...“Tau nggak? terkadang memang ada hal yang tidak bisa di paksakan, meskipun kita udah berusaha mati-matian. Dan saat sesuatu berjalan tidak sesuai harapan, gapapa kalau lo yang harus ngalah lagi untuk kesekian kalinya." - Haikal Mahendra....
Flashback
Pragg...
Piyar...
Brak...
Suara bising pecahan serta lemparan barang-barang terdengar memenuhi ruang keluarga rumah itu. Teriakan serta makian yang terlontar satu sama lain menjadi pelengkap kegaduhan yang terjadi malam ini.
Sedangkan dibalik salah satu railing tangga terdapat seorang laki-laki 13 tahun yang berjongkok sambil memeluk kedua lututnya, menyaksikan pertengkaran dua orang dewasa itu yang terjadi setiap harinya.
“Jelas-jelas saya liat kamu lagi pelukan sama laki-laki lain, masih mau ngelak hah?” pria yang masih menggunakan setelan jasnya itu berteriak kencang tepat di depan wajah istrinya, jari telunjuk itu menunjuk-nunjuk wajah wanita yang terlihat menjijikan baginya.
Wanita yang masih lengkap dengan dress maroon nya itu terkekeh pelan, “bagus dong kalau kamu sudah tau, bukannya kamu juga sedang memiliki hubungan dengan jalang mu itu?”
Piyarr...
Lelaki itu melempar vas bunga dari kayu yang terletak di atas meja hingga mendarat tepat di depan istrinya. Teriakan serta makian satu sama lain kembali terdengar, sementara di atas anakan tangga lelaki 13 tahun itu menutup kedua telinganya erat, cairan bening itu lolos dari kedua sudut matanya tanpa dia minta.
Dia Haikal Mahendra, lelaki 13 tahun yang setiap hari melihat kedua orang tuanya bertengkar. Lelaki hebat yang hanya memiliki satu tujuan hidup, mendengar kata sayang dari orang tua kandungnya sendiri. Satu kata dengan ribuan perjuangan yang mana hingga 13 tahun lamanya dia menghembuskan nafas belum pernah satu kali pun mendengar kata itu keluar dari mulut kedua orang tuanya. Dia tahu, tahu betul bahwa pernikahan orang tuanya tidak di dasari rasa cinta, melainkan karena sebuah perjodohan.
Haikal juga tau bahwa mereka sebenarnya juga tidak menginginkan kehadirannya, namun selama ini sebisa mungkin Haikal berusaha untuk memperbaiki hubungan kedua orang tuanya. Haikal juga berusaha penurut dan bisa membanggakan mereka, semua itu Haikal lakukan agar Mama dan Papa nya mau menerima kehadirannya.
Satu hal yang Haikal takutkan selama ini, dia sangat takut bila kedua orang tuanya berpisah dan mereka akan meninggalkan Haikal begitu saja. Tidak, Haikal belum siap dengan itu semua, dan sepertinya dia tidak akan pernah siap. Dia masih membutuhkan sosok Mama dan Papa dalam hidupnya, bahkan Haikal saja belum mendengar kata sayang dari Mama Papanya itu.
“Sudahlah memang lebih baik kita itu pisah tau nggak?” Heni – Mama Haikal berucap malas sambil kembali mendudukkan dirinya di sofa menatap suaminya itu malas.
Andy – Papa Haikal menatap Heni tanpa minat, “baik, saya akan mengurus surat perceraian itu besok.” ujarnya sebelum melangkah meninggalkan ruang keluarga yang sudah berantakan sebab ulahnya.
Kaki jenjang itu melangkah menaiki tangga hingga di anakan tangga teratas dia melihat Haikal yang berdiri dengan kedua tangan yang sibuk menghapus jejak air matanya. Tidak ingin memperdulikan hal itu, Andy kembali melangkah menuju ruang kerjanya berada. Namun saat dia hendak melewati Haikal, lelaki itu meraih pergelangan tangannya.
“Pa, Haikal mohon, Papa jangan pisah sama Mama ya... nanti Haikal gimana kalau kalian pisah? Haikal sayang sama Mama Papa, jangan pisah ya pa, Haikal mohon...” Haikal mendongak menatap pria itu penuh harap, kedua matanya bahkan terlihat memerah.
Andy menatap mata itu sekilas kemudian pria itu melepas paksa genggaman tangan Haikal dari pergelangan tangannya.
“Tidur Haikal, sudah malam.” Ucap Andy sebelum meninggal Haikal yang hanya bisa diam mematung menatap punggung tegap Papanya yang kian menjauh.
Haikal menghembuskan nafasnya gusar, kepalanya menggeleng keras dengan kedua mata yang terlihat sangat resah, “nggak, Mama sama Papa nggak boleh pisah, gue bolehkah egois sekarang?”
Kaki Haikal dengan cepat menuruni tangga menuju ruang keluarga berada. Dia akan memohon pada Mamanya agar tidak berpisah dengan Papanya, apapun akan Haikal lakukan untuk mempertahankan keutuhan keluarganya. Dari tempat Haikal berdiri saat ini dia dapat melihat Mamanya yang tengah duduk bersandar di sofa ruang itu dengan tatapan fokus pada benda pipih di tangannya, sesekali wanita itu juga akan terkekeh pelan, entah apa yang membuatnya sebahagia itu di situasi seperti ini.
