Di pagi hari, saat begitu padatnya aktivitas orang-orang terlihatlah seorang gadis berlari tergopoh-gopoh menuju halte bus.
Dialah Bunga, dengan rambut dikuncir kuda, riasan seadanya hanya menggunakan bedak bayi dan lip glos. Bunga mempunyai tinggi badan yang cukup proporsional dengan kulit kuning langsat berwajah cantik oriental bermata agak sipit.
Sambil sesekali menggigit bibir, dia terus menerus melirik jam tangannya karena takut terlambat sampai di swalayan tempatnya bekerja.
"Kenapa sih busnya lama sekali? Haduh, bisa-bisa si bos ngomel-ngomel lagi,” gerutunya sendiri.
Di saat persaingan kerja yang begitu ketat, Bunga bersyukur masih bisa diterima bekerja walaupun hanya sebagai karyawan swalayan. Dia sangat membutuhkan pekerjaan ini untuk biaya kursusnya, juga untuk membantu keuangan keluarganya yang pas-pasan.
Padahal, Bunga merupakan salah satu anak yang berprestasi dengan nilai akademik yang sangat memuaskan, bahkan dia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Bunga melewatkan kesempatan itu dan lebih memilih untuk segera mencari pekerjaan saja, karena walaupun biaya kuliah mendapatkan beasiswa, tetapi untuk biaya sehari-hari tetap harus merogoh kocek sendiri.
la tidak bisa egois melanjutkan kuliah seperti teman-temannya karena adik-adiknya lebih membutuhkan biaya untuk bersekolah. Untuk itulah Bunga mengalah, lebih memilih bekerja agar bisa membantu keuangan kedua orang tuanya serta membantu membiayai sekolah adik-adiknya.
Tak lama berselang, terlihatlah bus yang ditunggu-tunggu dan Bunga akhirnya tersenyum lega. Dari halte menuju tempat kerjanya membutuhkan waktu sekitar dua puluh lima menit untuk sampai di tujuan. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh tiga puluh dan jadwal masuk karyawan adalah pukul delapan pagi, jadi saat sampai di swalayan Bunga masih mempunyai waktu untuk sekadar merapikan penampilannya yang acak-acakan akibat berlarian tadi.
Pukul delapan tepat, Bunga pun sampai di tempat kerjanya dan sudah ada temannya Deni yang lebih dulu tiba di sana. Deni melambai lalu menyapa.
"Hei, raflesia arnoldi. Tumben baru sampai, biasanya kamu selalu datang bahkan sebelum fajar mengintip," celetuknya sambil terkekeh.
Bunga memutar bola matanya malas sambil mencebikkan bibir. "Itu mulut diem aja deh, daripada ngomong yang nggak guna. Lagian namaku itu Bunga, bukan Raflesia Arnoldi, kau pikir aku bau bangkai apa!" balas Bunga dengan mimik muka sebal.
Deni hanya terbahak-bahak melihat Bunga yang sedang mengerutu dan bersungut-sungut sambil merapikan rambutnya. Saking asyiknya tertawa, Deni nyaris terjengkang ke belakang.
Di swalayan ini para pekerja harus datang lebih awal mengingat mereka bukan hanya menjual barang-barang kering dalam kemasan, tetapi juga sayur-mayur dan buah-buahan segar yang harus ditata dan disortir sebelum swalayan dibuka pada pukul sembilan tepat. Gajinya memang tidak besar, tetapi Bunga tetap bersyukur bisa mempunyai penghasilan sendiri, berharap bisa cukup untuk dibagi dengan kebutuhan orang tua juga untuk sekolah adik-adiknya.
Hidup memang tidak selalu mudah. Bagi sebagian orang mereka harus mampu menyambung hidup dengan uang yang pas-pasan. Dituntut pandai mengatur keuangannya sedemikian rupa dan berhemat sebisa mungkin. Seperti Bunga yang saat menerima gaji dia tidak bisa berfoya-foya walaupun hanya untuk sekedar nongkrong di kafe ataupun membeli sepotong pakaian baru. Dia harus benar-benar mempertimbangkan apa yang dibelinya adalah hal yang benar-benar dibutuhkan, bukan membeli karena keinginan.
Bersambung.
Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, menandakan sebentar lagi jam kerja akan usai. Bunga mulai merapikan pekerjaannya sebelum berganti shift dengan para karyawan part time.
Di Swalayan ini terdapat dua shift kerja. Untuk karyawan tetap bekerja dari pukul delapan sampai dengan pukul empat sore, sedangkan untuk karyawan part time jam kerja di mulai dari pukul empat sore hingga jam sembilan malam. Semua karyawan mendapatkan libur dua hari di akhir pekan setiap dua minggu sekali secara bergiliran. Merata dan adil untuk semua karyawan.
