MISI BELI SUSU
Pagi Hari di Rumah Tomo
Cahaya matahari pagi masuk melalui jendela dapur rumah Tomo, menyorot tepat ke piring roti panggang yang hampir tandas. Di meja makan, Tomo, bocah SD berusia 10 tahun, sedang asyik menikmati sarapannya. Dengan satu tangan ia menggigit roti panggang, sementara tangan lainnya sibuk mengacak-acak rambutnya yang sudah kusut sejak bangun tidur.
"Ibu, susunya mana?" tanya Tomo, mulutnya masih penuh dengan roti panggang.
Ibu Tomo, yang sedang sibuk di dapur, menghentikan kegiatannya sejenak dan menatap ke arah kulkas. Dia membuka pintunya dan mengintip ke dalam dengan penuh harapan, tapi tiba-tiba wajahnya berubah panik.
"Aduh, Tomo! Susunya habis!" seru ibu Tomo, matanya melebar seolah-olah baru saja menemukan rahasia besar.
Tomo menghentikan kunyahannya dan memandang ibunya dengan wajah serius—lebih serius daripada biasanya. "Habis? Terus... gimana aku bisa makan roti panggang? Masa minum pakai kecap?"
Ibu Tomo menahan tawa. "Ya nggak dong, Tomo. Jangan-jangan kamu mau coba minum susu pakai kecap?"
Tomo menggeleng keras-keras. "Ewww! Nggak mau, Bu! Itu pasti aneh!"
Ibu Tomo tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya. "Ya sudah, kalau gitu, tolong ibu beli susu di warung Pak Udin, ya? Warungnya kan dekat, cuma di ujung jalan."
Tomo terdiam sejenak, menimbang tawaran tersebut dengan sangat serius. Matanya menyipit, berpikir keras seperti detektif yang sedang memecahkan kasus besar.
"Boleh... tapi aku boleh beli permen juga, ya?" Tomo mengajukan syarat dengan nada penuh harapan, matanya berkilat seperti sedang menyiapkan negosiasi besar.
Ibu Tomo tersenyum. "Oke, boleh. Tapi jangan sampai kamu pulang cuma bawa permen tanpa susu, ya. Nanti kamu bisa dikutuk jadi roti kering!"
Tomo tertawa terbahak-bahak membayangkan dirinya berubah jadi roti kering. "Roti kering? Ah, ibu bercanda terus!"
Setelah mengikat tali sepatunya dengan semangat, Tomo berlari keluar rumah dengan penuh semangat, seolah-olah dia akan berangkat menjalankan misi rahasia yang sangat penting.
Perjalanan ke Warung Pak Udin
Langit pagi begitu cerah, dan jalanan di sekitar rumah Tomo masih sepi. Namun, bagi Tomo, jalanan itu tak ubahnya seperti jalur petualangan di game video favoritnya. Ia berlari-lari kecil di atas trotoar yang berkerikil sambil berpura-pura menembakkan "laser" imajiner dari jarinya ke arah semak-semak.
"Ziiing! Pew! Pew!" seru Tomo sambil melompat-lompat dengan semangat, meniru suara tembakan dari film aksi yang ia tonton.
Namun, suasana penuh petualangan itu mendadak berubah ketika ia tiba di depan rumah Bu Siti. Dari balik pagar, muncullah seekor kucing hitam besar bernama Musang. Kucing itu menatap Tomo dengan pandangan dingin dan penuh niat jahat.
"Oh tidak... Musang!" bisik Tomo sambil mundur perlahan. Kucing itu bukan kucing biasa—dia adalah "penjaga jalan" yang sering kali mengejar anak-anak yang lewat. Bagi Tomo, Musang bukan sekadar kucing, dia adalah "bos terakhir" yang harus dikalahkan.
Musang mengeong dengan keras, lalu mulai berjalan mendekati Tomo dengan langkah-langkah pelan namun pasti, seperti predator yang sedang memburu mangsanya.
"Aku nggak takut sama kamu, Musang!" seru Tomo, meski dalam hatinya jantungnya berdegup kencang. "Tapi... mungkin sedikit takut," tambahnya pelan sambil mundur perlahan.
Musang terus mendekat, matanya berkilat-kilat penuh kemenangan. Tomo bersiap untuk melarikan diri, tapi tiba-tiba kucing itu berhenti dan berbalik, seolah-olah tidak tertarik lagi dengan Tomo.
"Hah? Kok dia berhenti?" Tomo menatap Musang dengan bingung. Tiba-tiba ia merasa sedikit tersinggung. "Hei! Aku kan siap buat lari! Kenapa kamu nggak ngejar?!"
