Hari ini menjadi hari baru bagi seorang Raka di salah satu kampus swasta terkenal di Jakarta. Beberapa pasang mata menatap takjub padanya saat dia melenggang dengan bebas di halaman kampus dan mampu menarik perhatian para gadis yang ada di sekitarnya.
“Gila, tuh cowok cakep bangeettt…” seru salah satu gadis dengan mata membulat.
“Waaahhh opa baru nih di kampus kita.” Sahut gadis lainnya seraya menyelipkan rambut di sela telinganya, tangannya melambai ke arah Raka.
Terlihat tarikan tipis di sudut bibir Raka. Pandangan takjub dan tingkah para gadis tersebut sudah menjadi hal biasa baginya saat dimanapun ia berada. Wajah yang tampan dengan style modis dan outfit branded menjadi ciri khas dari laki-laki berhidung bangir ini.
“Bro!” seru salah seorang laki-laki yang berjalan ke arahnya.
Raka melepaskan kacamata yang melindungi kedua matanya dan tersenyum ramah pada laki-laki yang kini ada di hadapannya.
“Lo gak bilang masuk hari ini.” Lanjut Fery sambil merangkul sahabat karibnya. “Kalo gue bilang, emang lo mau nyiapin karpet merah buat gue?!” sahut Raka yang membalas rangkulan sahabatnya.
“Karpet merah, cewek cakep dan wiski, paket lengkap buat nyambut lo!” ujar Fery dengan diiringi tawa renyah. Raka hanya tersenyum simpul. “Wah hari pertama gini, siapa yang bikin muka cakep lo bonyok?” Fery baru tersadar dengan lebam di sudut bibir sahabatnya.
“Oh, ini..” Raka mengusap sudut bibirnya yang masih terasa nyeri. “Di colek kucing betina.” Lanjutnya dengan senyuman ketir.
“Hahahahha… Gila, kucing mana yang berani nyolek-nyolek muka lo sampe kayak gitu?”
“Nanti gue ceritain, sekarang kita cari dulu minuman seger.” Sahut Raka yang segera kembali memakai kacamatanya.
"Okey, let's go!" Fery menepuk bahu sahabatnya lalu berjalan beriringan menuju kantin, sesekali terdengar suara tawa keduanya. Dan lirikan genit para gadis menjadi pelengkap perjalanan mereka.
*****
“Lo udah fix nerusin kuliah lo di sini?” Fery memulai pembicaraan dengan penasaran.
“Ya, bokap nyuruh gue nerusin kuliah di sini sekalian belajar ngelola perusahaan.” Sahut Raka di selingi sesapan secangkir kopi hitam di hadapannya.
“Sayang banget ya, padahal rencananya libur semester sekarang gue mau nyusul lo ke LA, tapi lo malah balik.”
“Kayak bocah sekolah lo, nyusul gue mesti nunggu libur semester segala.” Sahut Raka dengan tawa renyah. Fery ikut terkekeh mendengar sahutan Raka.
Terlihat Raka menarik nafas dalam-dalam. Suasana yang berbeda ia rasakan. Suara celotehan dan tawa serta kebiasaan orang-orang yang beberapa tahun belakangan tidak pernah dilihatnya, kini ia bisa rasakan setiap hari.
“Kenapa, di sini gak semenarik di LA?” Suara Fery kembali menyadarkan Raka dari lamunannya.
“Gak lah, justru suasana seperti ini yang gue kangenin waktu di sana.” Raka kembali menyeruput kopinya dengan perlahan. Merasakan setiap rasa pahit yang berubah manis saat mengisi tenggorokannya. Dibalik kacamata hitamnya, matanya berkeliling melihat sekeliling kantin yang ramai dengan lalu lalang pengunjungnya.
“Waahh,, ada yang mesti lo tau juga nih dari kampus ini… " Fery mencondongkan tubuhnya pada Raka seraya memperlihatkan senyuman lebarnya. Raka mengernyitkan dahinya, tanda tidak mengerti pada maksud ucapan Fery. "Reva, f*ck girl kampus sini.” ujar Fery dengan mata membulat.
“Ah basi lo!!” Raka menaruh kopi di hadapannya, ia mengerti maksud sahabatnya, yang ia bahas tidak akan lepas dari masalah perempuan.
