Stevanno Dean Anggara, seorang laki-laki berusia 23 tahun. Seorang Direktur di perusahaan milik keluarganya. Memiliki postur tubuh yang gagah, hidung mancung, alis tebal, kulit putih dan wajah rupawan. Anak pertama dari pasangan Wira Anggara dan Wita Adiwiyata.
Stevanno yang sering di sapa dengan Vano itu sangat mirip sekali dengan Wira sewaktu muda dulu. Sedangkan saudari kembarnya Stevani Dea Anggara juga tumbuh menjadi gadis cantik penuh pesona. Dia bahkan sudah menikah dengan sahabat Vano, Devan dan memiliki sepasang anak kembar yang lucu-lucu.
Pasangan konglomerat itu pun juga mengangkat seorang putri, Riana Dewi Anggara. Gadis berpenampilan tomboy tapi memiliki paras cantik itu selalu memakai celana jeans dan kemeja kedodoran.
"Pagi semuanya!" Sapa Vano pada semua orang yang sudah berkumpul di meja makan.
"Pagi Nak." Wita tersenyum cerah sambil menyendok nasi dan lauk ke arah piring.
"Aduh sakit kepala kakek, ..." Ucap Wira pada cucu pertama nya yang suka sekali menjambak rambut putih kakek nya.
"Gendong, opa!" Wira tersenyum menggendong ..., ia menggendong kedua cucu nya di kanan dan di kiri lalu menuruni tangga menuju ruang makan. Sheril dan Axel anak kembar dari Stevanny dan Devan yang baru berusia 3 tahun memang selalu manja pada pria itu.
"Pa sini pah." Vani khawatir pinggang ayahnya sakit karena terus menggendong anaknya.
"Ngga papa."
"Sheril, Axel jangan minta gendong Opa terus dong! Kasihan Opa." Omelnya sambil berkacak pinggang kepada dua bocil itu. Namun mereka hanya tertawa dan menganggap angin lalu ucapan ibu mereka.
"Sudah, sudah. Ayo kita sarapan."
Setelah nya semua makan dengan tenang kecuali Stevanny tentu saja karena selalu ada drama dengan kedua bocilnya. "Ih bunda. Mau nya telor ceplok!" Axel menutup mulutnya karena menolak di suapi makan ayam goreng.
"Makan atau gak usah makan sekalian!"
"Bunda galak!"
"Makannya nurut atau kamu mau mainan kamu bunda buang! Mau?"
"Jangan, huaaaa." Hilang sudah ketenangan di meja makan karena Axel yang menangis keras.
"Kamu jangan galak-galak kenapa sih dek." Tegur Vano karena kasihan pada keponakannya yang muka nya sampai merah begitu.
"Kalau di manja Axel gak akan berubah kak."
"Ya namanya juga anak kecil."
"Tau tuh, jangan galak-galak kenapa sih yang." Devan ikut bersuara.
"Diam kamu!" Devan langsung kicep. Vani menggendong Axel dan menenangkan nya sementara Sheril sendiri duduk anteng sambil di suapi makan oleh Ayahnya. "Lagi! Pakai itan, Opa."
"Iya,... ini ikannya sayang. A."
"Opa, itan-itan apa yang besal sekali?"
"Apa ya? Ikan hiu?" Tebak Wira asal.
"Butan Opa." Ujar Sheryl kesal sambil memajukan bibir nya lima centi.
"Terus apa dong!"
"Itan dugong!"
Hahahaha..
Semua orang tertawa mendengar celotehan Sheryl yang ada ada saja celotehan setiap harinya.
"Opa-Opa! Kata Ayah bunda besal sepelti dugong."
"Apa? Hahaaa." Wira tertawa terbahak-bahak sedangkan Vany mukanya sudah merah padam, semenjak melahirkan badan nya memang berubah melar. Apalagi ia memberikan asi eklusif untuk kedua buah hatinya.
Uhuk.
Devan yang asik makan sampai tersedak.
