Di dunia yang dipenuhi dengan sihir, setiap individu dilahirkan dengan kekuatan sihir yang terhubung dengan salah satu dari tujuh elemen: api, angin, air, tanah, petir, cahaya, dan kegelapan. Elemen-elemen ini membentuk dasar dari setiap kekuatan magis yang ada.
Namun, pada zaman dahulu, dunia ini pernah dikuasai oleh kegelapan. Raja iblis yang dikenal sebagai Dark, yang memiliki elemen sihir kegelapan, menguasai seluruh dunia. Pasukan iblis yang sangat banyak, yang dipimpin oleh Dark, menghancurkan dan menaklukkan segala yang ada. Dunia seakan berada di ambang kehancuran.
Namun, harapan muncul dari enam kesatria yang memiliki elemen-elemen sihir lainnya. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia, masing-masing mewakili elemen yang berbeda, dan bersatu untuk menentang Dark. Dipimpin oleh kesatria yang menguasai elemen cahaya, mereka bertarung mati-matian melawan Dark dan pasukan iblisnya. Pertempuran yang panjang dan penuh pengorbanan ini akhirnya berakhir dengan kemenangan. Mereka berhasil mengalahkan Dark, menghancurkan pasukan iblisnya, dan menyegel sihir kegelapan yang dimiliki Dark, membawa kedamaian bagi dunia.
Namun, dengan kehancuran kegelapan, satu hal yang lebih besar terjadi. Tidak ada lagi orang yang terlahir dengan elemen kegelapan. Dunia yang damai ini berkembang tanpa gangguan dari iblis, dan cerita tentang enam kesatria yang mengalahkan Dark menjadi sebuah legenda yang diceritakan dari generasi ke generasi.
Tiga Ribu Tahun Kemudian
Waktu berjalan, dan dunia perlahan melupakan ancaman dari masa lalu. Namun, takdir memiliki rencana yang berbeda. Seorang anak laki-laki berusia 12 tahun muncul tanpa diketahui asal-usulnya. Anak ini, yang dikenal oleh orang-orang hanya sebagai anak dengan sihir kegelapan, dilahirkan dengan elemen yang telah lama dianggap punah.
Meskipun anak ini adalah seorang yang baik hati, selalu siap menolong, rajin, dan ramah, ada sesuatu yang tak bisa disembunyikan: setiap kali ia menggunakan sihir untuk membantu, aura kegelapan yang sangat kuat terpancar dari tubuhnya. Keberadaan kekuatan kegelapan ini membuat semua orang ketakutan, menganggapnya sebagai ancaman yang harus dihancurkan.
Ketakutan itu perlahan berkembang menjadi kebencian, dan orang-orang mulai merencanakan untuk menangkapnya dan membakarnya hidup-hidup. Mengetahui bahaya yang mengancam hidupnya, anak ini melarikan diri, bersembunyi di hutan-hutan yang jauh. Di tengah pelariannya, ia secara tak sengaja menginjak sebuah gagang pedang yang tertancap di tanah. Penasaran, ia menggali dan menemukan sebuah pedang kuno yang tertanam di dalam bumi.
Meskipun mencoba sekuat tenaga untuk mencabut pedang tersebut, ia gagal. Rasa sakit akibat pengasingan dan perlakuan buruk yang diterimanya mulai menguasai dirinya. Setiap usaha untuk mencabut pedang itu dipenuhi dengan bayangan buruk dari masa lalu—orang-orang yang menghakiminya hanya karena elemen yang ia miliki. Rasa sakit hati itu membara menjadi dendam yang membakar jiwanya.
Akhirnya, dalam puncak kemarahan dan kebencian yang mendalam, ia berhasil mencabut pedang itu. Bersamaan dengan itu, aura kegelapan yang sangat kuat mengalir ke dalam tubuhnya, memunculkan kekuatan yang tak terkendali. Dengan suara yang penuh kebencian dan tekad, ia mengucapkan kalimat yang mengubah takdirnya:
"Jika semua orang benar-benar ingin menjadi musuhku, maka aku juga tidak akan segan-segan untuk menjadi musuh mereka. Mulai sekarang, namaku adalah Kuroten."
