NovelToon NovelToon

Jerat Cinta Sang Mafia

Bab 1. Tersugesti fantasi

Karya ini hanya rekaan belaka. Apa yang tertuang hanya kekayaan imajinasi dari pengarang semata. Pada karya kali ini, lebih bijaklah dalam membaca karena ada banyak adegan dewasa di dalamnya⚠️🔞

Terakhir, jadikan konten hanya sebagai bagian dari entertainment.

Selamat membaca.

.

.

.

Di sebuah cafe bar berdesain klasik, keributan tiba-tiba terjadi karena seorang pelayan yang sedang sibuk melayani pelanggan, tiba-tiba bokongnya di remas oleh seorang pria cabul.

Kontan, sang perempuan menjotos muka pria itu sembari mengumpat. Membuat beberapa rekannya tergelak karena melihat keberanian sang pelayan.

"Hey, kau mau mati?" teriak sang pria yang marah karena wajahnya di jotos. Sama sekali tak menduga jika ada yang menolak godaannya.

"Kau duluan yang mulai!" sambur Rachel dengan tatapan marah. Ia terlihat sama sekali tidak takut. Setelahnya ia langsung pergi dan membiarkan pria itu mengumpat di sana.

Dan kejadian itu sukses mengundang atensi semua pengunjung , terlebih seorang pria berwajah tampan dengan aura bengis di ruangan berdinding kaca transparan. Ia memperhatikan perempuan berani itu dengan tatapan tak lepas.

Ia merasa seperti menemukan keindahan yang selama ini sering ia fantasi kan. Perempuan dengan bentuk payudara indah, bokong sintal, ganas dan berani yang dalam sekejap membuat pikirannya menjadi gila. Ia tertarik dengan perempuan itu.

"Marlon, cari tau siapa nama wanita tadi!"

Marlon segera mengangguk sebab tahu siapa yang di maksud oleh Reiner.

Sementara di lain pihak, Rachel yang sudah berada di pantry dan terlihat kesal meletakkan nampannya dengan kasar. Satu jam lagi dia akan pulang namun kejadian barusan berhasil menyulut kekesalannya.

"Napa sih Hel?" tanya Gina, temannya. Melirik wajah monyong Rachel sembari melipat kain lap.

Dengan muka kesal ia menjawab, "Orang cabul di meja barat itu melecehkan ku!"

Gina langsung memanjangkan lehernya guna melihat siapa orang yang di maksud . "Ganteng lo Hel. Kenapa gak kamu tanggapin aja sih? Pasti dompetnya tebel!"

Gina malah tertarik dengan pria yang kini sedang meneguk minuman yang di hidangkan Rachel sembari di olok-olok oleh beberapa rekannya.

Tapi Rachel bukanlah seperti wanita kebanyakan. Ia tahu cafe tempatnya bekerja merupakan tempat yang sering di kunjungi orang-orang berkelas yang terkadang mengajak teman-temannya untuk bertemu di luar dan menghabiskan malam bersama. Tapi sejak dulu, ia tak pernah mau melakukan hal itu.

"Kalau mau ambil aja!" sahutnya sembari berjalan pergi ke belakang.

Tanpa terasa, jam bekerja berakhir. Setiap hari ia akan keluar cafe jam sepuluh malam.

Malam itu Rachel terlihat telah bersiap mengenakan helm lalu melajukan motornya bersiap untuk pulang. Tanpa ia ketahui, seseorang yang kini berada di dalam mobil rupanya telah menunggunya sedari tadi.

Ketika baru keluar dari tempatnya bekerja, fokusnya mendadak terbagi sebab ponselnya tiba-tiba berdering. Meskipun dengan satu tangan, ia mencoba mengaduk isi tasnya dan mencari ponsel lalu melihat nama yang tertera. Ia mendecak kesal sebab Ibu tirinya lah yang menelpon.

Namun naas, belum sempat berhasil menggulir tombol hijau pada ponselnya, sebuah mobil tiba-tiba mendahuluinya dan membuat keseimbangan Rachel goyah.