"Ih Sheryl kapan Ayah bilang begitu. Jangan fitnah Ih, nggak sayang. Kamu seksi kok." Devan menatap istrinya yang sudah mirip banteng, hidung nya kembang kempis.
"Nanti malam tidur di luar!" Ujar Vani dingin di telinga Devan. "Ih ayang, bercanda ya ampun."
"Rasain lo." Vano puas melihat wajah tersiksa Devan.
Vano melirik jam di pergelangan tangan lalu beranjak dari kursi dan berangkat ke kantor.
"Kakak ipar tunggu!"
"Makannya jangan lelet." Devan mencium Vani singkat lalu kabur sebelum kena semprot. Vani malu sekali namun salah nya sendiri mau menikah dengan pria sinting seperti Devan.
"Lucu banget mantu papa."
"Ih, kok aku nyesel yah pa."
"Hust jangan bilang begitu nak."
Vani menyuapi Axel kembali setelah balita itu berhenti menangis.
"Tinggal Riana nih kapan bawa calon mantu papa." Riana berdehem lalu menyelesaikan makannya dengan cepat. "Rian berangkat pa, ada janji sama teman."
"Ih Riana mah gitu menghindar terus ya."
"Iyah nih, padahal papa pengen banget liat temen yang deket sama anak papa ini."
"Apaan sih, pa." Riana malu, gadis itu lekas menyalami tangan Wira dan Wita bergantian lalu pergi ke luar rumah.
***
Vano masuk ke gedung kantornya dan langsung di sibukkan dengan berkas-berkas. Tidak sampai setengah jam dia pergi keluar untuk rapat, lalu ke pertemuan penting dan rapat lagi selalu seperti itu. Tiada hari tanpa pembahasan bisnis yang membuat usaha peninggalan kakeknya ini semakin maju.
"Aarghh pegal sekali."
Vano menyadarkan kepalanya dan menatap langit-langit ruangannya.
Tok!
Tok!
Tok!
"Woy kakak ipar ada berita hot."
"Ada apa? Lo ya adik ipar, bukannya kerja yang bener." Persetan dengan pekerjaan. Devan langsung memperlihatkan chat di grup SMA mereka, ia tahu Vano pasti tidak punya waktu untuk sekedar membuka grup mengingat jadwal pria itu sudah mengalahkan presiden oleh karena itu ia berbaik hati memberitahu. Rahang Vano mengeras, kedua tangan nya mengepal di bawah meja.
"Ini maksudnya apa?"
"Sabar Van, mungkin Juwita bukan jodoh lo."
Bagaimana mungkin.
Kemarin semuanya masih baik-baik saja.
Ia masih melihat gadis nya sendirian, kenapa tiba-tiba ada undangan pernikahan yang tersebar?
"Van.."
"Tinggalin gue sendiri." Devan menghela nafas berat, ia tau ini pasti berat sekali untuk Vano.
"Vano."
"Pergi Devan!"
"Oke, tapi jika lo butuh teman cerita, panggil gue." Devan menepuk bahu Vano lalu melangkah keluar ruangan.
Vano membalikkan badan, bahu nya bergetar dan air matanya mulai turun dari netranya yang setajam elang. Memandang gedung pencakar langit dari jendela kantor dengan pandangan kosong, hatinya seperti di iris iris. Niatnya minggu depan ia ingin pulang ke bandung, sekalian pedekate lagi dengan pujaan hatinya, namun malah ini yang ia dapatkan. Surat pernikahan dari Juwita nya dan Reno. Vano menangis tanpa suara, hatinya sedang tidak baik-baik saja, ternyata ia begitu mencintai Juwita dan sekarang cinta itu menjadi luka terhebat dalam hidupnya.
"Aarrgghh, bangsat!!!!" Vano berbalik dan menghancurkan barang-barang yang ada di ruangan nya hingga tak berbentuk. Pria yang kini berusia 25 tahun sudah menduduki kursi direktur utama menggantikan sang ayah itu merasa dunianya hancur, luluh lantak hingga tak bersisa.
