Malam itu desa sedang gelap gulita. Hujan turun deras sejak sore, membasahi setiap jengkal tanah hingga wangi khasnya memenuhi udara. Suara gemuruh sesekali membelah malam, diiringi kilat yang menyambar, menampakkan bayangan pohon-pohon yang bergoyang diterpa angin.
Nadia menggigil di bawah payung kecilnya, berjalan cepat menuju warung di ujung jalan desa. Listrik padam, dan ia hanya butuh satu hal—lilin. Di setiap langkahnya, genangan air memercik, membuat ujung celana dan sepatunya basah.
Namun tiba-tiba, langkahnya terhenti. Dari arah belakang, seseorang menarik lengan Nadia dengan kuat, begitu cepat hingga payungnya terlempar dan ia nyaris kehilangan keseimbangan.
“H-hei! Apa-apaan ini!” Nadia berusaha melawan, tapi genggaman pria itu terlalu kuat.
Ia diseret melewati jalan setapak kecil yang berliku, menuju sebuah rumah tua yang tampak tak terurus. Suara pintu kayu yang berderit terdengar menyeramkan saat ia didorong masuk. Pria itu mengunci pintu dari luar, meninggalkan Nadia dalam kegelapan yang pekat.
Nadia mencoba mengatur napasnya yang memburu. Pikirannya kalut, panik, dan jantungnya berdegup keras seakan ingin meledak. Di dalam ruang yang sunyi itu, hanya ada suara detak jam tua yang samar terdengar. Cahaya petir yang tiba-tiba menyambar di luar, menerangi ruangan untuk sekejap.
Dan di sana, di sudut ruangan, ia melihat sosok seorang pria. Siluetnya tegap, tinggi, dan entah bagaimana terlihat begitu menawan dalam kegelapan yang menambah kesan misterius.
"Siapa… kamu?" suaranya hampir berbisik, tak sanggup menahan rasa takut bercampur bingung.
Namun pria itu hanya diam, pandangannya tajam, membuat Nadia merasakan sensasi yang aneh. Ia merapatkan jaketnya, mencoba menenangkan diri. Ketakutannya tak juga berkurang; justru semakin memuncak ketika pria itu bergerak mendekatinya.
Dengan napas yang makin berat, ia mundur perlahan, berusaha menjaga jarak dari pria itu. Tapi tatapan dingin pria tersebut seolah membekukan gerakannya, membuatnya tak bisa berpikir jernih.
Nadia mulai merasa panik, dan kali ini ia benar-benar ketakutan. Pikirannya berteriak untuk bertindak, untuk mencari jalan keluar. Tanpa berpikir panjang lagi, ia berbalik dan melesat ke arah pintu, seolah harapan terakhirnya ada di sana. Tangannya gemetar ketika ia mencoba memutar gagang pintu, namun pintu itu terkunci rapat, tidak memberi celah untuknya keluar.
Paniknya makin memuncak. Nadia mulai mengetuk-ngetuk pintu dengan sekuat tenaga, lalu berubah menjadi memukul keras-keras hingga suaranya bergema di seluruh ruangan.
“Tolong! Tolong, buka pintunya! Siapa pun, tolong aku!” Teriaknya lantang, memecah keheningan malam yang diiringi suara hujan deras di luar jendela.
Tangannya yang gemetar semakin keras mengetuk pintu, namun hanya sunyi yang membalasnya, mengisyaratkan bahwa tak ada yang mendengarnya. Suara hujan dan gelegar petir di luar menelan suaranya, membuat ruangan itu terasa semakin mencekam.
Ia memukul pintu berulang kali, mencoba mencari kekuatan di tengah kepanikannya. Rasa dingin dari tatapan pria itu masih terasa di punggungnya, seakan mengawasi setiap gerakannya
Setelah beberapa saat, ia kehabisan tenaga, tubuhnya gemetar kelelahan. Hatinya serasa tenggelam dalam ketakutan yang semakin dalam. Hingga tiba-tiba, sebuah tarikan kuat mencengkeram bahunya dari belakang.