"Tuh liat!" Fery menunjuk dengan sudut matanya. Dengan malas Raka mengikuti arah pandang Fery.
Terlihat seorang gadis tengah berjalan dengan santai melewatinya. Di sampingnya ada seorang laki-laki yang berjalan sambil terus merapikan rambutnya dan terlihat sangat gugup.
Raka mengernyitkan dahinya. Ia merasa familiar dengan wajah yang dilihatnya.
Flash Back on
“Copeeetttt!!!!” Teriak seorang wanita setengah baya di antara kerumunan ramainya orang-oorang yang berada di pasar pagi itu.
Seorang laki-laki berlari dengan cepat membelah kerumunan, di tangannya ia memegangi dompet dan berlari ke arah Raka.
“Bruk!” laki-laki tersebut menabrak Raka dan membuat keduanya terjatuh.
Dengan wajah panik ia segera berdiri dan berlari meninggalkan hasil copetannya begitu saja. Raka segera bangkit namun tiba-tiba sebuah tangan menarik kerah jaketnya dengan kasar.
“Buk!”
Sebuah pukulan mendarat di wajah Raka dan membuat sudut bibirnya meneteskan lelehan darah. Raka masih belum bisa mencerna apa yang terjadi padanya. Kepalanya masih terasa begitu pening mendapatkan hantaman yang tiba-tiba dari tangan seorang gadis.
“Berani lo ya nyopet di sini?!” seru gadis tersebut dengan mata menyalak.
“Gue gak nyopet!” sahut Raka yang gelagapan menerima tuduhan yang tiba-tiba dari seorang gadis.
“Oh, masih gak ngaku juga? Terus ini apaan, hah?” Gadis itu memukulkan dompet wanita yang tadi dicopet ke pipi Raka.
“Astaga, itu bukan gue yang ngambil!” kilah Raka.
Raka melihat kesekelilingnya, beberapa pasang mata menatap sinis ke arahnya. Tak terkecuali sepasang mata bulat yang kini sedang berusaha menghakiminya.
"Gue gak nyopet! Lo salah paham, okey?" Raka berusaha menjelaskan. Tangannya memegang tangan gadis tersebut agar melepaskan cengkramannya tapi sepertinya gadis ini tidak peduli dan cengramannya malah semakin kuat.
Sebuah senyuman sarkas tergambar jelas di bibir gadis yang berdiri di hadapannya.
"Kalo copet kayak lo ngaku, penjara pasti penuh." Lagi-lagi Raka menerima pukulan di dada kirinya, meski tidak terlalu keras tapi tetap membuatnya terhuyung.
“Reva! Tunggu!” seru sebuah suara yang menghampiri mereka. “Bukan dia kayaknya copetnya.” Lanjut wanita tersebut yang terengah-engah karena nyaris kehabisan nafas.
Raka menatap gadis itu dengan senyum tipis dan belalakan mata puas.
“Maksud ibu?” Gadis bernama Reva tersebut masih tak habis pikir dengan ucapan wanita di sampingnya.
“Copetnya tadi pake jaket warna abu, dia jaket item. Kamu salah orang nak!” terang wanita tersebut.
Pandangan Reva beralih pada laki-laki yang ada di hadapannya. Sebuah topi, dengan jaket branded menyamarkan penampilan laki-laki tersebut. Mata keduanya saling bersitatap, sebuah tatapan penuh amarah terasa balik menyerang Reva.
Reva segera melepaskan genggamannya. Dengan penuh rasa bersalah ia tertunduk di hadapan Raka. Raka mengusap lelehan darah di sudut bibirnya. Lidahnya bisa merasakan asinnya darah yang kemudian ia usap. Ingin sekali rasanya ia membalas pukulan di wajahnya, namun tatapan sepasang mata bulat itu telah menghilangkan semua amarahnya. Malah berganti jatungnya yang berdebar kencang mendapat tatapan dari Reva.
“Sory…” Kata tersebut terdengar lirih dari mulut Reva. Ia memberanikan diri mengangkat wajahnya dan menatap Raka. Tangannya saling memilin satu sama lain, kemudian kembali tertunduk dengan penuh rasa bersalah.