"Juwita!!" Teriaknya frustasi sambil menjambak rambutnya yang sudah memanjang hingga menyentuh daun telinga. Ini tak bisa di biarkan! Gadis itu miliknya! Juwita itu jodohnya. "Haruskah ku culik saja" monolog Vano sambil tersenyum miring. "Ya seperti nya itu tidak buruk.
Vano merogoh ponselnya menelpon sekretaris agar segera menyiapkan keberangkatan nya pergi ke bandung.
"Tuan, tidak bisa. Anda ada meeting setelah ini." Tutur Yuna lembut. Wanita yang kelihatan elegan dan cantik dengan rambut sanggulnya sudah terbiasa menghadapi sikap temperamen Stevano Dean Anggara. Pewaris satu-satu nya Anggara Company yang kini semakin maju pesat di bawah kendali pria itu.
"Kau! Tidak bisakah berhenti mengaturku! Aku mau ke Bandung sekarang!" Sentak Vano membuat Yuna sedikit terkesiap.
"Tidak Tuan, kalau anda nekat saya laporkan pada Tuan Wira."
Bukan sekali dua kali Vano menghilang saat meeting penting. Pria itu kerap melakukannya hanya untuk hal ini, pergi ke kota kembang untuk mengamati gadis berhijab itu dari kejauhan, bukan karena tidak berani mendekat. Karena Vano menghargai profesi gadis itu sebagai Ustadzah. Vano paham betul jika Juwita tidak akan pernah mau menemuinya. Oleh karena itu, yang bisa dia lakukan adalah mengamati gadis pujaannya dari kejauhan. Ia selalu melihat Juwita sendirian, tak di sangka jika gadis itu telah menjalin hubungan dengan Reno. Dan bahkan sudah menyebar undangan, sial!
"Kau! Berani mengancam ku?" Tunjuk pada muka Vano yang menurutnya menyebalkan.
"Ini, sudah tugas saya, Tuan. Ingat! Tugas saya adalah memastikan agar Tuan ada di ruang meeting siang ini. Dan jangan lupa Ayah anda juga yang sudah memberikan kewenangan penuh pada saya kalau anda berbuat salah."
"Salah?"
"Aku cuman ingin ke bandung, salahnya dimana?"
"Masih ada di lain waktu, Tuan. Tuan sudah di tunggu, silahkan." Vano muak! Muak sekali dengan anak Om Dypta yang sok ini! Andai bukan menghormati orang tua nya itu pasti ia sudah menendangnya.
Sial!
"Mari Tuan." Yuna mempersilahkan Vano berjalan lebih dulu. Ia mengikuti dua langkah dari belakang dan memastikan agar Tuan nya tidak kabur lagi seperti tempo hari.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Visual as Stevanno dan Stevanny...

...Visual as Yuna...

...Visual as Riana Dewi Anggara...

...Visual As Juwita...

Vano memasuki ruang rapat dan semua yang hadir langsung menunduk hormat kepadanya.
"Mulai rapatnya!" Katanya dingin sambil mendudukan dirinya di kursi.
Rapat kali ini membahas tentang penangunan kantor cabang perusahaan mereka yang akan di bangun sebentar lagi di daerah cukup terpencil. Vano berusaha untuk fokus namun pikiran nya tertuju pada undangan pernikahan yang ada di grup SMA nya.
Ia berusaha sabar hingga pembahasan memuakan itu berakhir. Begitu selesai Vano segera melaju menuju kota kembang! Ia butuh penjelasan. Gadis itu harus menjelaskan kepadanya kenapa tiba-tiba ia menikah. Apa alasannya?
Vano melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Pria itu tidak sabar untuk menemui gadisnya. Ya selama ini Vano juga sudah berusaha melupakan Juwita, namun itu tidak mudah. Rasa cinta nya malah semakin kuat hingga ia begitu sakit sekarang.
