“Aku tidak mau, Bu! Tolong jangan paksa aku untuk menikah dengan pria itu!” teriak Audrey saat Ibu tirinya, Brianna. Wanita paruh baya itu terus menyeret Audrey dengan kuat di bawah derasnya hujan yang turun.
Audrey Barnes Colvin 25 tahun adalah anak tertua dari Keluarga Colvin . Saat ibunya meninggal, ayahnya Dax Barnes mengambil alih semua harta ibunya dan menikah lagi dan lebih ironisnya, ayah Audrey sudah mempunyai anak dari hubungan gelap bersama Brianna, Ibu tirinya.
Kini, Audrey harus tinggal seperti di neraka bersama ayahnya, ibu tirinya dan adik tirinya yang bernama Callie Barnes.
“Kamu harus menggantikan Adikmu, kamu tahu kan, ini adalah kesempatan untukmu membalas semua kebaikan Barnes Colvin yang sudah merawatmu selama ini. Sebagai gantinya, kamu harus menikah dengan Asher dari keluarga Eadric, Audrey!” Brianna, terus menarik gadis yang meraung-raung itu.
Audrey menangis semakin keras, merasakan air mata yang bercampur dengan tetesan hujan yang tak henti-hentinya membasahi pipinya. Tubuhnya kedinginan, basah kuyup, tapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin melarikan diri dari situasi ini, dari perjodohan yang ia anggap sebagai mimpi buruk.
“Kenapa harus aku, Bu? Aku bukanlah boneka yang bisa Ibu mainkan seperti itu, aku tidak mau menikah dengan pria lumpuh yang kejam itu! Kenapa tidak anakmu saja yang menikah?” Audrey berteriak, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman kuat Brianna. Namun, ibu tirinya tersebut sama sekali tidak melunak.
Audrey menyadari jika Asher 30 Tahun itu adalah pria yang kejam. Banyak isu yang beredar di media yang mengatakan jika Asher adalah pria bengis. Bukan hanya kejam dan bengis, Asher juga merupakan anak haram dari keluarga Eadric. Pria itu dikabarkan menghilang setelah insiden kecelakaan mobil dan Asher diusir dari keluarga Eadric.
Satu minggu yang lalu, Asher mengutus utusannya untuk menyampaikan kabar jika perjodohan antara Audrey dan Asher akan dilangsungkan.
Mengingat ada perjanjian dengan orang tua Brianna dari Ibu tirinya. Namun, Ibu tiri Audrey yang mengetahui jika Asher adalah pria cacat, miskin dan tak berguna, Brianna meminta Audrey untuk menggantikan Callie.
“Hoho ... Kakak, lebih baik kau turuti saja sebelum ayah datang dan memberikan pecutan pada tubuhmu. Lagian, aku yang populer ini mana bisa menikah dengan pria cacat seperti Asher?” Callie datang dan mulai mencibir dengan sikapnya yang angkuh.
Audrey menatap Callie dengan geram, merasa marah dan kesal dengan sikap adik tirinya yang selalu memandang rendah pada orang lain.
“Kau... Memang Adik yang tidak punya rasa empati!” Audrey mengerang.
Audrey tidak bisa menahan diri lagi, ia melampiaskan kemarahannya dengan melemparkan tinjunya ke arah Callie. Namun, tindakan itu langsung dihentikan oleh Brianna yang menyabet tangan Audrey dengan keras.
“Jangan mencoba melawan saudara sendiri, Audrey! Kau harus memahami posisimu dan mematuhi keputusan ini. Pernikahanmu dengan Asher akan membawa kebaikan bagi keluarga ini dan Callie pun bisa menikmati hidup mewah yang layak,” sahut Brianna dengan dingin.
Audrey merasa semakin terjepit. Ia tahu ia tidak punya pilihan lain selain menyerahkan diri pada takdir yang sudah ditentukan oleh ibu tirinya. Ia merasa terasing, tak dihargai, dan dijadikan korban demi kepentingan orang lain.
Tetapi, Audrey juga merasa bertanggung jawab pada keluarganya, bahkan jika keluarga itu bukanlah keluarga kandungnya.
“Aku tidak mau!” tolak Audrey dengan tegas.
Plak!