“Mama,”
Panggilan Haikal sontak mengalihkan atensi Heni, wanita itu mendongak menatap anaknya yang berdiri di depannya. Satu alisnya terangkat mempertanyakan tujuan kehadiran anaknya disini.
Haikal menatap Mamanya lekat, kemudian berjongkok di hadapan wanita itu kedua tangannya meraih tangan Mamanya untuk dia genggam.
“Ma... Haikal mohon, Mama jangan pisah ya sama Papa. Nanti kalau Mama sama Papa pisah, Haikal gimana? jangan ya Ma, Haikal janji bakal jadi anak yang baik, Haikal bakal lakuin apa aja yang Mama Papa mau, Haikal bakal lakuin ma, apapun. Tapi Haikal mohon, jangan pisah sama Papa, ma...” cairan bening yang sedari tadi mati-matian dia tahan menetes dengan sendirinya.
Heni menatap Haikal sebentar sebelum melepas tangannya dari genggaman Haikal kemudian berdiri dari duduknya, “Mama capek mau istirahat! Kalau kamu belum mau tidur, kamu bisa beresin pecahan-pecahan ini Haikal.”
“Tapi ma - ”
Gagal, wanita itu melangkah menaiki tangga meninggalkan Haikal yang meneteskan air mata sambil menatap kosong kearah punggung Mamanya yang kian menjauh.
“Nek, Haikal harus gimana?” lirihan itu terdengar sangat menyakitkan bagi siapa pun yang mendengarnya, tapi sayangnya tidak ada satu orang pun yang mendengar lirihan menyakitkan itu. Hanya benda-benda mati serta pecahan barang-barang ulah kedua orang tuanya yang menjadi saksi betapa terpuruknya seorang anak yang akan kehilangan peran orang tua dalam hidupnya.
Perceraian, satu kata yang paling Haikal takuti seumur hidupnya. Saat perceraian itu terjadi dia pasti akan kehilangan sosok orang tua, kasih sayang orang tua yang bahkan belum pernah Haikal rasakan. Kata sayang dari Mama Papa-Nya yang tidak pernah Haikal dengar. Lantas, jika kedua orang tuanya berpisah, apakah masih ada kesempatan untuk Haikal mendengar kata sayang itu dari Mama Papa-Nya?
...᭝ ᨳ☀ଓ ՟...
“Saya sudah urus surat perceraian kita, dan Haikal nanti bakal ikut sama kamu.” Andy menyodorkan amplop berwarna coklat itu di hadapan Heni.
Heni berdiri dari duduknya, mengambil amplop itu kemudian membukanya, tanpa pikir panjang dia langsung menandatangani surat perceraian yang selama ini dia harapkan kedatangannya.
“Nggak bisa, Haikal bakal tetep ikut sama kamu!” bantah Heni dengan tangan yang masih sibuk menyematkan tanda tangan di atas materai surat itu.
“Kamu gila? Kamu ibunya, sudah seharusnya Haikal ikut sama kamu! Saya akan tetap tanggung jawab, saya akan transfer uang setiap bulannya untuk Haikal.”
Heni berdiri dari duduknya menatap mantan suaminya itu tajam, “nggak bisa, calon suami saya nggak mau saya bawa Haikal. Jadi, Haikal bakal tetep ikut sama kamu!”
“Terus kamu pikir calon istri saya bakal mau kalau saya bawa Haikal, bahkan dia nggak tau kalo saya sudah menikah dan punya anak!” Andy menatap Heni murka.
Dia tidak habis pikir dengan wanita di depannya ini, bagaimana bisa seorang ibu tidak mau membawa anaknya tinggal bersamanya. Dimana-mana ibu akan berjuang untuk selalu melindungi anaknya bagaimana pun keadaanya, tapi Heni justru ingin lepas tanggung jawab begitu saja.
Tanpa dia sadari, dirinya pun sama dengan Heni yang ingin melepas tanggung jawab begitu saja, berlindung pada alasan klasik yang mereka buat sendiri. Orang tua macam apa mereka ini, hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa tanpa mau memikirkan bagaimana perasaan seorang anak 13 tahun yang tengah mendengar itu semua dari balik dinding pembatas antara dapur dan ruang keluarga.
Tetesan cairan bening kembali menetes seperti malam itu, Haikal tidak menyangka semua ini akan terjadi. Hal yang paling Haikal takutkan dalam perceraian, dimana saat kedua orang tuanya sama-sama tidak mau menerima kehadirannya seperti sekarang.
Apa salahnya Tuhan?
Mengapa kedua orang yang selama ini Haikal sayang, bahkan rasa sayang itu melebihi rasa sayang pada dirinya sendiri malah membenci dirinya?
Apa sekarang tetap Haikal lagi yang harus mengalah?
Sampai kapan, sampai kapan Tuhan?
Sampai kapan harus selalu Haikal yang selalu mengalah dalam pertengkaran orang tuanya?
Karena sudah tidak tahan lagi mendengar pertengkaran itu, Haikal memutuskan untuk menghampiri orang tuanya. Tidak papa Haikal, kamu harus mengalah lagi hari ini. Semua demi kebahagiaan Mama dan Papa nya.
