NovelToon NovelToon

Geheugenopname : Memori

1

"Sampe kapan sih lo masih mau nungguin Dani, Ta?"

Ini sudah ke sekian kalinya Rina berusaha menghentikanku.

"Satu yang harus lo tanam di otak lo, Ta. Sekarang Dani bukan bocah lagi. Dia mungkin udah ketemu ribuan cewek yang lebih dari lo, dan ga mungkin dia ga pernah tergoda atau berpaling dari lo. Buktinya, kalo dia emang beneran masih setia sama lo, ga mungkin dia ga nyariin lo. Atau setidaknya, dia bakalan nepatin janjinya buat balik ke lo!"

Aku tidak peduli. Tetap kupandangi foto kebersamaan kami 3 tahun yang lalu.

"Lagian dia juga ga ngomong alasan dia pindah sekolah waktu itu. Dia juga ga bilang alasan dia pindah rumah. Kalo dia beneran sayang sama lo, seharusnya dia ga ngilang tanpa jejak gitu aja."

"Bokapnya pindah tugas ke Tanggerang, itu alasan dia pindah," balasku.

"Emang dia ada bilang?"

"Ada."

"Oh ya udah kalo ada bilang. Tapi dia ga ada effort sama sekali buat balik ke lo, Ta! Lo harus sadar itu!"

***

Di sekolah hari ini. Seperti biasanya. Tak ada yang menarik untukku hadapi. Entahlah. Mungkin karena Dani. Terakhir kali aku bersemangat ke sekolah adalah dia sebagai alasannya.

"Raport lo ada bawa?" tanya Rina.

Mengingat hari ini merupakan hari pertama kembalinya kami ke sekolah setelah mengakhiri libur semester pertama, dan ini adalah tepat penghujung tahun ke 3 yang Dani janjikan.

"Gue lupa," jawabku singkat.

"Ya udah sih, gue juga ga bakal kasih ke Pak Bondan. Lupa ditandatangan." Rina memasukkan kembali raportnya ke dalam tas.

"Woii! Ada murid baru! Bareng Pak Bondan dari Ruang Kepala Sekolah lagi jalan ke sini!" pekik salah satu murid di depan pintu kelas.

"Cowok? Cewek?!" Rina memang kepo sedari dulu.

"Dua! Cowok cewek! Itu di koridor!" Serempak semua orang di dalam kelas berhamburan ke luar untuk melihatnya. Namun tidak denganku.

Setelah Pak Bondan masuk ke kelas kami, semua mendadak duduk dengan rapi. Aku melihat sekilas pada dua murid baru yang Pak Bondan bawa. Wajah asing itu membuatku tidak ingin melihatnya lebih lama. Aku memilih membaringkan wajah di atas meja dan memejamkan mata.

"Anak-anak, ini Arzio Fabelino dan Liu Xian Zhing. Sialakan perkenalan diri kalian," ucap Pak Bondan.

"Saya Arzio Fabelino pindahan dari SMK NEGERI 53 TANJUNG TIKAR." Aku bisa mendengar suara murid laki-laki pindahan tersebut.

"Saya Liu Xian Zhing, panggil aja Xia. Jangan panggil Liu karena itu nama keluarga. Saya pindahan dari SMK UNIVERSAL."

"Silakan duduk di bangku belakang Arlita ...." Pak Bondan menghentikan kalimatnya. "Loh, Arlita mana?"

Kembali kuperbaiki posisi duduk agar Pak Bondan melihatku.

"Anak kesayangan Pak Bondan," bisik Rina.

"Nah itu Arlita," tunjuk beliau.

Dua murid baru itu berjalan mendekat dan duduk di belakang kami.

"Arlita Dewi Sitta." Aku mendengar murid baru laki-laki bernama Arzio itu menyebut nama lengkapku.

"Hai!" sapa Rina pada Xia.

"I'm sorry, saya mau fokus belajar," balas gadis bermata sipit dan berkulit lebih putih dari kami tersebut. Terlihat jelas identitas Tionghoa yang ia miliki.

"Cih, sombong amat," balas Rina yang kembali memutar pandangannya ke arahku. "Baru masuk, belagu!"

***

Jam pelajaran hari ini dikosongkan sebagai bentuk kebebasan berekspresi untuk semua murid di sekolah. Aku jadi bosan jika tidak melakukan apapun. Sementara Rina sudah berkelayap di kelas sebelah.

