Celia Carlisha Rory, yang akrab disapa Celia, adalah seorang model keturunan Tionghoa. Ia memulai kariernya di usia 22 tahun dan popularitasnya meroket. Berbagai tawaran dari brand internasional seperti Messika Jewelry dan Bottega Veneta datang bertubi-tubi. Namun, di balik semua itu, Celia merasa kehilangan dirinya sendiri. Kesibukan yang tiada henti membuatnya merasa terkekang, hingga akhirnya ia memutuskan untuk hiatus dan mencari ketenangan di Bali.
Di sanalah ia berharap bisa menemukan kembali arti hidupnya.
Celia tiba di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai. Langkahnya ringan, senyumnya mengembang, seolah siap menyambut awal baru. Ia menyeret kopernya sambil menikmati aroma laut yang samar tercium di udara.
“Finally... freedom, here I come!” serunya lantang. Beberapa orang menoleh ke arahnya, tapi Celia tak peduli.
Ia berjalan menuju stand taksi sambil memainkan ponselnya, mencari alamat vila tempat ia akan menginap. Namun, langkahnya terhenti mendadak ketika...
Brukk!
Kopernya hampir terlepas dari genggamannya. Celia mendongak dan tertegun. Di depannya berdiri seorang pria tinggi, dengan rahang tegas, kulit kecokelatan, dan tatapan tajam yang langsung membuat Celia merasa kecil. Wangi maskulin pria itu menyelinap di udara, membuat Celia terpaku selama beberapa detik.
“Oh, maaf... aku nggak sengaja,” ujar Celia, berusaha bersikap seramah mungkin.
Pria yang di tabrak Celia adalah Adhitama Elvan Syahreza, yang biasa disapa Elvan. Elvan hanya mengangguk singkat, tanpa berkata sepatah katapun. Meski sikapnya terkesan dingin, tapi auranya awur-awuran, membuat Celia terkesan.
“Aku Celia,” ujar Celia mencoba memecah keheningan dengan mengulurkan tangan.
Elvan melirik tangan Celia, ia terdiam sejenak, lalu menyambutnya. “Elvan.”
Setelah berjabat tangan, Elvan langsung berbalik dan berjalan menuju stand taksi.
Namun, Celia tidak ingin pertemuan itu berakhir begitu saja. “Tunggu!” panggilnya, berusaha mengejar Elvan.
Elvan menghentikan langkahnya, ia menoleh perlahan dengan ekspresi datar.
“Maaf, aku cuma mau tanya. Kamu tahu tempat ini?” Celia menunjukkan alamat di ponselnya.
Elvan melirik alamat yang ditunjukkan Celia sekilas, lalu mengangguk kecil. Ia berjalan kembali tanpa mengatakan apa-apa, meninggalkan Celia yang masih bingung tapi tetap mengikuti langkahnya.
Setelah mendapatkan taksi, Elvan dengan cekatan memasukkan kopernya ke bagasi, sementara Celia berdiri di sampingnya.
“Kita bareng aja ya? Aku yang bayar,” tawar Celia sambil tersenyum.
Elvan hanya mengangguk tanpa ekspresi, ia memasukkan koper milik Celia ke bagasi dan membuka pintu taksi untuk Celia.
Di dalam taksi, Celia beberapa kali mencoba berbincang dengan Elvan, tapi Elvan hanya menjawab singkat. Dia tidak kasar, tapi sikapnya yang dingin membuat Celia penasaran.
Taksi berhenti di depan sebuah rumah besar bergaya modern minimalis. Rumah berdiri kokoh dengan dinding putih bersih dan taman kecil yang tertata rapi di halamannya. Elvan membuka pintu mobil dan keluar lebih dulu, sementara Celia menatapnya dari jendela mobil.
“Ini rumahmu?” tanya Celia. Ia tidak menyangka pria ini tinggal di rumah sebesar ini.
