Alarm itu berdering dengan keras, namun kamar Karin yang gelap dan sunyi seperti enggan merespons. Lampu redup kamar hanya memperlihatkan siluet tempat tidur yang berantakan, dengan selimut tergeletak sembarangan di lantai. Baru pada dering alarm yang kesepuluh, Karin akhirnya tersadar.
Matanya masih berat, namun begitu melihat layar ponselnya, matanya langsung terbelalak. Ponselnya menunjukkan waktu yang sudah melewati batas masuk kerja.
"Sial, aku terlambat lagi hari ini!" serunya seraya melempar ponsel ke tempat tidur. Dengan tergesa-gesa, ia melompat turun dan berlari menuju kamar mandi. Dia bahkan tidak repot-repot untuk merapikan rambut hitam panjangnya yang kini tampak kusut, jatuh berantakan di bahunya.
Karin hanya mencuci muka, menyiramkan air dingin yang menampar lembut kulit pucatnya, berharap itu bisa membangunkannya sepenuhnya. Wajahnya terlihat segar tapi lelah, dengan mata besar yang sedikit bengkak karena kurang tidur.
Dengan tergesa-gesa, ia membuka lemari pakaian, mengeluarkan seragam kerjanya yang masih tergantung rapi di antara beberapa pakaian lainnya. Seragam itu berupa blus putih sederhana dengan logo Perusahaan di bagian dada kiri, dan rok hitam sepanjang lutut. Ia mengenakannya dengan cepat, lalu mengambil tas kecilnya sebelum bergegas keluar kamar, meninggalkan tempat tidurnya yang tetap berantakan.
Ketika keluar dari apartemennya yang sempit, udara pagi yang sejuk langsung menyambut. Karin berlari ke arah jalan, menghentikan taksi dengan panik. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi kecemasan.
'Pasti akan kena masalah lagi,' gumamnya dalam hati, menggigit bibir bawahnya.
Begitu taksi berhenti di depan sebuah gedung pencakar langit yang mewah dengan jendela-jendela besar berkilauan memantulkan sinar matahari, Karin segera turun. Napasnya tersengal saat ia berlari menuju pintu masuk. Perusahaan itu terlihat megah, dengan marmer mengkilap dan dekorasi yang indah. Namun, Karin tidak sempat menikmati keindahan itu.
Setelah tiba di lobi Perusahaan, ia segera mengisi daftar hadir, tangannya gemetar. Saat sedang menulis, Karin merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Suara berat bergema di telinganya, menghentikan gerakannya seketika.
"Hmmm." Manajer Han, seorang pria dengan wajah keras dan rambut yang selalu disisir rapi ke belakang, berdiri di sana. Wajahnya tampak tidak senang, bibirnya menyempit tajam.
"Beraninya kau datang jam segini! Kau pikir ini rumah keluargamu, jadi bisa datang sesuka hati?" teriaknya sambil melipat tangan di dada.
Karin menelan ludah, rasa takut langsung menjalar di dadanya. "Maaf, Tuan," jawabnya cepat, membungkuk dalam-dalam, berusaha menghindari tatapan tajam pria itu.
Di dalam hatinya, Karin ingin membalas dengan sinis. 'Kalau kau tahu aku istri Raka, masih beranikah kau memarahiku?' Tapi dia menahan dirinya, mengingat statusnya yang sebenarnya hanyalah istri tak diinginkan.
Langkah kaki yang berat terdengar dari belakang, membuat suasana makin menegang. Raka, pemilik Perusahaan, muncul dari sudut koridor. Pria itu tampak elegan dalam setelan abu-abu, dengan rambut hitamnya yang disisir rapi ke samping. Dia memiliki aura yang dingin namun menawan, wajahnya selalu tampak tenang dan tak tergoyahkan.
"Apa yang terjadi?" tanyanya, suaranya terdengar datar namun tegas.