Brianna yang geram dengan sikap Audrey pun melayangkan sebuah tamparan. “Kamu itu memang tidak tahu diri, Audrey! Seharusnya kamu bangga karena ada tuan muda yang ingin menikahimu,” pekik Brianna penuh amarah.
Disaat seperti itu, Dax ayah Audrey pun tiba di kediaman saat dirinya baru saja pulang dari perusahaan dan mendapati kejadian di jalan paving blok. Dax segera turun dari mobil, para bawahan segera memberikan payung dan Dax melangkah ke arah Audrey, Brianna dan juga Callie.
“Apa yang terjadi di sini? Mengapa kalian semua berada di luar?” tanya Dax kepada Brianna.
“Sayang, besok acara pernikahan Audrey dan Asher si cacat itu. Tapi, Audrey ingin melarikan diri. Bukankah kita sudah setuju jika Audrey yang menggantikan Callie?” Brianna mengadu dengan manja kepada suaminya itu.
Dax menatap geram kepada Audrey yang terduduk, dia segera melepaskan ikat pinggangnya. Melihat hal itu, Audrey merangkak memegangi kaki Ayah-nya dengan tersedu-sedu di bawah derasnya air hujan.
“Ayah, tolong jangan paksa aku menikah dengan pria yang tidak kukenal! Aku tidak mau menikah dengan Asher,” Audrey memohon dengan suara yang penuh ketakutan di bawah kaki ayahnya.
Dax menatap tajam ke arah putri pertamanya itu. Suara hujan yang deras dan gejolak emosi semakin meningkat. “Cetas!” sebuah pecutan ikat pinggang melayang ke punggung Audrey.
“Aaakkhh! Sakit, Ayah. Tolong hentikan!” Audrey menjerit ketika ikat pinggang ayahnya dengan membabi buta menghantam punggung Audrey.
“Anak tidak berguna. Katakan lagi jika kamu menolak untuk menggantikan Callie, maka akan ku patahkan kakimu agar tidak dapat berjalan,” cetus Dax dengan murka terus melayangkan ikat pinggangnya.
“Baik Ayah, aku akan menggantikan Callie,” jawab Audrey di sela tangisannya.
“Bagus. Sekarang, masuk ke dalam. Ingat Audrey, jangan coba-coba kabur. Karena besok kamu akan menikah!” bentak Dax.
Audrey berdiri dengan gemetar di balik pintu gerbang yang setelah itu ditutup oleh Brianna. Air mata terus mengalir di pipinya, tetapi dia tahu dia harus tetap berani menghadapi takdir yang telah ditetapkan untuknya.
Audrey masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai, masih merasakan kesakitan di punggungnya akibat pukulan ikat pinggang ayahnya.
“Tuhan, kuatkan aku,” gumam Audrey, Dia mengusap air mata dengan punggung tangannya.
Pagi hari, Audrey yang sudah mengenakan gaun pengantin menatap wajahnya yang muram di pantulan cermin. Walaupun beberapa pelayan mengatakan jika hari ini Audrey terlihat cantik, tidak berarti jika hati Audrey bahagia, itu semua jelas tergambar di wajah Audrey yang begitu sedih.
“Wow, kau terlihat sangat mengagumkan, Audrey,” ucap Callie dari ambang pintu.
Audrey menatap sendu ke arah Callie melalui pantulan cermin. Melihat wajah muram yang diperlihatkan kepadanya, Callie melangkah ke arah Audrey.
Callie, wanita itu mencengkram pipi Audrey dengan kuat, raut wajah wanita itu tampak berang dengan tatapannya menusuk ke dalam mata Audrey. “Kenapa wajahmu begitu sedih, hah? Ingat, Audrey, kau harus tersenyum karena hari ini adalah hari bahagiamu. Dan satu lagi, jangan sampai penyamaranmu diketahui oleh Asher. Jika kamu tidak ingin semua barang-barang ibumu akan ku bakar dan aku akan meminta ayah untuk menghentikan pengobatan nenekmu yang sudah mau mampus itu!” ancam Callie.
“Ba---baik, tapi kamu harus janji jika kamu akan menyimpan barang-barang peninggalan ibuku dan tolong, jangan sakiti Nenekku,” jawab Audrey terbata takut.
Callie tersenyum sinis. “Tentu. Tapi ... itu tergantung dirimu.”