Elvan mengangguk, dan menjawab singkat, “Ya.”
“Oh, apakah vila tempat aku menginap masih jauh dari sini?” tanya Celia sambil menunjuk alamat di ponselnya.
Elvan mengangguk singkat lagi, lalu berkata kepada sopir taksi, “Antar ke alamat ini!”
Sang sopir mengangguk patuh. Sebelum pergi, Celia melambaikan tangannya. “Makasih ya, Elvan!” serunya.
Elvan tidak menjawab, hanya mengangkat tangan sedikit sebagai tanda salam sebelum masuk ke dalam rumahnya.
Sesampainya di rumah, Elvan langsung pergi ke kamarnya dan membuka jendela besar yang menghadap ke taman belakang. Ia menatap langit yang mulai memerah di ufuk barat, dan memikirkan gadis yang baru saja ia temui.
Celia. Namanya terasa tidak asing di telinganya, dan wajahnya seolah pernah ia lihat di suatu tempat. Namun, Elvan tidak terlalu memikirkannya. Baginya, pertemuan ini hanya kebetulan belaka.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam dari rumah Elvan, Celia akhirnya tiba di vila tempat ia menginap. Vila itu terletak di tepi sawah, dengan suasana tenang dan udara yang segar. Celia tersenyum puas. Inilah yang ia cari, ketenangan.
Namun, pikirannya terus kembali kepada pria yang ia temui di bandara.
“Elvan...” gumamnya sambil membuka ponselnya. Ia mencoba mencari nama itu di internet, tapi tidak menemukan apapun yang relevan.
“Apa dia benar-benar tidak tahu siapa aku?” Celia bergumam lagi.
Celia terbiasa menjadi pusat perhatian, terutama di lingkaran sosialnya. Tapi Elvan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda mengenalinya, dan itu membuatnya penasaran sekaligus lega.
Hari-hari berikutnya, Celia menghabiskan waktu menikmati keindahan Bali. Ia menjelajahi pantai-pantai tersembunyi, mencicipi makanan lokal, dan bahkan mencoba yoga untuk pertama kalinya.
Namun, tanpa ia sadari, ia dan Elvan terus dipertemukan oleh kebetulan-kebetulan kecil.
Suatu sore, Celia sedang duduk di sebuah kafe kecil di Ubud, menikmati secangkir kopi Bali. Saat ia menoleh ke arah pintu, matanya bertemu dengan sosok Elvan yang baru saja masuk.
“Elvan?” serunya spontan.
Elvan menoleh, sedikit terkejut, tapi segera memasang ekspresi datar lagi. “Kamu di sini juga?” tanya Elvan.
Celia tertawa kecil. “Seperti yang kamu lihat "
Elvan tersenyum tipis, kali ini terlihat lebih santai. “Kamu sendirian?” tanya Elvan.
“Ya. Kalau kamu?”
Elvan mengangguk. Ia memesan kopi lalu duduk di meja Celia tanpa banyak bicara.
“Jadi, kamu tinggal di Bali untuk apa? Liburan juga?” tanya Celia, mencoba memulai obrolan.
Elvan menggeleng. “Aku tinggal di sini sekarang. Aku pindah dari Jakarta.”
“Oh, memangnya apa pekerjaanmu?” tanya Celia.
“Musisi,” jawab Elvan singkat.
Celia mengangkat alis, sedikit terkejut. “Oh, keren. Apa kamu main di band?”
Elvan tersenyum samar. “Tidak. Aku DJ.”
Percakapan berlangsung meski Elvan tidak banyak bicara. Hanya Celia yang selalu bertanya dan berinisiatif untuk mencairkan suasana. Celia menyadari, di balik sikap dingin pria itu, ada sesuatu yang menarik. Sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak.
Dan bagi Elvan, Celia adalah kejutan yang menyenangkan di tengah rutinitas barunya.