Sebelum benar-benar melangkah menuju pertengkaran itu terjadi, Haikal lebih dulu menghapus air matanya. Dia tidak mau orangtuanya melihat dirinya menangis, dia benci itu.
“Mama sama Papa nggak perlu berantem lagi, Haikal gapapa kok kalau harus tinggal sendiri di sini. Mama sama Papa pengen bahagia kan? Jemput kebahagiaan kalian ya, Haikal bakal selalu tunggu kalian disini.” Haikal tersenyum tipis menatap kedua orang tuanya bergantian.
Heni melangkah mendekat, satu tangannya terangkat untuk mengelus surai rambut hitam putranya. “Mama sudah menduga ini Haikal, Mama tau kamu pengen banget liat Mama sama Papa bahagia. Kami janji, bakal selalu luwangin waktu buat nemuin kamu Haikal.”
Andy mengangguk sambil berjalan mendekati Haikal yang hanya berdiri diam mematung, “iya, Papa juga akan selalu transfer uang buat biaya hidup kamu setiap bulannya.”
Haikal hanya mampu diam, memang apa yang harus dia lakukan. Hatinya hancur sekarang, kedua orangtuanya bahkan dengan mudah menelantarkan dirinya demi kebahagiaan mereka sendiri. Lantas Haikal harus mencari kebahagiaan dimana lagi sekarang?
“Nek, jemput Haikal ya nek, Haikal mau ikut Nenek.”
......- Rumah Tanpa Jendela.......
...“Terlalu rusak untuk di satukan, terlalu hancur untuk di perbaiki. Tapi aku harus mampu berdiri dengan kakiku sendiri, jika tidak diriku sendiri siapa lagi yang akan membantuku untuk berdiri?” - Haikal Mahendra....
Selama perpisahan orang tuanya, Haikal tinggal di rumah yang lumayan luas itu seorang diri. Dia selalu menunggu kedatangan Mama atau Papa-nya untuk menjenguknya. Bahkan sudah selama dua bulan ini Haikal hanya memakan makanan yang tersisa di rumahnya, seperti mie instan, telur, dan lainnya hingga makanan itu habis.
Haikal yang berusia 13 tahun itu selalu menunggu uang yang orangtuanya janjikan. Tapi mereka tidak pernah memberikan uang itu untuknya. Jangankan memberi uang, merema bahkan tidak pernah menemuinya untuk sekedar melihat seperti apa kondisi anaknya ini.
Hingga pada akhirnya Haikal memutuskan untuk mencari pekerjaan agar dia dapat memiliki uang untuk dirinya makan. Nyatanya itu tidak semudah yang Haikal kira, di usianya yang masih 13 tahun dan dia masih seorang pelajar SMP, itu sangat sulit untuknya mencari pekerjaan.
Semua tempat yang Haikal datangi selalu menolak lamaran pekerjaannya dengan alasan dia masih anak sekolah, mereka tidak mau pekerjaan Haikal tidak profesional nantinya. Karena dia harus membagi waktu antara bekerja dan sekolah.
Disini Haikal saat ini, di depan warung nasi padang yang habis dia datangi untuk melamar pekerjaan, tapi lagi dan lagi dia di tolak dengan alasan dia masih anak sekolah.
Haikal menghembuskan nafas beratnya.
“Ya Allah, Haikal harus cari kerja dimana lagi, mana laper banget.” tangan kanan Haikal mengelus perutnya yang keroncongan.
Seharian ini dia hanya memakan roti yang dia beli tadi pagi menggunakan uang tabungannya. Uang itu kini hanya tersisa 200.000, bagaimana dia bisa hidup dengan uang itu selama dia belum mendapat pekerjaan.
Kaki jenjangnya berjalan di pinggir trotoar guna kembali pulang. Jarak antara warung nasi padang itu dan rumahnya cukup jauh, tapi dia tetap memilih untuk berjalan kaki karena dia ingin menghemat uangnya yang sudah menipis. Kakinya melangkah secara perlahan menerobos dinginnya angin malam, melawan rasa kelah dan rasa laparnya.
“Huftt akhirnya sampai juga.” gumam Haikal, dia berjalan menuju kamar mandinya berada. Haikal akan membersihkan badannya dan segera tidur agar rasa laparnya hilang.
...᭝ ᨳ☀ଓ ՟
...
Kringgg
Kringgg
Kringg
Bel sekolah berbunyi, pertanda bahwa istirahat tiba. Kini seluruh siswa di SMP ini berbondong-bondong berjalan menuju kantin berada, begitupun dengan Haikal yang ingin membeli roti untuk mengganjal perutnya.
Dia berjalan seorang diri melewati lorong yang tampak sepi, di tengah perjalanannya dia melihat seorang siswa baru yang sepertinya untuk kelas setengahnya itu yang tengah di palak oleh kakak kelasnya di pojok lorong. Haikal berjalan menghampiri segerombolan kakak kelasnya itu dengan keberanian penuh.
“Lepasin temen gue, atau gue bakal aduin lo semua ke kepala sekolah.” ujarnya sok berani, tak lupa muka tengil yang menambah kesan songong nya.