“Hei, apakah kalian sudah siap? Kita harus siap-siap ke tempat pemberkatan pernikahan!” Brianna mengintip dari ambang pintu.
“Ya, aku sudah siap,” jawab Audrey lemas, dia segera berdiri. Berlalu dari ruangan make-up.
Setiba di tempat pemberkatan janji suci, suasana megah dan mewah terhampar di hadapan Audrey. Sementara musik pengiring pernikahan mulai memainkan melodi yang lembut, Audrey dipandu untuk berjalan perlahan menuju altar. Sesampainya di depan seorang tokoh agama, Audrey tidak menemukan mempelai pria di sana. Audrey berdiri dengan kebingungan mencari-cari sosok yang akan dia nikahi nanti.
“Apakah Asher si anak haram itu tidak datang?”
“Sepertinya demikian. Karena aku dengar, pria itu memiliki wajah yang hancur dan selamanya dia akan terus berada di atas kursi roda.”
“Sungguh mempelai wanita yang malang. Jika aku jadi wanita itu, aku lebih baik mati daripada menikah dengan pria cacat, anak haram yang diusir!”
Audrey menggigit bibir bawahnya gelisah ketika dia mendengar bisik-bisik para tamu undangan. Sementara Callie, Dax, dan Brianna tersenyum sinis menatap ke arah Audrey.
“Ibu, kurasa, orang cacat itu tidak akan hadir. Itu berarti, Asher melanggar perjanjian dan harus membayar denda,” bisik Callie kepada Brianna.
“Mana bisa orang cacat itu membayar denda? Dia kan, pria buangan yang cacat!” cibir Brianna.
“Hahaha... Kasihan sekali Audrey, sudah dipastikan hidupnya akan bertambah sengsara.” Callie terkekeh penuh cemoohan.
“Wah! Lihat, mempelai pria sudah tiba!” seru para undangan, mereka begitu heboh saat melihat kedatangan Asher.
Asher masuk ke dalam Gereja menggunakan kursi roda, wajahnya tampak tertutup topeng. Tapi, hanya bagian matanya saja. Kini semua sorot mata para tamu undangan, menatap pria yang duduk di atas kursi roda itu dengan pandangan sinis mencemooh.
“Ibu, lihat! Untung saja aku tidak menikah dengan laki-kaki cacat itu. Bagaimana bisa kaya? Kesehariannya saja hanya duduk di kursi roda,” bisik Callie kepada Ibunya.
“Hmm... Kau benar. Ibu rasa, Audrey memang pantas mendapatkan suami seperti Asher.”
Di atas altar, degup jantung Audrey seakan meloncat dari dalam dada ketika Asher pria cacat yang dikenal dingin dan kejam itu menghampirinya.
Entahlah, perasaan apa yang kini dirasakan oleh Audrey. Yang dia tahu, dia sedih dan kecewa. Karena selama ini, Dia tidak pernah melihat pria yang akan menjadi mempelainya, hal tersebutlah yang membuat Audrey semakin kecewa.
“Bagaimana? Apakah kalian berdua sudah siap untuk berjanji di depan Tuhan?” tanya seorang tokoh agama.
“Lakukan saja pernikahan ini dengan cepat,” jawab Asher dingin kepada tokoh agama yang berdiri di hadapannya.
Tokoh agama tersebut tersenyum kecil, menerima keinginan Asher. “Baiklah, kita akan memulai,” katanya.
Mereka berdiri di hadapan altar, dengan tatapan semua tamu kepada mereka. Audrey menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang masih berdebar dengan kencang.
“Pertama, Callie Barnes Colvin, apakah kamu bersedia menerima Asher Eadric sebagai suami, untuk saling mencintai dan menghormati, dalam suka maupun duka, hingga maut memisahkan kalian?” tanya tokoh agama tersebut kepada Audrey.
Audrey menelan ludah yang menggumpal di tenggorokannya, menatap Asher yang kini duduk di kursi roda di hadapannya dengan wajah tanpa ekspresi. “Ya, aku ... Aku bersedia,” jawab Audrey lirih. Dia tahu, jika dirinya kini sedang menggunakan nama adik tirinya yang sebenarnya, ini adalah pernikahan adiknya.
Tokoh agama kemudian mengalihkan pandangannya kepada Asher. “Asher Eadric, apakah kamu bersedia menerima Callie Barnes Colvin sebagai istri, untuk saling mencintai dan menghormati, dalam suka maupun duka, hingga maut memisahkan kalian?”