Dua Belas Tahun Kemudian
Kini, Kuroten telah berubah. Di usianya yang ke-24, ia berdiri tegak di atas sebuah batu besar, dikelilingi oleh hujan badai dan petir yang menyambar. Di sekelilingnya, pasukan iblis yang setia mengikuti setiap langkahnya. Colmillos Eternos, pasukan iblis yang dipimpin oleh Kuroten, telah terbentuk, dan ia siap untuk menuntut balas atas segala perlakuan yang ia terima. Dunia yang dulu damai kini dihadapkan pada ancaman baru—sebuah gelombang kegelapan yang siap menenggelamkan segalanya.
Kisah tentang Kuroten, sang pemimpin pasukan iblis, pun dimulai
Namaku Yusei Shimizu. Aku adalah keturunan terakhir dari Klan Shimizu, klan bangsawan yang terkenal akan kekuatan sihir airnya. Bagi kebanyakan orang, air dianggap elemen terlemah—tidak seperti tanah yang mampu menciptakan perisai keras atau api yang membakar dengan dahsyat. Angin yang tajam dan petir yang mampu menghancurkan adalah kekuatan yang diimpikan banyak orang. Sedangkan air? Air hanya bisa membasahi, dan kebanyakan pengguna elemen air hanya belajar sihir untuk penyembuhan.
Namun, klan kami berbeda. Kami memiliki kemampuan mengubah air menjadi senjata yang mematikan. Sejarah mencatat bahwa Klan Shimizu bisa menciptakan familiar dari elemen air, bukan sekadar sosok berbentuk air, melainkan makhluk yang nyata dan hidup. Ayah dan ibuku sering berbicara tentang kehebatan leluhur kami, para penyihir yang bisa memanggil naga air, monster laut, dan makhluk-makhluk lain yang memiliki kekuatan besar. Tetapi, semua kenangan indah itu kini hanyalah masa lalu yang terus menghantuiku.
Sepuluh tahun lalu, saat aku baru berusia enam tahun, kediaman Klan Shimizu diserang. Desa kami dihancurkan oleh seorang penyihir kegelapan bernama Kuroten, bersama pasukan iblisnya yang mengerikan. Mereka datang di malam yang kelam, seperti bayangan yang tak dapat dihentikan. Aku masih mengingat dengan jelas kengerian malam itu—teriakan orang-orang, benturan sihir, dan bau darah yang memenuhi udara. Seluruh keluarga dan orang-orang yang aku kenal tewas satu per satu, tanpa ada ampun.
Aku tak tahu mengapa aku dibiarkan hidup. Saat malam itu berakhir dan hanya aku yang tersisa, aku merasa hampa. Ketika melihat Kuroten, aku mencoba memberanikan diri dengan menodongkan pedang kecil ke arahnya. Tentu saja aku tak berarti apa-apa baginya. Tapi aku masih ingat tatapan dinginnya saat dia memandangku dan berkata, “Aku tidak merasakan kebusukan dari dirimu.” Lalu, ia menghilang ke dalam kegelapan, meninggalkan desa kami yang sudah menjadi puing-puing dan mayat-mayat yang bertebaran.
Setelah itu, aku dibesarkan di panti asuhan. Orang-orang di sana sangat baik dan berusaha mengobati luka batinku. Aku pun tumbuh bersama anak-anak lain yang senasib, yang ditinggalkan oleh dunia. Di sana, aku bertemu dengan Akira, seorang teman yang selalu penuh semangat. Akira, yang memiliki elemen cahaya, adalah kebalikanku. Sifatnya optimis, selalu membawa keceriaan di manapun ia berada. Bersamanya, aku merasa punya harapan untuk hidup lagi.