"Arlita Dewi Sitta." Lagi-lagi Arzio menyebut namaku.

"Mau lo apa?" tanyaku dengan tegas.

Dia hanya menatap tanpa ekspresi apapun. Aku bisa pastikan pandangannya masih melakat pada wajahku, namun ia tak memberikan jawaban.

***

Aku mulai mencium gangguan-gangguan yang tidak jelas dilakukan oleh Arzio. Mulai dari dia yang sering bergumam menyebut namaku. Tapi ini tidak bisa dikatakan mengganggu karena dia tidak mengancam atau semacamnya.

Seperti sepulang sekolah tadi. Dia terus mengikuti aku dan Rina menuju parkiran. Padahal dia tidak membawa motor. Dia kan murid baru.

Rumahku terasa sunyi di setiap hari. Benar-benar aku merasa sendirian setiap saat tanpa Rina. Kembali kubuka kotak kayu tempat menyimpan semua kenangan bersama Dani. Selalu aku tersenyum ketika melihat wajah Dani yang tercetak di foto-foto ini.

"Ada orang gangguin aku, Dan. Dia murid baru di kelas aku. Kamu jangan cemburu ya kalo dia suka sama aku, he he. Kalo kamu takut aku diambil dia, mending kamu buru-buru deh balik ke sini." Ha ha! Aku rasa aku mulai gila. Tapi hal itu mengurangi sedikit beban pikiranku.

Kulirik jam dinding yang masih menunjukkan jam 9 malam. Biasanya aku sudah tidur jam segini. Kuambil ponsel dan bermain game. Setidaknya cara ini bisa mengurangi rasa bosan dan membuatku mengantuk.

Sialnya, di tengah permainan.

Tling!

Tling!

Tling!

Tling!

Notifikasi chat grup kelas mulai mengganggu. Ku tarik bar untuk memunculkan notifikasi. Kubalas chat itu dari sana.

Saat kubuka chat grup ternyata ....

***

Arzio tidak pernah mengirim pesan ataupun meneleponku meskipun dia sudah mengetahui nomor ponselku. Tapi di sekolah ....

Entah apa yang terjadi di atas langit. Padahal tadi pagi masih cerah dan panas. Sekarang jam 8 malah hujan deras.

"Lo mau apa sih, Arzio?!" bentakku sebab dia tiba-tiba memberikan jaket.

"Kalo lo kedinginan, lo bisa pake. Kalo lo ga butuh, buang aja!" balasnya dengan nada marah.

Kubuang jaket itu ke genangan air di depan kelas. Kembali kutatap tajam mata Arzio yang masih berdiri di depan pintu.

"Gue ga kenal sama lo. Lo juga ga kenal sama gue. Jadi bersikap sewajarnya aja!" tegasku dan berlalu ke dalam kelas.

Itu baru satu keanehan yang ia lakukan. Di jam istirahat, hujan masih mengguyur bumi. Rina dan aku bergandengan tangan menuju kantin. Sepulang dari kantin, kami melihat Arzio yang sedang bermain bola di lapangan bersama beberapa anak laki-laki lainnya di tengah guyuran hujan.

"Ganteng juga."

  - Deg!

Kata-kata yang muncul dari mulut Rina membuatku De Javu. Aku merasa ini sudah pernah terjadi. Dani.

Dulu Dani juga pernah bermain bola sambil hujan-hujanan. Aku dan Rina pulang dari kantin. Rina mengucapkan kata yang sama.

"Lo kenapa, Ta?" Rina membuyarkan fokusku.

"Lo ngerasa aneh ga sih?" tanyaku.

"Aneh? Kenapa?"

"Ga deh, cuma perasaan gue aja kayaknya," lanjutku.

Arzio berlari menghampiri kami. Persis yang pernah Dani lakukan. Dadaku berdegup kencang sampai kepalaku berdenyut. Dia berdiri di hadapanku. Air dari rambutnya menetes membasahi tanganku yang sedang memegang botol mineral dan roti.

Arzio tiba-tiba meminum air tersebut. Aku hanya bisa terdiam. Ini benar-benar pernah terjadi antara aku dan Dani.

Dadaku terasa sesak dalam sekejap. Mataku masih melihat ke arah Arzio.

"Lo kenapa?" tanyanya.

Jutaan kenangan tentang Dani membanjiri pikiranku. Tanpa aku sadari ....

"Woi! Kenapa nangis? Nanti gue ganti airnya!" Kalimat Arzio membuatku mengusap cepat air mata tersebut.

