Naura terbangun setelah mendengar suara ketukan yang cukup keras dari pintu kamarnya. Kepalanya terasa pusing. Sejak kehamilan, tubuhnya memang kurang fit. Sebenarnya dokter meminta untuk banyak beristirahat, tapi mertuanya seolah tak mengizinkan.
Naura bangun dari tempat tidurnya. Dia berjalan menuju pintu dan membuka kuncinya. Biasanya dia tak pernah mengunci pintu kamar, tapi tadi dia melakukan karena tak ingin di ganggu.
Saat pintu kamar terbuka, Naura melihat mertuanya berdiri sambil berkacak pinggang. Wajahnya terlihat sangat marah.
"Kenapa kamu hanya mengurung diri di kamar? Apa kamu ingin melihatku mati kelaparan? Sudah jam satu tapi kamu belum masak juga!" seru ibu mertuanya dengan suara yang melengking.
Naura menarik napas dalam. Padahal tadi dia sudah mengatakan pada ibu mertuanya jika dirinya merasa kurang sehat dan ingin beristirahat. Kepalanya terasa sangat pusing dan merasa sangat mual.
"Aku sudah katakan pada Ibu jika kepalaku pusing, Bu!" seru Naura dengan suara penuh penekanan.
"Alasan saja. Bilang saja kamu malas masak. Kamu mau aku kelaparan? Mau buat aku cepat mati?" tanya Ibu Rini dengan nada yang sangat tinggi.
Lagi-lagi Naura hanya bisa menarik napas. Sejak menikah dengan Alex, mertuanya memang tak pernah menyukai kehadirannya. Padahal wanita itu pasti tahu bagaimana kondisi wanita hamil, tidak semua kondisinya baik-baik saja. Ada kehamilan yang biasa saja, dan ada juga yang bermasalah.
Semua orang pasti tak menginginkan seperti yang dia alami. Kondisi kesehatannya tidak baik sejak dinyatakan hamil.
"Ibu bisa pesan makanan kalau lapar. Aku rasa Ibu bisa melakukan itu, bukankah ponsel Ibu sangat canggih!" seru Naura.
Gawai milik ibu mertuanya memang keluaran terbaru dan dari merek ternama, berbeda dengan miliknya. Walau dulu harganya juga mahal, tapi ini di beli sejak dia gadis dua tahun lalu. Setiap dia minta ganti, suaminya mengatakan pemborosan.
"Buat apa ganti ponselmu, bukankah masih bisa digunakan? Jangan pemborosan!"
Naura ingat betul ucapan suaminya itu. Namun, saat ibunya meminta, dia langsung membelinya.
"Kenapa kamu menyinggung ponselku? Kamu masih tak terima Alex membelikan ini untukku! Alex itu anakku, jadi dia berhak membeli apa pun untukku!" seru Ibu Rini dengan nada sangat tinggi.
"Aku tak marah, Bu. Selama ini apa pun yang Mas Alex belikan untuk Ibu, tak pernah aku larang walaupun itu dari uang perusahaan milikku!" ucap Naura dengan penuh penekanan.
Naura ingin mertuanya sadar jika semua fasilitas yang tersedia saat ini adalah milikku. Memang perusahaan peninggalan orang tuaku semakin maju sejak di pimpin Mas Alex, tapi itu tetap milikku.
Saat aku dan Ibu masih berdebat, terdengar suara langkah kaki dari depan dan semakin mendekati ruang tempat Naura dan mertuanya berdiri. Ternyata suaminya dan seorang wanita yang usianya mungkin lebih kurang denganku. Penampilannya seksi dengan dandanan menor. Dia mendekati ibu mertua dan memeluknya serta mengecup kedua pipi Ibu Rini. Sepertinya mereka sudah sangat dekat.
"Weny, apa kabar, Nak? Kamu semakin cantik aja," ucap Ibu mertua ku dengan sangat ramah. Berbeda sekali jika bicara denganku.
"Ibu dan Naura sedang apa?" tanya Alex.
Dia menatap tajam ke arah istrinya yang tampak sedikit kusut dengan baju dasternya. Pandangannya seperti jijik saja. Lalu pandangan nya beralih ke Weny. Pria itu langsung tersenyum seperti bangga.
"Penampilanmu seperti gembel saja. Tak bisakah kau sedikit berdandan agar bisa menyenangi suamimu? Melihatmu begini membuat seleraku untuk menyentuhmu jadi hilang!" ucap Mas Alex.