Meski aku berasal dari klan penyihir, anehnya aku tak begitu tertarik pada sihir. Di dunia ini, di mana sihir adalah segalanya, aku justru merasa lebih tertarik pada pedang. Di antara anak-anak yang mengejar kekuatan magis, aku memilih jalan yang dianggap ‘lemah.’ Orang-orang bilang bahwa senjata hanya digunakan oleh mereka yang tidak memiliki kekuatan sihir yang besar, tetapi aku percaya pedang punya kekuatan yang sama hebatnya. Dulu, saat Raja Iblis Dark dikalahkan, konon segel yang menahannya berasal dari sebuah pedang yang berlumuran sihir cahaya. Bagiku, ada sesuatu yang menenangkan saat aku menggenggam pedang, sesuatu yang seakan mengikatku pada tujuan hidupku.
Tahun demi tahun berlalu, dan pada akhirnya, aku dan Akira masuk ke Akademi Sihir Altais. Ini adalah akademi sihir terbaik yang melatih para ksatria sihir yang melindungi dunia dari kegelapan. Akira berbakat luar biasa, meski kepintarannya tak sebanding dengan bakat magisnya. Sebaliknya, aku lebih unggul dalam studi teori, meski kemampuanku dalam sihir jauh di belakang Akira. Namun, saat kami bertarung bersama—Akira dengan cahaya yang menyilaukan, dan aku dengan pedang di tangan—kami sering kali bisa mengimbangi satu sama lain. Kehadirannya di hidupku seperti api yang menjaga bara semangatku tetap menyala.
Tapi tak peduli seberapa banyak teman yang kudapat, bayangan malam itu selalu menghantuiku. Bukan kebencian yang kurasakan pada Kuroten, melainkan sesuatu yang lain—perasaan hampa dan penasaran. Sejak malam itu, aku menyimpan pertanyaan yang tak pernah terjawab. Mengapa ia menyerang Klan Shimizu? Mengapa aku dibiarkan hidup? Dan apa maksud dari perkataannya, tentang ‘kebusukan’ di dunia ini?
Entah kenapa, aku merasa yakin suatu hari nanti akan bertemu dengannya lagi. Aku sering kali merenungkan tujuanku: apakah aku ingin menjadi kuat untuk melindungi dunia? Atau untuk membalaskan dendam keluargaku? Nyatanya, kedua alasan itu bukanlah alasan utama. Yang mendorongku adalah sesuatu yang lebih pribadi—keinginan untuk mencari jawaban dari semua pertanyaan yang telah terpendam begitu lama.
Aku tahu, jalanku tidak akan mudah. Dunia ini penuh dengan mereka yang merasa takdir ada di tangan mereka, namun bagiku, takdir hanyalah jalur yang bisa kita tentukan sendiri. Itulah sebabnya aku masuk ke Akademi Altais—bukan untuk menjadi ksatria yang idealis seperti yang diimpikan Akira, tetapi untuk mencari jawaban dan kekuatan yang akan membantuku menghadapi sosok yang telah mengubah hidupku.
Dalam hatiku, aku tidak terlalu peduli pada dunia yang ingin dilindungi oleh para ksatria sihir. Kuroten pernah berkata bahwa ia ingin ‘menghancurkan dunia yang penuh kebusukan.’ Apa maksudnya? Mungkinkah dunia ini memang layak untuk dihancurkan? Semakin lama, aku semakin ragu akan kebenaran yang diajarkan di akademi. Mungkin, Kuroten memiliki alasan kuat yang tak pernah aku pahami.
Dengan waktu yang terus berjalan, hari-hari di Akademi Altais penuh dengan latihan yang keras dan persaingan sengit. Aku memusatkan diri untuk menjadi lebih kuat, tidak hanya dengan sihir, tapi juga dengan pedang. Semakin aku berlatih, semakin aku merasakan koneksi aneh antara pedang yang kugunakan dan tekadku. Pedang ini, yang terlihat biasa bagi banyak orang, menjadi simbol dari ambisiku—ambisi untuk mengatasi masa lalu yang menyakitkan, untuk mengalahkan rasa takut, dan untuk menghadapi sosok gelap yang mengacaukan hidupku.