"Ta! Lo nangis? Kenapa?" tanya Rina.

Bahkan untuk menarik napas pun rasanya menambah sakit dadaku saja.

2

Arzio beserta pemain bola hujan-hujanan tadi dihukum Pak Bondan untuk membersihkan semua toilet di sekolah. Aku tau itu dari Pak Bondan langsung. Sebab setelah menghukum mereka, Pak Bondan ke kelas kami dan mengatakan bahwa kelas kami yang terpisah dari kelas lain, tidak akan didatangi guru di saat hujan turun. Sebab tidak ada yang mau hujan-hujanan untuk sampai ke kelas ini selain Pak Bondan selaku wali kelas kami sendiri.

Sepulang sekolah kali ini, hujan masih belum berhenti. Tiba-tiba Liu Xian Zhing menghampiriku. Ini adalah kali pertama dia mengajakku untuk mengobrol.

"Lo pacarnya Ramadhani?" Kalimat pertama itu mengejutkanku.

"Lo kenal Dani?" tanyaku.

"Ramadhani ketua OSIS di Universal. Dia pernah lompat kelas pas SMP."

"Universal itu di mana? Gue mau ke sana," ucapku.

"Di Tanggerang," jawabnya.

Tidak mungkin aku ke Tanggerang. Ke kota yang sejauh itu. Mana mungkin aku diberi izin.

"Liu! Lo dipanggil Pak Bondan!" panggil Arzio.

"Don't call me Liu! Liu itu marga!" omel Xia dan berlalu.

"Lo kenapa?" tanya Arzio membuatku bergidik ngeri.

Aku tidak boleh terlalu dekat dengannya. Dia bisa membuatku menangis lagi sebab mengingat Dani. Aku hendak berlalu, namun Arzio menahan langkahku. Tubuhnya yang basah, menguasai pintu kelas. Sedangkan di sini hanya tersisa aku sendiri. Rina sudah pulang menerobos hujan dengan motornya.

"Lo mau apa sih?!" omelku.

"Gue cuma mau nanya, tadi kenapa lo nangis?"

"Serah gue lah mau nangis kek, mau ngapain kek! Ga ada urusannya juga sama lo!"

"Urusan gue! Soalnya lo udah gue catet sebagai pacar gue. Kontak lo juga gue save 'Sayang' jadi semua urusan lo, jadi urusan gue!"

"Hah?! Lo sinting? Sejak kapan gue mau jadi pacar lo?!" balasku.

"Gue ga butuh persetujuan dari lo. Kalo gue mau lo jadi pacar gue. Itu artinya lo jadi pacar gue!"

"Sinting! Minggir! Gue mau balik!"

"Balik sama gue!"

"Apaan sih, Arzio Fabelino?!" teriakku.

"Apa, Sayang?" balasnya.

Menjijikan!

"Gue udah punya pacar! Namanya Ramadhani! Jadi stop konyol kayak gini!"

"Pacar lo ga seganteng gue. Putusin aja!"

"Dia lebih ganteng dari lo!"

"Tapi pacar lo ga bisa main bola. Pasti cowok cupu yang suka main game doang!"

"Dia kapten tim bola di SMP gue dulu!"

"Tapi pacar lo ga pernah ranking 1. Gue ranking 1 dari kelas 7."

"Dia juara umum dari SD, SMP, sekarang dia ketua OSIS di sekolahnya!"

"Oke!" Arzio tampak seperti tertantang. "Gue santet pacar lo!"

"Kalo ntar malem lo nggak bisa tidur, itu artinya jin gue mulai bekerja!" balasku.

"Kalo gue nggak bisa tidur, itu artinya gue mikirin lo!"

"Ish!" Lebih baik aku melangkah meninggalkan orang gila ini secepatnya.

***

Arzio. Nama orang konyol dan gila itu menghantui pikiranku. Satu yang aku takutkan. Aku takut dia bercerita pada Xia bahwa aku pacarnya, dan Xia menyampaikan pada teman di sekolah lamanya. Lalu berita itu sampai ke telinga Dani. Lalu dia mengira aku selingkuh!

AAARGHHHHHHH!!

Mimpi buruk dari penantianku selama 3 tahun. Aku tidak ingin itu terjadi.

***

Keesokan harinya, hujan kembali turun. Pastinya kami tidak akan belajar lagi. Hanya tugas-tugas online yang dikirim oleh para guru pemalas yang tidak mau menyebrangi kelas.