Haikal adalah type lelaki yang tidak suka dengan tindakan bullying, itu sebabnya dia bertekad untuk menolong siswa baru yang tengah di bully itu. Sontak ucapan Haikal mengalihkan atensi ke empat kakak kelasnya yang tengah melakukan aksi bully.
“Siapa lo, nggak usah jadi sok pahlawan disini.” salah satu di antara mereka yang sepertinya ketua Geng itu pun melangkah mendekat menghampiri Haikal.
Haikal terkekeh singkat, “lo nggak perlu tau siapa gue, yang lo harus tau lepasin dia atau gue bakal laporin ini semua kepala sekolah. Nggak mungkin deh kalau sekolah sebesar ini nggak ada cctv-nya, kan?”
Lelaki berbadan tinggi gemuk yang menghampiri ikan itu langsung terdiam, wajah sombong dan anggurnya itu seketika berubah jadi pucat pasi.
Dia menoleh ke arah tinggal teman yang ada di belakang nya, “cabut!”
Haikal yang melihat itu terkekeh geli, hebat juga dia ternyata. Eh, entahlah dia yang hebat atau mereka yang bodoh yang jelas Haikal tau apa kelemahan mereka sekarang.
“Lo gapapa?” tangan Haikal terulur untuk membantu murid baru itu berdiri.
Dengan sedikit ragu lelaki itu menerima uluran tangan Haikal dan kembali berdiri dengan tegak, “thanks ya,”
Haikal mengangguk singkat, dia menatap murid baru di depannya lekat. Lelaki yang memiliki kulit seputih salju, hidung yang mancung, mata yang sangat sipit seperti bukan asli orang Indonesia.
“Lo orang mana?” karena rasa penasarannya yang besar, Haikal memutuskan untuk bertanya langsung pada murid baru itu.
Lelaki pemilik mata sipit itu mengulurkan tangannya untuk memperkenalkan diri, “gue Cakra pindahan dari Tiongkok.”
Cakrawala Diningrat, putra tunggal keluarga Diningrat. Ibunya seorang anak tunggal konglomerat China, sementara sang ayah adalah anak kedua dari salah satu keluarga yang sangat terpandang di Amerika Serikat. Hidup dengan bergelimang harta, mungkin bagi sebagian orang menjadi seorang Cakra adalah sebuah impian, tapi tidak dengan Cakra, kedua orang tuanya yang selalu sibuk bekerja membuatnya selalu merasa kesepian di mansion mewahnya.
Haikal mengangguk-anggukkan kepalanya berulang kali, dia menerima uluran tangan itu dengan itu dengan sangat baik. “gue Haikal.”
Cakra tersenyum dia melepas uluran tangannya, “thanks lo udah nolongin gue, sebagai tanda terima kasih gue traktir lo di kantin.”
Kedua mata Haikal melotot sempurna, rejeki anak Sholeh ini mah tau aja kalau kalau Haikal lagi lapar dan tidak memiliki uang. Emang dasarnya kalau rejeki mah nggak bakal kemana.
Hanya bermodal wajah songong dan sok beraninya dia sekarang bisa mendapat makan gratis, tapi niat Haikal sebenarnya bukan itu, dia ikhlas sangat ikhlas tapi kalau dapat rejeki kan tidak boleh di tolak.
“serius lo?”
Cakra mengangguk singkat, “iya, lo boleh pesen apa aja nanti sesuka lo.”
Kedua bola mata Haikal semakin melotot lebar, bahkan mulutnya ikut mengangga sangking kagetnya. Bagaimana bisa mereka baru berkenalan dan lelaki China itu dengan mudahnya ingin mentraktir dirinya begitu saja. Dari penampilan Cakra saat ini memang terlihat bahwa dia bukan orang sembarangan, jam tangannya saja rolex, Haikal cukup tau kalau benda itu sangat amat mahal.
“Udah ayo, gue laper.”
Cakra merangkul pundak Haikal seakan mereka sudah kenal lama. Cakra itu type lelaki yang mudah akrab hanya saja dia harus menyesuaikan diri terlebih dahulu.
Kedua lelaki tampan itu berjalan beriringan menuju kantin berada, di jam istirahat kantin memang selalu ramai. Sekolah ini termasuk sekolah favorit, biayanya begitu mahal hingga Haikal bingung harus mendapat uang dari mana untuk biaya sekolah kedepannya. Jangankan biaya sekolah, biaya untuk makan sehari-harinya saja dia kesulitan.
Haikal dan Cakra kini sudah memakan nasi goreng yang telah mereka pesan. Di tengah-tengah kegiatan makannya, mereka sesekali mengobrol untuk mengenal lebih dekat satu sama lain.
“Lo baru pindah, ya? Gue baru liat lo soalnya.” Tanya Haikal sebelum memasukkan sendokan terakhir kedalam mulutnya.
Cakra menyeruput es teh manisnya sebelum menjawab pertanyaan Haikal, “iya baru hari ini gue masuk.”
Lelaki blasteran China – Indonesia itu menatap piring Haikal yang sudah kosong, “lo laper banget?”
