"minumlah," ucap nenek tua didepanku, aku mencoba menolak namun entah kenapa tidak bisa, dan aku akhirnya meminum minuman busuk itu.
Saat aku bangun paginya, Rasa pahit nya masih ada. Lagi ? Pikirku. Dan tentu saja setelah bangun aku langsung sembuh.
Dari saat aku masih kecil, keseharian ku sering terganggu oleh sakit mendadak. Sering kali secara tiba-tiba saja tubuhku lemah, demam tinggi dan tanpa alasan yang jelas. Ibuku kadang tampak khawatir, tapi sesibuk apapun, dia tetap harus bekerja keras demi kami. Setiap malam ketika demam datang, aku akan berbaring dalam kegelapan, berharap bisa tidur. Namun, justru saat terlelap, mimpi yang sama dan aneh itu selalu muncul.
Di dalam mimpiku, aku melihat sosok seorang nenek tua berwajah keriput dan seorang pemuda yang tak pernah kukenal. Mereka berdiri di samping ranjangku, memperhatikanku dengan tatapan kosong, wajah mereka tak menunjukkan ekspresi. Nenek itu membawa cangkir kayu berisi cairan hitam pekat, dan tanpa bicara, dia mengulurkan cangkir itu padaku.
“Minumlah,” ucapnya, suaranya berat, hampir seperti berbisik di telingaku. Saat nenek tua itu mengulurkan cangkirnya, aroma busuk menyeruak, mengingatkanku pada bau tanah basah yang lama tak tersentuh. Cairan hitam itu beriak pelan, memantulkan bayanganku yang terlihat pudar. Cairan itu terasa pahit, dan meskipun aku hanya meminumnya dalam mimpi, keesokan harinya rasa pahit itu seakan masih tersisa di tenggorokanku. Anehnya, demamku selalu hilang setelah mimpi itu.
Awalnya, aku berpikir ini hanya kebetulan, mimpi yang aneh yang kebetulan selalu berulang. Tapi semakin lama, semakin aku merasa ada sesuatu yang tidak biasa.Aku mulai bertanya-tanya, apakah mimpi itu lebih dari sekadar bunga tidur?
Perasaan aneh menggelayut di dadaku, seperti ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh nenek tua itu. Tapi setiap kali aku mencoba memahami, semuanya kabur seperti asap yang tertiup angin. Aku hanya bisa merasakan sisa-sisa ketakutan dan rasa pahit di tenggorokanku, membuat tidurku tak pernah benar-benar nyenyak.
---------。♡
Suara burung berkicau di luar jendela samar-samar terdengar, menandakan pagi telah tiba. Sinar matahari mulai menerobos melalui tirai tipis kamarku, memaksa mataku yang berat untuk membuka. Saat aku masih setengah tertidur, aku merasakan sentuhan lembut di dahiku.
"Sophia, bangun, Kenapa kamu demam lagi?" tanya Ibu dengan suara lembut namun penuh rasa cemas.
Aku berusaha tersenyum tipis meski rasanya sulit. "Aku nggak tahu, Bu... Tubuhku terasa sangat berat," gumamku pelan.
Oh iya sebelumya aku Sophia darnell, biasa dipanggil Sophia. Sekarang aku berusia 16 tahun dan duduk di kelas 2 SMA. Aku bukan tipe orang yang mudah bergaul atau banyak bicara lebih tepatnya aku sangat introvert. Sejak kecil, aku lebih suka menyendiri dan tenggelam dalam pikiranku sendiri. Seringkali aku merasa berbeda, terutama dengan mimpi-mimpi aneh yang datang tanpa diundang. Seperti malam tadi, nenek tua yang tak kukenal itu kembali muncul dalam mimpiku.
Ibu menghela napas panjang dan merapikan selimutku dengan lembut. "Istirahat saja, ya. Ibu akan ambilkan obat," ucapnya dengan suara lembut.
Aku memperhatikan wajah Ibu yang tampak lelah dan penuh beban. Setelah Ayah pergi meninggalkan kami tanpa penjelasan beberapa tahun lalu, semua tanggung jawab keluarga seolah jatuh ke pundaknya.