“Akh…!” Nadia merasakan dirinya ditarik lebih kuat dan didorong ke atas sofa tua di sudut ruangan. Dia terhempas dengan keras, dan sebelum dia bisa menyadari apa yang terjadi, sosok pria itu sudah berada di atasnya, mendominasi setiap inci ruang di sekitarnya.
Kilatan petir lain menyambar, menerangi wajah pria itu—tajam, tampan, dengan sepasang mata yang memancarkan sorot tak terbaca. Meskipun hanya siluet samar, ada sesuatu yang dingin dalam tatapannya, membuat Nadia terdiam di tempatnya.
Pria itu mendekat, membungkuk hingga wajahnya hanya berjarak beberapa inci dari wajah Nadia. “Kenapa kamu berteriak? Tidak ada yang akan mendengarmu di sini.”
Dalam kegelapan yang pekat, Nadia bisa merasakan napas hangat pria itu di wajahnya. Mata mereka bertemu dalam kegelapan, dan meskipun dia tidak bisa melihat dengan jelas, dia tahu pria itu mengamatinya dengan intens. Tiba-tiba, suara klik dari sebuah pistol terdengar jelas, dan sesuatu yang dingin menyentuh pinggangnya. Suara itu diikuti dengan bisikan tajam yang penuh ancaman,
"Lepaskan."
Persis dengan apa yang semua orang pikirkan.
Satu detik.
Dua detik.
Hingga detik demi detik berlalu...
Dengan tangan yang gemetar, Nadia mulai melepaskan pakaiannya. Setiap gerakan terasa berat, seolah-olah dia sedang menanggalkan lapisan terakhir dari harga dirinya.
Perasaan malu dan ketakutan bercampur menjadi satu, membuat air matanya tak tertahankan lagi. Namun, dia tidak memiliki pilihan lain—pistol yang dingin masih menekan pinggangnya, mengingatkan dia akan bahaya yang mengintainya jika dia menolak.
Mata Samuel dipenuhi dengan hasrat yang intens. Dengan satu gerakan cepat, ia merobek lapisan terakhir pakaian Nadia, seakan itu hanyalah kertas tipis.
Dengan pakaian terakhir yang dilepas, tubuh Nadia memancarkan keindahan yang tidak tertutupi. Kulitnya yang halus tampak bersinar di bawah cahaya bulan, membentuk lekuk tubuh yang sempurna dengan pinggang ramping dan kaki panjang yang terentang. Setiap gerakan tubuhnya yang halus menjadi semakin menonjol, membuat keindahan fisiknya sangat memikat dan sulit diabaikan.
Samuel Alexander menatap Nadia dengan tatapan penuh hasrat, matanya dipenuhi dengan dorongan yang tak tertahan. Kegelapan malam dan tekanan situasi seolah menambah intensitas hasratnya, membuat setiap gerakan dan tatapan Samuel semakin mengungkapkan betapa mendalamnya keinginan yang dirasakannya.
Namun, ada sebuah alasan yang menggerakkan Samuel ke titik ini. Dia telah dijebak oleh musuhnya dan dipaksa mengonsumsi afrodisiak yang membuatnya berada dalam situasi ini. Dalam keadaan terpaksa dan tanpa pilihan lain, Samuel merasa bahwa melakukan hubungan seksual adalah satu-satunya jalan keluar untuk melepaskan dorongannya yang semakin membara.
Dengan dorongan yang tak tertahan, Samuel meraih tubuh Nadia dan menekannya dengan keras. Tangan-tangannya meraba dan menjelajahi kulitnya dengan penuh hasrat.
Ciumannya yang penuh gairah menutup mulut Nadia yang terkejut, menciptakan gelombang sensasi yang menambah ketegangan.
Air mata menggenang di matanya yang indah. Dengan putus asa, Nadia mendorong pria itu menjauh. "Lepaskan aku, dasar bajingan!"
Dorongan itu membuat bibirnya bebas sejenak, namun kehadiran pria itu masih mendesak. Kulitnya terasa begitu lembut, manis, dan aroma tubuhnya yang halus justru membuat keadaan semakin memanas.