Semakin sering mereka bertemu secara kebetulan, semakin mereka menyadari bahwa ada sesuatu di antara mereka. Tidak langsung berupa cinta, tetapi ketertarikan yang perlahan tumbuh.
Namun, baik Celia maupun Elvan, keduanya tidak menyadari itu.
Malam di Bali terasa tenang. Langit bertabur bintang, dan angin laut yang lembut menyelinap masuk melalui jendela besar di rumah Elvan. Rumah itu memang besar dan modern, tetapi kehangatan di dalamnya berasal dari sosok sederhana bernama Nenek Kinan. Nenek Kinan, neneknya Elvan, adalah satu-satunya keluarga dekat yang Elvan miliki.
Di ruang tengah, Nenek Kinan duduk di kursi rotan kesayangannya, dengan sebuah selimut tipis menutupi lututnya. Matanya yang lembut menatap Elvan yang baru saja masuk setelah mengantar Celia ke vila.
“Kamu pulang terlambat, Van,” ujar Nenek dengan suara tenang namun penuh perhatian.
Elvan tersenyum tipis sambil menggantung jaketnya di dekat pintu. “Iya, Nek. Tadi ada urusan sebentar.”
Nenek Kinan mengerutkan keningnya. “Urusan apa? Kamu biasanya tidak suka keluar lama-lama kalau bukan karena pekerjaan.”
Elvan terdiam sejenak, kemudian berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air. “Cuma bantu seorang teman. Tidak penting, Nek.”
Namun, Nenek Kinan mengenal cucunya lebih baik daripada siapapun. Ia tersenyum tipis, penuh arti, sebelum berkata, “Temanmu itu perempuan, ya?”
Elvan yang sedang minum hampir tersedak. “Nenek kenapa bisa tahu?” tanyanya setengah kesal.
“Insting seorang nenek tidak pernah salah,” jawab Nenek Kinan dengan tawa ringan. “Jadi, siapa dia?”
Elvan menghela napas sambil duduk di sofa. “Namanya Celia. Aku bertemu dia di bandara. Dia cuma teman kok," jawab Elvan.
“Cuma teman, tapi kamu tidak bisa berhenti memikirkannya?” goda Nenek Kinan sambil tersenyum penuh arti.
Elvan hanya memutar bola matanya, lalu bangkit dari sofa. “Aku tidur dulu, Nek. Selamat malam.”
“Selamat malam, Van.”
Namun, setelah Elvan masuk ke kamarnya, Nenek Kinan tetap duduk di kursinya sambil tersenyum kecil. Ia merasa sesuatu yang baik sedang menanti cucunya.
Keesokan harinya, Celia menikmati sarapan di teras vila. Pemandangan sawah hijau yang terhampar luas di depannya membuat hati Celia terasa damai. Namun, pikirannya terus kembali kepada pria yang ia temui kemarin.
“Elvan...” gumamnya pelan sambil mengaduk teh hangat di cangkirnya.
Tiba-tiba, ponselnya berbunyi. Celia meraih ponsel itu dan melihat nama Lily tertera di layar. Lily adalah manajer dan teman baik Celia.
“Aduh, apa lagi sekarang?” Celia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan secara perlahan sebelum menjawab panggilan itu.
“Celia! Kamu ke mana? Klien sudah menunggu, dan jadwal pemotretan hari ini kacau karena kamu tiba-tiba menghilang!” suara Lily terdengar panik di seberang.
“Aku sedang liburan, dan aku butuh waktu sendiri,” jawab Celia tegas.
“Liburan? Kamu tidak bisa begitu saja meninggalkan semua pekerjaan, Celia! Kamu punya kontrak!”
Celia memejamkan mata, mencoba menahan emosinya. “Aku sudah lelah. Aku tidak tahu kapan akan kembali. Jadi, jangan ganggu aku dulu.”
Celia menutup teleponnya tanpa menunggu jawaban. Sekarang, Celia hanya ingin menikmati hidupnya tanpa tekanan.