Haikal menyengir lebar, “hehehe, iya dari semalem gue belum makan.” Setelah mengatakan itu Haikal kembali menyeruput es teh manisnya hingga tandas,
“Alhamdulillah,” gumamnya pelan.
Cakra menyergit bingung, “kenapa lo nggak makan dari semalem?”
“Nggak punya duit.” Haikal berucap santai sambil mencomot kripik kaca milik Cakra tanpa rasa malu sedikitpun. Padahal mereka baru kenal, memang dasarnya Haikal itu nggak punya malu, malah sukanya malu-maluin.
Cakra yang semula mengunyah nasi gorengnya pun dengan cepat menelannya, menatap Haikal serius. “orang tua lo?”
Haikal menelan kripik kaca yang ada di dalam mulutnya, dia menatap Cakra yang juga tengah menatapnya. “gue anak broken home Mama sama Papa gue udah bahagia sama keluarga barunya.”
Entah bisikan dari mana, Haikal mengatakan kehidupan kelamnya pada orang yang bahkan baru dia kenal beberapa menit yang lalu. Apa ini tanda bahwa dia memang membutuhkan sosok teman yang siap mendengar keluh kesahnya, jujur saja dia memang sangat lelah memendam semua ini sendirian. Andai Nenek-nya masih ada, mungkin hidup Haikal tidak akan sesusah sekarang.
Cakra menatap Haikal iba, dia merasa kasihan dengan Haikal tapi sepertinya Haikal adalah type orang yang tidak suka di kasihani. Sepertinya Cakra akan membantu Haikal tanpa memperlihatkan bahwa dia iba padanya.
“Karena sekarang kita temenan dan lo udah nolongin gue, jadi lo boleh minta tolong sama gue apapun itu, gue bakal bantu lo sebisanya.” Cakra berucap tulus, Haikal baik jadi dia juga akan bersikap baik padanya.
Kebaikan pasti akan di balas dengan kebaikan, begitupun dengan kejahatan. Apapun yang kita perbuat di dunia ini pasti ada imbal-baliknya. Apa yang kita tanam itulah kita tuai, quote itu memang nyata adanya.
Haikal menatap Cakra lama, dia nampak berfikir keras ingin meminta bantuan apa. “oh iya, lo punya kenalan nggak yang lagi buka lowongan kerja, yang bisa buat anak SMP juga kayak gue.”
Cakra terdiam sejenak, dimana ada lowongan kerja untuk anak SMP seperti mereka. Namun, beberapa detik kemudian senyumnya kembali merekah saat dia mengingat bahwa dia memiliki cafe pemberian Daddy. “gimana kalo lo kerja di cafe gue?”
Mulut Haikal hampir menganga lebar, bagaimana bisa anak seumurannya memiliki cafe sendiri. “lo, punya cafe?”
Cakra mengangguk mantap, “iya, cafe pemberian Daddy gue pas gue ultah kemaren. Baru buka sih, tapi udah banyak pengunjung kok. Kalau lo mau lo bisa kerja di sana, bukannya juga waktu malem jadi nggak bakal ganggu waktu sekolah lo.”
Haikal mengangguk-anggukkan kepalanya pelan, meski sedikit tercengang dengan perkataan Cakra. Sebenarnya seberapa kaya teman barunya ini, tapi Haikal juga bersyukur akhirnya dia bisa mendapat pekerjaan juga setelah hampir putus asa rasanya.
“Iya gue mau cak, kapan gue bisa mulai kerja?” tanya Haikal antusias, lebih cepat dia bekerja lebih cepat juga dia mendapatkan uang dan kembali bisa makan dengan normal.
Cakra tersenyum, dia senang jika bisa membantu orang baik seperti Haikal. “nanti pulang sekolah lo ikut gue buat ketemu Daddy, karena gue belum siap buat ngelola cafe-nya jadi Daddy gue yang megang. Kayaknya nanti malem lo udah mulai kerja deh kal, kalau lo udah siap.”
Haikal mengangguk antusias, matanya terlihat begitu berbinar menandakan bahwa dia begitu bahagia sekarang. “gue siap cak, thanks ya padahal kita baru kenal tapi lo udah baik banget sama gue.”
Cakra mengangguk singkat sambil menyeruput es teh manisnya yang sisa setengah. “lo temen pertama gue kal, jadi udah seharusnya gue bantuin lo.”
“Bukan, bukan temen tapi sahabat. Lo mau kan jadi sahabat gue?”
Haikal menyengir lebar, ini kali pertama juga baginya memiliki teman dan Haikal ingin ini semua lebih dari sekedar teman biasa. Sahabat, Haikal ingin bersahabat dengan Cakra. Dia juga berjanji pada dirinya sendiri akan selalu ada untuk Cakra, apapun keadaannya. Sampai akhir hayatnya, Haikal akan menjadi sahabat Cakra selamanya.
Cakra tersenyum tipis dengan kepala yang mengangguk tanpa ragu. “iya gue mau.”
Hari pertamanya sekolah di Indonesia, dia sudah bisa memiliki sahabat orang Indonesia, apalagi orang itu sebaik Haikal. Cakra berjanji akan menganggap Haikal layaknya keluarga nya sendiri. Dia akan selalu membantu Haikal apapun itu, dia tidak akan membuat Haikal merasa sendiri di dunia yang sudah tidak adil padanya.