Ucapan Mas Alex yang begitu tajam dan menusuk itu membuat dada Naura sesak. Dia sepertinya malu melihat penampilan sang istri. Sedangkan wanita yang bernama Weny itu tampak tersenyum mengejek.
"Lihat Weny ini! Dia wangi dan dandannya begitu menarik. Setiap pria yang melihatnya pasti ingin selalu mendekati dan bangga berada di sampingnya!" seru Mas Alex lagi.
Dada Naura semakin sesak mendengar suaminya dengan terang-terangan memuji wanita lain dihadapannya. Dia seperti dipermalukan. Weny dan ibu mertuanya tampak tersenyum mengejek mendengar ucapan Mas Alex.
"Istrimu ini memang sangat memalukan. Entah apa saja kerjanya. Padahal masak pun tidak. Hanya tidur saja. Dasar pemalas! Ibu saja kelaparan saat ini karena tak ada makanan," ucap Ibu Rini mengadu pada putranya.
Weny yang mendengar ucapan Ibu Rini langsung memeluk wanita itu. Dia seperti sedang membujuk.
"Alex, istri kamu keterlaluan sekali. Masa Ibu di biarkan kelaparan begini. Bisa-bisa Ibu sakit nanti," ucap Weny seperti sengaja memancing amarah Mas Alex.
"Apa benar yang Ibu katakan, Naura? Kamu tak menyiapkan makanan untuk Ibu?" tanya Mas Alex dengan suara lantang.
Sebelum menjawab pertanyaan sang suami, Naura menarik napas dalam-dalam. Semua agar dia tak ikut terpancing dengan ucapan mertua dan suaminya. Dia masih punya sedikit rasa hormat dengan mereka.
"Mas, kepalaku pusing dari pagi. Aku harus beristirahat. Kamu tau'kan sejak awal kehamilan, tubuhku sering sakit. Dokter juga memintaku banyak beristirahat," ucap Naura mencoba membela diri.
Mendengar ucapan Naura, wanita yang dipanggil Weny itu tampak mencibir. Seperti tak percaya dengan apa yang dia katakan.
"Aku waktu hamil tetap bekerja kantor. Bawa kendaraan roda dua sendiri, dan tak ada kata manja. Kehamilan jangan jadi alasan buat kita bermalas-malasan," ujar Weny dengan nada menggurui.
Dada Naura semakin sesak mendengar ucapan wanita itu. Dia sepertinya sengaja menyiram bahan bakar ke api yang sedang menyala, agar terbakar. Terbukti dengan perubahan wajah Mas Alex yang tampak marah.
"Benar apa yang Weny katakan! Kamu hanya menjadikan kehamilan sebagai alasan untuk bermalas-malasan! Bilang saja kalau kamu tak mau memasak untuk ibuku!" ucap Mas Alex dengan membentak.
Weny dan ibu mertuanya Naura, tampak tersenyum mendengar Mas Alex memarahi sang istri. Kedua wanita itu saling pandang dan kembali menyunggingkan senyuman, sepertinya puas mendengar pria itu memarahi istrinya.
"Jadi kamu sudah pernah hamil? Berarti sudah punya suami, apakah suamimu tak marah bila mengetahui sang istri pulang kerja bukannya pulang ke rumah, justru pergi dengan suami orang?" tanya Naura.
Wajah Weny tampak merah padam menahan malu. Dia lalu melepaskan pegangan tangannya dengan ibu mertua Naura.
"Aku janda. Lagi pula aku kesini untuk menemui Ibu Rini. Aku sudah mengenalnya lama. Kamu jangan salah sangka, aku bukan pergi dengan suamimu. Hanya kebetulan kami bertemu, dan ketika tau aku ingin menjenguk ibunya, Alex mengajak pulang bareng," ucap Weny dengan panjang lebar menjelaskan semuanya.
"Oh, jadi kamu janda? Pantas dandannya seperti ini, untuk menggoda para pria ya?" tanya Naura dengan nada mengejek.
Kembali wajah Weny memerah karena malu. Dia sepertinya tak terima dengan ucapan Naura.
"Aku tak pernah ada niat menggoda pria manapun. Jaga ucapanmu. Apa kamu tak bisa mengajar istrimu agar berkata sopan, Lex? Bukankah kamu yang mengajakku kesini? Kalau memang istrimu tak terima kehadiranku, sebaiknya aku pulang!" seru Weny.
Weny lalu berjalan, ingin meninggalkan rumah. Tapi, baru beberapa langkah tangannya di cekal, dan ditahan.