Asher menatap Audrey tanpa ekspresi. “Ya, aku bersedia,” jawab Asher dengan suara yang datar.
Setelah doa selesai dibacakan, Asher dan Audrey saling melepas janji di hadapan altar dan para tamu. Mereka berdua saling memasangkan cincin pernikahan di jari mereka sebagai tanda perjanjian yang baru saja mereka buat.
“Kini, dengan kuasa yang diberikan kepada saya oleh Tuhan, aku menyatakan kalian sebagai suami istri. Kalian berdua boleh melakukan ciuman pengantin,” ujar tokoh agama dengan senyuman.
Audrey yang melihat Asher yang sudah menjadi suami itu duduk di kursi roda memaksanya untuk membungkuk dan mendekatkan wajahnya yang hendak memberikan ciuman di bibir Asher.
Namun, “jangan menyentuhku, Callie. Menjauhlah! Aku menikahimu karena aku tidak ingin membayar denda,” pekik Asher, suaranya berbisik penuh penekanan.
Mendengar ucapan Asher seperti itu, langkah Audrey tiba-tiba mundur ke belakang. Tubuhnya menjadi tegang. Asher, segera memutar kursi roda otomatisnya kemudian berlalu begitu saja.
“Hei ... Tu---tunggu!” Audrey berteriak.
Audrey dengan cepat menyusul Asher. Dengan susah payah, Ia berlari sambil menyeret gaun pengantinnya.
“Ck, lihatlah pria lumpuh itu. Sepertinya, apa yang beredar memang benar adanya. Dia begitu tidak peduli dengan istrinya.”
“Benar, begitu angkuh dan sombong. Padahal hanya pria cacat!”
Para tamu di pernikahan tersebut mulai bergosip. Mereka tidak bisa menyembunyikan rasa tidak suka dan kekecewaan mereka terhadap Asher.
“Selamat, Tuan Asher dan Callie, semoga pernikahan kalian bahagia!” Brianna datang menghadang kursi roda yang tengah melaju ke arah pintu keluar.
Asher melirik sinis. “Tidak perlu berbasa-basi, Nyonya Brianna!” ucap Asher sinis, dia melirik ke arah Audrey. “Apa kamu hanya akan berdiri di situ?” tanya Asher.
Audrey yang gugup segera membungkuk. “ I---iya, aku akan ikut denganmu,” jawab Audrey.
Asher menekan tombol kursi rodanya dan berlalu. Audrey, kembali mengimbangi laju kursi roda suaminya.
“Cih, Ibu lihatlah pria itu. Begitu angkuh dan sangat sombong. Untung saja aku tidak jadi menikah dengan pria itu! Kenapa pria arogan seperti itu tidak mati saja? Haaa! Merepotkan orang saja!” pekik Callie.
Dax menepuk pundak Callie. “Sudahlah, sekarang kita biarkan Audrey hidup bersama suaminya itu. Setidaknya, kita sudah membuang satu beban dalam keluarga kita,” ucap Dax.
“lya, Sayang. Kamu harus bersyukur, jika si bodoh Audrey mau menggantikanmu,” timpal Brianna.
Callie tersenyum puas. “lya, Yah, Bu. Sekarang, hanya aku yang akan menjadi penerus dan anak kesayangan Ayah dan Ibu,” ucap Callie kepada orang tuanya.
Asher dan Audrey segara pergi meninggalkan gereja. Mereka pun menaiki mobil yang akan mengantarkan mereka pulang, suasana hening dan tegang kini memenuhi udara di dalam mobil yang tengah melaju.
“Asher, kita perlu bicara. Kenapa sikapmu seperti ini? Aku tahu kita menikah karena alasan tertentu, bukan karena cinta. Tapi, setidaknya, kita bisa mencoba menjalani. Tapi, setidaknya kita bisa mencoba menjalani kehidupan sebagai suami istri,” Audrey membuka obrolan dengan hati-hati, tidak ingin memancing amarah Asher lebih jauh.