Raka menghembuskan nafasnya dengan kasar. Bagaimana bisa gadis dihadapannya begitu,
“Hah!” hanya itu yang bisa mewakili perasaan Raka saat ini. Ia bahkan tidak bisa marah melihat ekspresi gadis ini.
“Mas nya, ibu minta maaf ya… Sepertinya putri ibu salah orang.” Ujar wanita tersebut seraya menyenggol Reva.
Raka berusaha tersenyum, namun pandangannya masih belum bisa beralih dari gadis yang tertunduk di hadapannya.
“Kamu obatin dulu luka mas-nya” lanjut wanita tersebut yang berusaha menyadarkan Reva. “Silakan..” Wanita tersebut memapah Raka ke sebuah bangku yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Kerumunan orang-orang pun berangsur memudar.
“Ibu ambilin obat merah dulu, kamu tunggu di sini sama mas-nya.”
Dengan segera wanita paruh baya tersebut pergi. Tinggallah Raka dan Reva yang masih terdiam satu sama lain. Raka menyentuh sudut bibirnya yang terasa berdenyut perih.
“Apa masih sakit?” Reva berusaha memecah keheningan yang terasa seperti menghakiminya.
“Menurut lo?!” sengit Raka tanpa menatap Reva sedikitpun.Ia memandangi sisa darah yang ada di jemarinya.
Reva benar-benar merasa bersalah. Dari penampilannya, ia yakin laki-laki yang ada dihadapannya bukan orang biasa.
Tak lama berselang, Ibu datang dengan sebuah kotak kecil berisi obat. Dengan segera ia membenamkan kotak tersebut di tangan Reva.
“Kamu obatin mas-nya. Ibu jaga warung dulu.” Tutur wanita tersebut yang kemudian mengangguk pamit pada Raka.
“Hem…” hanya itu jawaban Reva.
Dengan tangan gemetar, Reva mengambil obat merah dan meneteskannya di kapas, lalu perlahan mengoleskannya di sudut bibir Raka.
“Em..” Raka berusaha memalingkan wajahnya karena lukanya yang terasa perih saat di tekan dengan kapas.
“Sebentar..” Reva segera menahan dagu Raka dengan tangannya agar ia leluasa memberinya obat.
Raka bisa melihat dengan jelas wajah cantik polos yang bersemu kemerahan di kedua pipinya. Beberapa helai anak rambut tampak tergerai menutupi rahang tegas wajah sensual gadis tersebut. Titik-titik keringat di dahinya terlihat berkilauan terbiaskan cahaya matahari pagi.
Sejenak Raka tertegun, memandangi salah satu keindahan ciptaan Tuhan. Entah mengapa sudut hatinya tersenyum. Ada getaran yang merambat di aliran darahnya seirama kerlipan mata dan tiupan lembut dari bibir tipis di hadapannya.
“Udah…” Suara Reva mengakhiri lamunan Raka begitu saja. Raka menyentuh sudut bibirnya yang ternyata sudah tertutup plester kecil. Ia tidak lagi merasakan perih disana. Namun jika ia bisa meminta, ia bersedia untuk kembali terluka di sudut bibir agar bisa kembali Reva obati.
Flash back Off
“Nah kan!” Suara fery dan tepukan di bahu Raka, membuat jantung Raka hampir saja melorot.
“Apaan?!” Raka segera tersadar dari lamunannya.
“Apa gue bilang, itu tuh bidadarinya kampus kita. Reva Anasya. Lo juga terpesona kan?” bisik Fery dengan seringai puasnya.
“Di LA banyak yang begituan!” Raka kembali meneguk kopinya hingga tandas, seolah acuh pada keadaan di sekitarnya padahal di rongga dadanya, jantungnya masih berdetak tak beraturan.
“Yang cakep emang gue yakin banyak. Tapi yang spesial kayak dia, lo cari ke antartika juga gak bakal nemu.” sahut Fery dengan bangga. Matanya tak henti memandangi sosok sempurna yang tengah tersenyum di sela perbincangannya dengan beberapa laki-laki
“Iya , gue dapetnya pinguin!” cetus Raka yang segera beranjak meninggalkan sahabat reseknya.
“Hahahhha…” Tawa Fery mengudara dengan jelas.