"Lepaskan aku!" serunya, kini merasa sangat rentan dan malu. Nadia berusaha sekuat tenaga untuk melawan, mencakar dan menggigit dengan putus asa.
Namun perlawanan itu justru membakar keinginannya lebih jauh. Pria itu dengan mudah menangkap pergelangan tangannya dan menekannya di atas kepala, sementara satu tangannya yang lain tetap menjelajah tanpa ragu.
"Jangan melawan, atau aku tak segan melakukan hal lebih buruk." Suaranya serak, penuh gairah yang sulit dibendung. Meski begitu, nada dingin dan tatapan tajamnya mengungkapkan sisi kejam yang mengintimidasi.
Saat bibirnya digigit kuat dengan mata berkaca-kaca, pria itu tiba-tiba menyatu dengannya... Masuk ke dalam inti mahkotanya.
Wajahnya meringis kesakitan, rasa sakit itu begitu intens hingga ia merasa hampir tak tertahankan. Namun, di hadapan pria ini, ia menolak untuk berteriak dan kehilangan harga dirinya.
Terperangkap dalam kehangatan dan kelembutannya, pria itu semakin kehilangan kendali, seolah baru saja mengecap buah terlarang yang begitu manis.
Nadia belum pernah merasakan perlakuan sekasar ini sebelumnya. Dengan geram, ia membuka mulut dan menggigit bahu kirinya.
Meski ia bisa merasakan darah di mulutnya, pria itu hanya mengerang pelan dan tetap melanjutkan gerakannya.
Pagi di desa itu datang dengan keindahan yang khas setelah hujan badai semalam. Matahari terbit perlahan, sinarnya menembus sisa-sisa embun yang menggantung di dedaunan, memberi kilauan kecil yang seolah menyelimuti desa dalam warna keemasan. Aroma tanah basah tercium segar di udara, bercampur dengan bau padi dan rumput liar yang baru saja dilanda hujan.
Di sepanjang jalan, bekas-bekas genangan air masih terlihat, mencerminkan langit cerah yang kini tanpa awan. Sesekali, burung-burung berkicau riang dari dahan pohon mangga dan pisang, seolah merayakan hari yang baru.
Namun, suasana hangat desa itu terasa begitu berbeda dengan keadaan di rumah kosong yang terletak agak jauh dari keramaian. Di dalam rumah yang sepi itu, Nadia terbangun dengan tubuh yang lemah. Matanya perlahan terbuka, menyaksikan cahaya pagi yang masuk melalui jendela berdebu, tapi tak sedikit pun menambah kehangatan di ruangan itu.
Kondisinya mengenaskan—pakaiannya yang sobek tergeletak acak di lantai kayu yang dingin. Beberapa jejak darah tampak di antara pahanya, kontras dengan kain lusuh yang dipakai seadanya untuk menutupi tubuhnya. Udara di ruangan itu masih terasa lembab dan dingin, seolah menyimpan sisa badai semalam yang tak kunjung menghilang.
Nadia menarik nafas pelan, merasakan tubuhnya yang lemah dan kesakitan.
Pandangannya kosong, rambutnya acak-acakan, dan matanya yang sembab penuh dengan kebingungan. Ia berharap, meski hanya sesaat, bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan hilang begitu saja. Namun, kenyataan yang menakutkan itu terpampang jelas di depannya.
Ketika ia sepenuhnya tersadar, Nadia menyadari bahwa ia ditinggalkan sendirian di bangsal mewah itu. Laki-laki yang merenggut kehormatannya telah pergi, meninggalkannya dalam keadaan terpuruk.
"Bajingan," pikirnya, penuh kebencian.
Bagaimana bisa dia meninggalkannya begitu saja, dalam keadaan seperti ini, tanpa sehelai pakaian pun yang tersisa? Namun, saat pikirannya kalut mencari jawaban, matanya menangkap sesuatu di sudut ruangan.
Di atas kursi, terdapat satu set pakaian baru yang rapi, lengkap dengan pakaian dalam mewah dari merek-merek ternama yang namanya hanya pernah ia dengar sebelumnya.