"Maaf, Tuan. Gadis ini selalu terlambat," ujar Manajer Han sambil menunjuk Karin dengan dagunya.
Raka menghela napas panjang, mengusap dahinya sejenak. "Sudahlah, biarkan saja. Suruh dia menemuiku nanti."
Perintah itu seperti palu yang menghantam. Karin hanya bisa mengangguk, meski dadanya semakin sesak mendengar ancaman halus itu.
Setelah keduanya pergi, Karin berusaha bernapas lebih dalam. Ia segera menuju dapur kecil di belakang Perusahaan, di mana para pekerja biasa menyimpan barang-barang pribadi mereka. Suasana dapur terasa lebih tenang, dengan bau kopi yang samar tercium. Di sana, Karin menuang segelas air, meneguknya cepat. Perutnya terasa kosong dan sakit. Ia tidak sempat sarapan pagi ini, bahkan tidak sempat mandi, hanya menyemprotkan parfum agar tidak terlalu mencolok.
"Kamu telat lagi?" Suara lembut menyambutnya. Jean, seorang gadis dengan rambut pirang pendek dan mata biru, duduk di dekat pintu. Senyum simpul terukir di bibirnya, meski ada kekhawatiran di baliknya.
Karin hanya mengangguk pelan, meletakkan gelasnya kembali ke atas meja. "Aku harus pergi ke rumah sakit tadi malam untuk menjenguk ayahku," katanya, suaranya lemah. Pikiran tentang ayahnya yang sakit membuat wajahnya semakin muram.
Jean menghela napas, menggeleng pelan. "Apa ada kabar terbaru?"
Karin menunduk, memutar-mutar cincin di jarinya yang terasa dingin. "Tidak ada. Ayah masih sama. Aku benci ibu tiriku," gumamnya, nadanya terdengar getir. Bayangan ibu tirinya yang telah merusak keluarganya selalu membakar amarah di hatinya.
Jean menepuk bahu Karin dengan lembut. "Baiklah, ayo kita mulai bekerja. Jangan sampai Manajer Han melihat kita lagi."
Karin mengangguk, tetapi rasa berat di dadanya belum hilang. Dengan langkah pelan, ia meninggalkan dapur, bersiap menghadapi hari yang panjang.
******
Setelah beberapa saat, Karin mendapati dirinya berdiri di depan pintu kamar Raka. Jantungnya berdebar kencang. Pintu besar dengan pegangan emas itu tampak dingin, seperti cerminan hubungan mereka. Karin mengangkat tangannya untuk mengetuk, tetapi keraguan menghentikannya. Ia merasa enggan untuk bertemu pria itu, pria yang menikahinya tanpa cinta.
Akhirnya, setelah menarik napas panjang, ia mengetuk pintu dengan pelan. "Masuk," terdengar suara dari dalam.
Karin membuka pintu, memasuki ruang kerja Raka. Suasana di dalam ruangan itu terasa megah namun dingin, dengan jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota di kejauhan. Raka duduk di belakang meja, memperhatikan Karin dengan tatapan datar.
"Kenapa kau memanggilku?" Karin bertanya dengan nada dingin, berusaha terlihat tenang meski hatinya terasa berat.
Raka mengulurkan selembar kertas kepadanya tanpa berkata apa-apa. Karin mengambilnya, melihat cek yang tertera di atasnya. Hatinya tersentak, tapi wajahnya tetap tak berubah, seolah cek itu hanyalah selembar kertas biasa.
Karin menatap cek yang tergeletak di atas meja dengan pandangan kosong. Matanya tak tertarik pada angka besar yang tertulis di sana. Ia tahu uang itu bisa membantu membayar tagihan rumah sakit ayahnya, tetapi menerima bantuan dari Raka? Rasanya seperti menelan pil pahit.