Asher menoleh ke arah wanita yang duduk di sampingnya itu, sorot matanya menatap dengan tajam. “Apa yang ingin kau bicarakan, Callie? Aku tidak tertarik menjalani kehidupan dengan wanita yang bahkan tidak aku kenal, apalagi mencintainya. Aku hanya menikahimu demi menghindari denda dan mematuhi perjanjian mengenai perjodohan, bukan berarti aku akan mulai menjalani kehidupan seperti pasangan normal.”
Audrey menundukkan kepalanya, merasakan air mata mulai menggenang di matanya. Meskipun dia tahu pernikahan mereka hanya formalitas, namun Audrey tidak pernah menyangka jika sikap Asher akan sejauh ini. Dan kini mobil kembali hening.
Asher, melirik ke arah Audrey. “ Seharusnya kau tidak menikah denganku, Callie,” ujar Nathaniel tiba-tiba, menghancurkan keheningan. “Ini jebakan yang kamu ciptakan untuk dirimu sendiri. Aku tidak akan menjadi suami yang baik bagimu. Maka dari itu, jangan pernah berharap apa-apa dari pernikahan ini. Apa kau paham, Callie?”
Audrey mengangguk lemah, tetes air mata jatuh membasahi gaun pengantinnya. “ Aku mengerti, Asher,” ucap Audrey dengan suara tercekat. “Aku hanya berharap ... mungkin ... mungkin suatu hari nanti, kita bisa menemukan cara untuk saling mengenal dan saling memahami.” Meskipun sekarang air matanya telah habis, Audrey tetap mencoba untuk menyimpan tetes-tetes air mata berikutnya agar tidak jatuh.
Asher mengedarkan pandangannya ke luar jendela, seakan tidak ada kehidupan yang menarik di hadapannya. “Aku tidak ingin berpura-pura, Callie. Aku mengikuti peraturan dan kewajiban yang dipaksakan oleh perjanjian keluarga, bukan karena aku ingin memperbaiki hubungan kita.” Suara Asher terdengar dingin, dan Audrey merasakan getaran kesepian di balik setiap kata yang diucapkan suaminya.
“lya, aku tidak akan memaksa. Aku hanya akan menjadi Istri yang baik untukmu. Walaupun, kita sama-sama tidak menginginkan pernikahan ini,” ucap Audrey.
Kini perjalanan menuju rumah Asher terasa berat. Hening yang menyelimuti mereka menguatkan kekosongan dalam hati Audrey. Kekecewaan dan kesedihan yang terjalin dalam relung hatinya semakin dalam, tetapi ia mencoba untuk tidak menunjukkan ketidak bahagiaan tersebut.
“Kita sudah sampai!”
Dalam hening, Asher berucap. Audrey menatap ke luar jendela saat tiba di sebuah rumah kecil.
"Tidak ingin masuk? Atau, rumah ini terlalu jelek untukmu?"
Audrey tersentak ketika dia sedang berdiri di depan rumah kecil yang terbuat dari kayu tua berkualitas. Walaupun terbuat dari kayu, rumah itu masih menunjukkan ciri dari keindahan klasik di masa lalu. Dengan halaman rumah yang dipenuhi oleh beberapa tanaman hias yang terurus, rumah itu juga mencuri perhatian Audrey yang terpesona.
"Sungguh tidak," jawab Audrey sambil tersenyum kecil. "Aku hanya... terkejut. Aku tidak tahu jika rumah ini memiliki daya tarik yang luar biasa."
Asher, pria lumpuh yang baru beberapa jam menjadi suami Audrey tidak menjawab. Dia segera menekan tombol kursi rodanya, berlalu masuk ke dalam rumah.
Audrey mengikuti Asher ke dalam rumah, tercengang dengan keindahan interior yang tak kalah pesonanya. Dinding-dinding kayu yang mengelilingi ruang tamu dipoles dengan warna hangat, dan perabotan yang ditempatkan di dalamnya menunjukkan keindahan yang khas dari era sebelumnya.
Di atas mantel perapian, terdapat sebuah lukisan kuda yang begitu indah menghiasi dinding menambah keanggunan ruangan tersebut.
“Di dalam rumah ini hanya mempunyai satu kamar tidur. Jadi, kau tidak di izin masuk ke kamarku,” ucap Asher dengan suara tegas.
Audrey tercengang, matanya melotot. Namun, dia segera bersikap tenang. Jika tidak ada kamar lain di dalam rumah ini, dirinya harus tidur dimana? Pandangan Audrey melirik ke arah sofa. Oh, tidak mungkin aku yang seorang wanita tidur di sofa. Pikir Audrey.