Tak sempat mengerem, motor yang di kendarai Rachel malah menyerempet body belakang mobil mewah itu dan mengeluarkan suara benturan keras.

BRUAK!

Membuat mobil itu seketika berhenti mendadak.

Rachel jatuh namun tak terdapat luka. Meskipun lega karena selamat, tapi bagian depan motornya juga rusak akibat insiden barusan. Dan belum ia sempat menyesali motornya yang rusak, seseorang berpostur tegap tiba-tiba keluar dari dalam mobil mewah itu.

"Mobilku lecet!" teriak Reiner menunjuk marah ke arah Rachel dan membuat perempuan itu sontak menoleh.

"Kalau tidak bisa berkendara, jangan berkendara. Kau sudah membuat mobilku cacat, aku mau kau memberi ganti rugi sekarang juga!" kata pria itu sembari melipat kedua tangannya ke dada dengan wajah marah.

Rachel hampir saja balik mendamprat, tapi ia segera menelan ludah demi melihat pistol yang tak sengaja tersingkap dari balik punggung pria itu.

"Dia bawa pistol. Apa dia polisi?" ia membatin resah. Niat awal ingin melabrak ia putuskan untuk berbicara dengan nada damai.

"Sebelumnya maaf tuan. Bukankah mobil anda yang tiba-tiba menyenggol motor saya? Tidakkah anda lihat bila motor saya bahkan rusak?" ucapnya memberanikan diri. Takut kalau-kalau orang di depannya merupakan seorang polisi.

"Menyenggolnya kau bilang? Kau bahkan bermain ponsel di jalan. Masih mengelak? Mobilku cacat karena motormu!"

Rachel hampir mendebat, tapi seseorang lain dari dalam mobil keluar dan berkata, "Nona, sebaiknya anda jangan melawan. Di sini banyak CCTV dan tadi anda memang tidak fokus berkendara. Kalau kita ke kantor polisi, kerugian anda akan semakin banyak. Tuan Reiner sudah sangat baik pada anda dengan tidak memperkarakan ini kepada polisi. " terang Marlon, yang merupakan tangan kanan Reiner.

Reiner mati-matian menahan tawa demi melihat wajah pucat gelisah Rachel. Entah mengapa, ia menjadi senang saat berhasil mempermainkan gadis itu.

"Ikut aku ke bengkel terdekat dan kau lihat sendiri berapa biaya yang harus kau keluarkan untuk mengganti rugi mobilku!"

Mendengar hal itu, Rachel akhirnya tak memiliki pilihan lain. Gara-gara telepon dari Ibu tirinya ia bisa jadi sial seperti saat ini. Tapi sebenarnya, semua ini adalah niatan Reiner. Ia tertarik dengan Rachel sejak melihatnya di cafe tadi.

Setibanya mereka di sebuah bengkel, mata Rachel kontak mendelik demi mendengar nominal yang barusaja di sebutkan.

" Seratus juta?" ia mengulang ucapan pria macho yang diketahui sebagai karyawan auto care. "Itu hanya goresan kecil, lalu bagaimana dengan motorku?" protesnya.

"Heh, kau pikir mobil ku mobil murahan? Sekali lecet ganti semuanya!" sambar Reiner.

Melihat ketegangan, seorang auto care spesialist mengambil alih suasana. "Mobil ini merupakan mobil limited edition nona. Body belakangnya tergores panjang dan cukup dalam. Dan catnya juga bukan cat biasa. Anda bisa mengeceknya sendiri di sosial media!" terang sang pegawai.

Reiner menatap lekat perempuan yang kini terlihat resah dan bingung. Ia tak lepas memandang body yang sedari tadi membuatnya menelan ludah. Fantasi nya tiba-tiba bergerak liar hanya dengan melihat tubuh sexy Rachel.