“Udahlah yuk kelas, lo sekelas sama gue kan 7C?” Haikal berucap sambil berdiri dari duduknya.
Cakra yang melihat Haikal berdiri pun lantas juga ikut berdiri dari duduknya tak lupa dia menarik 2 lembar uang berwarna merah di bawah gelas kosongnya. “iya gue di kelas 7C”
Hari ini, Senin 15 Mei 2017 Haikal Mahendra dan Cakrawala Diningrat resmi bersahabat. Susah maupun senang mereka akan melaluinya bersama selamanya, meskipun maut memisahkan persahabatan mereka tidak akan pernah putus sampai kapanpun. Haikal akan selalu menjadi sahabat Cakra, dan begitupun sebaliknya, Cakra akan menjadi sahabat Haikal.
..."Jangan membandingkan dirimu dengan orang lain, sebab semua sudah di atur oleh Tuhan dengan takarannya masing-masing.” - Haikal Mahendra.
...
Segerombolan siswa-siswi menengah pertama berbondong-bondong keluar kelas karena waktu pulang sekolah telah tiba. Suara riuh terdengar di seluruh penjuru gedung besar itu, akibat celotehan-celotehan semua murid yang bersorak senang juga derap langkah kaki yang menggema di setiap lorongnya.
Begitu juga dengan Haikal dan Cakra yang saat ini tengah berjalan beriringan keluar kelas mereka. Kedua lelaki yang baru bersahabat bahkan sudah terlihat sangat akrab layaknya saudara kembar yang baru di pertemukan setelah sekian lama terpisah. Selalu ada percakapan yang meramaikan perjalanan mereka, entah itu membicarakan tentang sekolah, cafe milik Cakra, hingga membicarakan beberapa banyak ikan cupang yang ada di belakang sekolah. Random memang, tapi kerandoman itu justru yang memberi warna dalam persahabatan baru mereka.
“Kal lo pulang bareng gue aja sekalian, kan mau ketemu Daddy masalah kerjaan lo.” Usul Cakra saat mereka sudah keluar gerbang besi yang menjulang tinggi itu. Lelaki keturunan Tiongkok itu sedang menunggu jemputan dari supir pribadi keluarganya.
Karena memang hari ini adalah hari pertamanya sekolah, jadi orang tua Cakra menugaskan supir pribadi keluarga untuk mengantar jemput putra tunggal mereka. Meskipun Cakra lahir di Indonesia, tapi tetap saja dia belum begitu hafal dengan jalan-jalan yang ada di kota ini, karena di umurnya yang ke 5 tahun dia harus ikut orang tuanya tinggal dan menetap di Tiongkok selama bertahun-tahun lamanya.
“Ngerepotin nggak nih?” tanya Haikal sambil membenarkan letak tas pada pundak kanannya.
Cakra berdecak pelan, “lo kan mau ke mansion gue, emang lo tau letak mansion gue?”
Cakra menatap Haikal sedikit kesal, lemot juga ternyata sahabat barunya ini, tapi ya sudahlah toh dia juga sama lemotnya dengan Haikal, sesama kaum lemot tidak boleh saling menghakimi, bukan?
Haikal menyengir lebar, “hehehee iya juga,” dia menggaruk tengkuknya yang tak gatal, kenapa dia bodoh sekali. Memalukan, bahkan dia terlihat bodoh di depan sahabat barunya itu.
“Yaudah ayo tunggu supir gue di halte itu.” Lelaki berbalut baju hitam itu menunjuk halte yang ada di depan sekolah mereka.
Haikal mengangguk mengiyakan.
Baru saja kaki keduanya hendak melangkah, suara klakson mobil dari belakangnya sontak berhasil memberhentikan gerakan kaki mereka.
Tin!
Tak lama pria berbaju serba hitam keluar dari mobil mewah itu dan berjalan menghampiri Haikal dan juga Cakra.
“Ck, lama.” Cakra berucap dengan menatap tajam sopir pribadinya itu.
Pria itu menurut takut, “maaf tuan muda.” badannya sedikit ya bungkukkan memberi hormat.
Cakra hanya berdehem singkat, sedangkan Haikal hanya melihat interaksi keduanya. Dia cukup tercengang saat melihat mobil yang digunakan untuk menjemput Cakra, sebenarnya kayak apa sahabat barunya ini.
Pria setengah baya berjas serba hitam itu membukakan pintu mobil untuk tuan muda dan juga temannya. Cakra yang melihat itu pun langsung masuk ke mobilnya dan duduk dengan nyaman diikuti Haikal yang duduk di sebelahnya. Mobil mewah itu melesat membelah jalanan menuju kediaman keluarga Diningrat.
Tak butuh waktu lama mobil mewah berwarna hitam itu memasuki area bangunan megah milik keluarga Cakra. Kedua lelaki berusia 13 tahun itu turun dari mobilnya, Cakra dengan santainya berjalan menuju pintu utama mansion. Berbeda dengan Haikal, lelaki itu menatap takjub bangunan besar yang ada di depannya, bangunan itu menjulang tinggi layaknya sebuah apartemen.