*****
Siang itu, setelah selesai dengan urusan perkampusannya, Raka berencana kembali ke perusahaan ayahnya. Namun saat perjalanan menuju tempat parkir, ia kembali melihat Reva yang tengah berbicara dengan seorang laki-laki berpenampilan rapi. Dilihat dari gaya berpakaian dan mobil mewah yang di bawanya, ia yakin laki-laki itu dari kalangan jetset.
Raka memang tidak melihat jelas wajah laki-laki yang sedang berbicara dengan Reva tapi ia yakin itu adalah laki-laki yang berbeda dengan yang ia lihat di kantin. Keduanya terlihat begitu akrab bahkan Reva tersenyum dan tertawa.
Raka merasa penasaran dengan apa yang dilihatnya. Perlahan ia mendekat dan bersembunyi di balik salah satu mobil untuk mencuri dengar pembicaraan Reva dan partnernya.
“Acaranya besok. Gue bakal jemput lo jam tiga sore ya.” Ujar laki-laki tersebut seraya memberikan sebuah amplop coklat.
“Tema acaranya apa?”
“Kasual. Kalo bisa lo pake dres ya, jangan tomboy begini. Gue pengen bikin temen-temen gue iri liat gue bawa pacar secantik lo.” Terang laki-laki tersebut seraya mencolek dagu Reva.
“Hem…” Reva hanya tersenyum simpul.
“Okey, sampe ketemu besok reva sayang…” tutur laki-laki tersebut seraya melambaikan tangan. Reva membalasnya dengan senyuman.
Tak lama, laki-laki itupun segera berlalu. Raka masih memperhatikan Reva dari kejauhan. Reva memasukkan amplop coklat tersebut ke dalam tas tangannya lalu berjalan menuju pintu keluar parkir. Terlihat senyum manis di bibir tipisnya.
“Gila, tuh cewek transaksi apaan sih? Kelakuannya gak sepolos mukanya.” Batin Raka yang tak habis pikir.
Sejak bertemu dengan Reva, entah mengapa bayangan gadis tersebut terus menggelayuti alam pikirannya. Seperti saat ini, rencananya untuk kembali ke kantor ia urungkan dan malah sibuk mengikuti gadis yang kini membuatnya begitu penasaran.
****
Dengan sedan mewahnya, Raka mengikuti Reva yang tengah berjalan di trotoar. Tampak Reva menghentikan sebuah taksi lalu pergi entah kemana tujuannya. Di belakangnya, Raka mengikuti dengan jarak yang tidak terlalu jauh.
“Reva, reva… Lo mau kemana hah?” Gumam Raka seraya mengetuk-ngetuk jarinya di atas stir. Matanya fokus mengekori taksi yang membawa Reva.
Hingga taksi tersebut menepi di depan sebuah café dan terlihat Reva turun. Dengan segera Raka ikut menepikan mobilnya. Ia memperhatikan Reva yang berjalan menuju café dan memastikan Reva telah masuk.
Layaknya seorang penguntit, Raka segera turun dan mengikuti Reva. Ia memakai topi dan jaket yang membungkus tubuh atletisnya. Di tangannya ada sebuah koran yang dia gunakan untuk menutupi wajahnya. Ia berjalan mengendap-endap dan memilih tempat yang tidak terlalu jauh dari Reva.
“Reva, sayang…..” sapa seorang laki-laki yang begitu sumeringah melihat kedatangan Reva.
“Hay, sory nunggu lama ya?” sahut Reva dengan senyum menawannya.
“Gak pa-pa, Aku akan selalu bersedia nunggu kamu kok. O iya, kenalin, ini eko temen SMA aku. Eko, kenalin, ini reva cewek gue.” Tutur laki-laki tersebut dengan bangga.
Mata Raka terbelalak saat mendengar salah satu kata yang keluar dari mulut laki-laki tersebut.
“Gila, ini cewek pacarnya ada berapa sih?” Gumam Raka yang berusaha mengingat wajah-wajah laki-laki yang bersama Reva.
“Hay Reva… Gue Eko. Wah ternyata bener, seorang Reva emang cantik banget. Lebih cantik malah dari foto yang di tunjukin jeremy.” Tutur Eko seraya menjabat tangan Reva.