Di belakang mobilnya, Yuna mengikuti nya. Ia sudah tahu kemana tujuan atasanya, sehingga ia berkendara dengan santai dan tidak terburu-buru. "Kalau bukan karena kakak ku aku tidak mau jadi assisten mu, Tuan arogan." Gerutu Yuna. Alden kakak keduanya mengalami cedera karena kecelakaan mobil dan masih harus mendapatkan perawatan di rumah sakit untuk beberapa bulan kedepan. Yuna selama ini memang di rumah saja tanpa bekerja tiba-tiba di panggil oleh mantan majikan ayahnya menggantikan peran Alden.
Awalnya Yuna menolak, namun karena titah sang ayah tercinta membuat gadis yang belum genap 29 tahun itu tak bisa mengelak. Dan bukan karena itu saja, ada niat terselubung dari Wira yang ingin mendekatkan Yuna dan Vano, tidak tahu saja Wira kalau Yuna dan Vano bagai minyak dan air yang akan sulit di satukan.
"Haahh menyebalkan."
Setelah dua jam perjalanan yang begitu melelahkan akhirnya ia sampai juga. Yuna turun dari mobil mengamati dari kejauhan apa yang Tuan arogan nya lakukan. Vano berdiri di depan sebuah yayasan menunggu orang yang di tunggunya. Ia sudah sangat hapal dengan jadwal mengajar gadis pujaan nya itu.
Juwita tersenyum sambil menutup pintu kelas, akhirnya mengajar hari ini selesai dengan baik. Ia melangkah ke kantor guna mengambil tas. Ia hanya guru honorer di sini dan mengajar seminggu 3 kali. Usaha orang tua nya sempat bangkrut namun ada Rama yang baik hati membantu menyuntikan dana hingga perusahaan Ayahnya bisa bangkit kembali. Tidak hanya itu ayah nya pun sempat sakit-sakitan dan Rama yang menanggung semua biaya nya. Maka Rama lelaki yang baik yang pantas mendampingi nya, batin nya menyakinkan diri. Ia tidak bisa tersenyum mengingat sosok tunangan nya itu. Rama seperti malaikat di hidupnya, Juwita masih menyunggingkan senyum sampai langkah nya terhenti karna kehadiran seseorang, mata nya membelalak tak menyangka setelah sekian lama nya takdir mempertemukan mereka kembali. Di depannya sekarang berdiri sosok pria yang sudah terlihat dewasa dengan setelan kantor yang di pakainya, Vano mantan cinta pertamanya sekarang berdiri dengan gagah di hadapannya. Pandangan mereka berhenti pada satu garis lurus. Vano memandang Juwita dengan penuh perasaan cinta sementara Juwita memandang Vano sebaliknya, asing dan risih.
"Va .. no."
"Hai, long time no see." Sapa Vano dengan suara beratnya. Juwita tiba-tiba merinding, entah kenapa merasa pria di hadapannya itu sudah banyak berubah dan nampak berbahaya.
"Kau, mau apa kau kemari?" Tanya Juwita takut-takut. Dan entah kenapa ia justru melangkah mundur.
"Ada yang perlu kita bicarakan." Ujar Vano to the point.
"Apa? Aku rasa kita tidak punya urusan lagi."
"Apa begini cara menyapa kekasihmu? Juwi?" Juwita menelan ludah nya kasar, ia takut sekali sekarang. "Vano, jangan mendekat!"
"Mendekat? Bagaimana sih? Begini?"
Sret.
Vano menarik tubuh Juwita dengan sangat keras hingga tubuh bagian depan mereka bersentuhan. Juwita bergetar, ia berusaha melepas belitan tangan Vano di perutnya namun begitu sulit. "Vano! Kamu jangan kurang ajar!" Teriak Juwita.
"Syuut! Biarkan aku merindukanmu." Dengan kurang ajar nya Vano makin mempererat pelukannya, Vano bahkan menaruh kepalanya ke ceruk leher Juwita yang tertutup hijab dan membaui aroma gadis itu dengan rakus. "Vano!"
"Diam Juwi! Biarkan aku puas memelukmu. Sebentar saja."
Juwita menginjak kaki Vano dengan keras dan itu sukses membuat pria itu mengaduh.