"Kamu jangan pergi. Aku yang mengundangmu. Ini rumahku. Aku berhak menentukan siapa tamu yang boleh berkunjung," bujuk Mas Alex.
Weny membalikan tubuhnya. Wajahnya yang tadi tampak cemberut akhirnya sedikit tersenyum.
"Dan kamu, Naura ... jaga ucapanmu! Jika kamu tak suka dengan kehadiran Weny, kamu bisa pergi atau mengurung diri di kamar. Jangan membuatku melakukan hal yang tak diinginkan!" seru Mas Alex dengan penuh penekanan.
Weny berjalan mendekati ibu mertua Naura. Keduanya tampak tersenyum puas mendengar Alex memarahi istrinya itu.
"Dan kamu, Naura ... jaga ucapanmu! Jika kamu tak suka dengan kehadiran Weny, kamu bisa pergi atau mengurung diri di kamar. Jangan membuatku melakukan hal yang tak diinginkan!" seru Mas Alex dengan penuh penekanan.
Weny berjalan mendekati ibu mertua Naura. Keduanya tampak tersenyum puas mendengar Alex memarahi istrinya itu.
"Kenapa aku yang harus pergi? Ini rumahku! Jika pun ada yang harus pergi, itu bukan aku tapi dia ...!" seru Naura menunjuk ke arah Weny.
Melihat Naura menunjuk Weny, sepertinya ibu mertuanya tak terima. Dia lalu memprovokasi putranya agar semakin marah dengan istrinya itu.
"Sombong sekali kamu, Naura! Weny datang baik-baik, kenapa kamu begitu marah?" tanya Ibu Rini.
"Kamu jangan terlalu lunak dengan istrimu, Alex. Lihatlah, dia semakin kurang ajar. Tak ada sopannya dengan tamu. Buat malu saja, untung Weny wanita baik, sehingga tak merasa tersinggung," ucap Ibu Rini lagi.
Mendengar ucapan ibu mertuanya, membuat Naura tertawa. Ketiga orang itu menjadi heran.
"Baik hati atau tak tau malu?" tanya Naura sambil tersenyum.
"Ucapanmu makin kurang ajar!" seru Alex.
Tanpa di duga pria itu mengangkat tangannya dan melayangkan tamparan ke wajah sang istri. Naura yang tak siap dengan tindakan suaminya menjadi terkejut dan dia jadi terhuyung ke belakang, karena tamparan yang begitu kerasnya. Pipinya memerah dan terasa panas. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya.
Naura mencoba berdiri tegak kembali. Matanya memandangi wajah suaminya dengan tatapan tajam. Tak ada rasa takut terlihat dari raut muka sang istri.
"Kau menamparku, Mas? Apa kau lupa jika rumah ini milikku, jadi aku berhak menentukan siapa saja yang boleh masuk ke sini!" seru Naura.
"Rumah ini sudah menjadi milikku, apa kamu lupa? Nanti aku perlihatkan surat kuasa yang telah kau tanda tangani, di sana jelas tertulis jika kau telah memberikan rumah ini untukku!" balas Alex. Dia tersenyum licik.
Naura terkejut mendengar ucapan suaminya. Dia merasa tak pernah menandatangani surat kuasa tersebut. Pasti ada kesalahan atau suaminya memalsukan tanda tangannya. Dia berpikir kapan dan di mana dia pernah memberikan tanda tangannya.
Saat Naura terdiam dan merenung, suaminya mengajak Weny dan ibunya untuk makan malam di luar saja. Mereka bertiga pergi meninggalkan rumah dengan perasaan bahagia, berbeda dengan sang istri yang masih terus berpikir, kapan dia menyerahkan rumah ini untuk Alex.
Lama berpikir membuat kepala Naura menjadi sangat pusing. Dia lalu masuk ke kamar dan membaringkan tubuhnya kembali, tanpa peduli kemana perginya sang suami.
**
Semakin larut, Naura merasakan kepalanya makin pusing. Suaminya belum juga kembali. Begitu juga sang mertua. Akhirnya dia memutuskan mencoba tidur dan ke rumah sakit besok saja.
Naura memejamkan matanya walau terasa berat. Sekian lama akhirnya dia tertidur setelah memijat sendiri kepalanya. Hingga pagi menjelang.
Naura bangun ketika jam menunjukan pukul enam pagi. Dia melihat ke samping, tak ada suaminya. Dalam hatinya bertanya-tanya, kemana perginya Alex sehingga tak pulang.