“Oh Jeremy nunjukin foto gue?” Reva melirik Jeremy yang salah tingkah di sampingnya.
“Iya, sombong banget nih cunguk. Pamerin foto lo mulu.” Sahut Eko dengan seringai jenakanya.
“Hehehehe… Emang aku gak boleh ngasih liat foto kamu ke temen-temen yang?” ujar Jeremy setengah merajuk.
Reva hanya tersenyum tipis mendengar ucapan Jeremy. “Oh iya, aku udah pesenin makanan favorit kamu. Yuk kita makan dulu.” Ajak Jeremy yang segera menarikkan kursi untuk kekasihnya.
“Thanks jer….” Reva berusaha se ramah mungkin pada laki-laki hitam manis yang ada di hadapannya.
“Dengan senang hati sayang….” Sahut Jeremy seraya mengacak gemas rambut tebal Reva.
Suasana makan pun terlihat begitu santai. Sesekali Jeremy mengusap sudut bibir Reva saat terlihat ada sisa sauce di sana, membuat Eko mengeram iri dalam hati karena bukan ia yang melakukan hal tersebut pada gadis cantik di hadapannya.
Di sudut lain, Raka masih memperhatikan Reva yang tengah menikmati makan sian romantisnya. Segelas minuman menjadi teman setia Raka siang itu. Entah mengapa ia merasa sangat risih melihat perlakuan Jeremy pada Reva.
“Ddrrtt… Ddrrttt…” sebuah panggilan masuk ke handphonenya. Dengan segera Raka menjawabnya.
“Ya pah…” jawabnya dengan malas. “Iya, aku udah di jalan, bentar lagi nyampe kantor papah.” Lanjutnya yang segera mengakhiri panggilan.
Raka beranjak dari tempat duduknya. Diliriknya Reva yang sesekali tertawa tanpa canggung. Sejujurnya ia tidak ingin melewatkan apapun yang dilakukan gadis itu dan entah kenapa ia sangat penasaran sampai harus melakukan hal ini.
“Gila, ngapain sih gue ada di sini? Urusan gue apa harus tau urusan dia?” Raka mengupati dirinya sendiri. Ia sendiri tidak habis pikir dengan yang dilakukannya.
*****
Raka memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi membelah keramaian ibu kota. Beberapa kali lampu merah di temuinya membuatnya mendengus kasar. Kemacetan, yang selalu menjadi hal yang paling di benci oleh Raka namun kali ini ia malah menikmatinya. Pikirannya tertaut pada senyum manis dan mata bulat yang terus mengisi ruang imajinya dan membuatnya ikut tersenyum.
“Cakep sih, tapi murahan.” Ujarnya dengan diiringi senyum simpul.
Tiga puluh menit berselang, Raka sampai di sebuah perusahaan besar milik keluarganya. Adiyaksa corp, salah satu perusahaan besar yang kelak akan menjadi tempatnya bekerja.
“Selamat siang Tuan muda…” sapa seorang laki-laki paruh baya yang ia kenal sebagai Rudy, sekretaris dari pimpinan perusahaan tempatnya berada sekarang.
“Siang Om.. Papah di ruangannya?”
“Iya tuan muda, silakan…”
Rudy menunjukan jalan untuk Raka. Selama menuju ruangan yang akan di tuju, mata Raka berkeliling melihat seisi kantor yang dilewatinya. Kondisinya masih sama seperti tujuh tahun lalu, saat sebelum ia memutuskan untuk kuliah di luar negri.
Melihat Raka yang melintasi koridor ruangan, tampak beberapa pasang mata gadis tertuju padanya. Terdengar decakan kagum melihat paras tampan yang berjalan di samping sekretaris utama Adiyaksa Corp. Raka semakin membenamkan topinya, berusaha menutupi wajahnya, ia merasa tidak nyaman terlalu banyak mata yang menatapnya.
“Ding!” pintu lift khsusus direktur terbuka lebar menyambut Raka dan Rudy. Lantai 11 adalah lantai yang mereka tuju.
“Gimana kondisi kesehatan papah sekarang om?” Raka memecah keheningan di antara keduanya.