"Kurang ajar!"
Plak.
"Jadi begini kelakuan kamu, hah!"
Wajah Vano tertoleh ke samping, karena tamparan keras yang gadisnya layangkan. Ia tersenyum tipis menggerakkan rahang nya yang rasanya sedikit ngilu sambil menatap tajam gadisnya. Mereka sama-sama melemparkan tatapan tajam. "Apa ini Vano! Apa yang terjadi sama kamu? Kita sudah putus." Teriak Juwita di depan muka Vano.
"Tidak! Kau yang tiba-tiba memintaku melupakanmu dulu. Aku tidak pernah menyetujui kalau hubungan kita berakhir." Juwita merasa kotor karena sudah di peluk seseorang yang bukan muhrim, semoga saja Rama belum menjemputnya atau pria itu akan salah paham nanti. "Vano please! Jangan kayak gini. Kita sudah berakhir." Pinta Juwita dengan tatapan memohon.
"Tidak! Kau milikku Juwi!"
"Lihat Vano! Lihat ini! Sebentar lagi aku akan menikah!" Juwita menunjukkan cincin yang tersemat di jari manis nya pada Vano berharap pria itu mengerti.
"Kenapa? Kenapa kau lakukan ini?" Tanya Vano dengan suara sarat penuh kesakitan.
"Aku sudah tidak mencintai kamu Vano. Dulu kita cuman cinta monyet. Aku hanya mencintai Rayyan." Ucap Juwita dengan kejam nya, hati Vano sakit. Jadi apa hanya dia seorang yang mencintai sendirian selama ini?
"Kenapa? Kenapa kau buat aku jatuh cinta dulu? Kenapa? Juwi?" Teriak Vano menggelegar, tangannya mencengkram kedua pundak kecil Juwita hingga gadis itu meringis kesakitan. "Lepas!"
"Jawab dulu kenapa? Juwi, aku bahkan rela menjauh agar aku bisa mengerti dirimu! Tapi apa! Kau malah mau menikah dengan Rayan? Harusnya aku! Harusnya aku! Aku yang menikah denganmu!" Juwita sungguh ketakutan, ia tak berani memandang bola mata Vano yang seperti menusuk hingga renungan hati terdalam.
"Kenapa! Kenapa! Kau jawab aku!" Vano menangis, ia bahkan tidak peduli apa pendapat wanita itu, hatinya sakit. Vano memaksa memeluk Juwita lagi meski gadis itu terus memberontak.
"Vano aku minta maaf, lepas! Kita tidak boleh seperti ini." Tidak munafik masih ada sedikit tempat di hati Juwita untuk Vano, namun cuman sedikit karena sepenuhnya sekarang hatinya milik Rayyan.
"Vano."
Bugh!
"Lancang sekali kau!" Rama datang dan langsung menghajar Vano membabi buta. Pria itu kaget dan langsung turun dari mobilnya ketika melihat calon istrinya itu di lecehkan.
Rama menghentikan menghajar Vano saat Vano sudah tidak berdaya. "Menjauh eh." Vano bangkit dan tersenyum miring, mengusap darah di sudut bibirnya dengan ibu jari. Vano sengaja tak melawan tadi, ingin melihat seberapa hebat pria yang sudah merebut gadisnya. "Sekarang giliranku." Vano menerjang Rayyan dan membalas pria yang menghajar nya tadi. Rayyan kualahan, Juwita berteriak meminta bantuan namun kondisi sekolah yang sudah sepi karna sudah jam pulang.
"Tolong! Rama, Vano berhenti!" Teriak gadis berhijab itu, ia berusaha menarik Rama namun dengan mudah tubuhnya di singkirkan.
"Tolong!"
Juwita tidak menyerah mencoba menghentikan perkelahian namun yang ada malah ia kena tampar oleh Vano sampai pipi nya memerah dan Juwita terjatuh. "Sayang."
"Cukup! Vano cukup! Aku nggak cinta sama kamu." Juwita mengangkat tangannya.
"Aku pilih Rama." Sambungnya.