"Begini saja. Aku mungkin bisa memberimu solusi. Tapi aku tidak punya waktu sekarang. Datang dan temui aku besok. Jika kau tidak datang, aku bisa membuat mu keluar dari cafe tempat mu bekerja!"

Rachel terlolong mendengar perkataan bernada ancaman itu. Dari mana pria itu tahu bila ia bekerja di cafe?

Mereka akhirnya pulang. Jika Reiner dengan senyuman licik, maka Rachel dengan hati yang gundah. Kenapa harus mendapatkan masalah saat ia sendiri masih di rundung banyak masalah.

Setibanya di rumah, Rachel menatap sedih sayap motor bagian depannya yang rusak. Ia lalu masuk dengan tubuh dan pikiran yang lelah.

"Kau sudah dapat uangnya?" tanya sang Ibu tiri yang menyambut Rachel dengan wajah tak ramah. Pemandangan yang harus ia lihat setiap hari.

"Belum Bu. Manajerku tadi tidak datang. Beliau sedang di luar kota!" jawabnya terlihat lelah namun berusaha menjawab. Sungguh ia tak ingin. Berdebat sekarang.

"Kalau kau tidak segera mendapatkan uangnya, ayahmu bisa mati. Kau sengaja ingin membuat ayahmu mati?" kata sang Ibu tiri nyolot.

Rachel memilih masuk ke kamarnya ketimbang meladeni omelan yang tak ada habisnya. Namun karena dia main pergi dan terkesan tak sopan, Ibu tiri Rachel yang bernama Helen langsung menyusul Rachel memukuli tangan perempuan itu dengan rotan.

"Aku ini sedang berbicara denganmu, anak sialan. Beraninya kau pergi!"

PLAK!

PLAK!

PLAK!

"Stop, Bu! Sakit!" keluhnya mencoba memberi peringatan.

Rachel tak bisa melawan perempuan itu karena setiap hari Helen lah yang memang mengurus Ayahnya yang sakit-sakitan. Ia hanya bisa mengatupkan tangan meminta maaf sembari terus mengucapkan kata ampun.

Puas menyiksa, Helen pun pergi. Kini Rachel masuk ke dalam kamarnya sembari menguatkan diri meskipun air mata terus meluncur tanpa bisa ia tahan. Di sana, ia mengobati jari-jarinya yang sakit akibat di pukuli.

Ia menangis sebab entah sampai kapan penderitaan ini bakal berakhir. Jika ia hanya di rumah, ia tentu tak bisa mencari uang untuk biaya hidup ayahnya.

Keesokan harinya, Rachel yang berjam-jam berpikir akhirnya menemui Reiner sebab nanti ia masuk kerja pukul tiga. Ia takut bila tak segera menemui Reiner, ancamannya soal mengeluarkannya dari cafe akan terjadi. Ia bukan siapa-siapa, ia hanya orang kecil yang membutuhkan pekerjaan demi keberlangsungan hidup.

Ia mencari alamat kantor Reiner yang diberikan oleh Marlon semalam. Ia membaca plakat kantor itu merupakan kantor ekspedisi yang sangat besar.

Pagi itu Rachel datang dengan mengenakan jeans dan kaos body fit. Membuat payudaranya terlihat utuh dan menggiurkan bagi Reiner.

"Jadi, kau punya uang berapa sekarang?" tanya Reiner yang senang dengan kedatangan Rachel.

Rachel menatap Reiner tak suka. "Aku tidak punya uang sebanyak itu, terus terang saja aku kemari karena kau bilang kau bakal membicarakan solusi. Solusi apa yang kau tawarkan?"

Reiner tersenyum penuh arti melihat keberanian Rachel. Ia semakin tertarik dengan perempuan di depannya. Ia melipat kedua tangannya lalu berkata. "Sudah aku duga, orang seperti mu pasti tak akan mampu membayar!"

Meskipun Rachel sakit hati karena penghinaan Reiner, namun Rachel mencoba menyabarkan diri. Bukankah ia sudah sering menderita? Lalu apa yang ia takutkan. Ia tak boleh terpancing dengan ucapan pria itu.