“Tuan besar akan check up kesehatan kembali minggu depan Tuan. Hasilnya akan langsung disampaikan oleh
dokter pribadi tuan besar.” terang Rudy dengan gamblang.
“Ya ampun om, kalo lagi kayak gini gak usah formal juga kali. Toh gak ada yang liat dan denger juga.” Ujar Raka dengan santai. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding lift lalu perlahan matanya terpejam.
Rudy hanya membalasnya dengan senyuman tipis. Gesturnya yang kaku pun berubah sedikit santai.
“Papahmu, sudah tidak sesehat dan semuda dulu. Om sarankan, sebaiknya kamu mulai fokus sama perusahaan.” Tutur Rudy dengan tatapan seriusnya.
Terdengar tarikan nafas kasar dari mulut Raka. Selalu menjadi hal yang ia benci saat mendengar tugas meneruskan perusahaan.
“Apa mamah juga masih minta om cariin calon istri buat aku?”
Rudy kembali tersenyum melihat pantulan wajah Raka di hadapannya.
“Beliau hanya berpesan, kalau sampai kamu mulai bekerja dan belum punya pacar, om harus mengenalkan kamu dengan putri dari para kolega saat ulang tahun perusahaan.” Tandas Rudy dengan seringai gelinya.
“Aahh.. Mamah selalu gitu. Apa aku setua itu sampai harus dicarikan calon istri?” gerutu Raka yang sudah terbiasa mendengar kata dijodohkan.
“Sebaiknya, kamu segera kenalkan calon buat papah dan mamahmu, supaya mereka tidak terlalu banyak berfikir.” Tutup Rudy.
Raka tak menanggapinya. Ia kembali memejamkan matanya dan mengosongkan pikirannya yang kadang ia sendiri tak mengerti.
*****
Boleh dong bagi Like dan commentnya, supaya nulisnya tambah semangat, hehehe
BTW, ini baru pertama belajar nulis kayak gini, kalau ada saran boleh tulis di kolom komentar. Terima kasih... Happy Reading... :D
Malam ini, angin bertiup lumayan kencang. Meski matahari telah lengkap ditelan malam, Reva masih berada di café dengan sebuah laptop di hadapannya. Dan Jeremy, sedari tadi setia menemani Reva mengerjakan tugas-tugasnya.
“Re, lo belum mau pulang?” suara Jeremy membuyarkan pikiran Reva untuk kesekian kalinya.
“Lo pulang duluan aja. Gue masih ngerjain tugas terakhir.” Sahutnya tanpa mengalihkan pandangannya pada Jeremy.
“Emang harus selesai semuanya sekarang ya Re?”
Terdengar dengusan nafas kasar dari mulut Reva. Di tatapnya Jeremy yang tengah menatap Reva dengan mata lelahnya. Matanya sudah merah dan berair. Tangannya terlipat dan menopang dagunya yang sudah berada di atas meja.
“Hari ini, lo gak usah bayar jasa gue. Hari ini semuanya gratis. Cukup lo bayarin minuman gue doang.” Tutur Reva tiba-tiba.
“Loh emang kenapa? Gue gak masalah kok kalo pun lo masih ngerjain tugas. Kita bisa nonton yang jam 9 malem dan gue juga bakal nganterin lo sampe kost-an.” Terang Jeremy yang segera menegakkan tubuhnya menghadap Reva.
Terlihat senyum tipis di bibir Reva. “Jer, sory kali ini gue gak bakal terima bayaran Lo. Soalnya, gue gak bisa nemenin lo nonton. Tugas gue masih banyak banget. Dan lagi, ini terakhir kalinya gue nerima orderan dari lo. Mulai lusa, gue bakal ninggalin semuanya dan fokus sama tugas kuliah, magang dan tugas akhir. Jadi anggap aja ini perpisahan dari gue, hem?” terang Reva dengan penuh kesungguhan.
“Lo beneran gak akan ngelakuin semuanya lagi Re?” Ada rasa kecewa yang tidak bisa Jeremy jelaskan saat ini.
“Iyaa… kuliah gue bentar lagi selesai. Uang semesteran juga udah gue lunasin jadi, gag ada alesan lagi buat gue ngelakuin semuanya. Dan makasih, lo udah jadi pelanggan setia gue. Gue berani jamin, semua omongan lo, aman di tangan gue.” Tegas Reva seraya menepuk bahu Jeremy.