Arzio berlari menadahkan jaketnya di atas kepala.

"Pacar gue ga boleh kehujanan," ucapnya berusaha menutupi kepalaku dengan jaket itu.

Kutepis berkali-kali dan kupukuli dia di tengah rintikan air hujan.

"Lo apa-apaan sih?!" teriakku.

"Gue ga sudi air hujan jatuh di pipi lo! Enak aja dia nyium-nyium lo!"

"Lawak lo?! Jauh-jauh lo dari gue!" Kudorong dia menjauh.

"Sayang!" panggilnya.

"Hah?!" Kalang kabut aku menghampirinya dan memukulinya berkali-kali. "Lo gila ya?! Lo sinting?! Jangan manghil gue kayak gitu lagi! Gue udah punya pacar!"

"Ya itu urusan lo sama pacar lo. Kalo gue, ya urusannya sama pacar gue!" balas Arzio.

"Ya sana beurusan sama pacar lo!" omelku.

"Lo pacar gue!"

"Iisshh!!" Sebelum pembahasan ini semakin melebar. Mending aku menjauh.

Rina duduk di sampingku. Jaketnya basah. Dia menerobos hujan lagi.

"Lo bisa sakit kalo gini terus Rin. Mending lo beli jas ujan," ucapku.

"Sengaja. Gue emang mau sakit," jawabnya.

"Makin lama, bumi makin banyak dihuni orang aneh."

"Lo juga aneh! Dani udah lupain lo! Berhenti nungguin dia!" Pukulan telak untukku.

"Oooww! Jadi pacar lo itu nge-ghosting lo?" Arzio muncul entah dari mana.

"Bukan urusan lo!" tegasku.

"Dani bilang masih pacaran kok sama Arlita. Cuma dia ga bisa menuhin janjinya aja," ucap Liu Xian Zhing.

"Kapan dia bilang gitu?" tanyaku.

"Semua orang di sekolah gue yang dulu juga tau soal lo sama Dani. Soalnya Dani itu the most wanted di sekolah. Semua orang nyari-nyari dia. Semua orang suka sama dia. Dia pinter, dia berkarisma, dia ganteng. Tapi setiap kali ada cewek yang deketin dia, dia selalu bilang udah punya pacar namanya Arlita Dewi Sitta."

Gue yakin! Pasti Dani ga lupain gue. Dia cuma ga bisa balik aja.

"Lo suka sama Lita?" tanya Rina pada Arzio.

Tiba-tiba Arzio merangkulku. "Suka sama pacar sendiri, ga boleh?" ucapnya.

Sekuat tenaga aku mendorong pria itu menjauh. "Gue ga pernah bilang mau jadi pacar lo!"

"Jagain cewek gue ya!" Arzio memberi kode-kode pada Rina.

"Alhamdulillah! Akhirnya, Ta! Akhiiirrrnyaaaa!" pekik Rina.

"Apaan sih, ga jelas!"

"Gue dukung lo sama Zio seratus persen! Lupain Dani sekarang!" lanjut Rina.

Tak kupercaya dia akan mengeluarkan kalimat buruk itu.

"Zio! Kalo lo mau ngedate sama Lita, bilang aja sama gue. Gue bantuin!" pekiknya lagi.

Kulihat Rina dan Arzio mengedipkan sebelah mata mereka.

ANEH!

"Bantu gue buat nyantet pacarnya Arlita," sambut Arzio.

"Astaghfirullahaladziiiim! Istighfar lo! Udah ga ganteng, ngajak sesat pula," balas Rina.

"Bantu gue bakar rumahnya aja," lanjut Arzio.

"Dani udah pindah ke Tanggerang! Itu juga udah lama banget! 3 tahun yang lalu. Tapi Lita masih aja nungguin dia. Beraharap Dani bakalan balik lagi." Seperti biasa, Rina tidak bisa menyimpan sebuah rahasia. Namanya juga mulut kebanjiran oli. Licin!

"Oooooooooowwwwwwww." Arzio merangkulku kembali. "Selama pacar lo ga ada di depan mata lo, gue jadi pacar lo! Gue siap jadi selingkuhan lo."

"Apaan sih, Arzio! Minggir!" Aku berusaha mendorongnya menjauh, namun tangannya yang berotot lumayan kuat merangkulku.

"Ingat. Semakin lo menjauh, gue bakalan semakin mengejar lo." Hah? Ga nyambung.