Semua pakaian itu tampak indah dan mahal, seolah-olah disiapkan untuk seorang putri. Dan di sampingnya, ada sebuah amplop cokelat kecil.
Hatinya seketika hancur berkeping-keping. Inikah harga dirinya? Apakah semua ini adalah cara laki-laki itu menebus dosa-dosanya? Alih-alih merasa terbantu, Nadia merasa lebih terhina. Bagaimana bisa mereka berpikir bahwa harganya bisa dibayar dengan materi?
Dengan hati yang hancur, Nadia meraih amplop itu dan membukanya. Di dalamnya, terdapat selembar cek dengan jumlah yang sangat besar. Angka yang begitu besar, seharusnya bisa membuat hidup seseorang berubah dalam sekejap. Namun bagi Nadia, itu bukan apa-apa selain penghinaan.
*******
Nadia melangkah keluar dari rumah kosong itu dengan langkah yang terasa berat, seperti beban yang tak pernah lepas. Setiap langkahnya membuat hati semakin sesak, seolah-olah tanah yang diinjaknya pun turut menanggung beban yang tak terucapkan.
Ketika ia sampai di depan jalanan, matanya tertuju pada payung yang tergeletak rusak di tanah, tergeletak begitu saja, seolah-olah itu menggambarkan dirinya—rusak, tak berarti, dan tak ada yang peduli.
Dengan langkah perlahan, ia melangkah pergi meninggalkan tempat yang telah menyisakan kenangan pahit itu. Angin pagi yang berhembus lembut seakan turut menghapus air mata yang hampir tak terbendung, namun tak mampu menenangkan hati yang hancur. Rumah kosong itu semakin menjauh, namun bayangannya tetap membekas dalam ingatannya.
*****
Nadia berjalan menuju rumah paman dan bibinya, tempat yang seharusnya menjadi pelindung dan tempat ia menemukan kedamaian. Namun, kenyataannya jauh berbeda.
Paman dan bibinya, yang seharusnya menjadi orang yang merawatnya setelah orangtuanya meninggal, justru tak lebih dari sekadar orang yang menyisakan luka dalam hidupnya.
Setiap hari, Nadia bekerja keras di kebun milik juragan setempat, memetik hasil pertanian yang tak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tak hanya itu, untuk mengisi kekurangan, ia juga membuka usaha jahit kecil-kecilan di rumah.
Di balik ketekunan dan senyum manisnya, banyak yang tak tahu betapa beratnya hidup yang ia jalani. Ia adalah wanita tercantik di desa itu, si kembang desa yang selalu dihujani pujian, namun pujian itu hanya membuat hatinya semakin sunyi.
Kehidupannya bersama keluarga paman dan bibinya terasa seperti kisah dalam negeri dongeng yang kelam. Ia tak pernah merasakan kasih sayang yang tulus. Paman dan bibinya lebih sering memanjakan anak-anak mereka, sementara Nadia hanya diperlakukan seperti pembantu.
Nadia tiba di rumah paman dan bibinya. Rumah itu tampak biasa saja dari luar, dengan pagar kayu dan atap yang tampak usang.
Nadia melangkah masuk ke dalam rumah dengan langkah lesu, setiap detiknya terasa semakin berat. Pintu yang terbuat dari kayu tua itu berdecit saat ditutup, dan suara itu menggema di ruang tamu yang sunyi.
Di depan televisi, sepupu perempuannya, Ira, duduk santai di atas sofa, satu kaki terangkat dan tangan sibuk dengan camilan. Ia kuliah di kota, dan Nadia—yang tidak pernah bisa melanjutkan pendidikannya setelah orangtuanya meninggal—telah bekerja keras untuk membiayai kuliah Ira. Semua pengorbanan itu ia lakukan dengan senyum di wajahnya, tanpa mengeluh, meski harus melepaskan mimpinya sendiri.
Nadia berharap bisa segera ke kamarnya, menghindari pertemuan ini. Ia hanya ingin menyendiri, menenangkan diri setelah semalam yang mengerikan, setelah malam yang membuat hatinya terhantam begitu keras.