Aku dan kedua saudaraku, Bob dan Mira, pun merasakan dampaknya. Bob kakakku yang berusia 18 tahun, selalu terlihat dingin dan jauh. Dia jarang berada di rumah, dan lebih memilih untuk berada dirumah temennya mungkin untuk melarikan diri dari semua masalah keluarga kami. Sementara itu, Mira, adikku yang berusia 14 tahun, masih terlalu kecil untuk memahami sepenuhnya apa yang terjadi, tetapi aku bisa melihat kesedihan di matanya setiap kali nama Ayah disebutkan.
Sejujurnya, aku merasa sangat kesepian. Meskipun aku memiliki sahabat yaitu Ariana Denta Putri—yang biasa kupanggil Ari—aku tetap merasa kesepian, ya walaupun aku sering menceritakan apa yang sebenarnya kurasakan, tapi entah kenapa aku masih merasa ini belum cukup. Di sekolah, Ari adalah satu-satunya orang yang selalu ada di sisiku meskipun dia kadang terlalu sibuk dengan hidupnya sendiri.
Pikiranku melayang kembali kepada mimpi buruk yang kembali menghantuiku Semalam nenek tua itu datang lagi, membawa cangkir kayu berisi cairan hitam pekat. Setiap kali dia memaksaku untuk meminum isi cangkir itu, aku selalu terbangun dengan rasa pahit dan juga keringat dingin dan rasa takut yang mencekam.
"Ari, lo pernah nggak mimpi aneh terus-menerus?" tanyaku beberapa hari lalu saat kami duduk di kantin sekolah.
Ari menatapku sambil mengunyah makanan dengan santai. "Mimpi apa sih? Nenek tua lagi?" Dia tertawa kecil, tapi aku bisa merasakan ketertarikan di matanya.
Aku hanya mengangguk pelan. "Iya, mimpi itu lagi. Kayaknya nggak normal kalau terus-terusan begini."
Ari menghela napas panjang dan menatapku serius. "Lo jangan mikir yang aneh-aneh deh. Mungkin lo cuma kecapekan atau stres. Udah deh, fokus aja sama pelajaran. Kalau lo terus mikirin ini, bisa jadi beneran kebawa ke alam bawah sadar."
Aku tersenyum tipis mendengar kata-kata Ari. Meskipun terkadang terasa enteng bagi dia, kehadirannya selalu memberiku sedikit rasa nyaman dalam kesunyian hatiku.
Di rumah, aku mencoba kembali beristirahat meskipun sulit. Sejak kecil, aku memang lebih sering sakit dibandingkan Bob atau Mira. Aku masih ingat saat Ibu sering membawaku ke dokter untuk mencari tahu apa yang salah dengan kesehatanku. Namun dokter hanya bilang bahwa aku perlu lebih banyak istirahat dan tidak perlu khawatir berlebihan, tapi meskipun aku sudah banyak istirahat, itu masih belum berhasil merubah apapun.
Aku masih sering tiba tiba demam mendadak.
malam harinya, aku terbangun dengan perasaan gelisah melanda hatiku. Dari sudut kamar, bayangan Hitam—kucing peliharaanku duduk diam sambil memperhatikanku dengan tatapan tajam namun lembut. Entah kenapa kehadiran Hitam selalu membuatku merasa sedikit lebih tenang dalam keadaan seperti ini. Aku mengelus kepalanya pelan sambil berkata lirih, "Hitam, kenapa ya aku ngerasa Akhir-akhir ini mimpi-mimpi itu semakin nyata."
Hitam mengeong pelan seolah mengerti apa yang kurasakan dan mengusap kepalanya di tanganku sebagai bentuk dukungan tanpa kata-kata.
Malam itu terasa panjang dan menegangkan; pikiran-pikiran tentang mimpi buruk terus menghantuiku hingga larut malam. Dalam gelapnya kamar yang sunyi itu, aku berharap agar semua ini segera berlalu dan bahwa suatu saat nanti semuanya akan berakhir dan aku bisa menjalani hari dengan normal.
Akhirnya aku kembali mengantuk, sebelum tidur aku kembali berdoa semoga besok dan selanjutnya, akan baik baik saja. Karena jujur saja aku cukup lelah memikirkan misteri yang entah kapan bisa kutemukan jawabannya.
------------。♡
Sejak mimpi terakhir itu, aku merasa ada yang berubah. Malam-malamku jadi lebih sepi dan dingin. Setiap kali aku terpejam, bayangan rumah sakit tua muncul di pikiranku, seperti memanggilku untuk ke sana. Aku terbangun beberapa kali dalam semalam, dengan perasaan gelisah yang tak kunjung hilang. Bahkan suara angin yang berdesir di luar jendela terdengar seperti bisikan samar yang berusaha menyampaikan pesan, tapi aku tak bisa memahami apa yang dikatakannya.