"Yang ada gue yang bilang gitu, semakin lo ngejar gue, semakin gue bakalan ngejauh!" bantahku.

"Ya udah, ngejauh aja, biar gue makin ngejar-ngejar lo."

"Hah? Gimana? Ini konsepnya gimana sih?" omelku.

3

1 semester kembali berlalu. Kali ini libur panjang untuk kami yang bersekolah telah tiba. Ini saat yang tepat untuk pergi ke Tanggerang. Bertepatan dengan itu, Liu Xian Zhing akan berlibur ke kota asalnya tersebut.

Meski agak sulit untuk mendapatkan izin. Untungnya kami melibatkan kedua orang tua Liu Xian Zhing. Ibuku langsung memberikan izin tersebut.

"Kenapa lo ngajak dia?!" marahku pada Xia sebab kedatangan Arzio di terminal.

"Gue ga ngajak dia. Tapi Rina ...."

"Lo denger sendiri kan syarat dari bokap gue apa? Mesti ada satu cowok yang ikut! Terus gue harus ngajak siapa?" balas Rina.

"Ya siapa kek. Masih banyak cowok di bumi. Pak Bondan juga boleh buat diajak. Kenapa harus Arzio sih?" omelku.

"Sayang!" panggil pria itu dari kejauhan.

"Lo liat deh, Rin! Gue tuh ga suka sama dia! Gimana gue bisa nyari Dani kalo ada dia?!" lanjutku.

***

Kami terpaksa membawa Arzio Fabelino ke Tanggerang. Selama masa berlibur itu, aku tak menemui Dani. Kami juga tidak tahu di mana letak rumahnya. Xia hanya menunjukkan lokasi sekolah. Namun kami tidak bisa memasuki gedung pendidikan tersebut.

Hingga akhirnya hari pulang telah tiba. Liu Xian Zhing membawa kami kembali.

***

Sesampainya aku di rumah ....

"Senin yang lalu ada Dani ke sini, Ta," ucap Ibuku.

Tanganku gemetar dan menbuat tas yang kubincang terhempas ke lantai.

"Kamu masih berhubungan sama dia?! Kamu mau liat Ibu dihina lagi dari keluarga dia?!"

Sakit. Itu yang aku rasakan di dadaku saat ini.

"Kamu kan tau Dani itu anak orang kaya, Ta. Udahlah! Masih banyak cowok lain selain dia!"

***

Sejujurnya aku benci. Aku benci fakta itu. Air mataku membanjir di dalam kamar. Rasanya sakit sekali. Penantian yang kutunggu. Tak kudapati.

Seharusnya aku tidak pergi ke Tanggerang hari itu. Seharusnya aku tidak mencarinya. Seharusnya aku di rumah saja. Seharusnya aku menunggu dengan setia.

"Udahlah, Ta. Gue jadi bingung harus ngapain." Suara Rina yang terhubung denganku melalui telepon.

Aku terus menangisi hal yang sangat sial itu.

Ini tahun ke 4 aku menunggu Dani. Apa yang akan terjadi di akhir cerita antara aku dan Dani? Apakah penantianku adalah cara untuk menghabiskan waktu saja?

***

Di hari pertama sekolah sebagai kelas 2 SMK. Aku malah merusak ponsel yang terjatuh dari saku sewaktu mengikat tali sepatu.

"Hp lo kenapa, Ta?" tanya Rina yang baru datang.

"Hp kalo ga retak, ga keren," jawabku

Dia malah menggelengkan kepala.

"HP kalo retak itu artinya minta ganti yang baru." Suara itu keluar dari mulut Arzio.

"Eh, Lit! Semalem temen kelas gue minta nomer HP lo. Katanya dimintain dari Dani. So, gue kasih aja." Liu Xian Zhing benar-benar cahaya terang tentang hubunganku dan Dani.

"Duh gimana dong? HP gue aja ga bisa disentuh!" Selalu alam semesta tidak memihakku.

Arzio mengeluarkan ponselnya. "Nih, pake aja." Dia merampas ponselku yang sudah hancur layarnya. Dan menggantikan ponselnya untuk berada di genggamanku.

"Gue bisa benerin hp gue sendiri!" bantahku.

"Telat! Kalo gue udah mau benerin, itu artinya gue yang bakalan benerin. Ga perlu persetujuan siapapun!" tegasnya.