Vano menggeleng, ia tidak terima. Namun saat ia mendekat Rama kembali menghalangi nya. "Minggir! Juwi bilang apa kau barusan?"
"Kau tidak dengar siapa yang dia pilih? Kau yang harusnya minggir! Juwita memilihku, Vano!"
"Tidak! Juwita kau pasti bercanda kan? Katakan kau mencintaiku!" Paksa Vano.
"Nggak Vano, cinta itu sudah hilang." Juwita menggandeng Rama menjauh menuju mobil pria itu, Vano tidak percaya, ia hendak mengejar namun langkah nya terasa berat. Harga dirinya menahan nya, sial!
Rama membukakan pintu mobil untuk tunangannya, mempersilahkan gadis manis berhijab yang tengah menangis itu masuk. "Ayo!"
Rama tidak menyangka hari ini ia bertemu kembali dengan rival nya. Ia tidak akan pernah mau melepaskan Juwita, tinggal selangkah lagi mereka akan menikah.
"Rama."
"Iya?"
"Maaf yah, Ram. Aku tidak sengaja bertemu dengannya." Juwita takut Rama salah paham. Rama tersenyum tipis, terlihat menenangkan sekali di mata Juwita. "Iya aku tau pasti Vano yang datang ke sekolah kan?" tanya Rama.
Juwita mengangguk. "Aku gak nyangka dia kaya gitu sekarang."
"Orang pasti berubah ta."
"Dia bukan Vano yang ku kenal. Aku benci."
'Ya benci saja Vano.' Batin Rama puas. Hanya dia yang pantas mendampingi gadis cantik di sebelah nya ini.
"Mau makan siang dulu?"
"Ngga usah Ram, aku mau pulang aja."
"Siap permaisuriku."
"Apaan sih." ucap Juwita malu.
Beberapa tahun sudah ia menjalin kasih dengan Rama kemudian memantapkan hubungan ke jenjang lebih serius. Rama selalu berada di sisi nya selama ini dan selalu membantu keluarga nya yang saat kesulitan, pria itu baik. Berkat Rama juga kedua orang tua nya kini telah berubah. Jadi apa yang salah? Untuk cinta bisa dia dipikirkan belakangan. Yang terpenting Juwita sudah yakin kalau Rama lah orang yang tepat untuknya. Juwita tercenung menatap jalanan yang sudah di hapal di luar kepala memikirkan kejadian yang mengejutkan tadi.
"Kenapa sayang?"
"Nggak papa."
"Apa kamu menyesal?" Tanya Rama.
"Menyesal?"
"Hm mungkin kamu masih mencintai Vano." Ujar Rama dengan senyum pahit.
"Nggak Ray, aku sudah melupakan dia sejak lama, aku cuma kaget saja. Bisa kan jangan bahas dia lagi?" Rama mengangguk mengerti, setelah dua puluh menit mereka telah sampai di rumah yang mungil namun tetap tidak meninggalkan kesan mewah.
"Makasih yah Ram."
"Iya."
"Kamu nggak mampir dulu?"
"Nggak usah aku ada kerjaan."
"Oh ya udah hati-hati." Rama mengangguk kemudian melajukan kendaraan roda empat nya meninggalkan pelataran rumah tunangannya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Kau milikku sayang, milikku." Vano tak pernah menyentuh benda haram sebelumnya namun malam ini dia menggila. Ia dengar alkohol bisa membuat semua masalah jadi hilang, maka ia akan mencoba malam ini. Awalnya terasa pahit membakar di kerongkongan namun lama kelamaan ia kecanduan. Vano terus minum dan meracau tidak jelas di sofa. Tak jauh dari pria itu ada Yuna yang duduk sambil minum mocktail nya dengan tatapan datar, ia bosan sekali mengurusi Tuan muda arogan nya itu. "Aaargghh, kau milikku sayang."
Ponsel dalam saku baju Yuna bergetar, tertera nama Nyonya Wita di sana. Yuna berdiri melangkah keluar agar suara bising musik DJ tak mengganggu pendengarannya. "Hallo Nyonya?"