Namun, begitu ia melangkah melewati ruang tamu, Ira menoleh dan langsung melihatnya. Dengan mata yang tajam, Ira mulai berbicara dengan nada sinis, "Dari mana saja kau semalam?"
Nadia ingin segera menghindar, namun sebelum ia sempat menjawab, Ira memperhatikan sesuatu di lehernya. Ada sesuatu yang mencurigakan, bekas yang jelas terlihat meskipun sudah tertutup syal.
Ira mengernyit, matanya langsung menajam, dan dalam sekejap, ia bangkit dari sofa. "Apa itu?" ujarnya, nada suara berubah menjadi lebih tajam. Nadia merasa sekujur tubuhnya merinding. Dengan cepat, Ira mendekat, tanpa menunggu jawaban, dan langsung mencoba menarik syal yang menutupi leher Nadia.
"Jangan, Ira," kata Nadia dengan suara bergetar, tangannya berusaha menahan, mencegah Ira melepas syal itu. Ia tak ingin Ira melihat bekas-bekas itu, bukti yang tak bisa hilang dari tubuhnya—bekas keganasan pria semalam.
Dengan perasaan panik, Nadia berusaha menggeser tangan Ira, tetapi Ira lebih kuat. Tanpa belas kasihan, Ira berhasil menarik syal itu dengan kasar, dan yang tersisa adalah sebuah pemandangan yang membuat hati Nadia semakin hancur.
Bekas merah yang tersebar di leher dan dada Nadia tampak jelas, bekas yang tak bisa hilang meski sudah digosokkan dengan keras. Nadia telah berusaha menggosoknya sepanjang pagi, berharap bisa menghapus bukti itu, tapi semuanya sia-sia. Bekas itu tidak hanya menandakan kebuasan nafsu pria itu, tetapi juga bagaimana lemahnya Nadia.
Ira menatapnya dengan tatapan penuh ejekan. "Oh, jadi, kau menjual diri ya?" sindir Ira dengan nada kejam.
Matanya melotot, dan senyumnya semakin menyeringai, seolah-olah ia telah menemukan kelemahan yang bisa dihancurkan. Kata-katanya begitu tajam, seolah ingin menancapkan pisau di hati Nadia.
“Jadi benar, ya?” Ira memulai dengan tatapan penuh sinis.
“Kau menjual dirimu, Nadia? Seperti itu caramu hidup? Mengandalkan tubuhmu untuk mendapatkan uang?” Suaranya mengandung kebencian yang begitu kentara, membuat dada Nadia semakin sesak.
Nadia menggelengkan kepala, mencoba berkata, “Ira, kumohon, dengarkan aku. Bukan seperti itu…” Suaranya bergetar, penuh ketakutan dan kepedihan, namun Ira tidak memberikan kesempatan sedikit pun.
“Berapa yang dia bayar? Apa pria itu begitu dermawan hingga membuatmu begitu rendah, heh? Sudah berapa kali kau lakukan ini, Nadia? Aib keluarga! Tidak tahu malu!” Ira melontarkan kata-katanya seakan-akan ia melemparkan pisau yang menusuk hati Nadia tanpa ampun.
Nadia berusaha menyeka air mata yang mulai turun, namun ia terlalu lelah untuk menangis lagi. Ia mencoba menjelaskan dengan susah payah, meski setiap kalimat terasa begitu sulit diucapkan,
“Ira, kumohon dengarkan. Aku tidak pernah menjual diriku. Semalam, aku… aku diserang oleh seorang pria asing. Aku pergi keluar untuk membeli lilin karena listrik mati, dan tiba-tiba… dia…” Nadia terdiam, kata-katanya menggantung di udara, karena terlalu menyakitkan untuk diungkapkan lebih lanjut.
Namun Ira hanya tertawa merendahkan.
“Diserang? Kau benar-benar berpikir aku akan percaya cerita seperti itu? Hanya alasan murahan!"
Nadia memandang Ira dengan mata penuh keputusasaan. Di desa kecil ini, memang tidak ada kamera CCTV, tidak ada saksi yang bisa mendukung ceritanya. Semua terbatas, dan kisahnya mungkin terdengar seperti alasan bagi siapa saja yang mendengarnya.