Aku tidak tahu apakah suatu hari nanti, saat kami bertemu, aku akan memaafkan Kuroten atau harus menghentikannya. Tapi aku tahu satu hal: aku tidak akan berhenti sampai menemukan jawaban dari semua misteri ini. Dunia ini boleh saja memujanya sebagai ancaman atau membencinya sebagai iblis, tapi bagiku, Kuroten hanyalah teka-teki yang harus kupecahkan.
Jalan ini mungkin penuh dengan kegelapan, dan aku mungkin hanya seorang murid yang bukan siapa-siapa. Tapi suatu hari nanti, aku akan berdiri di hadapannya—dengan kekuatan yang kudapatkan dari ketekunan dan tekad. Entah bagaimanapun caranya, aku akan menghentikan sosok yang mengubah takdirku. Ini bukanlah cerita tentang balas dendam, bukan pula tentang idealisme. Ini adalah kisah tentang mencari jawaban dan mengatasi kegelapan dalam diri sendiri.
Dan perjalanan ini baru saja dimulai.
Pagi itu, seperti biasa, langit di atas Akademi Altais tampak cerah, menyambut para siswa yang baru saja memasuki kelas mereka. Suasana di koridor kampus yang megah ini cukup ramai, dengan berbagai kelompok murid yang berlalu-lalang. Yusei Shimizu berjalan dengan langkah tenang, matanya tajam mengamati sekeliling, meskipun ia lebih memilih untuk tidak terlalu mencolok. Di sebelahnya, Akira berjalan dengan senyum ramah, berbicara dengan beberapa murid lain yang lewat. Mereka berdua adalah murid yang dikenal cerdas dan berbakat dalam sihir, namun keduanya memiliki pendekatan yang sangat berbeda terhadap kehidupan kampus.
"Ayo, Yusei, kita menuju ke kelas sejarah," kata Akira sambil tersenyum.
Yusei hanya mengangguk pelan. "Aku tahu."
Sejak pagi, mereka berdua sudah saling berbicara sedikit tentang berbagai hal, namun Yusei tetap tampak terfokus pada sesuatu yang lebih dalam—pikirannya berkelana, mengenang masa lalu yang kelam. Meskipun dia adalah keturunan terakhir dari Klan Shimizu, klannya sudah lama hancur oleh Kuroten dan pasukan iblisnya. Namun, hari ini, ia bertekad untuk mengikuti pelajaran sejarah dengan baik, berharap bisa mempelajari sesuatu yang berguna untuk rencana masa depannya.
Sesampainya di kelas sejarah, Yusei duduk di tempat yang biasanya ia pilih, di dekat jendela, yang memberinya pemandangan luar kampus. Akira duduk di sampingnya, membuka buku catatannya. Mereka berdua hampir selalu duduk bersama, meskipun sering kali kelas sejarah menjadi tempat yang sedikit lebih menantang untuk Yusei.
Kojiro Takigawa, sang guru sejarah yang berusia 38 tahun, masuk ke kelas dengan langkah berat. Meskipun ia memiliki latar belakang yang mengesankan sebagai mantan kandidat Kesatria Suci, kenyataannya ia telah menjadi sosok yang pahit dan penuh kebencian. Kebencian yang ia rasakan terhadap Klan Shimizu—terutama terhadap Yusei—selalu terlihat jelas dalam sikapnya.
"Selamat pagi, murid-murid," sapa Kojiro dengan nada datar, hampir tidak menunjukkan semangat. "Hari ini kita akan membahas sejarah kerajaan yang terlupakan, dan tentunya, Klan Shimizu yang 'terkenal' itu."
Yusei merasakan tatapan tajam itu mengarah padanya. Kojiro memang selalu mengungkit nama Klan Shimizu saat mengajar, seolah ia sengaja ingin membuat Yusei merasa tidak nyaman. Namun, Yusei tidak peduli. Ia terlalu terbiasa dengan perlakuan semacam itu.
"Sebelum kita mulai, saya ingin bertanya, apakah ada yang tahu apa yang membuat Klan Shimizu terkenal?" tanya Kojiro sambil menatap kelas.