Cakra menoleh ke belakang melihat Haikal yang tengah menganga lebar, “kal, ayo masuk ngapain lo bengong di situ?”
Haikal mengerjakan matanya berulang kali, “hah? oh iya, sorry hehehee.” kakinya melangkah mendekat ke arah Cakra.
Di depan pintu utama sudah ada dua pria berbadan besar dengan kepala botaknya. Anda sedang apa kedua pria itu yang hai kalian mereka hanya berdiri hitam nggak di depan pintu bangunan tinggi milik Cakra. Saat dia dan juga Cakra hendak memasuki rumah megah itu, kedua pria berbadan besar itu membukukan membukakan pintu untuk mereka sambil membungkukkan setengah badannya.
“Selamat siang tuan muda.” Sapanya sangat ramah.
Haikal manggut-manggut, sekarang dia tahu apa tugas dua pria berbadan besar itu ternyata mereka bertugas untuk membukakan pintu. Aneh sekali, badannya sebesar raksasa tapi kenapa hanya bertugas membukakan pintu saja.
Ternyata bukan hanya di luar, saat masuk pun Haikal juga dibuat tercengang dengan kemewahan mansion milik sahabat barunya ini. Dia dibuat makin penasaran, sebenarnya sekaya apa Cakra, lalu keluarganya bekerja apa hingga dia dapat sekaya ini.
"Xiàwǔ qīn’ài de” teriakan melengking itu menggema di ruang tamu yang sangat luas.
*selamat siang sayang.
Haikal sedikit terlonjak kaget dengan teriakan tiba-tiba itu, beda halnya dengan Cakra yang terlihat biasa-biasa saja. Sepertinya Cakra sudah terbiasa dengan teriak-teriak akan melengking yang mendadak seperti ini.
Haikal menoleh ke arah sumber suara, di sana sudah ada seorang wanita yang sepertinya seumuran dengan mamanya itu tengah berjalan tergesa ke arah mereka. Apa itu Mama Cakra, begitulah kira-kira yang Haikal pikirkan.
Wanita setengah baya dengan pakaian feminimnya itu tersenyum ceria, “Yuánlái māmā de hái zǐ huíláile.” ujarnya antusias sambil menatap putranya dengan senyuman merekah, dahinya menyerngit saat melihat ada teman putranya juga disini. Belum sempat dia bertanya, Cakra sudah lebih dulu menyelanya.
*Ternyata putra Mama sudah kembali.
“Mommy jangan teriak-teriak.” peringat Cakra, pasalnya saat ini tengah ada teman barunya, dia kan malu kalau Mommy-nya teriak-teriak seperti itu.
Haikal sedari tadi hanya diam menatap interaksi ibu dan anak itu dengan mata mengerjap pelan, entah apa yang Mommy Cakra katakan Haikal tidak dapat mengerti sedikitpun.
Wanita yang dipanggil Mommy itu menyengir, “iya-iya sayang maafin Mommy, loh ini anak ganteng siapa?” tangannya mengusap rambut Haikal pelan.
Haikal tersenyum ramah, ada desiran hangat di hatinya saat Mommy Cakra mengelus rambutnya lembut. Dia merindukan peran ibu dalam hidupnya, entahlah rasanya sungguh sangat hangat bila diperlakukan seperti itu oleh Mommy Cakra.
“Haikal tante,” Haikal meraih tangan kanan wanita itu untuk ia kecup, kebiasaannya saat bertemu dengan orang yang lebih tua darinya.
Mommy Cakra tersenyum saat melihat betapa sopannya anak ini, zaman sekarang sangat jarang dapat menemui anak yang sopan ini.
“Sahabat baru Cakra, Mom.” ujar Cakra sambil berjalan menyerap Haikal untuk duduk di sofa ruang itu meninggalkan Mommy-nya yang masih berdiri sambil menatap Haikal lekat.
Mayleen, wanita setengah baya keturunan China - Tiongkok yang menjabat sebagai Mommy Cakra. Anak tunggal dari salah satu konglomerat China, istri dari seorang Ebenezer Diningrat. Lelaki setengah baya yang berasal dari Amerika Serikat, keturunan Indonesia – Amerika, Ebenezer Diningrat adalah Ceo perusahaan real estate terbesar di Amerika Serikat.
Sifat Mommy Leen dan Daddy Ebenezer sangat berbanding terbalik, dimana Mommy Leen yang begitu ramah, ceria, cerewet serta sangat mudah bergaul. Sementara Daddy Ebenezer adalah lelaki ambisius, irit bicara, dominan, tegas serta tidak suka berbasa-basi, hal itu mampu membuat para pekerja di mansion itu sangat takut dengannya.
Wajah wanita itu terlihat sangat amat bahagia, dia berjalan menghampiri kedua lelaki yang masih menggunakan seragam sekolahnya. “anak Mommy emang the best banget, baru masuk sekolah udah punya sahabat aja.”
Wanita itu mendudukkan dirinya di samping Haikal, “kamu sahabat baru Cakra, sayang?”
Haikal menatap Mommy Cakra itu sedikit canggung, kepalanya mengangguk pelan, “iya tante.”