Seolah menjawab tantangan Tomo, Musang mendadak meloncat ke arah pagar dan berlari mengejar bayangan seekor burung kecil. Tomo terdiam sejenak, lalu tertawa lega.
"Haha! Aku menang! Musang kalah! Aku berhasil mengalahkan bos terakhir!" seru Tomo dengan bangga, seolah-olah dia baru saja memenangkan pertarungan epik.
Warung Pak Udin
Ketika Tomo sampai di warung Pak Udin, dia masih tersenyum lebar. Warung kecil itu terlihat tenang, dengan barang dagangan sederhana yang dipajang di depan. Pak Udin, seorang pria tua dengan kacamata tebal, sedang duduk di bangku kayu sambil menyeruput teh hangat dari cangkir plastik.
"Halo, Tomo! Wah, tumben pagi-pagi udah kelihatan. Ada misi besar lagi, ya?" sapa Pak Udin dengan senyum ramah.
"Iya, Pak! Misi beli susu," jawab Tomo sambil menegakkan tubuhnya seperti prajurit.
Pak Udin tertawa kecil sambil berdiri. "Ah, misi beli susu, ya? Jangan sampai gagal kayak misi kecap waktu itu, ya?"
Tomo cengengesan, mengingat momen di mana dia lupa membeli kecap gara-gara terlalu fokus memilih permen. "Iya, Pak. Kali ini aku nggak akan lupa!"
Pak Udin masuk ke dalam warung dan mengambil sekotak susu. Sementara itu, Tomo berdiri di depan rak permen, matanya berbinar-binar seperti sedang melihat harta karun. Ia berjongkok di depan rak, menatap deretan permen dengan tatapan penuh konsentrasi.
"Hmm... permen rasa stroberi atau rasa jeruk, ya?" gumamnya sendiri. "Atau beli dua-duanya aja? Hmm..."
Pak Udin kembali dengan sekotak susu di tangannya dan tersenyum melihat Tomo yang sedang terjebak dalam "dilema permen."
"Tomo, kalau terlalu lama mikir, nanti permen itu bisa kabur, lho," canda Pak Udin sambil tertawa kecil.
Tomo tertawa kikuk. "Nggak, Pak. Permen kan nggak punya kaki."
Setelah memilih permen stroberi, Tomo menerima kantong plastik berisi susu dan permen dari Pak Udin. "Terima kasih, Pak Udin!" serunya sambil melambai-lambaikan tangan.
Pak Udin tersenyum lebar. "Hati-hati di jalan, Tomo! Jangan sampai ketemu Musang lagi, ya!"
Tomo mendadak terdiam dan menatap ke jalan dengan cemas. "Ah, iya... Musang!"
Pulang dari Warung
Dalam perjalanan pulang, Tomo masih waspada. Ia melangkah pelan-pelan, mengintip dari balik setiap semak-semak untuk memastikan Musang tidak akan muncul lagi. Namun, begitu sampai di depan rumah Bu Siti, ia melihat pemandangan yang sangat mengejutkan.
Musang sedang duduk di pangkuan Bu Siti, menghadap ke arah jalan dengan ekspresi tenang dan damai. Seolah-olah tadi dia bukanlah kucing galak yang mengejar Tomo, melainkan kucing jinak yang suka dielus.
"Musang?" gumam Tomo dengan nada tidak percaya. "Apa yang terjadi dengan kamu? Kok sekarang jadi kucing baik?"
Bu Siti melihat Tomo dan tersenyum lebar. "Ah, Tomo! Kamu ketemu Musang tadi ya? Maaf ya kalau dia nakal. Tapi lihat deh, di sini dia manis sekali. Seperti malaikat kecil, kan?"
Tomo hanya bisa mengangguk kecil, bingung dengan perubahan sikap Musang yang mendadak ini. "Mungkin... dia kucing bermuka dua," gumam Tomo pada dirinya sendiri, sedikit bergidik membayangkan Musang yang punya dua kepribadian.
Akhir Misi
Sesampainya di rumah, Tomo langsung menyerahkan susu kepada ibunya dengan bangga. "Ini, Bu! Susunya udah aku beli! Misi sukses!" serunya penuh kemenangan.
Ibu Tomo tersenyum bangga dan mengambil susu dari tangan Tomo. "Bagus, Tomo! Kamu hebat! Dan permennya?"
Tomo mengeluarkan permen dari kantong seragamnya dengan ekspresi kemenangan. "Nih, permen stroberi! Aku nggak lupa!"