Dua orang teman kerja Bunga yakni Nana dan Deni menghampiri Bunga yang tampak sedang berbenah.
"Bunga yang cantik cetar membahana, hari ini kita gajian kan? Gimana kalau sepulang kerja kita nongkrong dulu?" ajak mereka pada Bunga.
"Kamu harus mencoba bergabung hang out sama kami, seru tahu. Aku lihat kamu enggak pernah pergi bermain sepulang kerja, ataupun berbelanja dan nongkrong bersama dengan karyawan yang lain. Hari ini kita dapet duit hasil jerih payah sebulan. Sesekali cobalah me time," cerocos Deni sembari mengunyah permen karet.
Bersama seulas senyum manis, Bunga menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Maaf ya, teman-teman. Aku nggak bisa ikut sama kalian. Biasa, harus segera pulang, takut Ibuku marah kalau aku keluyuran sepulang kerja. Maklum, anak gadis satu-satunya. Sekali lagi maaf ya, jangan ngambek," sahut Bunga dengan tampang memelas.
Teman-temannya sudah menerka pasti begitulah jawaban Bunga setiap kali diajak hang out, mereka hanya mengangguk tipis sebagai tanggapan.
"Ya sudah, kami maafkan, tapi lain kali harus ikut ya. Kamu itu masih muda, cobalah untuk menikmati masa mudamu dan memakai sebagian penghasilanmu untuk bersenang senang seperti kami. Jangan lupa beli juga baju baru, kamu itu cantik tapi sangat kurang memperhatikan penampilan." Nana ikut menimpali.
Sejurus kemudian Bunga nyengir mendengarkan khotbah dari teman-temannya. "Jadi, kalian baru sadar kalau aku ini cantik?" Bunga menukas sambil terkikik geli.
Deni langsung menyambar obrolan. "Yeeee, malah kege'eran. Mending kamu cepet pulang sana, nanti kemalaman ada yang nyulik lagi. Kamu kan masih balita, tiap bubar kerja langsung kabur nyari induknya."
Bunga melempar delik sebal pada Deni sambil tersenyum masam. "Oke deh teman teman, aku duluan ya, dan selamat bersenang-senang."
Bunga mencangklong tas miliknya dan beranjak pergi. Sambil menunggu bus datang, Bunga terduduk di halte sambil melamun dan bergumam dalam hati.
Sampai kapan aku harus begini Ya Tuhan, sebenarnya aku hanya mencari alasan yang tepat supaya bisa kabur dari ajakan teman temanku. Aku pun ingin seperti yang lain, di saat menerima gaji ingin rasanya bisa berbelanja sesuka hati. Seperti beli makeup, beli pakaian dengan fashion model terbaru, berwisata kuliner mencoba menu makanan baru, atau sekadar nongkrong di kafe sambil mengobrol pasti sangat menyenangkan.
Tapi aku harus sadar diri, dengan penghasilanku yang tidak banyak ini harus bisa dibagi dengan kebutuhan keluargaku. Cukuplah berpuas diri dengan hanya mendapatkan separuh dari penghasilanku untuk memenuhi kebutuhan pentingku selama sebulan penuh.
Aku hanya bisa mengubur semua keinginanku tadi. Menyimpannya dengan rapi sedalam dalamnya agar jangan sampai ada orang lain yang tahu karena aku enggak mau dipandang kasihan oleh orang-orang di sekitarku. Hanya tinggal harga diri yang kupunya, dan aku masih ingin mengangkat daguku saat bertemu dengan orang lain meski aku tak berpunya.
Bersambung.
Senja pergi, berganti dengan datangnya sang malam. Kegelapannya merentangkan sayapnya, memeluk jiwa-jiwa yang lelah untuk segera beristirahat ke peraduan.
Di dalam kamarnya, tampak Bunga sedang membenahi pakaiannya yang sudah bersih untuk di tata ke dalam lemari. Bu Marni ibunya Bunga masuk ke kamarnya dan duduk di tepi ranjang.
"Bunga, akhir pekan ini libur kerja tidak? Kalau kamu libur temani Ibu datang ke acara hajatan tantemu, Tante Ida sepupu Ibu."
"Aku libur kok Bu, nanti kutemani. Memangnya ada acara hajatan apa Tante Ida mengundang kita?" tanya Bunga sambil meneruskan aktivitasnya.
"Kamu ingat kan, Si Ina anaknya Tante Ida yang seumuran kamu itu mau nikah hari Sabtu ini. Bapakmu tidak bisa menemani karena akhir pekan di pasar lagi ramai-ramainya orang datang berbelanja, bosnya bapakmu tidak akan mengizinkan kalau meminta libur," jelas Bu Marni kepada anak sulungnya itu.