“Di belakang ada gudang. Kau boleh tidur di sana!”
Kesekian kalinya Audrey terperanjat saat Asher berucap dengan tiba-tiba. “I-iya, tentu. Aku akan tidur di sana dan aku akan membersihkannya,” jawab Audrey dengan cepat.
“Kau tahu latar belakangku, kan? Aku ini hanya pria yang miskin dan cacat. Kau juga tahu, jika pernikahan ini hanya formalitas. Jadi jangan pernah bersikap lancang di rumah ini,” ucap Asher dengan nada dingin.
Audrey tersenyum tipis. “Aku tahu dan cukup sadar diri. Kau tidak perlu khawatir mengenai hal itu. Aku tidak akan menggangu privasimu atau macam-macam di rumah yang bukan rumahku.”
“Bagus kalau kamu paham dengan statusmu. Lalu? Untuk apa kau masih berdiri di sini? Pergilah dari hadapanku!”
Wanita itu menelan salivanya dengan susah payah. Pria di hadapannya mungkin tidak mempunyai hidup yang berwarna. Tentu pria di hadapan Audrry mempunyai hidup yang monoton. Lihat saja, sejak berada di dalam mobil, wajah pria tersebut begitu datar, kaku mirip seperti lantai beton.
“Pergi dari hadapanku!” sentak Asher.
Audrey terperanjat. “I-iya... Baik!” dengan cepat Ia melangkah sambil menyeret gaun pengantinnya. “Apakah aku akan terus memakai gaun ini sepanjang malam? Aku tidak punya baju. Haaa...! Seharusnya aku mempersiapkan baju sebelum ikut dengan pria aneh ini.” Gerutu Audrey sambil melangkah ke arah gudang yang di maksud.
Sesampainya di belakang rumah, ternyata gudang itu berbeda dengan bangunan rumah. Gudang tersebut terpisah. Dengan langkah cepat, Audrey berjalan ke arah gudang tersebut.
Krek!
Pintu gudang itu terbuka. “Uhuk-uhuk!” Audrey terbatuk sambil tangannya mengibas-ngibaskan debu yang menyambutnya.
“Ya ampun ... Lihatlah isi dalam gudang ini. Kurasa, sampai besok pun aku tidak akan dapat membersihkan gudang ini.”
Audrey melihat sekeliling gudang yang gelap dan terabaikan. Debu tebal menutupi lantai dan penuh dengan barang-barang tua yang terlupakan. Di sudut, ia melihat beberapa barang yang mungkin bisa ia gunakan untuk tidur. Audrey menghela nafas, merasa kesusahan yang tengah ia hadapi.
“Haaa...! Sudahlah, mengeluh tidak akan membuat gudang ini bersih. Ayo kerjakan!”
Dengan semangat baru, Audrey mulai membersihkan gudang tersebut. Dia mengambil sapu dan mengelap debu yang menumpuk di lantai dan barang-barang yang ada di dalam gudang.
Tak lama, dia menemukan sebuah tikar tua dan beberapa bantal yang bisa digunakan untuk tidur malam nanti. Meskipun terasa berat, Audrey tetap berusaha untuk bersikap positif dalam menghadapi situasi tersebut.
Di ambang pintu belakang, Asher memperhatikan Audrey dari kejauhan. “Wanita yang cukup gigih,” gumam Asher.
Setelah beberapa jam berlalu, gudang itu tampak lebih bersih dan rapi. Audrey menata tikar sebagai tempat tidurnya dan menyusun bantal-bantal yang ada. Terasa lelah dan letih, namun wanita itu cukup puas dengan hasil kerja kerasnya. “Akhirnya, aku bisa tidur di tempat yang cukup layak,” gumamnya seraya tersenyum sendiri.
Sambil menyeka keringat di keningnya, Audrey berucap. “Sepertinya aku harus mandi. Tubuhku terasa begitu lengket. Tapi, bagaimana dengan pakaian dan juga alat-alat mandiku? Apakah aku kembali ke rumah untuk mengambil perlengkapanku?" Audrey berpikir sejenak untuk kembali ke kediaman ayahnya. Namun hati kecilnya sungguh keberatan.