"Tapi itu kan HP gue. Berarti lo harus izin ke gue dulu! Lo ga boleh benerin HP orang seenak lo!" balasku.

"No! Gue ga pedili. Gue ga perlu izin dari siapapun. Gue melakukan apapun yang mau gue lakukan. Gue mau benerin HP lo dan gue mau lo pake HP gue selama HP-nya dibenerin. Kalo lo ga mau, buang aja." Lagi-lagi dia mengeluarkan kata-kata itu.

Kalo lo ga mau, buang aja. Memangnya dia tidak akan menyesal jika aku membuang semua yang dia beri?

Aku hendak membuang ponsel milik Arzio namun Rina dan Liu Xian Zhing menahanku.

"Arzio kan udah baik sama lo. Setidaknya lo harus berterimakasih sama dia dengan cara nerima dia jadi pacar lo, he he," ucap Rina mengedipkan sebelah matanya pada Arzio.

"Seharusnya lo bisa manfaatin HP itu, Lit. Lo bisa chattan sama Dani pake HP dia," ucap Liu Xian Zhing.

"Busuk banget otaknya Lu Si Anjing," omel Rina.

"Ma name, Liu Xian Zhing!" tegas Xia.

"Pokoknya, kalo lo sampe bisa chattan sama Dani, lo harus ingat jasa Zio yang rela minjemin HP-nya buat lo, Ta. Setidaknya, lo jadiin dia selingkuhan lo." Rina tidak kalah gilanya dengan Arzio.

"Gue bisa jamin lo bahagia kalo jadiin gue selingkuhan," ucap Arzio.

"Lo berdua kenapa sih? Udah gue bilangin, Rin. Jangan kebanyakan makan gorengan! Nanti minyaknya naik ke otak!" omelku.

"Yang penting Arzio jadi pacar lo, gue rela disogok gorengan tiap hari," balasnya.

Kunyalakan ponsel milik Arzio yang menayangkan kunci pola. "Niat minjemin apa ga?" tanyaku.

Arzio memperlihatkan pola yang ia gunakan membentuk huruf L. "Lita," ucapnya singkat.

Aduh! Lama-lama bisa sesak napasku menghadapi laki-laki yang satu ini. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba suka denganku dan memaksa untuk jadi pacarnya. Bahkan dia memasang namaku untuk sebagai password ponselnya. Obsesi macam apa ini? Apa ini berbahaya?

"Belum ada foto-foto lo. Lo boleh foto sepuas lo. Penuhin memorinya pake foto sama video gabut lo. Biar kalo gue kangen, gue bisa langsung liat lo," ucap Arzio lagi.

Aku tidak mempedulikannya. Aku langsung memindahkan kartu perdana milikku ke ponsel tersebut dan membuka WhatsApp dengan nomor pribadiku.

Tunggu sebentar! Aku teringat sesuatu. Sewaktu SMP, aku tidak punya ponsel. Aku dipinjami oleh Dani untuk login Facebook dan dia juga menyuruhku untuk memakainya kapan saja. Ini hampir mirip dengan kejadian itu. Dani juga memaksaku untuk memakainya ponselny.

"Lo kenapa?" tanya Arzio membuatku bergidik terkejut. Rupanya tadi aku melamun. "Nangis lagi?"

Air mataku benar-benar menetes. Aku bisa merasakan sedih yang teramat di dada dan kerongkonganku. Bahkan aku tidak bisa mengeluarkan suara sedikitpun.

"Arlita! Kenapa?" tanya Arzio lagi.

Rina dan Liu Xian Zhing bangkit dari duduknya dan mengelilingi mejaku.

"Lo apain dia?" tanya Liu Xian Zhing pada Arzio.

"Kalo lo ga buta, harusnya lo liat kalo gue ga ngapa-ngapain dari tadi!" balas Arzio.

Aku segera menghapus air mata itu.

"Dani lagi?" tanya Rina.

Aku mengangguk pelan.

"Hah, biasa lah," ucap Rina kembali duduk di sebelahku. "Lita emang sering nangis tiba-tiba kalo keinget Dani. Gue sih udah biasa ngeliat dia kayak gini. Makanya gue lebih setuju kalo dia lupain Dani, mending sama Arzio aja."

"Maybe, 'cuz terlalu banyak memories antara Lita with him. So, wajar aja kalo dia nangis." Benar! Liu Xian Zhing benar. Terlalu banyak kenangan antara kami. Itu yang selalu menbuatku sulit menahan air mata ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!