Ruangan itu sunyi, hanya terdengar detak jam dinding dan hembusan angin yang lembut dari jendela yang sedikit terbuka. Di luar, matahari mulai tenggelam, memancarkan cahaya keemasan yang membiaskan bayangan panjang di lantai. Karin menghela napas, mencoba menenangkan diri, namun tatapan tajam Raka yang berdiri di depannya membuat dadanya terasa sesak.
"Ambillah, kamu pasti butuh ini," suara Raka terdengar lembut, tapi tegas. Dia melangkah mendekati Karin, menyodorkan cek yang telah ia genggam di tangannya.
Karin mundur perlahan, matanya tetap terkunci pada wajah Raka yang tampak tenang, meski ia tahu pria itu pasti menahan banyak hal. "Aku tahu kamu butuh uang untuk bayar biaya rumah sakit ayahmu," lanjut Raka, suaranya kali ini sedikit lebih rendah, nyaris seperti sebuah permohonan.
Karin mengepalkan tangannya. 'Ayah? Sejak kapan dia memanggil ayahku dengan sebutan itu?' pikirnya penuh kebingungan. Ia mendongak, menatap Raka dengan perasaan campur aduk—marah, terluka, dan tersinggung.
Tanpa mengatakan apa-apa, Karin meraih cek tersebut dengan gerakan cepat. Tapi alih-alih menyimpannya, ia malah merobek cek itu perlahan, membiarkan potongan-potongannya jatuh ke lantai. Raka hanya bisa menatapnya dalam diam. Dengan gerakan lambat, Karin melemparkan sisa-sisa cek itu ke wajah Raka, ekspresi wajahnya penuh penghinaan.
“Kau pikir aku seputus asa itu? Aku tidak butuh uangmu!” Karin berteriak, matanya berkilat penuh emosi yang terpendam.
Raka mengerutkan kening, berusaha mengendalikan dirinya meskipun emosinya mulai bergejolak. "Bukankah aku sudah memberimu cukup uang?" tanyanya, nada suaranya mulai terdengar tegang, hampir marah.
"Aku tidak butuh uang dari pria yang mempermainkan hidupku!" balas Karin dengan nada yang tak kalah keras.
Karin bisa melihat perubahan di wajah Raka—tatapan matanya yang biasanya tenang mulai menggelap, rahangnya mengeras, tapi dia tetap berusaha menenangkan diri. "Karin...," suaranya melembut. “Ayahmu butuh uang untuk rumah sakit. Aku hanya mencoba membantu.”
"Sejak kapan kamu jadi begitu peduli pada ayahku?" Karin bertanya dengan sinis, bibirnya menyunggingkan senyum pahit. “Dan kapan kamu mulai memanggilnya ‘ayah’?”
“Karin, ayahmu juga ayahku sekarang.” Suara Raka terdengar tenang, seolah mencoba meredakan situasi yang mulai memanas.
Karin mendengus. "Ayahku cuma punya satu anak, dan itu aku. Dia nggak punya anak laki-laki," katanya dengan tajam, melipat kedua tangannya di dada.
Raka menarik napas dalam-dalam, jelas terlihat bahwa dia mulai kelelahan menghadapi sikap keras kepala istrinya ini. "Karin, apakah kau lupa kalau kau adalah istriku?" tanyanya sambil memijat pelipisnya, seolah menghadapi rasa sakit kepala yang tak tertahankan.
"Tentu saja aku ingat. Aku kan istri kedua dari pemilik Perusahaan ternama di negeri ini. Istri kedua, Raka, bukan yang pertama. Kamu ingat itu, kan?" Karin menatapnya dengan sorot mata menghina, mencoba menusuk egonya.
Raka menarik napas tajam. "Karin, tolong jangan teriak. Kita bisa membicarakan ini dengan tenang."
“Tenang? Kenapa? Kamu takut seseorang akan mendengar?” Karin menatapnya penuh tantangan, nadanya menyiratkan ejekan yang mendalam.