Sejenak Jeremy termenung. Ia menatap lekat sepasang mata bulat yang selalu membuatnya merasa damai. Ia ingin menatapnya sepuasnya, karena kelak ia pasti akan merindukannya.
Reva bisa merasakan perubahan sikap Jeremy yang tiba-tiba. Jeremy, pelanggan setia yang ia kenal sejak kuliah semester 2 mungkin perlahan akan menjauhinya karena urusannya benar-benar telah selesai. Namun tekadnya sudah bulat, semua harus berakhir. Ia ingin hidup yang lebih baik bukan di kenal sebagai f*ck girl lagi oleh teman sekampusnya.
“Anterin gue pulang ya…” Reva berusaha menghilangkan kecanggungan di antara keduanya.
Dikemasinya buku dan alat tulis yang sejak tadi terserak di atas meja. Jeremy hanya terangguk. Ia membantu Reva mengemasi barang-barangnya. Walau sulit, Jeremy berusaha tersenyum saat sorot mata keduanya saling bertemu.
*****
Jeremy mengantar Reva dengan mobil sportnya. Sepanjang perjalanan tidak ada pembicaraan di antara keduanya. Hanya suara Raditya Dika yang mengisi kehampaan diantara mereka.
Selama bersama-sama dengan Reva, Jeremy memiliki kebiasaan baru mendengarkan stand up komedi. Candaan-candaan ringan tersebut kerap membuat Reva dan Jeremy tertawa terpingkal-pingkal. Receh memang, tapi bisa menghilangkan rasa stress yang kerap melanda keduanya.
Gang kost-an Reva sudah terlihat di depan mata. Hanya satu injakan gas lagi mereka akan sampai di sana. Namun, Jeremy memilih untuk membanting stir menjauh dari sana. Ia masih belum siap kehilangan moment bersama Reva.
“Jer, kita mau kemana?” Reva celingukan kebingungan melihat arah laju mobil yang berubah.
“Ke taman bentar ya…” sahut Jeremy dengan dingin.
Reva tak lagi berkomentar. Jeremy menepikan mobilnya di sebuah taman yang cukup luas. Keduanya terdiam, tak ada yang beranjak. Jeremy mengecilkan volume music box lalu menyandarkan tubuhnya dengan santai.
Matanya terpejam dengan dada yang terlihat naik turun.
“Jer, lo baik-baik aja kan?” Reva memperhatikan dengan seksama raut manis khas ambon milik Jeremy.
Perlahan Jeremy membuka matanya dan menatap Reva dengan sendu.
“Ini pertama kalinya lo nanya perasaan gue re…” sahut Jeremy dengan senyum manis di bibirnya.
Reva segera memalingkan wajahnya, ia tak ingin terlibat lebih dalam dengan perasaan yang di rasakan Jeremy. Seperti prinsipnya, selama ia bersama laki-laki yang harus ia temani, "No Heart feeling" cukup duduk manis, dengarkan dan tersenyum. Itu saja yang selalu Reva ingat dalam pikirannya. Dan lagi tidak pernah ada satu tatapan atau interaksipun yang membekas diingatannya apalagi hatinya. Semua yang terjadi akan berlalu begitu saja tanpa perlu ia simpan.
“Re, selama 3 tahun lo menemin gue, 37 kali lo duduk di samping gue, dengerin gue curhat, liat gue nangis gara-gara putus cinta, liat gue mabok gara-gara masalah keluarga, nemenin gue jadi pacar bohongan, bantuin gue buat manas-manasin cewek yang udah nyakitin gue bahkan nemenin gue saat gue cuma butuh untuk di temenin tanpa bicara apapun dan gak pernah sekalipun lo pergi ninggalin gue. Semuanya udah bikin gue terlalu terbiasa ada lo di samping gue." Jeremy menjeda kalimatnya dengan sebuah hembusan nafas kasar. Seperti ada bongkahan besar yang mengganjal perasaannya.