Dengan kepala yang masih terasa pusing dan perut yang kram, Naura melangkah menuju kamar mandi. Dia ingin membersihkan tubuhnya.
Setengah jam kemudian Naura telah siap dan berjalan keluar kamar. Di dapur dia hanya melihat mertuanya sedang sarapan.
"Selamat Pagi, Bu. Mana Mas Alex, kenapa tak ada di kamar?" tanya Naura.
"Mana betah anakku dengan istri seperti kamu. Lebih baik cari pengganti. Sudah tak bisa urus badan, mulutnya kayak comberan lagi. Ngomong tak ada sopan santun!" ucap Ibu Rini.
Naura menarik napas. Dia mencoba menahan diri untuk tidak melawan ucapan mertuanya. Saat ini kepalanya terasa sangat pusing dan perutnya juga kram. Dia tak memiliki energi untuk membantah.
Ditariknya kursi dan mencoba untuk sarapan, tapi selera tak ada. Sehingga Naura memutuskan untuk pergi ke dokter saja. Dia ingin memeriksakan kandungannya yang telah menginjak usia tujuh bulan.
Saat akan pergi, ibu mertuanya melihat dengan tatapan tak suka. Dia langsung bertanya pada Naura.
"Mau kemana kau?" tanya Ibu Rini dengan ucapan kasar.
"Dari kemarin kepalaku terasa pusing. Aku mau periksa kandungan," jawab Naura.
"Periksa kandungan atau mau keluar buat foya-foya?" Kembali ibu mertuanya bertanya.
"Bu, aku benar-benar sakit kepala. Jika pun aku mau berfoya-foya Ibu mau apa? Apa Ibu lupa jika semua yang Ibu dan Mas Alex pakai dan gunakan adalah milikku. Kalian hanya numpang hidup!" seru Naura.
Naura sudah mencoba menahan emosi dan amarahnya, tapi ibu mertua selalu saja memancing. Sepertinya memang harus diingatkan lagi, bagaimana posisinya di rumah ini.
Wajah Ibu Rini tampak memerah menahan malu dan amarah. Dia langsung membentak.
"Apa kau lupa dengan apa yang anakku katakan! Jika rumah dan semua hartamu telah kau berikan pada Alex, jadi kau jangan sok dan belagu. Bisa saja nanti Alex mengusir mu!" teriak Ibu Rini.
Dada Naura terasa makin sesak mendengar ucapan Ibu mertuanya. Entah sejak kapan dia menyerahkan semua hartanya untuk sang suami. Dia bukanlah wanita bodoh. Jika pun benar, pasti Alex yang telah memalsukan semua. Dia harus menyelidiki semua ini, tapi terlebih dahulu dia ingin ke rumah sakit.
Tanpa pedulikan Ibu Rini, Naura terus berjalan menuju mobilnya. Tak peduli ibu mertua yang mengomel melihat kepergiannya.
Sampai di rumah sakit, Naura langsung menuju ruang dokter kandungan. Beruntung dia mengenal dokter itu. Dia merupakan sahabat ibunya dulu. Sehingga ada kemudahan baginya dalam periksa kandungan.
Naura di minta langsung masuk ke ruang kerja. Melihat kehadiran wanita itu, sang dokter langsung tersenyum.
"Selamat Pagi, Naura!" sapa Dokter Cindy.
"Selamat Pagi, Dokter," jawab Naura.
"Apa ada yang bisa Tante bantu?" tanya Dokter Cindy.
"Dua hari ini kepalaku terasa sangat pusing, Dokter. Aku takut ada masalah dengan kandungan ini," jawab Naura selanjutnya.
"Jangan panggil dokter. Seperti biasa saja, panggil tante. Kamu berbaringlah, biar Tante periksa."
Dokter Cindy lalu meminta Naura berbaring. Di bantu seorang perawat, dia menaiki ranjang. Setelah itu dokter mulai memeriksa. Dari tensi hingga detak jantung bayi. Setelah merasa cukup, dokter memintanya kembali duduk.
"Bagiamana Tante? Apa ada masalah dengan kandunganku?" tanya Naura tak sabar menunggu penjelasan dari dokter itu.
"Setelah melakukan pemeriksaan, ternyata tensi darahmu tetap tinggi. Sepertinya kamu mengalami pre-eklamsia."
"Apa itu pre-eklampsia, Tante?" tanya Naura dengan perasaan cemas.