"Ya Nak, dimana Vano? Kenapa belum pulang selarut ini? Apa lembur?" Tanya Wita khawatir.
"I--iya Nyonya, masih ada beberapa pekerjaan." Jawab Yuna dengan suara terbata.
"Apa tidak bisa di selesaikan besok? Hari ini suamiku berulang tahun. Apa anak itu lupa?"
"Em, maaf Nyonya masalah ini urgent sekali jadi tidak bisa di tinggal." Yuna menggigit bibir bawahnya. Jujur saja ia deg degan karena sudah membohongi orang tua.
"Oh ya sudah kalau begitu." Wita meletakkan ponsel nya lalu menatap Riana.
"Kakak ngga bisa pulang, ma?" Tanya Riana.
"Kakak kalian lembur." Jawab Wita.
"Sayang." Devan berbisik di telinga Vano.
"Apa?"
"Aku perlu bicara denganmu."
Stevani mengikuti suaminya ke kamar. "Apa?"
"Ini, kamu belum tahu?"
"Apa? Kok jadi Juwita bakal nikah? Aaa... akhirnya bestie aku menikah." Stevani gembira sekali melihat undangan sahabat nya yang sudah tersebar di whatsaap.
"Ih, kamu bukannya sedih."
"Kenapa harus sedih? Kan temen aku nikah, gimana sih?"
"Kasihan Vano, dia pasti patah hati sekarang."
"Nggak lah, Vano juga sudah nggak suka sama Juwita kok."
"Itu kata kamu." Devan tak menyangka istrinya yang notabene adik kandung bahkan sebagai kembaran Stevano tidak mengerti apa yang di rasakan pria itu.
Stevani melangkah menuju ranjang membenahi selimut kedua anaknya yang berantakan lalu kembali keluar bergabung bersama Riana dan ibunya yang sedang menyiapkan surprise untuk ayahnya.
"Kue nya udah belum ma?"
"Udah nih, ayo kita kejutkan papa kalian."
"Ayo ma! Papa pasti kaget."
Mereka melangkah menuju kamar dan mengendap-ngendap seperti pencuri. Wita masuk ke kamar nya yang gelap lalu menyalakan lampu utama kamarnya hingga Wira kaget dan terbangun. "Ahhh, silau sayang."
Wira memang lebih suka kamar yang gelap sejak dulu sehingga ia langsung terbangun kalau lampu di nyalakan.
"Papa selamat ulang tahun...!" Teriak Riana dan Stevany bersamaan di telinga Wira hingga pria itu merasa telinga nya langsung berdengung.
"Ah kalian, papa kaget nih." Wira mengusap dada nya yang berdebar-debar. Riana dan Stevany menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk ayah mereka. Wira tersenyum haru, matanya berkaca-kaca karena tidak menyangka mendapatkan surprise seperti ini. "Potong kue nya..."
"Tiup lilin nya dong sayang."
"Hehee, Rian nggak sabar nih pa. Ini yang buat kue loh." Ucap Riana bangga.
"Oh yah, wah pasti enak..." Wira berdoa sambil menutup mata, berharap ia dan Wita selalu sehat panjang umur, ia juga berharap Stevano dan Riana mendapatkan jodoh nya.
"Lama banget, pa."
"Iya papa doa nya banyak."
"Apa tuh?"
"Papa ingin liat Vano dan Riana bertemu segera jodohnya." Riana menggaruk tengkuk nya yang tidak gatal.
"Potong kue nya, Mas." Wita tau Riana pasti tidak nyaman dengan apa yang barusan suami nya bilang.
"Potongan pertama buat istri papa yang paling cantik. A ... sayang." Wita tersipu malu, wanita yang masih terlihat cantik di usianya yang ke 40 itu memukul pelan dada suaminya.
"Yang kedua buat Vani." Seru Stevani sambil berjingkak-jingkak, wanita itu masih terlihat seperti anak kecil meski usianya sudah kepala dua dan juga sudah punya buntut dua. Stevani membuka mulutnya menerima suapan dari sang ayah.