Ibu Tomo tertawa dan memeluk Tomo. "Kamu memang anak yang hebat. Dan Musang, bagaimana?"
Tomo menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. "Musang? Oh, dia ternyata jadi kucing baik. Kayak superhero yang berubah jadi malaikat kecil!"
Di akhir pagi yang cerah itu, Tomo menikmati permennya sambil merasakan kepuasan karena berhasil menyelesaikan misi beli susu dengan sukses. Meski ada banyak hal tak terduga, seperti Musang yang berubah jadi kucing jinak dan dilema permen yang lucu, Tomo belajar bahwa hidup sering kali penuh kejutan—dan kadang, kejutan itu bisa membuat hari-hari kita lebih berwarna.
Pagi Hari di Sekolah
Sekolah Tomo terletak di sebuah kompleks yang dikelilingi oleh taman hijau dan jalan-jalan kecil yang dipenuhi pohon-pohon rindang. Ketika bel pertama berbunyi, tanda dimulainya pelajaran, para siswa mulai berlarian menuju kelas mereka dengan penuh semangat, kecuali Tomo, yang lebih suka berlari sambil melompat-lompat layaknya seorang superhero.
Di dalam kelas, suasananya bising dengan berbagai percakapan. Beberapa siswa sibuk mempersiapkan alat tulis mereka, sementara yang lainnya duduk di kursi sambil bercakap-cakap tentang tugas rumah yang baru saja diberikan oleh guru.
"Eh, Tomo, kamu tahu nggak? Aku baru saja menemukan sebuah metode rahasia untuk menjawab soal matematika!" kata Sari, teman sekelas Tomo yang terkenal dengan ide-ide anehnya.
Tomo menoleh dengan penuh minat. "Rahasia? Apa itu? Jangan-jangan kamu bisa membuat soal matematika jadi makanan ringan!"
Sari tertawa. "Bukan, Tomo. Aku pakai teknik 'kucing ninja.' Jadi, aku cuma memikirkan jawaban dan berharap soal-soal itu merasa kasihan dan memberikan jawaban yang benar."
Tomo menatap Sari dengan heran. "Jadi, kamu berdoa supaya soal matematika jadi baik hati?"
Belum sempat Sari menjawab, pintu kelas terbuka dan masuklah Pak Budi, guru matematika dengan wajah serius dan kacamata tebal. Ia berdiri di depan kelas dengan ekspresi datar, seolah-olah dia baru saja memecahkan kode rahasia dunia.
"Selamat pagi, anak-anak. Hari ini kita akan belajar tentang rumus aljabar yang sangat... menarik," kata Pak Budi dengan nada yang membuat rumus aljabar terdengar seperti rencana jahat.
Kelas langsung hening, dan semua siswa menatap Pak Budi dengan penuh perhatian, kecuali Tomo yang mulai bermain-main dengan penghapusnya, berusaha membuatnya melayang di udara dengan cara yang sangat tidak efektif.
Jam Istirahat
Bel istirahat berbunyi, dan para siswa berlarian keluar dari kelas dengan keceriaan. Di lapangan sekolah, mereka berkumpul di sekitar meja makan yang telah dipenuhi dengan bekal makan siang.
Tomo duduk bersama teman-temannya, Sari, Arif, dan Lina. Masing-masing dari mereka sedang menikmati bekal makan siang yang bervariasi, dari sandwich sampai nasi goreng.
"Tomo, coba lihat bekal makan siang aku! Ada permen di dalamnya!" kata Arif dengan bangga sambil menunjukkan kotak makan siangnya yang penuh dengan permen.
Tomo tertawa. "Wow, kamu pasti punya chef spesial di rumah, ya? Atau mungkin ibu kamu sudah menjadikan permen sebagai bahan utama makan siang."
Sari menggoda. "Kalau Tomo, bekalnya pasti cuma roti dengan selai. Jangan-jangan dia bawa bekal aneh seperti roti dengan saus sambal?"
Tomo mengambil kotak bekalnya dan menunjukkan isinya. "Nggak, kalian salah! Ini bukan roti dengan saus sambal, ini roti dengan selai... selai yang sudah disiapkan oleh ibu di malam hari dengan penuh kasih sayang."
Tiba-tiba, Lina dengan semangat berkata, "Aku punya ide! Bagaimana kalau kita adakan lomba makan tanpa tangan? Siapa yang bisa makan paling cepat, dia yang menang!"
Sari dan Arif langsung menyambut ide tersebut dengan antusias. Tomo, yang merasa tertantang, mengangguk. "Ayo! Aku siap! Tapi, aturan pertamanya, kita harus memakai masker wajah supaya tidak ada yang curang."