Raka mendekatkan dirinya pada Karin, suaranya merendah. "Aku hanya tidak ingin kamu salah paham. Jangan bersikap keras kepala seperti ini."
Karin menyipitkan matanya. "Oh, jadi kamu takut istri pertamamu tahu tentang kita?" Karin berbisik, membuat jarak di antara mereka semakin dekat, namun nadanya penuh provokasi.
"Karin, cukup!" suara Raka mulai terdengar lebih keras, namun ia tetap berusaha menahan diri.
Karin tersenyum tipis. “Tenang saja. Aku nggak akan membocorkan rahasia kita. Aku juga nggak mau kekasihku tahu kalau aku sudah menikah,” katanya pelan, tapi sarat dengan sindiran.
Raka terkejut sejenak, lalu matanya menyipit. "Jadi kamu masih berhubungan dengan dia?" Suaranya terdengar lebih tajam, penuh amarah yang ditahan.
"Tentu saja. Kita belum benar-benar menikah, kan? Jadi, apa salahnya jika aku masih menjalin hubungan dengan orang lain?" Karin meliriknya, menantangnya untuk bertindak lebih jauh.
Raka tak bisa lagi menahan emosinya. Dalam sekejap, ia maju dan mendekatkan wajahnya ke wajah Karin. Tubuhnya yang besar kini membayangi tubuh kecil Karin, membuat gadis itu terpojok di dinding.
"Kau mau aku buktikan kalau kita memang sudah menikah?" Raka mengangkat dagu Karin dengan lembut, tapi tangannya yang kuat membuat Karin tak bisa menghindar.
"Jangan sentuh aku!" Karin mencoba meronta, tangannya mendorong dada Raka dengan sekuat tenaga, tapi tubuh kekar pria itu tak tergoyahkan.
Napas Raka terasa hangat di wajah Karin. Jarak di antara mereka hanya beberapa sentimeter. Karin merasa jantungnya berdebar kencang, tidak lagi karena marah, tapi karena takut. Takut kalau Raka benar-benar akan melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar ancaman.
Tok Tok Tokk....
Ketukan pintu tiba-tiba memecah ketegangan di ruangan. Karin langsung merasa lega, seperti mendapatkan napas tambahan yang sangat dibutuhkannya.
Raka mundur perlahan, melepaskan genggamannya dan menghela napas panjang. "Kembali bekerja lagi," katanya datar, berusaha mengendalikan amarahnya. Ia berjalan menuju kursi kerjanya yang besar, membelakangi Karin.
“Aku akan ke rumah sakit malam ini,” tambah Raka, tanpa menoleh lagi. Tangannya sudah sibuk dengan tumpukan dokumen di atas meja.
Karin menyentuh dadanya yang masih berdebar. Ia merasa aneh. Rencananya untuk membuat Raka marah dan menceraikannya seolah berbalik arah. Alih-alih membuat pria itu melepaskannya, Karin justru merasa terperangkap lebih dalam.
Tanpa membuang waktu, Karin segera bergegas keluar dari ruangan itu. Di pintu, ia berpapasan dengan Manajer Han yang menatapnya sejenak, sebelum Karin membungkuk cepat dan pergi tanpa kata.
Tiga bulan yang lalu.
Raka melangkah di trotoar yang masih basah oleh embun pagi, merasakan sejuknya udara yang menyentuh wajahnya. Suasana di rumah pagi ini terasa tegang. Ia baru saja terlibat perdebatan dengan istrinya, dan untuk meredakan ketegangan, ia memilih keluar rumah, menjauh dari keributan yang menghimpit hatinya. Meninggalkan perasaannya yang bergejolak, ia melangkah menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan.
Saat ia menghadap ke samping, pandangannya teralihkan oleh keributan yang terjadi di depan sebuah rumah besar. Dua pria bertubuh besar tampak menyeret seorang pria paruh baya, sementara seorang gadis muda bernama Karin berdiri terisak, air matanya mengalir deras.