Di rumah, situasi makin tidak nyaman. Bob, kakakku, mulai jarang pulang. Saat ia pulang pun, suasana rumah selalu diisi dengan teriakan dan amarah yang meledak-ledak. Ibu, seperti biasa, selalu sibuk di ruang kerjanya, tenggelam dalam pekerjaan yang sepertinya tak pernah selesai. Aku sering melihatnya duduk lama dengan tatapan kosong, seolah tubuhnya berada di sini tapi pikirannya melayang jauh entah ke mana. Mira, adikku, memilih mengurung diri di kamarnya sepanjang hari. Dia tak pernah berbicara banyak sejak beberapa tahun terakhir. Rumah ini seakan dipenuhi bayangan kelam yang membuatku semakin merasa sendirian, meski aku dikelilingi oleh keluargaku.
Suatu hari sepulang sekolah, aku memutuskan untuk mengambil jalan pintas yang jarang kulalui. Jalanan itu sunyi dan terkesan menyeramkan, dengan pepohonan tinggi yang menutupi sebagian besar jalan setapak. Aku tak tahu kenapa kakiku membawaku ke sini, tapi ada dorongan kuat yang membuatku terus melangkah. Di ujung jalan, aku melihat seorang nenek tua duduk di tepi jalan. Pakaiannya lusuh, wajahnya penuh keriput, tapi ada sesuatu yang membuatku merasa familiar, seolah aku pernah melihatnya di suatu tempat, mungkin dalam mimpi.
"Nak, kamu bisa lihat aku?" tanya nenek itu dengan suara serak yang bergetar. Aku terdiam, merasa bingung. Sejenak aku berpikir, mungkin nenek ini adalah salah satu dari orang-orang tua yang sering duduk di tepi jalan.
Tapi, kenapa aku merasa pernah bertemu dengannya? dan juga kenapa dia bertanya bisa melihatnya atau tidak, atau jangan jangan dia bukan manusia, pikirku bergidik ngeri
"Iya bisa nek. nenek kok nanya gitu?" jawabku ragu.
Dia tersenyum aneh, senyum yang menampakkan deretan gigi yang sudah menghitam dan jarang-jarang. Matanya tajam menatapku, seolah sedang meneliti sesuatu di dalam diriku. "Berhati-hatilah dengan mereka," katanya singkat. Jantungku berdegup kencang mendengar kata-kata itu. Siapa yang dimaksud nenek ini dengan "mereka"?
Saat aku masih terdiam dalam kebingungan, nenek tua itu menghilang begitu saja, seolah ditelan bayangan. Aku mengerjap pelan, mencoba mencari sosoknya di sekitar, tapi tidak ada siapa-siapa. Hanya aku yang berdiri sendirian di jalanan sepi itu.
Apa yang dimaksud sama nenek itu ? Tiba tiba ngasih peringatan yang ga jelas dasarnya pikirku.
Dengan perasaan resah yang tak terjelaskan, aku melanjutkan perjalanan pulang.
Setibanya di rumah, seperti biasa, suasana terasa sunyi. Aku menghela napas panjang, tersenyum miris sambil membayangkan betapa bahagianya jika memiliki keluarga yang harmonis walaupun aku dan ibu lumayan sering mengobrol, namun aku masih merasa keluargaku kurang harmonis. Aku berjalan gontai menuju kamarku dan langsung disambut oleh si Hitam, kucing kesayanganku. Si Hitam mengeong pelan dan melingkarkan tubuhnya di kakiku, seolah berusaha menghiburku. Aku bermain sebentar dengannya, mencoba menenangkan pikiranku yang kacau.
Malam hari...
"nanti jadi nggak?" tanya Ari saat kami melakukan video call. "Jadi, lah. udah lama kita nggk jalan jalan bareng, masa udah ada kesempatan malah ga jadi," jawabku sambil tersenyum kecil, meski hatiku masih terasa berat.
"Oke, bentar lagi gue otw jemput ya," katanya. Aku hanya mengangguk lalu menutup video call kami. Malam ini, aku dan Ari memang berencana untuk jalan-jalan keliling kota berdua. Kami sudah lama merencanakan mau jalan jalan dan malam ini baru ada kesempatan, dan sekalian aku butuh waktu untuk keluar dari rutinitas yang membuatku stres.