Seluruh kelompok memulai lomba dengan keceriaan yang sangat berlebihan. Mereka memakai masker wajah yang terlihat sangat konyol—masker dari kantong plastik bekas dan sisa-sisa kertas yang dikumpulkan dari kotak makan siang. Mereka mulai makan sambil tertawa-tawa, dengan makanan yang berceceran di mana-mana.
"Ah, permen ini rasanya kayak... plastik! Atau mungkin masker ini bikin aku jadi nggak bisa merasakannya!" seru Sari dengan mulut penuh makanan.
Tomo tertawa terbahak-bahak. "Aduh, makanan kita bisa jadi topeng makan malam sekarang!"
Pelajaran Seni
Setelah istirahat, kelas dilanjutkan dengan pelajaran seni. Semua siswa berkumpul di ruang seni yang penuh dengan cat, kuas, dan kanvas. Bu Tina, guru seni dengan rambut beruban dan semangat tinggi, berdiri di depan kelas dengan ekspresi penuh energi.
"Hari ini kita akan menggambar dengan tema 'Imaginasi Terbaik.' Setiap orang harus menggambar sesuatu yang sangat imajinatif dan mungkin juga sedikit gila," kata Bu Tina dengan penuh semangat.
Tomo langsung mulai menggambar dengan semangat yang sangat besar. Ia menggambar gambar yang sangat aneh—sebuah unicorn yang sedang mengemudikan mobil balap dengan sayap dan helm berwarna-warni.
"Ini adalah gambar unicorn balap yang bisa terbang ke bulan dan memakan pizza! Bagaimana menurut kalian?" seru Tomo sambil bangga menunjukkan hasil karyanya.
Sari menggambar seekor dinosaur yang memakai jas dan dasi. "Ini adalah dinosaur yang menjadi pengacara! Dia sedang membela kasus—'Apakah daging daging ayam lebih lezat daripada daging dinosaur?'"
Arif, yang biasanya tidak terlalu kreatif dalam menggambar, menggambar sebuah robot yang sedang meminum kopi sambil membaca koran. "Ini adalah robot yang memerlukan kopi untuk berfungsi. Kalau tidak, dia bisa berubah jadi... alat pemadam kebakaran!"
Seluruh kelas tertawa terbahak-bahak melihat hasil karya satu sama lain. Bu Tina, yang biasanya sangat serius, tidak bisa menahan tawa. "Anak-anak, gambar kalian semua sangat unik dan lucu! Kalian telah menunjukkan kreativitas yang luar biasa!"
Kembali ke Kelas
Setelah pelajaran seni, semua siswa kembali ke kelas dengan penuh energi. Namun, suasana di kelas kali ini agak kacau. Tomo dan teman-temannya duduk di bangku dengan tumpukan gambar aneh di meja mereka, dan semua orang mulai bercerita tentang hasil karya masing-masing.
"Eh, Tomo, kamu tahu nggak? Aku berpikir untuk menjadikan gambar dinosaur pengacara ini sebagai maskot sekolah!" kata Sari dengan antusias.
Tomo mengangguk setuju. "Bagus! Tapi aku rasa kita perlu memperkenalkan gambar unicorn balap ini sebagai mobil resmi sekolah. Bayangkan betapa keren-nya!"
Tiba-tiba, Pak Budi masuk ke kelas dengan membawa sebotol cat berwarna cerah. "Selamat sore, anak-anak! Saya bawa cat baru yang sangat... cerah. Kita akan menggunakannya untuk proyek seni hari ini."
Kelas langsung riuh dengan berbagai komentar. Tomo, yang masih terpengaruh oleh kebiasaan bercanda sebelumnya, melambaikan tangan seolah-olah Pak Budi baru saja mengumumkan pembagian hadiah besar.
"Wow! Cat warna cerah! Apakah ini cat yang bisa membuat gambar kita bersinar seperti bintang di langit?" seru Tomo dengan semangat.
Pak Budi tersenyum. "Mungkin tidak sampai bintang, tapi cat ini bisa membuat gambar kalian lebih berwarna dan ceria."
Lina, yang biasanya pendiam, tiba-tiba berdiri dan membuat gerakan seperti penari balet sambil mengelilingi kelas dengan cat warna-warni di tangannya. "Kita akan membuat kelas ini menjadi festival warna! Tapi, jangan salah, ini adalah tarian cat!"
Kelas langsung terlibat dalam "festival warna" yang penuh dengan cat berceceran, tawa, dan kekacauan. Setiap siswa mencoba membuat gambar mereka semakin cerah dengan cat yang meluber ke mana-mana. Suasana kelas berubah menjadi pesta warna yang sangat konyol.