Sebuah senyum arogan muncul di wajah Kiria Akazuchi, yang duduk di barisan depan, sepertinya sudah menunggu kesempatan untuk melontarkan ejekan. Kiria adalah salah satu murid terbaik di akademi ini, dan karena keturunannya yang kuat dari Klan Akazuchi, ia selalu merasa lebih tinggi dari yang lain.
“Ah, saya tahu, Guru," jawab Kiria dengan suara nyaring, menarik perhatian semua murid di kelas. "Klan Shimizu terkenal karena... hanya karena mereka adalah pendekar pedang. Bahkan mereka tidak cukup cakap dalam hal sihir. Klan yang paling ‘miskin’ di antara para bangsawan sihir."
Kojiro tersenyum sinis, seolah mendukung komentar Kiria. "Benar sekali, Kiria. Klan Shimizu, yang terakhir hanya bisa mengandalkan pedang, tidak punya kekuatan sihir yang signifikan. Bahkan, mereka hanya mampu mengubah air menjadi senjata, bukan elemen yang menakutkan seperti petir atau api."
Murid-murid lain tertawa, dan Yusei merasakan tatapan sinis itu mengarah padanya. Akira, yang duduk di sampingnya, melirik dengan cemas. Namun, Yusei hanya menghela napas pelan, tidak terpengaruh. Ia tahu bahwa mereka hanya berusaha memancing emosinya, dan ia tidak akan memberi mereka kepuasan.
Namun, sebelum Yusei sempat membuka mulut, Akira yang biasanya pendiam, kali ini memutuskan untuk berbicara.
"Jangan terlalu bangga, Kiria," kata Akira dengan nada tenang, namun dengan tatapan tajam. "Ada banyak hal yang bisa dibuktikan oleh sebuah pedang, terutama jika itu digunakan oleh orang yang tepat."
Kiria tertawa terbahak-bahak, melihat bahwa Akira tidak tahu kapan harus berhenti. "Kamu benar-benar rakyat jelata, Akira. Tidak tahu bedanya antara sihir dan pedang." Dia menatap Yusei dengan penuh ejekan. "Dan klan Shimizu yang terakhir. Betapa memalukan, seorang pendekar pedang yang tidak tahu apa-apa soal sihir."
Yusei tidak merespons langsung. Ia tahu bahwa jika ia bertindak, Kiria akan semakin bersemangat. Sebaliknya, ia memilih untuk diam, menikmati kebisuan yang memberinya kekuatan lebih daripada kata-kata.
Kojiro melanjutkan pelajaran dengan nada acuh tak acuh, seolah tidak peduli dengan ketegangan yang baru saja terjadi. Akira tampaknya masih ingin berbicara lebih banyak, namun Yusei memberi isyarat dengan mata untuk tidak melanjutkan.
Setelah pelajaran berakhir, para murid mulai keluar kelas. Akira menatap Yusei, tampak sedikit khawatir. "Kamu tidak akan membiarkan apa yang dikatakan Kojiro dan Kiria begitu saja, kan?"
Yusei menatapnya dengan tenang. "Aku sudah terbiasa, Akira. Mereka hanya ingin memancingku."
Tapi, sebelum mereka bisa melanjutkan percakapan, tiba-tiba Yui Mizuki, teman seangkatan mereka, menghampiri. Yui tersenyum ceria, meski melihat sedikit ketegangan yang masih terasa di udara. Rambut birunya yang cerah melambai ringan di angin.
"Hey, kalian berdua! Kenapa suasananya begitu tegang?" tanya Yui, sambil memiringkan kepala dengan ekspresi polosnya.
"Seperti biasa, Yui," jawab Akira dengan senyum lebar. "Kiria lagi menghina Yusei."
Yui mengernyit. "Kiria itu memang selalu begitu. Tapi kamu, Yusei, jangan terlalu dipikirkan. Mereka hanya ingin cari perhatian."
Yusei hanya mengangguk. "Aku tahu, Yui. Tapi aku lebih memilih untuk tidak peduli."