“Aku tahu ini sulit dipercaya, Ira… Tapi aku tidak mungkin mengarang ini. Aku diserang begitu saja tanpa bisa melawan. Aku mencoba, tapi dia terlalu kuat, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa…”
Ira memutar matanya, seolah tidak ingin mendengar sepatah kata lagi dari Nadia. “Ya, ya, kau memang pandai beralasan, Nadia. Kau bisa berdalih apa saja. Lagipula, siapa yang akan percaya denganmu? Di desa ini, orang seperti kau tidak punya harga diri.” Tatapan Ira menyapu Nadia dari ujung rambut hingga ujung kaki, penuh penghinaan yang menyakitkan.
“Aku… aku tidak seperti itu…” Nadia mencoba mempertahankan harga dirinya yang tersisa, tapi kata-kata Ira terus menghujaninya, membenturkan kenyataan yang begitu kejam padanya.
“Tidak seperti itu? Lalu apa? Berlagak jadi gadis baik-baik, tetapi sebenarnya kau sudah menjual dirimu? Kau bahkan mungkin menikmatinya, kan? Menikmati uang yang bisa kau dapatkan dari tubuhmu?” Ira berkata dengan sadis, seolah-olah ia sengaja ingin menghancurkan jiwa Nadia, seolah ingin memastikan tidak ada satu pun kebanggaan yang tersisa dalam dirinya.
Nadia menundukkan kepalanya, menahan rasa sakit yang begitu mendalam. Kepalanya berdenyut, dan dadanya terasa sesak. Sejak kecil, ia telah diajari untuk selalu menjaga martabat dan harga diri, untuk menjadi perempuan baik dan menjaga kehormatannya.
Namun sekarang, semua yang ia banggakan hancur dalam sekejap mata, hilang begitu saja seperti debu yang tertiup angin.
Ia mengulurkan tangan, mencoba menyentuh lengan Ira dengan harapan sepupu perempuannya itu bisa sedikit memahami, tetapi Ira menepis tangannya dengan kasar. “Jangan sentuh aku!” katanya dengan nada jijik.
“Kau tidak pantas menjadi bagian dari keluarga ini. Kau hanya membawa aib! Ibu dan ayah seharusnya tidak pernah mengambilmu. Kau hanya beban. Memalukan.”
“Sudahlah,” lanjut Ira dengan nada penuh penghinaan.
“Kau pikir aku akan membiarkan ini begitu saja? Aku akan memberitahu ibu dan ayah. Mereka harus tahu bahwa kau hanya membawa malu pada keluarga ini. Kau pikir mereka akan membiarkanmu tinggal di sini setelah semua ini? Hah, jangan harap!”
Mendengar ancaman itu, Nadia tersentak dan matanya penuh ketakutan. Selama ini, meski dengan perlakuan yang kasar, ia masih memiliki tempat berlindung. Rumah ini, walaupun tidak sepenuhnya miliknya, adalah satu-satunya tempat yang bisa ia sebut sebagai ‘rumah’.
Jika ia harus pergi dari sini, ia benar-benar tidak punya tempat tujuan. Tidak ada siapa pun yang akan menampungnya, tidak ada keluarga, tidak ada teman yang cukup dekat. Ia benar-benar akan terbuang.
Ira menghela napas panjang sembari memegang ponselnya, jari-jarinya siap untuk menekan tombol panggilan ke orang tuanya yang sedang berada di desa sebelah. Sementara itu, Nadia berdiri di sampingnya, wajahnya penuh rasa cemas dan putus asa.
Nadia dengan suara pelan sekali lagi berkata. "Ira, kumohon... jangan bilang pada paman dan bibi."
Ira hanya meliriknya sekilas tanpa ekspresi, lalu menekan tombol panggilan. Nadia semakin panik. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan air matanya. Akhirnya, ia tak tahan lagi. Nadia langsung berlutut di depan Ira, memegang pergelangan tangan Ira dengan erat.