Setelah siap-siap, aku menunggu Ari di depan rumah. Angin malam berhembus pelan, membawa serta aroma tanah basah yang menenangkan. Tak lama kemudian, Ari tiba dengan motor Scoopy nya. Kami mulai mengelilingi kota, menikmati udara malam sambil berbincang ringan. Kami berbicara tentang hal-hal sepele, tentang sekolah, tentang film, dan tentang rencana liburan yang mungkin tidak akan pernah terjadi. Namun tiba-tiba, Ari menerima telepon dari ibunya. Ada hal penting yang harus segera ia urus.
"gue anterin lo pulang aja, ya," kata Ari dengan nada menyesal.
Aku menggeleng. "Nggak usah. Antar gue ke perpustakaan aja. gue pengen cari buku dulu."
Ari tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk. "Oke, kalau ada apa-apa, langsung hubungi gue, ya."
"Tenang aja. Lo hati-hati di jalan," balasku, mencoba meyakinkannya.
Akhirnya, Ari mengantarkanku ke perpustakaan terbesar di kota. Perpustakaan ini memiliki tiga lantai dan sering sepi pada malam hari, terutama lantai tiga yang jarang dikunjungi. Aku masuk dan langsung menuju lantai paling atas. Entahlah tiba tiba aku ingin datang ke lantai ini, karena sebelumnya aku hanya dilantai 1 dan kalaupun naik itu hanya sebatas lantai 2.
Aku mulai menjelajahi rak-rak buku di lantai tiga, tempat yang paling sunyi. Tumpukan buku tua dengan sampul yang kusam berderet rapi. Aku merasakan suasana aneh di sini, seolah setiap buku menyimpan cerita kelam yang tak terucapkan. Saat mataku menyusuri deretan buku, tiba-tiba perhatianku tertuju pada sebuah buku yang berbeda. Sampulnya hitam pekat tanpa judul, hanya ada simbol aneh yang terukir di tengahnya—lingkaran dengan garis melingkar ke dalam, membuatnya terlihat misterius. Aku tidak tahu kenapa, tapi jari-jariku bergerak mengambilnya.
Ada dorongan kuat untuk mengambil buku itu. Dengan tangan gemetar, aku mengulurkannya dari rak. Buku itu terasa lebih berat dari yang seharusnya. Ketika kubuka halaman pertamanya, aku terkejut melihat isinya kosong. Aku membolak-balik halamannya, tapi semuanya hanya putih polos, tanpa tulisan atau gambar sedikit pun.
"Apa maksudnya ini?" gumamku bingung. Aku merasa ada sesuatu yang aneh, seolah buku ini sedang menatap balik ke dalam diriku.
Saat aku membuka halaman terakhir, aku merasakan sensasi dingin menjalar di jari-jariku, seperti ada sesuatu yang tak terlihat sedang memegangku. Aku memandang sekeliling, dan saat itu aku melihat sosok nenek tua berdiri di ujung lorong rak buku, tersenyum tipis dengan tatapan penuh rahasia. Aku tersentak, tapi sebelum aku sempat berkata apa-apa, sosok itu memudar perlahan, menghilang di antara bayangan rak buku.
Jantungku berdetak kencang. Aku menutup buku itu dan mengembalikannya ke rak dengan cepat, merasa seolah buku itu memiliki beban yang lebih dari sekadar halaman kosong. Tanpa berpikir panjang, aku mengeluarkan ponsel dan menghubungi Ari.
"Ari, gue butuh lo balik sekarang. Ada sesuatu yang aneh di sini," kataku dengan nada cemas.
"Oke, tunggu gue di situ. Gue segera balik," jawab Ari, suaranya terdengar khawatir. Aku bisa merasakan ketakutan mulai merayap di dalam diriku.
Aku melangkah mundur dan bergegas meninggalkan lantai tiga perpustakaan. Saat menuruni tangga, aku merasa ada yang mengikutiku, tapi setiap kali menoleh, tak ada siapa pun di sana. Suara langkah kakiku terdengar menggema di dalam gedung yang sepi, membuat suasana semakin mencekam dan sangking buru buru nya aku sampai menabrak seseorang namun karena aku masih takut aku langsung meninggalkan orang itu tanpa berkata sepatah katapun. Sesampainya di lantai bawah, aku duduk di bangku dekat pintu keluar, mencoba menenangkan diriku sambil menunggu Ari.