Yui tersenyum lembut, meskipun ia tahu betul bahwa kata-kata Kiria dan Kojiro mungkin lebih menyakitkan daripada yang terlihat.
Saat Yusei berjalan ke luar kelas bersama Akira dan Yui, ia merasa ada yang tidak beres. Ia tahu bahwa meskipun ia tidak peduli dengan kata-kata orang lain, perasaan yang tersembunyi di balik kata-kata itu tetap ada. Perasaan bahwa dirinya memang hanya seorang pendekar pedang yang tak cukup berharga dibandingkan penyihir besar lainnya.
Ketika mereka melewati perpustakaan, Yusei melihat Airi sedang duduk di salah satu meja, membaca buku dengan penuh perhatian. Rambut panjang Airi yang berwarna kuning terlihat kontras dengan warna buku yang dibacanya. Tanpa banyak bicara, Yusei berjalan ke arah Airi.
"Airi, sedang membaca apa?" tanya Yusei, mencoba untuk mengalihkan pikirannya dari kejadian tadi.
Airi menoleh dengan sedikit terkejut. Namun, ekspresinya segera kembali tenang saat melihat Yusei. "Hanya mencari beberapa referensi tentang pedang," jawabnya pelan. "Kau?"
"Hal yang sama," jawab Yusei singkat, namun tanpa sadar matanya sedikit bersinar. Airi selalu menjadi orang yang bisa ia ajak berbicara tentang pedang dengan nyaman.
Akira dan Yui duduk di meja sebelah, saling berbicara dengan santai. Yui masih sesekali melirik Airi dan Yusei, seakan-akan ingin mengetahui lebih banyak tentang hubungan mereka yang terlihat begitu tenang.
Saat itu, Yusei menyadari bahwa meskipun Akademi Altais penuh dengan ketegangan dan konflik, ada sedikit kenyamanan yang ia temukan dalam kebersamaan dengan teman-temannya. Meskipun masa lalu yang gelap menghantuinya, Yusei tahu bahwa dia tidak sendirian. Dan dengan itu, ia merasa sedikit lebih kuat untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
Yusei Shimizu duduk di bawah pohon besar yang rindang di sisi kampus Akademi Altais, menikmati kesunyian yang terasa begitu menyegarkan setelah sesi pelajaran yang panjang. Di sana, jauh dari keramaian, ia bisa meresapi ketenangan dunia sekelilingnya. Tidak ada suara guru yang berteriak, tidak ada teman sekelas yang berbicara tentang ambisi atau masa depan mereka. Semua itu terasa sangat jauh dari Yusei yang hanya ingin hidup damai, mengabaikan sorotan dunia yang menuntutnya menjadi sesuatu yang lebih besar.
Namun, ketenangannya itu hanya berlangsung sebentar.
"Tapi kenapa kamu selalu memilih tempat sepi ini, Yusei? Aku sudah bilang, kan? Kita bisa lebih banyak bicara kalau kita duduk bersama!" suara ceria dan agak berisik itu sudah lebih dulu memenuhi telinganya. Akira, sahabat sekaligus rivalnya, muncul dengan senyum lebar dan tatapan penuh semangat. Rambut merahnya yang cerah bergoyang tertiup angin saat ia berjalan mendekat.
Yusei menoleh sekilas ke arah Akira yang kini duduk di sebelahnya, tanpa permisi. Ia hanya mendesah pelan, berusaha menahan rasa jengkel yang perlahan tumbuh. "Akira, aku hanya butuh sedikit waktu untuk sendiri. Kamu tahu itu."
"Tapi kan, kamu selalu sendirian! Ayo, kita harus lebih banyak berbicara. Aku punya banyak hal yang ingin diceritakan tentang rencanaku ke depan, tentang masa depan kita! Kamu nggak penasaran?" Akira mulai bercerita dengan antusias, tangannya bergerak-gerak, menunjukkan betapa besar semangat yang ada di dalam dirinya. "Aku akan jadi penyihir terhebat, mengalahkan semua lawan dan menjadi legenda! Itu sudah pasti!"