Akhir Hari
Ketika bel pulang berbunyi, Tomo dan teman-temannya meninggalkan kelas dengan penuh semangat. Mereka mengobrol tentang hari yang penuh dengan kekacauan dan kegembiraan.
"Eh, hari ini benar-benar gila. Tapi seru juga, ya!" kata Arif sambil mengelap cat yang menempel di bajunya.
Tomo setuju. "Iya! Hari ini kita belajar banyak tentang seni dan... bagaimana tidak membiarkan cat merusak pakaian kita!"
Sari menambahkan. "Dan kita juga belajar bahwa dinosaur pengacara dan unicorn balap itu adalah hal yang paling penting dalam hidup kita!"
Seluruh kelompok tertawa terbahak-bahak saat mereka berjalan pulang. Dengan hari yang penuh kejadian lucu dan pelajaran yang tidak terlupakan, mereka merasa bahwa hari ini adalah salah satu hari terbaik mereka di sekolah.
Pagi Hari di Sekolah
Hari itu, Tomo berjalan menuju sekolah dengan langkah ringan. Matahari bersinar terang, dan burung-burung berkicau riang di sekitar pepohonan yang melapisi trotoar. Meski pagi cerah itu tampak biasa saja, Tomo merasa ada sesuatu yang berbeda. Ia tidak tahu apa tepatnya, tetapi firasatnya mengatakan bahwa hari ini akan menjadi hari yang penuh kejutan.
Ketika Tomo sampai di gerbang sekolah, suasana sudah riuh dengan suara obrolan siswa yang berkumpul di halaman. Beberapa anak bermain kejar-kejaran, sementara yang lain sibuk membahas ulangan matematika yang akan berlangsung nanti. Tomo mendekati kelompok teman-temannya—Sari, Arif, dan Lina—yang sedang duduk di bangku dekat lapangan.
"Tomo, kamu sudah siap buat ulangan hari ini?" tanya Lina sambil mengayun-ayunkan buku catatannya yang penuh dengan coretan. "Kata Bu Rini, materinya bakal super susah!"
Tomo menggaruk-garuk kepalanya. "Eh, ulangan? Kok aku baru tahu? Perasaan tadi malam aku malah belajar cara bikin pesawat dari kertas origami."
Arif menepuk bahu Tomo sambil tertawa. "Jangan khawatir, Tomo. Siapa tahu, kali ini kita bisa gunakan 'Strategi Kucing Ninja' lagi. Ingat nggak? Cukup berharap soal-soalnya jadi baik hati, terus jawaban muncul sendiri!"
Tomo tertawa terbahak-bahak. "Strategi Kucing Ninja? Wah, kalau beneran berhasil, kita bisa jadi legenda di sekolah ini!"
Namun, sebelum percakapan mereka berlanjut, bel tanda masuk berbunyi dengan nada panjang yang menandakan awal pelajaran. Suara bel itu terdengar seperti alarm peringatan yang selalu sukses membuat semua siswa panik dan berlarian masuk ke kelas. Tomo dan teman-temannya segera bergegas menuju kelas mereka sambil berteriak-teriak semangat.
Di Dalam Kelas
Kelas pagi itu diisi dengan ketegangan, karena rumor tentang ulangan mendadak telah tersebar dengan cepat. Semua siswa terlihat gelisah, kecuali Tomo, yang duduk dengan ekspresi santai, seolah-olah dia sedang bersiap untuk melakukan pertunjukan sulap daripada mengikuti ujian.
Bu Rini, guru matematika yang terkenal galak tapi adil, masuk ke kelas dengan wajah datar. Tangannya memegang setumpuk kertas ujian yang terlihat seperti bungkusan misteri bagi para siswa. Ia meletakkan tumpukan kertas itu di meja guru dan memandang kelas dengan tatapan yang dapat membuat seluruh kelas terdiam dalam sekejap.
"Anak-anak, seperti yang kalian ketahui, hari ini kita akan mengadakan ulangan mendadak. Saya harap kalian sudah siap," kata Bu Rini dengan nada tegas.
Sari berbisik ke Tomo, "Aku rasa aku nggak akan siap sampai akhir hayatku. Bisa nggak, ya, kalau kita pura-pura jadi patung biar nggak disuruh mengerjakan?"
Tomo tertawa pelan. "Kalau kamu jadi patung, jangan lupa gaya keren, biar semua orang kagum!"