Sementara itu, di rumah Elvan, Nenek Kinan sedang menyiapkan sarapan di dapur ketika Elvan keluar dari kamarnya. Ia mengenakan kaus hitam polos dan celana pendek, penampilannya santai namun tetap memancarkan aura yang kuat.
“Elvan, hari ini kamu tidak ada jadwal di klub, kan?” tanya Nenek Kinan sambil meletakkan sepiring nasi goreng di meja.
“Tidak, Nek. Ada apa?” tanya Elvan setelah meneguk segelas air di tangannya.
“Temani Nenek ke pasar, ya? Ada beberapa bahan yang perlu dibeli.”
Elvan mengangguk. “Baik, Nek. Kita berangkat sekarang?”
“Setelah kamu selesai makan," jawab Nenek Kinan.
Pasar tradisional Bali pagi itu ramai seperti biasa. Nenek Kinan berjalan pelan, ditemani Elvan yang mendorong keranjang belanjaan mereka. Para pedagang menyapa Nenek Kinan dengan ramah, menunjukkan betapa ia dihormati di lingkungan tersebut.
Di salah satu kios bunga, Nenek Kinan berhenti untuk membeli bunga kamboja. Sementara itu, Elvan berdiri tidak jauh dari neneknya, memerhatikan sekeliling. Ia tidak menyangka akan melihat sosok yang sudah menghantui pikirannya sejak kemarin.
Celia sedang berdiri di depan kios buah, sambil memilah milih mangga. Ia mengenakan dress putih, tampak sederhana, tetapi tetap terlihat memukau. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, dan senyum manisnya memikat semua orang di sekitarnya.
“Celia?” gumam Elvan tanpa sadar.
Celia yang mendengar namanya dipanggil menoleh. Ketika matanya bertemu dengan mata Elvan, wajahnya langsung cerah. “Elvan! Apa kabar?”
Elvan berjalan mendekatinya, terlihat sedikit canggung. “Aku baik. Kamu ngapain di sini?”
“Aku sedang melihat-lihat,” jawab Celia sambil tertawa kecil.
Saat itu, Nenek Kinan mendekat dengan senyum lembut di wajahnya. “Van, siapa ini?” tanyanya sambil melirik Celia.
“Elvan, ini nenekmu?” Celia bertanya dengan nada antusias.
Elvan mengangguk. “Celia, ini Nenek Kinan. Nek, ini Celia. Aku bertemu dia kemarin di bandara.”
“Oh, jadi ini gadis yang menjadi temanmu,” ucap Nenek Kinan dengan nada menggoda. Ia tersenyum ramah kepada Celia. “Senang bertemu denganmu, Nak.”
Celia tersenyum hangat. “Saya juga senang bertemu dengan Nenek.”
“Celia sedang liburan di Bali,” tambah Elvan.
“Oh, bagus sekali. Bali memang tempat yang indah untuk beristirahat,” ucap Nenek Kinan.
Percakapan mereka berlanjut, dan Nenek Kinan langsung merasa nyaman dengan Celia. Ia bahkan mengundang Celia untuk mampir ke rumah mereka.
“Kamu harus datang, Nak. Rumah kami tidak jauh dari sini,” ajak Nenek Kinan.
Celia sedikit ragu, tetapi melihat senyum tulus Nenek Kinan, ia tidak bisa menolak. “Terima kasih, Nek. Saya akan mampir kapan-kapan."
Hari berikutnya, Celia benar-benar mengunjungi rumah Elvan. Ia membawa oleh-oleh kecil berupa kue tradisional Bali yang ia beli di pasar.
Nenek Kinan menyambutnya dengan hangat, sementara Elvan tetap dengan sikap datarnya. Namun, kali ini ia tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya melihat Celia.
“Rumah nenek bagus sekali,” ucap Celia sambil mengamati sekeliling.