"Tuan Broto, tolong lepaskan ayahku! Kami berjanji akan melunasi utang keluarga kami," pinta Karin, suaranya bergetar penuh harap dan kesedihan. Ekspresinya mencerminkan kepanikan dan putus asa, seolah seluruh dunia runtuh di sekitarnya.
"Ha, kau pikir aku bodoh? Kalian akan lari seperti jalang itu," kata Broto si botak, senyumnya sinis dan mengancam. Ketidakadilan yang jelas terlihat dalam situasi ini membuat Raka tidak bisa tinggal diam.
Raka menghentikan langkahnya dan bergegas mendekat, "Apa yang terjadi?" tanyanya, suaranya tegas, berusaha menegaskan keberadaannya di tengah kekacauan itu.
"Tidak perlu ikut campur dalam urusan kami, dan tidak mungkin kau mau membantu mereka melunasi utangnya pada kami," jawab Tuan Broto sambil tersenyum mengejek, matanya menyiratkan kebencian.
"Utang?" Raka bertanya, mengerutkan keningnya, mencoba memahami situasi yang rumit ini.
Karin tampak putus asa, tidak tahu harus berbuat apa. Ia tahu keluarganya dalam keadaan terjepit, semua karena ibu tirinya yang telah menggunakan surat-surat rumah dan tanah mereka sebagai jaminan. Namun, pada saat-saat sulit ini, ibu tirinya memilih melarikan diri, meninggalkan Karin dan ayahnya menghadapi masalah ini sendirian.
Raka merasa ada panggilan di hatinya untuk membantu. Ia merogoh saku, menarik cek yang dia miliki dan menyerahkannya kepada Tuan Broto. "Tuliskan berapa jumlah utang mereka!" perintahnya, penuh ketegasan.
Tuan Broto terkejut, mulutnya terbuka lebar. "Kau pasti bercanda!" katanya, tetapi Raka tidak memberi ruang untuk ragu.
"Jika masih kurang, ini kartu namaku," ucap Raka, menyerahkan kartu namanya kepada Tuan Broto. "Hubungi aku."
Ekspresi Tuan Broto berubah seketika. "Terima kasih, Tuan," ia berkata, suaranya kini penuh syukur. Ia mencium cek itu dengan gembira, tidak sabar untuk mendapatkan uang yang dijanjikan. "Lepaskan dia!" Tuan Broto berteriak kepada anak buahnya, yang segera melepaskan ayah Karin.
Begitu bebas, Karin berlari menghampiri ayahnya, yang terjatuh ke tanah. "Ayah, bangun! Jangan tinggalkan aku!" teriaknya, pelukan eratnya seolah ingin menyatukan kembali segala kepedihan yang menggerogoti hatinya.
"Ayo, bawa ayahmu ke rumah sakit!" Raka mengarahkan mereka dengan nada penuh perhatian. Dalam perjalanan menuju salah satu rumah sakit terbesar di kota itu, Karin terus meneteskan air mata. Setiap tetesan air matanya adalah ungkapan ketakutan akan kehilangan, kenangan pahit ketika ibunya pergi untuk selamanya masih membekas di hatinya.
Sesampainya di rumah sakit, Karin bergegas menuju ruang ICU, hatinya berdebar. "Biar dokter yang menanganinya, ayahmu pasti sembuh," Raka menepuk pundak gadis itu, berusaha memberikan dukungan.
Karin menatap Raka, perasaannya campur aduk antara harapan dan keputusasaan. "Tapi… aku ingin ada di sampingnya," gumamnya, suara lirih penuh rasa tidak berdaya. Raka tahu betapa sulitnya bagi seorang anak melihat orang tuanya dalam keadaan kritis, namun ia berharap Karin bisa sedikit tenang.