Leen terkekeh, “jangan panggil tante, karena kamu sahabat pertama Cakra jadi panggil Mommy, dan satu lagi kamu nggak perlu sungkan-sungkan, anggap aja ini mansion kamu sendiri, yaa.”
Leen, wanita itu dapat melihat tatapan kerinduan yang begitu besar dari kedua mata Haikal, meskipun dia juga tidak begitu tau arti dari tatapan itu yang jelas Haikal terlihat jika dia anak baik, itu sudah cukup baginya.
Senyum di bibir Haikal mengembang sempurna, apa itu artinya selain punya sahabat baru hari ini dia juga punya keluarga baru? Kalau iya, sungguh Haikal merasa sangat amat bahagia sekarang.
“Haikal boleh peluk Mommy?” pinta Haikal dengan begitu polosnya, kedua matanya bahkan menyiratkan akan harapan yang begitu besar.
Mommy Leen tersenyum, “boleh dong sayang.” kedua tangannya dia rentangkan menyuruh Haikal agar masuk ke dalam dekapannya.
Senyuman Haikal mereka dia berhamburan ke dalam pelukan Mommy sahabat barunya itu. Hangat, nyaman dan menenangkan, perasaan yang sudah lama dia rindukan, pelukan seorang ibu untuk anaknya.
“Terimakasih Tuhan, terimakasih, meskipun pelukan ini bukan dari Mama tapi Haikal seneng banget.”
Cakra yang sedari diam menatap itu semua hanya mampu tersenyum haru, mengapa kedua orang tua Haikal begitu jahat. Mereka menelantarkan anaknya demi kepentingan mereka sendiri. Orang tua yang gila, Cakra berjanji mereka orang tua Haikal akan menyesali perbuatannya itu suatu saat nanti.
Haikal melepas pelukannya, dia tidak enak dengan Cakra jika memeluk Mommy-nya terlalu lama. Meskipun Cakra sendiri tidak mempermasalahkan hal itu, tapi tetap saja dia merasa tidak enak.
“Makasih Mommy.” Haikal berucap dengan senyuman bahagianya.
“Sama-sama sayang.” Lenn menepuk pucuk kepala Haikal pelan.
“Mom, Daddy mana?”
Wanita dengan dress hitam yang terlihat begitu elegan di kenakan nya itu menatap putra tunggalnya, “Daddy ya ada di kantor sayang, kan ini masih jam kerja.” Ujarnya bersamaan dengan datangnya dua maid yang menentang nampan berisikan minuman dan juga cemilan.
“Haikal ayo minum, itu juga cemilannya dimakan ya sambil nunggu waktu buat makan siang.”
“Iya Mom, terimakasih.”
Leen hanya menjawab ucapan Haikal dengan senyuman, dia beralih menatap dua perempuan yang tengah berdiri di depannya dengan menundukkan kepalanya. “mbak masak yang enak ya buat makan siang ini, emmm Haikal mau apa nak?” dia menoleh pada Haikal yang sontak menatapnya dengan mengerjap pelan.
Haikal tersenyum canggung, kenapa dia benar-benar di perlukan layaknya seorang anak oleh Mommy Cakra. “apa aja Mom, Haikal suka.”
Mommy Leen tersenyum, dia beralih menatap putranya yang sudah memangku piring berisikan latiao pedas kesukaannya. “kalau Cakra nggak perlu di tanya, dia suka nasi, sukanya kripik kaca sama latiao mulu.”
“yaudah pokoknya masak yang enak-enak ya mbak.” Leen terlihat begitu sopan meski berbicara dengan pelayan di mansion nya, tidak terlihat angkuh sedikitpun.
Kedua perempuan itu mengangguk patuh, “baik nyonya.” Setelahnya mereka pamit untuk kembali ke dapur.
Cakra menelan latiao yang ada di dalam mulutnya, dia menatap Mommy-nya yang juga tengah menatapnya. “Mom, telpon Daddy suruh pulang sekarang.”
Leen menatap Cakra garang, “heh, pulang-pulang. Ini itu masih siang, Daddy kamu masih banyak jadwal meeting hari ini sayang.”
Cakra mendengus, “udahlah Mom telpon aja Daddy suruh pulang, Cakra mau ngomong penting. Batalin aja itu meeting nya, lagian kalo hari ini Daddy nggak meeting perusahaan Daddy nggak bakalan bangkit.”
Leen hanya mampu berdecak pelan, yaa beginilah sifat putranya keras kepala sama seperti Daddy-nya. “oke, Mommy call Daddy, biar dia pulang sekarang.”
Wanita yang sudah berumur tapi masih terlihat begitu cantik itu mengambil Ip milik nya yang tergeletak di meja, sebelum menghubungi suaminya dia menatap kedua lelaki yang tengah menikmati cemilan yang ada di atas meja itu dengan nikmat. “Cakra kamu ajak Haikal ke kamar bersih-bersih dulu sana, kasih Haikal baju yang belum kamu pakek.”
Cakra mengangguk dan mengajak Haikal untuk ke kamarnya, tak lupa dia juga mencomot latiao terakhir miliknya.
Leen menatap dua punggung yang sudah mulai memasuki lift dengan perasaan bahagia. Baru kali ini dia dapat melihat putranya sebahagia itu memiliki sahabat baru.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!