“Terima kasih, Nak. Rumah ini penuh kenangan,” jawab Nenek Kinan sambil menuangkan teh untuk tamunya.
Mereka duduk bersama di ruang tengah, berbicara tentang banyak hal. Celia merasa nyaman, seolah-olah ia sudah mengenal Nenek Kinan selama bertahun-tahun.
Elvan, yang biasanya tidak terlalu banyak bicara, mulai membuka diri. Ia menceritakan sedikit tentang hidupnya di Bali dan bagaimana ia merintis karier sebagai DJ.
Celia mendengarkan dengan penuh perhatian, merasa semakin tertarik pada pria itu.
Hari-hari berlalu, dan hubungan Celia dengan Elvan serta Nenek Kinan semakin akrab. Celia sering mampir ke rumah mereka, membawa cerita baru dari petualangannya di Bali.
Nenek Kinan diam-diam berharap ada sesuatu yang lebih antara Celia dan Elvan. Ia melihat bagaimana mata cucunya bersinar setiap kali Celia datang, meskipun Elvan berusaha keras menyembunyikannya.
Namun, baik Celia maupun Elvan masih belum menyadari sepenuhnya apa yang sedang tumbuh di antara mereka.
Hingga suatu sore, saat Elvan dan Celia duduk di teras rumah bersama Nenek Kinan, Celia berkata, “Aku merasa beruntung bisa bertemu dengan nenek. Nenek membuat liburanku lebih bermakna.”
Elvan menoleh dan menatap Celia dengan tatapan lembut yang jarang ia tunjukkan.
“Kami juga senang kamu di sini," ucap Nenek. Nenek Kinan tersenyum penuh arti sambil menatap langit senja. Dalam hatinya, ia tahu bahwa pertemuan ini bukan kebetulan.
Siang kembali berganti malam, membawa suasana damai yang kental di rumah Elvan dan Nenek Kinan. Namun, tidak di vila tempat Celia menginap, suasana sedikit berbeda. Celia sedang berbicara melalui panggilan video dengan manajer sekaligus sahabatnya, Lily.
“Celia, aku ngerti kamu butuh istirahat. Tapi, kabur ke Bali tanpa memberitahuku? Aku hampir gila mencari tahu di mana keberadaan kamu!” Lily, yang biasanya ceria, terlihat setengah kesal dan setengah cemas di layar.
Celia tertawa kecil sambil menyandarkan tubuhnya. “Aku cuma butuh waktu sendiri, Ly. Kamu tahu, pekerjaan ini sudah terlalu melelahkan untukku.”
“Aku ngerti, tapi kamu nggak bisa begitu saja meninggalkan semuanya. Aku dapat banyak panggilan dari klien yang menanyakan jadwalmu,” balas Lily dengan nada serius, meskipun tatapannya melunak.
“Ly, please, beri aku waktu. Hanya sebentar. Aku janji akan kembali,” ujar Celia dengan nada lembut.
Lily menghela napas panjang. “Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Tapi tolong kabari aku setiap hari, ya? Dan kalau butuh apa-apa, bilang aja, bagaimana pun aku ini tetap sahabatmu.”
Celia tersenyum. “Terima kasih, Ly. Kamu memang yang terbaik," ucap Celia sambil mengacungkan jempolnya.
Setelah panggilan berakhir, Celia menatap ponselnya sejenak. Ia merasa bersyukur memiliki Lily, yang selalu mendukungnya meskipun ia sering bertindak impulsif.
Keesokan harinya, Celia memutuskan untuk kembali mengunjungi rumah Elvan dan Nenek Kinan. Ada sesuatu yang menarik tentang keluarga kecil itu yang membuatnya merasa nyaman, seolah ia menemukan tempat berlindung dari hiruk pikuk kehidupannya.
Ketika tiba, ia mendapati Nenek Kinan sedang merawat bunga-bunga di taman depan.
“Selamat pagi, Nek!” sapa Celia dengan ceria.