Hari-hari berlalu, dan setelah tiga hari dirawat, kondisi ayah Karin mulai membaik. Ia dipindahkan ke ruangan lain, dan saat Karin duduk di samping tempat tidur, ia memegang tangan ayahnya, merasakan kehangatan yang sedikit memulihkan harapan dalam hatinya.
"Ayah, jangan menakut-nakuti aku lagi," Karin berbicara lembut, berusaha tersenyum meski hatinya masih bergetar.
"Maafkan aku, Karin. Aku telah membuatmu khawatir," kata Ardi, ayah Karin, sambil membelai rambut gadis itu dengan lembut. Dalam tatapannya, terdapat rasa bersalah yang mendalam, seolah menyadari betapa beratnya beban yang ditanggung putrinya.
Karin teringat akan kebaikan Raka, pria yang tidak dikenalnya dengan baik namun bersedia membantu mereka tanpa ragu. "Ayah, apakah kau tahu nama orang yang membantu kita?" tanya Ardi.
Karin mengangguk pelan, memikirkan kembali momen ketika Raka datang menyelamatkan mereka. Ia merasa berhutang budi. "Dia meninggalkan kartu nama," ucapnya sambil mengeluarkan dompet dan menyerahkan kartu itu kepada ayahnya.
"Telepon dia, ayah ingin mengucapkan terima kasih," pinta Ardi, mengulurkan kembali kartu nama itu. Karin mengambil napas dalam-dalam, jantungnya berdebar saat ia menelepon nomor yang tertera.
"Halo, siapa ini?" suara Raka di telepon terdengar ramah, meski terkesan sedikit bingung.
"Ini aku, Karin. Bisakah kau pergi ke rumah sakit, Tuan?" katanya, suaranya ragu-ragu, khawatir Raka akan menolak.
"Karin? Siapa?" Raka tidak sempat mengingat namanya karena saat itu ia sangat terburu-buru.
"Ini aku... yang kau bantu selama beberapa hari," jawab Karin, mencoba mengingatkan Raka akan momen itu.
"Oh, iya. Aku baru ingat, ayahmu dirawat di rumah sakit, kan? Ada apa?" Suara Raka menunjukkan perhatian.
"Bisakah kamu menjenguk ke rumah sakit? Ayahku ingin mengucapkan terima kasih, tetapi jika kamu sibuk, tidak apa-apa," ungkap Karin, menggigit bibir bawahnya karena gugup.
"Baiklah, aku akan mencoba datang nanti," Raka menjawab.
“Kalau begitu, terima kasih.” Karin segera menutup telepon, rasa lega menyelimuti hatinya.
"Apa dia bisa datang?" tanya Ardi, harap-harap cemas.
"Ayah, dia sibuk sekali. Bagaimana mungkin dia punya waktu untuk datang ke sini," jawab Karin, sedikit putus asa.
"Maafkan ayahmu, Karin. Aku telah membuatmu menderita," Ardi berkata dengan nada sedih, penyesalan terukir dalam setiap kata yang diucapkannya.
Karin berusaha menahan air mata, mencoba tegar. "Sudahlah, jangan dipikirkan lagi," ucapnya sambil mengusap tangan Ardi.
Di dalam hatinya, Karin ingin marah, ingin mengungkapkan semua ketidakadilan yang mereka alami. Namun, melihat kondisi ayahnya, ia memilih untuk bersikap sabar. "Bagaimana dengan biaya rumah sakit?" tanya Ardi, nada suaranya penuh kecemasan.
"Jangan khawatir, tabunganku tinggal sedikit, dan aku akan segera mencari pekerjaan." Karin berusaha meyakinkan ayahnya, berusaha menebus semua rasa sakit yang mereka alami dengan tekad dan harapan baru.
Dengan setiap detik yang berlalu, Karin merasa semakin bertekad untuk melindungi apa yang tersisa dalam hidupnya—ayahnya. Setiap tantangan yang mereka hadapi membuatnya semakin kuat, dan ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah menyerah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!