Bu Rini mulai membagikan lembar ujian, dan setiap siswa menatap soal-soal itu dengan penuh ketakutan, seolah-olah sedang dihadapkan pada teka-teki yang tidak akan pernah terpecahkan. Tomo mengerutkan kening saat melihat soal pertama.
"Soal nomor satu: Jika ada 3 apel dan 5 jeruk di dalam keranjang, berapa jumlah keseluruhan buahnya?" Tomo membaca soal itu dengan lantang di dalam hatinya. "Hmm, 3 apel, 5 jeruk... Apa mungkin ada jebakan? Jangan-jangan salah satu buahnya berubah jadi nanas tengah malam?"
Ia mendekatkan wajahnya ke kertas ulangan, seolah-olah mencari pesan rahasia di balik angka-angka. Namun, bukannya menemukan solusi, ia malah membayangkan apel dan jeruknya sedang bertarung di ring tinju. Dalam imajinasinya, jeruk menggunakan teknik uppercut, sementara apel menyerang balik dengan jab cepat.
"Fokus, Tomo! Fokus!" gumamnya kepada diri sendiri, lalu dengan senyum tipis, ia menuliskan jawabannya.
Jam Istirahat
Setelah ulangan selesai, bel istirahat kembali berbunyi, dan para siswa segera keluar dari kelas seperti tahanan yang baru saja dibebaskan dari penjara. Tomo dan teman-temannya berkumpul di bawah pohon besar yang terletak di ujung lapangan sekolah, tempat mereka biasa berbagi cerita aneh dan konyol.
"Ulangannya tadi benar-benar aneh!" seru Arif. "Aku sampai mikir soal nomor tiga itu pertanyaan dari planet lain!"
Lina mengangguk dengan ekspresi bingung. "Iya! Soal itu benar-benar seperti teka-teki alien. Aku sampai nulis jawaban '42' karena katanya itu jawaban dari segala sesuatu."
Sari tertawa terbahak-bahak. "Ya ampun, Lina! Aku rasa kamu malah jawab ulangan matematika dengan cara bikin sandi Morse!"
Tomo menatap teman-temannya dengan mata berbinar. "Eh, kalian tahu nggak? Tadi aku hampir nulis jawaban pakai sketsa apel bertinju sama jeruk. Tapi aku takut Bu Rini malah pikir aku ikut lomba gambar!"
Tawa pecah di antara mereka. Suasana di sekitar pohon besar itu selalu riuh dengan canda tawa para siswa, sementara angin sepoi-sepoi menggoyangkan dedaunan di atas mereka. Beberapa anak yang lain bermain lompat tali di dekat situ, menambah kegembiraan suasana istirahat.
Kelas IPA dengan Pak Sugeng
Setelah istirahat selesai, saatnya kembali ke kelas. Kali ini pelajaran IPA yang dipimpin oleh Pak Sugeng, guru yang dikenal suka melakukan eksperimen aneh. Setiap kali Pak Sugeng membawa tabung reaksi atau alat-alat ilmiah, semua siswa tahu akan ada sesuatu yang kacau, konyol, dan seringkali melibatkan ledakan kecil.
Pak Sugeng masuk ke kelas dengan membawa sekotak besar yang terlihat penuh dengan bahan-bahan misterius. Ia tersenyum lebar, seperti seorang ilmuwan gila yang baru saja menemukan penemuan besar.
"Selamat siang, anak-anak! Hari ini kita akan melakukan eksperimen yang sangat... spesial!" kata Pak Sugeng sambil mengeluarkan beberapa tabung reaksi berisi cairan berwarna-warni dari dalam kotaknya.
Tomo, yang duduk di barisan depan, segera berseru dengan semangat. "Pak, ini eksperimen yang bisa bikin kami punya superpower, ya? Bisa terbang, atau minimal bisa bikin kucing bicara?"
Pak Sugeng tertawa keras. "Wah, Tomo, kamu selalu punya imajinasi yang luar biasa! Tapi, sayangnya, hari ini kita belum sampai tahap bikin superpower. Kita akan mencoba menggabungkan beberapa bahan untuk melihat reaksi kimianya. Siapa yang mau jadi sukarelawan?"
Sari, yang selalu penasaran, segera mengangkat tangannya. "Aku, Pak! Tapi aku nggak mau jadi korban ledakan, ya!"
Pak Sugeng tersenyum. "Jangan khawatir, Sari. Ledakan kali ini cuma kecil... Maksud saya, kalau ada ledakan, tentu saja itu akan sangat kecil dan tidak berbahaya," jawabnya dengan nada yang tidak meyakinkan.