Nenek Kinan menoleh dan tersenyum lebar. “Pagi, Nak Celia! Sudah sarapan?”
Celia menggeleng. “Belum, Nek. Aku berharap bisa mencicipi masakan Nenek lagi," ucap Celia sambil terkekeh.
Nenek tersenyum, dan berkata, “Oh, tentu saja! Masuklah, nanti Nenek buatkan sesuatu.”
Saat Celia masuk ke dalam rumah, ia melihat Elvan sedang duduk di ruang tamu dengan laptop di pangkuannya. Wajahnya terlihat serius, fokus pada layar.
“Hai, Elvan,” sapa Celia sambil tersenyum.
Elvan mendongak, ekspresinya berubah sedikit lebih lembut. “Hai. Kenapa kamu datang sepagi ini?" tanya Elvan.
“Aku ingin mencicipi masakan Nenekmu lagi,” jawab Celia santai, lalu duduk di sofa di sebelah Elvan.
“Aku rasa Nenek akan senang mendengarnya.” ujar Elvan, lalu kembali fokus pada laptopnya.
“Apa yang sedang kamu kerjakan?” Celia bertanya, ia penasaran.
“Proyek musik. Aku sedang membuat remix untuk klub tempat aku bekerja,” jawab Elvan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.
Celia mendekat, mencoba melihat layar laptopnya. “Boleh aku dengar?”
Elvan terdiam sejenak, lalu mengangguk. Ia memasang headphone di kepala Celia dan memutar musik yang sedang ia kerjakan.
“Wow, ini keren. Kamu benar-benar berbakat,” puji Celia setelah mendengar beberapa detik.
Elvan tersenyum tipis. “Terima kasih.”
Melihat senyum itu, Celia merasa ada sesuatu yang berbeda. Senyum Elvan, meskipun kecil, terasa tulus dan hangat.
Sementara itu, Nenek Kinan mempersiapkan sarapan sederhana di dapur. Ia tersenyum kecil sambil mendengar tawa Celia dari ruang tamu. Dalam hati, ia merasa senang melihat cucunya mulai terbuka kepada seseorang, sesuatu yang jarang terjadi.
Ketika sarapan sudah siap, nenek memanggil Celia dan Elvan. Mereka bertiga duduk di meja makan. Percakapan ringan mengalir di antara mereka, membuat suasana semakin hangat.
“Jadi, Celia, apa yang kamu lakukan di Jakarta?” tanya Nenek Kinan dengan penasaran.
Celia terdiam sejenak, merasa ragu untuk menjawab. “Aku seorang model, Nek. Tapi sekarang aku sedang mengambil waktu istirahat.”
Elvan, yang sedang mengunyah roti, hampir tersedak mendengar jawaban itu. “Model?” tanya Elvan, sedikit terkejut.
Celia tertawa kecil melihat reaksinya. “Kenapa? Kamu tidak tahu?”
Elvan menggeleng. “Aku tidak terlalu mengikuti dunia seperti itu.”
“Jadi selama ini kamu tidak tahu siapa aku?” Celia masih terkejut, tetapi dalam hati merasa lega.
“Tidak,” jawab Elvan jujur. “Aku hanya tahu kamu orang yang cerewet dan suka datang ke rumahku tanpa diundang.”
Celia tertawa. “Well, sekarang kamu tahu, kan? Aku model yang cukup terkenal."
Nenek Kinan tersenyum kecil melihat interaksi mereka. Ia merasa bahwa Celia membawa cahaya baru dalam hidup cucunya.
Hari-hari berlalu, dan Celia semakin sering menghabiskan waktu di rumah Elvan dan Nenek Kinan. Lily, meskipun khawatir dengan kepergian Celia, tetap mendukungnya dari jauh.
Suatu sore, Celia dan Elvan berjalan-jalan di sepanjang pantai di dekat rumah Elvan. Matahari hampir tenggelam, menciptakan gradasi warna oranye dan ungu yang indah di langit.
