banyak yang bertanya siapakah Bara? Kenapa pria itu ada di keluarga Darmo. Ia hanya bisa diam seraya membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an itu. Sampai dimana pembacaan itu selesai, para tamu disuguhkan jajanan tradisional dan nasi yang lengkap dengan lauknya. Mulailah pak RT sebagai tetua berbicara untuk tidak menimbulkan kecurigaan atau kesalahan pahaman kenapa Bara ada disini. Yanto sudah berbicara dengan Pak RT sejak Darmo dimakamkan.

"Baik, Bapak-bapak saya disini mau menyampaikan. Agar tidak menimbulkan kesalahpahaman jadi saya ingin memberitahu kepada Bapak-bapak bahwa Mbak Nina anak alm pak Darmo ini sudah menikah. Ini adalah Mas Bara suami Mbak Nina." Bara tersenyum dan mengangguk ramah menyapa para tamu.

"Owalah suami mbak Nina, tak kira siapa? Dari tadi aku Yo penasaran pak RT Sopo Jane?" ucap salah satu warga (Siapa sebenarnya?).

Mahar

Tak ada lagi yang perlu dijelaskan agar mereka tidak salah paham. Semua orang didesa itu sudah tahu tentang Bara, kini yang ada dirumah hanya kerabat saja, ya masih ada pakde Yanto dan bude Darmi dirumah Nina.

"Nak Bara."

"Iya pakde"

"Bagaimana untuk mahar Nina?" tanya Yanto. Mita dan Nina terkejut mendengar hal itu, sementara Yuda dan Ari sudah terlelap dikamar mereka.

"Mas Yanto jangan gitu.." ucap Mita merasa tak enak.

"Saya udah siapkan pakde, tadi saya minta orang saya buat kesini mungkin sebentar lagi datang." ucap Bara.

"Assalamualaikum..."

"Waalaikumsalam, nah itu pasti orangnya." ucap Bara yang langsung berdiri. Bara keluar dan melihat Alex sang tangan kanannya dengan Dika bawahan Alex.

"Maaf kami lama Tuan." ucap Alex merasa bersalah.

"Nggak papa, ayo masuk." Mereka berdua mengangguk dengan membawa koper yang berisikan pakaian Bara. ada beberapa parsel buah juga yang dibawa oleh Dika, dan banyak lainnya.

"Mohon maaf sekali Pakde, untuk mahar Bara sudah menyiapkan. Tapi Jika pakde menentukan maharnya akan Bara siapkan." ucap Bara dengan sopan.

"Kalau untuk itu tanya pada Ninanya langsung." ucap Yanto menatap Nina yang menunduk.

"Bagaimana Ndok? Bilang sama suamimu tentang maharmu." ucap Darmi.

"Kalau Nina nggak mau memberatkan om Bara Bude, pakde. Jangan terlalu rendah dan jangan terlalu tinggi." jawaban Nina membuat hati Bara menghangat.

"Bara sudah menyiapkan 50 juta Bu, pakde, bude.. Apa itu pantas?" tanya Bara merasa ragu.

"Ya Allah Le, itu besar sekali... justru ibu yang tanya apa itu nggak kebesaran?" tanya Mita. Yanto dan Darmi tercengang akan hal itu, begitu juga dengan Nina.

"Maaf Bu, Bara nggak terlalu tahu soal Mahar. Tadi juga sempat menelfon teman dulu memberikan mahar berapa untuk istrinya, jawabannya 500juta. Sebenarnya Bara juga mau melakukan nya cuma kalau harus mencairkan uang sebanyak itu sore tadi tidak bisa harus besoknya Bu, jadi Bara menyiapkan 50 saja karena asisten Bara hanya bisa menarik sejumlah itu di ATM umum." ucap Bara merasa tak enak. Mereka lebih tercengang lagi dibuatnya, Apa-apaan itu sudah seperti di film saja diberi mahar 500 juta.

"Le... Itu kebesaran, 50 juta saja kebesaran Le... Ibu dan Nina nggak memberatkan seikhlasnya Kamu aja." ucap Mita merasa hal itu terlalu besar.

"Bagaimana dengan 50juta Nina?" tanya Bara pada Nina.

"Apa itu nggak kebesaran Om?" tanya Nina seraya menatap Bara.

"Tentu saja nggak, Bahkan saya pikir itu terlalu sedikit untuk kamu yang berharga." Semua terharu mendengar hal itu, namun Nina tak terlalu menanggapi nya.

"Nina terima yang 50 juta aja om, Nina tau kalau om pasti mau merubah mahar Om jadi 500 juta juga." Bara terkekeh kecil, bagaimana gadis didepannya ini tahu dengan pikiran nya.

"Kamu cenayang kah?" tanya nya membuat suasana yang tadinya serius menjadi mencair, Yanto dan Darmi tertawa mendengar hal itu.