"Pre-eklampsia adalah kondisi akibat dari tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol pada ibu hamil," jawab Dokter Cindy.
"Apakah itu berbahaya, Tante?" Kembali Naura bertanya dengan cemas.
"Bisa sangat berbahaya jika tidak ditangani dengan tepat dan cepat. Dan yang pasti kamu harus melahirkan secara sesar, tidak dianjurkan normal," jawab Dokter Cindy dengan suara hati-hati, mungkin tak ingin membuat Naura semakin cemas.
"Apakah itu berbahaya, Tante?" Kembali Naura bertanya dengan cemas.
"Bisa sangat berbahaya jika tidak ditangani dengan tepat dan cepat. Dan yang pasti kamu harus melahirkan secara saecar, tidak dianjurkan normal," jawab Dokter Cindy dengan suara hati-hati, mungkin tak ingin membuat Naura semakin cemas.
"Apa yang harus aku lakukan saat ini, Tante?" Naura masih terus bertanya.
"Kamu harus minum obat, istirahat yang cukup, jangan melakukan kegiatan fisik yang berlebihan dan yang terpenting kelola stres," ucap Dokter Cindy.
Naura menarik napas dalam. Bagaimana dia bisa mengendalikan rasa stress jika di rumah ibu mertua dan suaminya sendiri yang memacu itu terjadi.
Pre-eklamsia adalah kondisi yang tidak bisa disepelekan karena dapat berkembang menjadi kompilasi yang lebih serius. Gejala awal pre-eklamsia adalah tekanan darah yang tinggi, yaitu mencapai 140/90 mmHg atau lebih. Gejala lainnya yang mungkin muncul dapat berupa sakit kepala hebat, gangguan penglihatan, sesak napas, tubuh dan kaki bengkak, mual, dan muntah.
Pre-eklampsia sering dapat dikelola dengan obat-obat, sampai bayi cukup matang untuk lahir. Kondisi ini sering membutuhkan pertimbangan risiko lahir prematur dibandingkan dengan risiko gejala pre-eklampsia berkelanjutan.
Jika usia kehamilan ibu sudah hampir cukup bulan (37 minggu atau lebih), penanganan preeklamsia yang bisa j adalah dengan melahirkan janin yang berada di dalam kandungan. Biasanya, ibu akan diberikan beberapa obat-obatan sebelum proses kelahiran.
Setelah bicara cukup banyak dan mendapatkan nasehat, Naura akhirnya pamit dengan Dokter Cindy.
"Kamu jangan terlalu memikirkan ini, Naura. Yang terpenting minum obatnya dan jangan stres agar tekanan darahnya bisa lebih rendah dan normal," ucap Dokter Cindy.
"Baik, Tante. Terima kasih," ucap Naura.
Naura lalu bersalaman dengan dokter Cindy sebelum pamit. Dia lalu berjalan menuju apotik untuk menebus obatnya.
Sambil menunggu namanya di panggil, Naura bermaksud bermain ponsel. Namun, pandangannya langsung tertuju pada pasangan di depannya. Sang pria memeluk bahu wanita itu, dan sang wanita menyandarkan kepalanya di bahu sang pria.
Naura sangat mengenal baju yang pria itu kenakan. Dan dia juga tahu pasti pemilik postur tubuh tersebut, itu adalah Alex, suaminya.
Dengan siapa suaminya, Naura bertanya dalam hati. Mereka seperti pasangan suami istri. Sejak awal kehamilan, Alex tak pernah bisa menemani dirinya periksa kehamilan. Dia lalu memegang perutnya yang sudah membuncit, tak ada perhatian sedikitpun dari suaminya.
"Apa aku akhiri saja pernikahan ini? Mas Alex semakin hari semakin berubah, tak ada lagi kata sayang dan perhatian darinya. Apa lagi sekarang, sepertinya dia selingkuh," gumam Naura dalam hatinya.
Saat Naura ingin mendekati kedua orang itu, mereka berdiri. Pria itu memandang ke belakang dan mata mereka bertemu. Alex lalu memalingkan wajahnya seolah tak melihatnya. Hati Naura terasa pedih. Jika kehamilannya masih muda, mungkin dia akan menghampiri mereka dan memberikan pelajaran.
Namun, saat ini dia terpaksa diam. Untuk menjaga keselamatan sang bayi, dan juga tenaganya tak akan cukup untuk melawan kedua orang itu. Dia harus mengalah hingga bayi ini lahir.