“Kenapa kamu memilih tinggal di Bali?” tanya Celia sambil berjalan di samping Elvan.
Elvan menatap horizon sejenak sebelum menjawab. “Nenek memintaku pindah ke sini. Dia sudah tua, dan aku tidak ingin dia sendirian.”
Celia tersenyum mendengar jawaban itu. “Kamu cucu yang baik," ucap Celia sambil mengacungkan dua jempolnya ke atas.
“Tidak juga,” balas Elvan. “Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan.”
Celia menatap Elvan, mencoba memahami pria di sampingnya. Di balik sikap dinginnya, ia melihat seseorang yang peduli, meskipun tidak selalu menunjukkan perasaannya.
“Elvan, kamu tahu? Aku merasa seperti menemukan tempat yang tepat di sini,” ujar Celia pelan.
Elvan menoleh, sedikit terkejut dengan pernyataan itu. “Kenapa?”
Celia menatap laut, matanya berkilauan dalam cahaya matahari terbenam. “Karena kalian. Kamu dan Nenek Kinan membuatku merasa seperti di rumah.”
Elvan terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Namun, dalam hatinya, ia merasakan hal yang sama.
Hari mulai gelap ketika Celia kembali dari pantai bersama Elvan. Mereka berjalan dalam diam, menikmati suara deburan ombak dan aroma laut yang khas. Meski tidak banyak berbicara, Celia merasa kehadiran Elvan di sisinya memberikan ketenangan yang ia butuhkan.
Ketika mereka tiba di rumah, Nenek Kinan sedang duduk di teras dengan secangkir teh hangat di tangannya. Wanita tua itu tersenyum lebar melihat keduanya.
“Kalian terlihat seperti pasangan muda yang baru jatuh cinta,” celetuk Nenek sambil tertawa kecil.
Celia hampir tersedak mendengar ucapan itu. “Nenek, jangan bercanda begitu!” ucap Celia sambil tersenyum canggung.
Elvan hanya mendengus kecil lalu masuk ke dalam rumah tanpa menanggapi. Namun, wajahnya terlihat sedikit memerah.
“Duduklah, Nak,” ujar Nenek sambil menunjuk kursi di sebelahnya. “Nenek ingin berbicara sedikit denganmu.”
Celia menurut dan duduk di samping Nenek. Ia merasa nyaman dengan wanita tua itu, seperti berbicara dengan neneknya sendiri.
“Nak, aku ingin bertanya. Apa rencanamu selanjutnya?” tanya Nenek dengan lembut.
Celia terdiam sejenak, memandangi langit malam yang bertabur bintang. “Aku tidak tahu, Nek. Selama ini, hidupku hanya tentang pekerjaan. Aku merasa seperti kehilangan jati diri. Itulah mengapa aku datang ke sini, untuk mencari tahu siapa aku sebenarnya.”
Nenek Kinan mengangguk pelan. “Kadang-kadang, kita butuh menjauh dari hiruk-pikuk untuk benar-benar mendengarkan hati kita sendiri. Tapi ingat, Nak, menemukan diri sendiri bukan berarti harus melupakan tanggung jawabmu.”
Kata-kata itu menohok hati Celia. Ia menyadari bahwa meski ingin beristirahat, ia tidak bisa sepenuhnya mengabaikan pekerjaannya.
Keesokan harinya, Celia memutuskan untuk mengunjungi rumah Elvan lebih awal. Kali ini, ia membawa kue khas Bali yang ia beli di pasar pagi.
“Aku bawakan sesuatu untuk kalian!” seru Celia ceria saat masuk ke dalam rumah.
Elvan, yang sedang duduk di ruang tamu, menoleh ke arah Celia dengan ekspresi datar. “Kamu selalu datang tanpa diundang.”
“Aku yakin Nenek tidak keberatan,” balas Celia santai sambil meletakkan kotak kue di meja.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!