Ia menatap Reva yang duduk di sampingnya, lalu tersenyum saat mata sayu itu berbalik menatapnya. "Selama lo sama gue, ada 2 hal yang gak pernah gue kasih tau sama lo." Tatapan Jeremy terlihat semakin lekat. "Pertama, gue adalah anak hasil selingkuhan dan yang kedua, gue jatuh cinta sama lo.” Begitu saja kata-kata itu keluar dari mulut Jeremy.
Sejenak, Reva terdiam mendengar pengakuan Jeremy. Menjadi pendengar, sepertinya sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan bagi Reva.
“Re, gue gak tau, berapa banyak cowok yang minta jasa lo buat lo temenin. Tapi gue tau, gue cowok yang bikin lo masuk ke lingkaran ini. Gue cowok yang bikin lo milih kerjaan yang gak beda jauh sebagai wanita penghibur dan gue juga yang buka jalan buat lo di cela sama temen-temen kampus. Maafin gue re…..”
Pada titik ini, raut wajah Jeremy berubah sendu. Matanya terlihat berkaca-kaca. Sudut hatinya di penuhi rasa sesal.
Berbeda dengan Reva, ingatannya tentang hari yang ia coba lupakan perlahan kembali terbuka. Sekuat tenaga ia mencoba menahannya agar tidak terbawa perasaan saat bersama Jeremy. Ia selalu punya alasan untuk hal itu seperti yang biasa ia lakukan saat bersama laki-laki lain pula. Karena secara sadar, ia telah membangun tebing yang tinggi untuk melindungi perasaanya tanpa bisa terrenyuh oleh perhatian semanis apapun.
“Jer, sejak dulu, hidup gue adalah pilihan. Terlepas lo menjadi orang yang membuka jalan buat gue atau bukan, sebenarnya pilihan tetap ada di tangan gue. Gue memilih untuk mengiyakan ajakan lo, karena gue ada alesan sendiri. Dan itu bukan gara-gara lo. Lagi pula, selama ini gue masih bisa menjaga diri gue dengan baik. Menjaga kesucian gue, walau gue gak tau orang-orang percaya atau nggak.” Terlihat senyum pedih di sudut bibir Reva. Matanya dengan tegas menatap Jeremy. “Lo gak pernah salah, karena ini pilihan gue. Dan tentang perasaan lo,
maaf gue gak bisa.” Tegas Reva dengan garis senyum tipis di bibir mungilnya.
Jeremy tersenyum kecut. Ia sudah bisa menebak hari ini memang akan tiba. Hari dimana ia mengungkapkan perasaannya dan Reva menolaknya.
“Kita masih bisa berteman kan re?” Suara Jeremy terdengar berat.
“Tentu! Kedepannya lo boleh cerita apapun, gue siap dengerin dan itu gratis.” Sahut Reva dengan diiringi senyuman cantiknya.
“Kalo gue minta peluk sekali aja, sebagai tanda berakhir kontrak, boleh?” rajuk Jeremy dengan seringai jenakanya.
“Gak! lo mau gue gibeng?!” Reva menyilangkan tangannya di depan dada
“Sebentaran doang re.”
“Gak!”
“Ayolah re, lo bilang kita temen. Peluk sekali gak bikin lo hamil juga kali!” Jeremy semakin mendekat
“Ngasal lo ya!”
Reva mendorong tubuh Jeremy, namun tiba-tiba saja, Jeremy menarik tangan Reva dan membuatnya masuk ke dalam pelukan Jeremy.
“Sekali ini aja, gue janji gak akan ngelakuin hal lebih dari ini.” Bisik Jeremy dengan lembut.
Reva hanya terdiam. Ia bisa merasakan hembusan nafas Jeremy yang menerpa lehernya. 3 tahun menemani Jeremy bukan lah waktu yang singkat. Banyak hal yang ia lewati, tertawa bersama, mendengarnya menangis, mendengarnya mengaduh dan mendengarnya mengupat serta melihatnya terjatuh kemudian kembali bangkit. Semuanya membekas di pikiran Reva, namun lagi, tidak pernah masuk ke hatinya.
Jeremy telah bertumbuh, Reva merasa ia pun harus kembali melangkah. Sekali ini saja, mungkin ia harus mengabulkan permintaan Jeremy. Karena selama ini pun, Jeremy memperlakukannya dengan baik.
****
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!