"Tapi Bu, seingatku Ina masih kuliah kan? kenapa terburu buru menikah padahal kuliahnya masih blm selesai?" Bunga kembali bertanya.
"Mungkin memang jodohnya datangnya sekarang. Buat apa di lama-lamain juga. Lagi pula walaupun sudah menikah masih tetap bisa melanjutkan kuliah kan? Apalagi ibu dengar calon suaminya itu orang kaya. Mereka bilang dia itu manager salah satu showroom mobil mewah terbesar di kota ini. Kapan lagi kan dapet laki-laki kayak gitu, hebat ya Ina padahal ga cantik-cantik amat tapi bisa dapet jodoh yang sudah mapan." Bu Marni kembali membahas sesuatu yang mulai menyindir wilayah pribadi Bunga. Memanas-manasi anak sendiri.
Bunga hanya menghela napasnya dalam-dalam. Kalau sudah ada pembicaraan begini pasti sebentar lagi ujung-ujungnya dia yang ditanyai kapan akan membawa calon menantu ke rumah.
"Bunga, Ibu heran deh sama kamu. Kok betah banget ngejomblo sih? Padahal kamu kan cantik, kapan kamu akan membawa calon suami? Ibu juga pengen kamu segera menikah," desaknya seperti biasa.
"Mungkin jodohku memang belum saatnya datang, Bu. Jadi masih belum dipertemukan," sahutnya malas, tetapi tetap menjaga adab terhadap orang tua.
"Kalau gitu kamu usaha yang lebih keras dong, supaya cepat dapat. Kalau tidak bisa cari sendiri, Ibu akan jodohkan kamu dengan duda kaya si Pak Dedi bos bapakmu itu. Dia sudah sering bertanya tentang kamu sama Ibu, katanya dia tertarik untuk menjadikan kamu istrinya."
"Aku tidak tertarik untuk menjadi istri Pak Dedi Bu. Lagi pula beliau itu seumuran dengan bapak. Ibu bersabarlah sebentar lagi, aku akan berupaya lebih giat supaya bisa segera membawa calon menantu ke hadapan ibu." Bunga menjawab dengan lesu dan tidak bersemangat.
"Pokoknya jangan cuma ngomong. Buktikan kalau kamu bisa mencari calon suami sendiri. Kalau dalam beberapa bukan ke depan hasilnya tetap sama, maka kamu tak punya pilihan selain patuh pada keputusan Ibu." Setelah selesai mengucapkan kalimatnya, Bu Marni meninggalkan Bunga dalam keheningan kamar sempitnya.
Setelah ibunya keluar dari kamar, Bunga merebahkan tubuhnya dan berusaha memejamkan matanya untuk segera beristirahat. Tubuh dan pikirannya luar biasa lelah. Ditambah tuntutan ibunya yang sama setiap harinya membuat rasa lelahnya berlipat ganda.
Seperti itulah, setiap kali ada sanak saudara yang akan menikah dia selalu jadi sasaran. Padahal jangankan ada waktu mencari pacar, Bunga harus membagi waktunya seefisien mungkin untuk bekerja serta menyelesaikan beberapa kursus. Berharap dengan tambahan keahlian, ia bisa mendapat pekerjaan dengan penghasilan yang lebih baik dari sekarang.
Otaknya mungkin memang pintar dalam hal belajar, sehingga bisa mencapai nilai akademik yang memuaskan. Namun, untuk urusan asmara dan lawan jenis dia benar-benar buta dan tidak paham. Baginya terasa lebih sulit dari rumus trigonometri, bahkan di usianya sekarang ia belum pernah merasakan apa yang disebut dengan pacaran.
Kepalanya terasa pusing tujuh keliling memikirkan cara agar tidak di jodohkan dengan pak Dedi. Pak Dedi adalah pemilik toko kelontong tempat bapaknya bekerja. Seorang duda berusia hampir setengah abad, berbody tambun dan berkumis. Bahkan Bunga langsung bergidik ngeri ketika membayangkan bagaimana rasanya di cium pak Dedi itu.
"Tidaaaak ...."
Bunga menendang-nendangkan kaki ke udara dan langsung menutup wajahnya dengan bantal.
"Haduh, jangan sampai aku jadi dijodohkan dengannya. Kumisnya yang mirip ikan lele itu lebih seram dari film horor," gerutunya.
Bunga mulai terhanyut dan terbuai masuk ke alam mimpi, setelah otaknya bergelut dan berkecamuk memikirkan bagaimana caranya supaya cepat mendapat calon suami dan terhindar dari perjodohan dengan si tua bangka itu.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!