"Ini ada titipan dari Pak Daniel dan Bu Keira." ucap Alex menyerahkan amplop itu pada Mita. Sementara uang mahar yang asistennya siapkan berada diatas kecil yang dibawa oleh Alex.

"Apa ini Le?" tanya Mita pada Bara.

"Buka saja Bu." ucap Bara. Ia membukanya dan terkejut bukan main, uang sebanyak itu ada didalamnya. Uang itu berjumlah kan dua puluh juta. Mita menangis haru karena hal itu, Nina memeluk tubuh ibunya yang menangis. Ia begitu bersyukur memiliki bos baik hati seperti Keira dan Daniel.

"Ya Allah, banyak sekali... Banyak sekali ini Le."

"Mereka minta maaf nggak bisa ngasih langsung, tadi juga Daniel dan anaknya cuma sebentar Bu. Karena Keira baru saja melahirkan." ucap Bara membuat Yanto dan Darmi mengerti. Mereka turut senang dengan apa yang orang berikan pada keluarga adiknya itu.

"Simpan uang itu untuk kebutuhan ibu ya. Untuk tahlil sampai tujuh hari mendatang biar jadi urusan Bara." ucap Bara membuat Mita dan yang lain shock lagi.

"Nggak Le. Ini saja, uang ini yang akan digunakan untuk Tahlil Ayah. Sudah Le, biar ibu yang urus semua ini." ucap Mita menolak keras usulan Bara.

"Sudah Bara biarkan Ibu yang atur itu semua." ucap bude Darmi membantu Mita yang merasa tak enak sudah mendapatkan semua ini. Rejeki Nina yang mendapatkan mahar sebesar itu sudah membuat gebrakan di keluarga nya apa lagi nanti jika semua Bara yang siapkan. Ini di desa, bukan dikota jika ada yang berbeda sedikit saja akan menjadi bahan gunjingan.

"Baiklah kalau gitu, tapi kalau butuh apa-apa bilang Bara ya Bu." Mita mengangguk, ia tersenyum dan memeluk Bara. Ia begitu bersyukur mendapatkan Bara sebagai menantunya. Selain baik, bara juga tulus dalam melakukan sesuatu.

"Untuk Alex dan Dika sebaiknya kalian menginap saja, ini juga sudah malam. Bahaya kalau pulang ke kota malam-malam begini." saran Yanto. Mereka mengangguk patuh dengan saran itu, karena mereka juga lelah seharian bekerja.

"Tidur dirumah pakde saja gimana? Kamar Sania kosong itu." ucap Yanto menawarkan.

"Kami disini saja Pakde, sekalian ada hal yang harus kami bicarakan sama Bos." tolak Alex secara halus.

"Tapi kalau disini hanya beralaskan karpet saja Le, paling ibu kasih bantal sama selimut." ucap Mita tak enak.

"Nggak papa Bu, kami sudah terbiasa." jawab Alex agar tak menyinggung.

"Yaudah kalau gitu pakde sama Bude pamit pulang dulu ya. Mita kami pulang."

"Iya mas, mbak... Makasih" ucap Mita dengan lembut.

"Ibu istirahat gih, besok pasti harus masak-masak lagi." ucap Nina pada Mita, ia mengangguk karena memang dirinya juga lelah hari ini begitu terasa berat untuknya.

"Kamu juga istirahat. Le ibu tinggal tidur duluan nggak papa ya." ucap Mita tak enak.

"Iya Bu nggak papa. Kami izin mengobrol disini Bu." Mita mengangguk membuat Bara sedikit lega. Ia menyerahkan koper kecil itu pada Nina.

"Ini maharnya, simpen sana dikamar. Besok kita kebank, buat bikin rekening atas namamu. Sekarang kamu tidur sana." ucap Bara membuat Nina mengangguk. Nina langsung masuk kedalam kamar tanpa protes dan membawa koper kecil itu tentunya.

"Nggak nyangka kalau tuan udah nikah." ucap Alex membuatnya mendapatkan Plototan dari Bara, Dika yang melihat itu hanya bisa menahan tawa saja. Meskipun begitu Alex adalah asisten yang tengil jika bersama dengan Bara. Pria itu kerap kali menjahili Bara dengan pertanyaan atau ungkapan konyolnya.

"Emm... Anu... Om." Bara menoleh melihat Nina yang kembali keluar kamar.

"Kenapa?"

"Apa mau dibuatkan Kopi?" tanya Nina.

"Nggak" jawaban Bara.

"Mau" Jawaban Alex dan Dika. Nina terlihat bingung mendengar nya.

"Nggak perlu, biarin aja mereka." ucap Bara agar Nina segera istirahat.

"Biar Nina buatkan. Om mau kopi?"

"Saya nggak usah, mereka aja." Nina mengangguk dan langsung pergi ke dapur.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!