Setelah menebus obatnya, Naura langsung pulang. Dia menyempatkan diri membeli makanan untuk dirinya dan mertua. Walau Ibu Rini tak pernah menyukainya, tapi dia menghormati sebagai orang yang lebih tua usianya.
Sampai di rumah dia melihat ibu mertuanya sedang menyantap makanan. Naura lalu mendekatinya.
"Ibu pesan makanan?" tanya Naura. Dia melihat banyak makanan di atas meja, dan masih terbungkus rapi.
Ibu Rini langsung mendekatkan makanan ke dirinya. Sepertinya takut jika Naura akan mengambilnya.
"Semua makanan ini untukku. Weny tadi yang mengirimnya. Dia tau kamu tak akan mau memasak untukku. Dia memang wanita yang baik, jika saja dia yang menjadi menantuku, pasti aku akan bahagia!" seru Ibu Rini.
"Aku juga tak akan memintanya, Bu. Aku ada beli makanan, untuk Ibu juga. Tapi karena makanan Ibu telah banyak, mending buat makan malam untukku," balas Naura.
"Sini makanan itu! Bukankah kamu tadi berniat membelikan untukku!"
"Maaf, Bu. Ibu sudah tua, makan itu harus di jaga. Jangan berlebihan, biar untukku saja." ujar Naura.
Tanpa menunggu jawaban dari ibu mertuanya, Naura langsung melangkah menuju kamar. Dia tak mau mendengar ocehan Ibu Rini yang akan membuat sakitnya bertambah parah.
***
Naura duduk di tepi jendela, menatap hujan yang menetes di kaca. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma basah yang seolah mengingatkannya pada hari-hari cerah yang sudah lama berlalu. Dalam sekejap, ingatannya melayang ke masa-masa indah saat ia dan Alex baru saja menikah. Saat itu, dunia mereka penuh dengan cinta dan perhatian yang tulus.
Ia teringat saat Alex seringkali menyiapkan sarapan di pagi hari. Pria itu akan bangun lebih awal, hanya untuk membuatkan Naura segelas kopi panas dan roti panggang dengan selai strawberry kesukaannya. Senyuman lebar terukir di wajahnya saat melihat Naura terbangun dengan bulu mata yang masih berat. "Selamat pagi, Sayang. Ini untukmu!" ucapnya dengan suara yang hangat, membuat jantung Naura berdegup kencang.
Setiap langkah yang diambil Alex, seolah ada ketulusan dan keinginan untuk menyenangkan Naura. Ia ingat bagaimana suaminya selalu memastikan ia merasa nyaman, baik di rumah maupun di luar rumah. Mereka sering menghabiskan malam berdua, menonton film sambil ngemil popcorn, seolah tak ada yang lebih berarti dibandingkan waktu bersama.
Namun, kenangan manis itu kini terlihat samar. Sejak beberapa bulan terakhir, segalanya mulai berubah. Alex terlihat lebih sibuk dengan pekerjaannya. Adakalanya, Naura merasa seperti menjadi bayangan dalam hidup suaminya. Ia merindukan perhatian yang dulu selalu mengalir begitu deras. Kini, semua itu terasa begitu jauh, hilang dalam rutinitas harian yang membosankan dan hampa.
"Mas Alex … di mana kamu yang dulu?" Naura bergumam, merasakan kesedihan yang menyentuh hatinya. Ia teringat betapa mereka dulu sering berbagi cerita dan impian, seolah dunia ini milik mereka berdua. Sementara sekarang, komunikasi yang sekali hangat itu mulai pudar. Alex lebih banyak menghabiskan waktu di depan laptop, tenggelam dalam pekerjaan yang seolah tak ada habisnya.
Hujan semakin deras mengguyur, dan Naura merasakan ketidak sanggupannya untuk mengubah keadaan ini. Ia menghela napas panjang, memikirkan nasib rumah tangganya.
"Apa seharusnya aku akhiri saja semua ini. Percuma memiliki suami, tapi seperti janda. Kemana pun dan apa pun yang aku lakukan, selalu sendiri. Jika saja hanya alasan pekerjaan yang membuat dia menjauh, mungkin aku bisa memaafkan, tapi dia telah melakukan pengkhianatan dan itu tak bisa dimaafkan!" seru Naura pada dirinya sendiri.
Saat Naura sedang asyik dengan lamunannya, dia mendengar suara tawa wanita bersama suaminya. Wanita itu berdiri untuk melihat siapa yang datang bersama suaminya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!