Yusei memejamkan mata sejenak, meresapi kata-kata Akira. Setiap kali mereka berbicara, Akira selalu berbicara tentang ambisinya dengan penuh gairah, sementara Yusei lebih suka menjaga ketenangan. Keduanya telah bersahabat sejak mereka dibesarkan di panti asuhan yang sama, tetapi sifat mereka begitu berbeda. Akira, yang berisik dan penuh semangat, dan Yusei yang lebih tenang dan penuh perenungan. Kadang-kadang, perbedaan ini membuat Yusei merasa sedikit terganggu, meskipun ia tahu bahwa Akira tidak bermaksud buruk.
"Tapi kamu tahu, Akira," kata Yusei, suaranya lebih tenang dari biasanya. "Kadang-kadang aku lebih suka menghabiskan waktu sendirian. Aku tidak suka kalau semuanya terlalu berisik."
Akira memiringkan kepala, tampak sedikit bingung, namun tidak kehilangan semangat. "Kenapa sih? Kamu harus terbiasa dengan keramaian, Yusei. Itu bagian dari hidup, kan? Kalau kamu terus-terusan terkungkung dalam kesendirian, bagaimana kamu bisa mencapai apa yang kamu inginkan?"
Yusei mengangkat bahu. "Mungkin aku lebih suka melakukannya dengan caraku sendiri. Tidak perlu terburu-buru."
Akira tertawa. "Ya, itu yang aku suka darimu! Selalu punya cara sendiri." Ia berbaring telentang di atas rumput, menatap langit biru yang cerah. "Tapi jangan terlalu sering menyendiri, nanti kamu jadi terlalu serius. Hidup itu harusnya lebih menyenangkan, kan?"
Yusei hanya mengangguk pelan, tapi pikirannya mulai melayang ke hal-hal lain. Ia tidak bisa melupakan kenyataan bahwa di dunia ini, tidak ada yang benar-benar bisa bebas dari sorotan dan tuntutan. Terutama karena ia adalah satu-satunya yang tersisa dari Klan Shimizu, klan yang kini hanya dikenal sebagai kenangan kelam di dunia penyihir.
Akira terus berbicara, menyebutkan berbagai pencapaiannya yang ia rencanakan untuk masa depan. Setiap kata yang keluar dari mulut Akira seakan penuh dengan ambisi yang tak terbendung, yang mungkin membuat Yusei merasa semakin tertekan dengan harapan dunia yang ada di pundaknya.
Namun, meskipun sikap Akira seringkali membuat Yusei jengkel, ia tidak bisa membantah bahwa sahabatnya itu memberikan warna dalam hidupnya yang sunyi. Tanpa Akira, hidup Yusei mungkin akan semakin membosankan. Meskipun begitu, kadang-kadang Yusei merasa lebih nyaman berjalan sendiri, jauh dari hiruk-pikuk yang diciptakan Akira.
Tiba-tiba, Akira bangkit dengan wajah penuh semangat. "Aku dapat ide! Ayo kita tantang Kiria lagi, Yusei!"
Yusei menoleh dengan tatapan bingung. "Tantang Kiria? Lagi?"
"Ya! Dia pasti akan kesal kalau kita tantang dia lagi! Aku sudah cukup bosan dengan sikap sombongnya. Kali ini, aku akan tunjukkan siapa yang lebih hebat!" Akira berkata dengan percaya diri, meskipun Yusei tahu bahwa Kiria Akazuchi adalah salah satu murid terbaik di akademi, bahkan lebih berbakat daripada mereka berdua.
Yusei menghela napas. "Aku tidak yakin itu ide yang bagus."
"Tentu saja! Kita bisa menunjukkan padanya bahwa kita bukan orang yang bisa dianggap remeh!" Akira tersenyum lebar, seperti selalu, siap untuk memulai tantangan baru. Yusei tahu bahwa sekali Akira sudah mendapatkan ide dalam kepalanya, dia tidak akan bisa dihentikan. Meski begitu, Yusei tidak bisa menahan senyum tipis. Tanpa disadari, ia menikmati ketegangan yang muncul dari sikap Akira yang begitu percaya diri.