Dalam hatiku, aku tahu buku itu bukan sekadar buku tua biasa. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik halaman-halaman kosongnya, sesuatu yang ingin menunjukkan padaku rahasia yang selama ini terkubur dalam kegelapan. Malam itu, aku meninggalkan perpustakaan dengan perasaan yang bercampur aduk. Aku tahu ini baru awal dari misteri yang lebih besar, dan jujur aku sedikit menyesal karena gara gara naik ke lantai 3 itu aku tidak jadi membeli buku yang kuinginkan.
-- berhati hatilah dalam berucap krna hal yang menurut mu bercanda bisa membawa bencana ---
{Sophia darnell}
Pagi ini aku melakukan rutinitas seperti biasanya sebelum berangkat sekolah. Seperti hari-hari sebelumnya, suasana di rumahku terasa sama—sepi, suram, dan seolah hanya ada aku yang ada di sini, bahkan saat aku pulang semalam tidak ada yang menyambut ku, Tidak ada suara tawa atau percakapan hangat.
Hanya hening yang membuatku merasa seperti terjebak dalam sebuah ruang yang tak pernah bergerak. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, yang jelas, sejak ayahku pergi entah ke mana, keadaan rumahku jadi seperti ini. Aku mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya, tapi semakin hari, semakin terasa bahwa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang membuat semuanya jadi terasa begitu berat.
Setelah duduk lama di meja makan, aku memutuskan untuk segera berangkat ke sekolah. Aku tak merasa terburu-buru, karena jarak antara rumahku dan sekolah tidak terlalu jauh. Aku lebih suka berjalan kaki. Bukan karena tidak mampu, tapi aku merasa ada sesuatu yang menenangkan ketika aku melangkah sendiri, menyusuri jalan dengan langkah santai. Selain itu, aku juga bisa sekalian menurunkan berat badan, hehe.
Begitu sampai di sekolah, seperti biasa, Ari sudah menungguku di gerbang. Kami memang begitu—kalau salah satu dari kami datang lebih dulu, dia akan menunggu di gerbang. Pertemanan kami sudah cukup lama. Kami pertama kali bertemu saat SMP, saat itu aku dan dia beda kelas, tapi kelas kami berdekatan. Waktu itu, aku melihatnya duduk sendirian di depan kelas sambil menangis karena tidak membawa baju olahraga. Saat itulah kami mulai berbicara.
Flashback ke masa itu, saat aku baru saja selesai olahraga dan akan masuk ke kelas...
"Hah, panas banget hari ini," ucapku sambil menyeka keringat. Aku baru saja keluar dari lapangan setelah jam pelajaran olahraga. Saat hendak masuk ke kelas, aku melihat seorang siswa duduk sendirian di depan kelas sebelah. Dia tampak kesal dan air matanya jatuh satu per satu. Aku mendekat.
"Kamu kenapa nangis?" tanyaku dengan nada lembut.
"Baju olahraga aku hilang," jawabnya, dengan suara terisak.
Aku teringat bahwa aku membawa dua baju olahraga, dan aku tidak keberatan memberikan satu.
"Aku punya dua, kamu mau yang satu?" tawarku.
Dia terlihat terkejut, tapi kemudian mengangguk ragu.
"Emang boleh?" tanyanya.
"Tentu, ayo ikut aku," jawabku.
Itulah awal mula kami berteman. Sejak saat itu, kami sering berbicara dan menghabiskan waktu bersama. Ari adalah orang yang mudah diajak bicara dia ceria dan juga pengertian, dan dia selalu bisa membuat suasana jadi lebih ringan. Aku merasa nyaman bersamanya, meski di rumah semuanya terasa jauh dari nyaman.
Kembali ke masa sekarang, hari-hariku tetap berlalu begitu saja. Tidak ada yang benar-benar berubah. Keadaan di rumah tetap sama, dan suasana hatiku juga tidak jauh berbeda. Aku terus merasa terjebak dalam rutinitas yang sama, sampai pada suatu hari, ada sesuatu yang benar-benar tak terduga.