Sari melangkah maju dengan hati-hati, sementara Pak Sugeng memberinya sepasang sarung tangan besar dan helm pelindung yang tampak terlalu besar untuk kepalanya. Ia mulai mencampur beberapa bahan di dalam tabung reaksi dengan penuh kehati-hatian. Siswa-siswa lain, termasuk Tomo, memperhatikan dengan penuh antisipasi.
Tiba-tiba, tabung reaksi yang dipegang Sari mulai mengeluarkan asap tipis. Tomo menahan napas, sementara Arif bersiap-siap untuk melompat keluar dari kursinya. Pak Sugeng menatap tabung reaksi itu dengan penuh konsentrasi, seolah-olah ia sedang memegang telur naga yang siap menetas.
"Ada sesuatu yang terjadi!" seru Pak Sugeng dengan semangat yang tak terbendung.
Namun, alih-alih ledakan besar, yang keluar dari tabung reaksi itu adalah gelembung-gelembung kecil berwarna merah muda yang melayang-layang di udara seperti balon sabun. Semua siswa menatap gelembung-gelembung itu dengan terheran-heran.
"Eh, Pak... ini eksperimen sains atau acara pesta ulang tahun?" tanya Tomo sambil menahan tawa.
Pak Sugeng tertawa sambil menepuk-nepuk bahunya sendiri. "Inilah yang dinamakan eksperimen ilmiah yang penuh kejutan! Sains juga bisa jadi lucu, Tomo!"
Sari dan Gelembung-Gelembung Ajaib
Sari, yang sudah merasa lega karena tidak ada ledakan besar, akhirnya tertawa terbahak-bahak sambil melihat gelembung-gelembung berwarna merah muda itu melayang di udara. Beberapa gelembung bahkan mulai pecah di kepala Arif, yang membuat rambutnya tampak seperti terkena semprotan permen karet. Anak-anak lain yang awalnya tegang sekarang mulai tertawa juga.
Tomo menatap gelembung-gelembung yang melayang dan kemudian berkata, "Kalau gelembung-gelembung ini bisa dimakan, kita semua bakal punya kafe gelembung ajaib. Tamu-tamunya bisa makan gelembung sambil terbang ke angkasa!"
Lina menambahkan sambil tertawa, "Tapi nanti kita bisa kena masalah sama polisi udara gara-gara makan gelembung terus terbang nggak pakai izin."
Pak Sugeng ikut tertawa, meski jelas ada jejak kekhawatiran di matanya. "Anak-anak, jangan lupa, ini masih eksperimen ilmiah. Gelembung ini mungkin terlihat lucu, tapi kita harus ingat... eee... mungkin ada zat yang masih belum terdeteksi."
Arif yang rambutnya sudah penuh dengan sisa-sisa gelembung mencoba membersihkan kepalanya. "Pak, saya harap zat yang belum terdeteksi ini nggak bikin rambut saya berubah warna jadi ungu atau hijau."
Tomo langsung berdiri di samping Arif dan menepuk pundaknya dengan nada serius. "Kalau rambutmu berubah warna, kita bisa jadi duo superhero baru: Kapten Ungu dan Sidekick Hijau. Misi kita? Melindungi dunia dari gelembung-gelembung licin!"
Seluruh kelas meledak dalam tawa. Bahkan Pak Sugeng, yang biasanya menjaga wibawanya sebagai guru, tidak bisa menahan tawa. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berkata, "Baiklah, baiklah! Mari kita lanjutkan eksperimen berikutnya. Tapi kali ini, lebih aman, ya."
Eksperimen Lanjutan dan Efek Samping Konyol
Pak Sugeng memutuskan untuk mencoba eksperimen berikutnya dengan campuran zat yang lebih sederhana. Kali ini, ia memilih beberapa bahan yang lebih aman, atau setidaknya terlihat lebih aman, menurut penilaiannya. Ia mengangkat tabung reaksi baru berisi cairan biru dan menuangkannya perlahan ke dalam wadah kaca besar.
"Anak-anak, eksperimen ini seharusnya menghasilkan perubahan warna yang dramatis. Kita akan melihat bagaimana zat ini berubah dari biru menjadi merah dengan penambahan zat katalis tertentu. Siapa yang ingin mencobanya?" tanya Pak Sugeng dengan penuh semangat.
Lina mengangkat tangan. "Aku mau coba, Pak! Tapi pastikan nggak ada efek samping aneh lagi, ya."
Dengan hati-hati, Lina meneteskan zat katalis ke dalam cairan biru. Dalam sekejap, cairan di dalam wadah berubah warna menjadi merah terang seperti yang diprediksi. Semua siswa bertepuk tangan, kagum dengan transformasi itu. Tapi kemudian, tiba-tiba terdengar suara berderak aneh, dan perlahan, cairan merah itu mulai berbuih.