"Yang ketiga buat anak papa yang sudah jadi cewek beneran." Riana manyun mendengarnya, memang nya selama ini dia laki-laki apa?
"Ih papa."
"Hehee... kamu cantik nak. Pertahankan yah." Riana malu-malu, ia memutuskan merubah look nya setelah di protes sang ayah yang bilang tidak bisa membedakan antara dirinya dan Stevano karena keseringan memakai celana dan kemeja longgar. "Tapi gak pede pa ini, feminim banget nggak sih ini?"
"Gak lah, sayang. Perempuan kan pakaian nya harus begitu. Yang kalem cantik kayak mama kalian." Riana hanya mengangguk.
"Oh yah, papa nggak liat anak bujang papa?" Wira mencari Stevano sejak tadi.
"Belum pulang pa, katanya lembur." Jawab Stevani menjawab rasa penasaran sang ayah.
Devan masuk dan mengucapkan selamat ulang tahun pada ayah mertuanya.
"Happy birthday pa, wish u the best." Ujar Devan lalu memeluk sang ayah mertuanya yang paling baik itu.
"Hhmm iya Van terima kasih."
"Ini, ada hadiah buat papa. Maaf yah pa, selama ini Devan belum bisa jadi menantu yang baik dan masih merepotkan papa terus." Wira menerima kotak yang entah apa isinya itu. "Nggak papa yang penting kamu tidak berhenti berusaha, ok!" Ujar Wira menyemangati.
"Iya pa, pasti."
"Good, kamu juga Vani jangan galak-galak jadi istri, kasihan Devan."
"Apaan sih pa, kok jadi aku yang salah." Stevany mencebikkan bibir lalu menatap tajam pada Devan.
"Ya sudah kalian balik lagi ke kamar gih! udah malam." Tegur Wita pada anak dan menantunya.
"Iya ma, pa. Sekali lagi selamat ulang tahun."
"Iya nak, sekali lagi terima kasih banyak kejutannya."
"Hm, good night papa." ucap Stevani lalu menarik suaminya keluar dari kamar, kebetulan ia juga sudah mengantuk.
"Pa..."
"Kamu gak balik ke kamar?"
"Ada yang mau Rian bicarakan sebentar, boleh?"
"Boleh dong. Ada apa?"
"Ini pa." Riana menyodorkan berkas profil perusahaan asing yang letaknya di Milan dan ia mendapatkan kesempatan magang di sana. "Boleh yah pa?"
"Tapi ini jauh banget, Nak."
"Please pa, ini kesempatan langka nggak bakalan datang dua kali."
"Huft, kalau memang kau sudah membulatkan tekad papa cuma bisa dukung nak."
"Makasih Pa." Riana memeluk ayah angkatnya itu. "Hmmm sama-sama."
"Ini kapan berangkatnya?"
"Tiga bulan lagi masih lama."
"Papa bakalan kangen nih."
"Rian juga sama."
***
"Dasar merepotkan."
Bruk.
"Ah pinggangku sakit."
Yuna menghempaskan tubuh besar itu ke atas ranjang. Nafasnya tersenggal dan baju nya bau alkohol sekarang. "Mimpi apa semalam aku bisa bekerja dengan anak kecil cengeng! benar-benar sial!" Yuna mendudukan dirinya di sofa sambil menatap Tuan muda nya yang bergerak gelisah di atas ranjang dan terus saja meracau memanggil Juwita.
"Juwita ... juwita."
"Anak kecil, manja merepotkan! sok minum alkohol padahal gak kuat minum." tadinya Yuna berniat untuk pulang ke rumah. Namun tubuhnya letih sekali belum lagi Reno yang berbuat ulang dengan pengunjung lain dan membuatnya semakin kerepotan.
"Sepertinya memang harus menginap." Yuna berniat pergi ke kamar nya sendiri. Namun lagi-lagi tak tega, apalagi pakaian Stevano yang sudah basah kuyup karena muntah tadi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!