"Ira, aku mohon! Aku akan melakukan apapun yang kamu minta. Tolong... asal paman dan bibi tidak tahu."
Ira tertegun sejenak, lalu mendengar suara dari telepon yang sudah terhubung.
Suara seorang laki laki terdengar dari telepon "Halo? Ira? Ada apa nak?"
Ira terdiam sesaat, lalu menatap Nadia yang menunduk dengan putus asa di kakinya. Ia tersenyum kecil, seperti menemukan ide baru.
Ira menjawab ke ayahnya. "Oh, tidak ada apa-apa, ayah! Aku hanya ingin bertanya kabar saja. Semuanya baik baik saja di sini. Nanti aku hubungi lagi ya."
Ira mengakhiri panggilan, lalu menatap Nadia dengan tatapan penuh arti.
"Jadi, kau benar akan melakukan apapun yang kuminta?"
Nadia mengangguk cepat, wajahnya penuh ketakutan dan harapan.
"Iya... aku janji, Ira. Aku akan melakukan apapun, asal paman dan bibi tidak tahu." Ucap Nadia.
Ira menatap Nadia dengan ekspresi dingin, sementara senyum licik muncul di sudut bibirnya.
"Kalau begitu, putuskan Angga."
Angga adalah kekasih Nadia, seorang pemuda tampan dengan senyum ramah dan tatapan yang selalu teduh. Dia adalah putra kepala desa, sosok yang dihormati oleh warga karena wibawa dan sikap bijaksananya.
Seperti ayahnya, Angga tumbuh dengan sikap yang tenang dan bertanggung jawab, membuatnya disukai banyak orang di desa, terutama para gadis. Namun, hanya satu hati yang berhasil memikatnya, dan hati itu adalah milik Nadia.
Di sisi lain, Ira, sudah lama menyimpan rasa pada Angga. Ia sering berharap bisa dekat dengannya, namun takdir berkata lain saat Angga memilih Nadia sebagai kekasihnya
Nadia terbelalak, tidak percaya dengan permintaan Ira. Ia menatap Ira dengan wajah penuh keterkejutan.
"Apa...? Tidak, Ira, kumohon. Jangan itu..." Ucapnya.
Ira menyilangkan tangan di depan dada, tetap menatap Nadia tanpa belas kasihan "Kau sudah berjanji, Nadia. Kau akan melakukan apapun yang kuminta. Bukankah begitu?"
Di dalam hatinya, Nadia tahu ia tidak punya pilihan lain. Ira benar. Bagaimana mungkin ia, yang kini merasa ternoda dan tidak layak, bisa tetap bersanding dengan Angga, anak kepala desa yang begitu dihormati di wilayah itu? Rasa rendah diri telah menjalari hatinya, seolah semua harapan untuk memiliki masa depan bersama pria yang ia cintai kini telah hancur berkeping-keping.
"Baiklah, aku akan putus dengan Angga," kata Nadia dengan yakin tapi penuh kesedihan yang dalam.
Ira melemparkan ponselnya ke arah Nadia dengan senyum penuh kemenangan. "Ayo, telpon dia sekarang," ujar Ira dengan nada mendesak, matanya bersinar puas.
Dengan tangan gemetar, Nadia menekan nomor Angga. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tidak butuh waktu lama, suara Angga langsung terdengar di ujung sana, hangat dan penuh semangat.
“Halo, Nadia!” kata Angga, terdengar begitu antusias. “Kamu di mana? Aku khawatir karena kamu nggak ngabarin semalam. Apa kamu baik-baik saja?”
Nada hangatnya membuat hati Nadia bergetar. Suara Angga, penuh perhatian dan kasih sayang, membuatnya sejenak lupa pada segala penderitaan yang baru saja ia alami. Tapi kenyataan kembali menamparnya, mengingatkannya pada apa yang harus ia lakukan.
Nadia menggigit bibirnya, mencoba menguatkan diri. Ia tahu, satu kalimat ini akan menghancurkan bukan hanya hati Angga, tapi juga hatinya sendiri. Dengan suara parau, ia berkata, “Kita putus, Angga.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!