Siang itu, seperti biasa, kami berada di kelas, dan suasana terasa sedikit lebih tegang. Ada beberapa teman sekelas yang mulai mengolok-olokku—bukan hal baru, tapi kali ini terasa lebih menusuk. Mereka mulai memanggilku dengan julukan-julukan yang membuat ku risih. Aku mencoba untuk tidak terlalu memperdulikan, tapi lama-lama rasa kesal itu menumpuk.
"Hahaha, Sophia si pemurung, kayaknya nggak pernah bahagia deh," celetuk Dini diikuti dengan tawa anak kelas ku, dini ini memang teman kelasku yang paling menyebalkan.
Aku mencoba menahan emosi, tapi semakin lama aku merasa semakin tertekan. Bahkan, saat mereka mulai mengejekku soal rumah yang selalu sepi dan ayah yang sudah lama pergi, aku merasa seperti ada sesuatu yang meledak dalam diriku. Aku cuma bisa diam, tak bisa membela diri, dan itu yang paling menyakitkan. Aku cuma berharap semua ini cepat berlalu.
Selesai pelajaran, aku melangkah keluar kelas dengan perasaan yang sama sekali nggak enak. Aku duduk di belakang sekolah, di bawah pohon besar, dan mulai merasa sangat lelah dengan semua ini. Sambil menatap langit yang mendung, aku berbisik, "Tuhan, Semoga hari ini ada hal buruk yang terjadi sama mereka, Aku cuma pengen hidup tenang, nggak ada yang ganggu."
Aku nggak tahu kenapa, tapi seolah doa itu keluar begitu saja mungkin karena usdah lelah menjadi bahan olokan mereka, meski aku tahu nggak ada jaminan akan terjadi apa-apa.
Tidak lama kemudian Ari datang dan duduk di sampingku. "Eh, lo kenapa? Kelihatan murung banget," katanya, membuka obrolan dengan nada santai.
"Nggak apa-apa," jawabku, mencoba tersenyum.
Tapi Ari tahu aku nggak bener-bener baik-baik aja. "Nadira, lo jangan bohong deh. Coba cerita." Ari nggak pernah nyerah kalau aku lagi begini.
Aku pun akhirnya bercerita tentang betapa malunya aku dikelas tadi, dan perasaan terjebak yang makin parah.
"Aduh, itu si Dini emang ngeselin banget sih. Tapi lo jangan terlalu dipikirin deh. Mereka cuma asal ngomong aja, tanpa tau kebenaranya," katanya sambil mainin ujung rambutnya.
"Ya tapi capek banget. Nggak ada yang ngerti gue di sini," jawabku dengan nada lebih pelan.
Setelah beberapa saat, kami pun masuk ke kelas lagi, meskipun hati masih berat. Siang itu terasa sangat lama. Hari pun berlalu, dan saat jam pulang tiba, aku merasa lelah baik secara fisik maupun mental. Sambil berjalan pulang, aku kembali berdoa, berharap agar semua ini berhenti.
Namun, malam itu, aku terbangun dan mendapatkan pesan dari Ari. "Sophia lo dengar nggak kabar tentang Dini?"
Aku terdiam sejenak. "Dini? Yang di kelas kita?"
"Iya, katanya dia... meninggal tadi sore," Ari mengetik cepat, seolah tak bisa percaya dengan apa yang baru saja dia baca.
Aku langsung merinding. "Kok bisa?" tanyaku dengan suara bergetar.
Ari hanya mengirim emotikon yang menunjukkan ekspresi terkejut, "Nggak ada yang tahu pasti. Tapi katanya... dia terjatuh di jalanan dan kebetulan ada mobil yang melaju kencang."
Aku terdiam, merasa cemas. "Oh, Tuhan..." gumamku, hatiku mulai terasa sesak. Aku langsung berpikir tentang semua ejekan yang selama ini dilontarkan Dini dan ucapanmu disekolah tadi. Mungkin itu hanya kebetulan, tapi kenapa aku merasa seperti ada hubungan antara doa yang kuucapkan dan kejadian ini?
Aku merasa bingung, terkejut, dan cemas. "Ini terlalu aneh untuk dipercaya," kataku pelan.
Ari membalas dengan pesan singkat, "gue juga nggak ngerti. Semua orang kaget."
Aku merasa kehilangan kata-kata. Namun, satu hal yang pasti—kehidupan tak selalu bisa dijelaskan, dan mungkin, inilah cara dunia memberi tahu aku bahwa terkadang ada hal-hal yang lebih besar dari apa yang bisa kita pahami.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!