Tomo, yang duduk paling dekat, memperhatikan dengan penuh minat. "Pak Sugeng, kenapa cairan itu mulai terlihat seperti soda yang tumpah di atas microwave?"
Pak Sugeng tampak sedikit bingung, tetapi masih mencoba menjaga ketenangannya. "Ini... mungkin hanya reaksi yang sedikit lebih kuat dari yang kita duga. Tapi tidak perlu khawatir, anak-anak, ini masih terkendali."
Namun, hanya dalam hitungan detik, buih merah itu mulai meluap dari wadah kaca, mengalir ke meja, dan kemudian menetes ke lantai. Arif, yang duduk di dekat meja, langsung bangkit dari kursinya sambil berteriak, "Pak! Ini kayak tsunami kecil, Pak! Kita butuh kapal penyelamat!"
Tomo segera berdiri di samping Arif, berpura-pura seperti kapten kapal. "Tenang, kru! Kita akan selamat dari ombak buih merah ini. Siapkan dayung!"
Sari, yang duduk tidak jauh dari mereka, langsung menimpali dengan suara dramatis. "Kapten! Kita tersapu ombak, tapi aku nggak bisa berenang di lautan gelembung aneh ini!"
Lina, yang awalnya gugup, sekarang malah terbahak-bahak melihat kekacauan kecil yang terjadi di sekitar mereka. "Aku rasa kita semua harus daftar jadi penjaga pantai gelembung!"
Pak Sugeng akhirnya tersadar bahwa situasinya sudah di luar kendali. Dengan cepat, ia mengambil seember air dan menyiramnya ke buih yang meluap, berusaha menghentikan "tsunami" tersebut. Meski air yang ia tuangkan berhasil menghentikan buihnya, lantai kelas kini dipenuhi dengan cairan merah lengket.
"Baiklah, anak-anak... Sepertinya kita harus berhenti di sini dulu untuk hari ini," kata Pak Sugeng sambil tersenyum malu.
Tomo tertawa terbahak-bahak. "Pak, ini adalah eksperimen sains yang paling seru! Tapi kayaknya, besok kita bakal lebih siap kalau bawa pelampung dan helm."
Pak Sugeng hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Yah, sains memang penuh kejutan, Tomo. Tapi jangan khawatir, besok kita akan kembali mencoba hal yang lebih aman."
Akhir Hari Sekolah
Ketika bel pulang berbunyi, Tomo dan teman-temannya meninggalkan kelas IPA dengan perasaan lega dan senang. Hari itu terasa seperti petualangan tanpa akhir bagi mereka. Saat mereka berjalan melewati koridor sekolah yang penuh dengan cahaya matahari sore, suasana hati mereka masih dipenuhi dengan tawa dan canda.
"Sari, tadi waktu kamu jadi sukarelawan, aku pikir kamu bakal bikin gelembung itu meledak kayak kembang api!" kata Arif sambil terkekeh.
Sari hanya mengangkat bahu sambil tersenyum. "Yah, siapa tahu di eksperimen berikutnya aku bisa bikin sesuatu yang lebih keren. Mungkin roket mini atau mesin waktu!"
Tomo, yang selalu penuh dengan ide-ide liar, segera menambahkan, "Kalau kamu bikin mesin waktu, kita bisa kembali ke zaman dinosaurus dan ngajak mereka ikut lomba balap sepeda. Bayangkan T-Rex naik sepeda roda tiga!"
Lina tertawa keras. "Tomo, kamu ini selalu punya imajinasi yang paling aneh. Tapi aku setuju, itu pasti bakal jadi pemandangan yang luar biasa."
Mereka berjalan bersama-sama keluar dari gerbang sekolah, menikmati udara segar sore hari. Meski hari itu penuh dengan kekonyolan dan sedikit kekacauan, mereka semua merasa senang karena setiap kejadian kecil yang mereka alami menjadi kenangan manis yang akan selalu mereka ingat.
"Eh, besok ada apa lagi, ya?" tanya Sari sambil melirik Tomo dengan mata berbinar.
Tomo berpikir sejenak dan kemudian tersenyum lebar. "Apa pun yang terjadi, aku yakin kita bakal punya cerita baru yang lebih seru lagi. Siapa tahu, mungkin besok kita ketemu monster gelembung sungguhan!"
Semua tertawa dan berjalan pulang dengan perasaan penuh kebahagiaan, siap menghadapi kejutan-kejutan berikutnya dalam petualangan sehari-hari mereka di sekolah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!