Saat mereka berdua menuju lapangan, mereka melihat Kiria sedang berbicara dengan beberapa murid lain di dekat pohon besar. Kiria, dengan postur tegap dan rambut hitamnya yang selalu rapi, tampak tidak terganggu dengan perhatian yang mengelilinginya. Ketika dia melihat Yusei dan Akira mendekat, senyum sinis muncul di wajahnya.
"Ah, kalau bukan kalian berdua, siapa lagi?" kata Kiria, suaranya penuh ejekan. "Ayo, apa yang ingin kalian bicarakan kali ini? Sudah siap menyerah sebelum bertarung?"
Akira menyeringai, seolah tidak peduli dengan sindiran itu. "Tidak, Kiria. Kami datang untuk menguji seberapa hebat kamu kali ini."
Yusei menatap Kiria tanpa ekspresi, namun dalam hati, ia merasa sedikit cemas. Kiria memang seorang ahli dalam banyak hal—terutama dalam penggunaan sihir petir. Tantangan seperti ini selalu berisiko.
"Jadi, kalian benar-benar ingin melawan aku?" Kiria bertanya dengan nada meremehkan. "Baiklah, kalau itu yang kalian inginkan."
Pertarungan pun dimulai. Yusei dan Akira saling berhadapan dengan Kiria di tengah, meskipun Yusei lebih memilih untuk mengamati dari samping. Akira melangkah maju, menantang Kiria dengan penuh semangat. Meskipun Yusei tidak terlalu tertarik dengan adu kekuatan ini, ia tetap tahu bahwa tantangan ini bukan hanya tentang mengalahkan Kiria, tetapi juga tentang menunjukkan bahwa mereka tidak akan kalah begitu saja.
Sihir petir milik Kiria menyambar dengan cepat, namun Akira mampu menghindar dengan gesit. Di sisi lain, Yusei mengamati pergerakan mereka dengan mata tajam, menilai setiap gerakan dengan penuh perhitungan. Meskipun ia tidak ingin terlalu terlibat dalam perkelahian ini, Yusei tahu bahwa untuk melindungi sahabatnya, ia harus siap kapan saja.
Tak lama kemudian, Akira mulai tampak kelelahan. Sementara itu, Kiria tetap tenang dan sigap, seperti biasa. "Kamu pikir bisa menang dengan semangat saja, Akira?" ejek Kiria. "Tanpa kemampuan yang cukup, kalian berdua hanya akan kalah."
Akira tersenyum, meskipun kelelahan. "Jangan terlalu yakin, Kiria."
Tiba-tiba, Yusei melangkah maju. "Cukup, Akira. Kita tidak akan mendapatkan apa-apa dari ini."
Akira menatap Yusei dengan cemas, namun akhirnya ia mundur. "Tapi—"
"Aku katakan cukup," Yusei mengulang, dengan suara yang lebih tegas.
Kiria tertawa sinis. "Kalian memang menyebalkan, Shimizu. Tapi kali ini, aku menang."
Yusei menatapnya dengan tenang. "Mungkin. Tapi ingat, Kiria, tantangan ini bukan tentang menang atau kalah. Ini hanya tentang membuktikan bahwa kita tidak akan terpuruk hanya karena kamu menganggap diri sendiri lebih hebat."
Akira dan Yusei kemudian berbalik, meninggalkan Kiria yang masih dengan tatapan penuh kebencian. Meski mereka kalah dalam perkelahian, Yusei tahu bahwa pertarungan ini bukan tentang kemenangan fisik. Ini tentang mempertahankan harga diri, bahkan jika harus menghadapi dunia yang tak pernah berhenti menilai.
Dan meskipun jalan mereka terasa penuh tantangan, Yusei tahu bahwa dia tidak akan pernah berjalan sendirian—terutama dengan Akira di sisinya
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!