***
Sementara Asher yang berada di dalam kamarnya dikejutkan oleh suara ketukan jendela. Dengan cepat, Asher meraih kursi rodanya dan menuju ke arah jendela. "Krek!" jendela itu terbuka.
“Tuan, ini baju, selimut dan beberapa alat mandi yang Tuan minta.” Seorang pria misterius memberikan sebuah paper bag ukuran cukup besar kepada Asher.
“Terima kasih, Franklin. Kamu selalu bisa diandalkan,” ucap Asher, menerima barang-barang tersebut dari pria yang ternyata adalah Franklin.
“Sudah menjadi tugasku, Tuan. Apakah ada yang lain yang bisa aku bantu?” tanya Franklin.
Asher menggeleng. “Tidak, itu saja. Kau bisa pergi sekarang.”
“Baik, Tuan. Selamat malam,” sahut Franklin sebelum menghilang dalam kegelapan malam.
Sementara itu, Audrey masih berada di gudang yang kini telah bersih dan rapi. “ Bagaimana aku bisa mendapatkan perlengkapan mandi?” gumam Audrey, tidak tahu harus berbuat apa.
Di waktu yang sama, Asher keluar dari rumah menghampiri gudang dengan barang-barang tadi di tangannya.
Meskipun tegas dan dingin, Asher tetap merasa bersalah melihat Audrey dalam kesulitan seperti ini. Ia berhenti di depan pintu gudang, ragu-ragu sejenak sebelum Asher masuk ke gudang itu.
“Aduh...!” Audrey meringis saat Asher melempar paper bag di atas tubuh Audrey yang terbaring di atas lantai beralaskan tikar.
“Segera mandi, kamu bisa menggunakan kolam di samping gudang. Di sana ada kamar mandi. Setelah itu, temui aku.” Setelah berucap demikian, Asher memutar kursi rodanya berlalu.
Audrey segera bangun, dia belum sempat mengucapkan terima kasih namun pria itu sudah berlalu dari hadapannya. “kata orang, Asher memiliki wajah yang cacat dan menyeramkan. Tapi tadi...” Audrey berlari mengejar Asher, namun pria itu sudah lenyap dari pandangan matanya. Audrey menghela nafas sejenak, dan melihat paper bag yang berisi perlengkapan mandi, baju, dan selimut.
“Mungkin dia tidak seburuk yang orang-orang katakan,” gumam Audrey sambil membuka paper bag tersebut. Dia tersenyum melihat barang-barang yang telah disediakan oleh Asher. Tanpa ragu, Audrey segera berjalan ke kolam yang ada di samping gudang untuk mandi dan mengganti pakaiannya.
Setelah selesai mandi, Audrey mengenakan pakaian yang Asher berikan padanya. Dia merasa lebih segar dan nyaman setelah mengganti gaun pengantin berat yang telah dipakainya sejak pagi hari. Audrey melirik ke arah rumah, ada ragu di dalam hatinya.
“Aku harus mengucapkan terima kasih kepadanya’ pikir Audrey sambil mengambil langkah menuju rumah. Begitu memasuki rumah, dia melihat Asher duduk di ruang tamu, sibuk menekuni benda yang ada di tangannya.
“Asher, terima kasih atas baju dan perlengkapan mandinya,” ucap Audrey dengan suara lembut, berusaha menunjukkan rasa terima kasihnya.
Asher menoleh, menatap Audrey sejenak. “Hmm, kamu sudah di sini. Duduklah,” ucap Asher sambil kembali menekuni benda yang di pengangnya.
Audrey duduk di dekat Asher dan menunggu pria itu mengatakan sesuatu. Setelah beberapa menit dalam keheningan, Asher akhirnya berbicara.
“Kau... tidak seharusnya berbelas kasihan padaku,” ucap Ashet tiba-tiba. “Jangan berpikir bahwa aku lemah atau membutuhkan belas kasihan darimu karena aku cacat!”
Audrey menggeleng dengan cepat.” Ti-tidak, tidak demikian. Aku benar-benar tidak berpikir seperti itu-“
Ucapan Audrey terpotong saat Asher melempar sebuah kotak. Dengan refleks, Audrey menangkapnya. “Apa ini?” tanya Audrey.
“Buka dan kau akan tahu apa isinya,” ucap Asher dengan suara datar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!