"Bekerjalah di rumah ku. Kebetulan aku sedang butuh pembantu. Dengan tenaga mu lah tanggungan mu akan lunas. Tidak lama, ya...paling satu tahun!"

"Apa kau bilang, satu tahun?" Rachel berteriak tak percaya mendengar kalimat yang di lontarkan dengan entengnya itu.

Reiner terkekeh. "Kenapa, kau keberatan? Kalau kau tidak mau, maka bayarlah uang untuk perawatan mobilku. Kau pikir-pikir dulu sampai besok. Terserah kau mau yang mana. Kalau tak mau bekerja, maka bawa mobilku ke bengkel kemarin. Aku tidak akan meminta keuntungan. Kau hanya perlu membayar biaya perawatan mobilku saja!"

Rachel melempar pandangan ke arah lantai dengan hati dongkol. Seandainya ia tak menggubris ponselnya, maka hal ini pasti tak akan terjadi.

"Ini alamat rumahku. Datang lah jika kau sudah memutuskan!" ucap Reiner sembari menyodorkan sebuah kartu yang bermuatan informasi alamat rumahnya.

Dengan kesal Rachel menyambar alamat yang tertera di kartu tersebut. Namun pria itu lebih dulu menangkap luka lebam yang tersebar di punggung tangan Rachel.

"Tangan mu kenapa?" tanya Reiner yang raut wajahnya berubah menjadi mode serius dalam sekejap.

Rachel yang tak suka asal di sentuh langsung mengibaskan tangan Reiner. "Bukan apa-apa. Bukan urusanmu. Sudah kan?" pungkasnya lalu beranjak pergi.

Reiner tertegun melihat punggung Rachel yang kini semakin menjauh. Ia bisa ingat jika tangan bersih itu kemarin masih baik-baik saja, dan sekarang?

.

.

.

NB : (Rachel dibaca Rahel)

Jangan lupa like nya🙏

Bab 2. Cara Reiner

Sepanjang perjalanan menuju tempat tinggalnya, Reiner tak berhenti memikirkan luka yang berada di tangan Rachel tadi. Sialan, kenapa dia bisa terganggu pikirannya hanya dengan melihat luka itu.

"Tuan, Leonardo meminta transaksi di lakukan besok malam. Mereka meminta orang-orang di dermaga kita amankan!" kata Marlon seketika memecah lamunannya.

"Lakukan saja. Aku percaya padamu!"

"Baik tuan!"

"Oh ya, aku mau kau menonaktifkan satu pelayan kamarku. Pindahkan satu orang itu ke tempat lain. Terserah kau atur saja!" titah Reiner cepat.

Marlon sebenarnya tak tahu kenapa Reiner memintanya melakukan itu. Tapi perintah Reiner adalah sebuah keharusan. Marlon akhirnya mengangguk sebagai jawaban.

Di lain pihak, Rachel yang di jam satu siang itu masih berada di rumah terlihat melamun usai menyuapi sang Ayah. Ayahnya terkena stroke. Tidak menanggung kerusakan mobil pria itu saja hidupnya sudah sangat semrawut, apalagi jika ia harus mau bekerja di sana. Apakah ia akan sanggup?

Ayahnya tiba-tiba menitikkan air mata begitu melihat Rachel yang sedari tadi melamun. Sementara sang Ibu tiri terlihat masuk dan berkata. "Obat ayahmu harus segera di tebus. Kapan kau akan mengambilnya?"

Rachel menoleh, "Secepatnya akan aku usahakan Bu. Kak Dilan baru datang besok!"

Ibu tiri hanya melengos tanpa menjawab lagi. Saat pukul tiga sore, Rachel masuk cafe dengan muka tak segar. Gina yang melihat itu tak bisa untuk tak bertanya, "Kenapa Hel, ayah kamu kambuh lagi?"

Rachel mengangguk dengan muka murung, "Seharusnya ayah memang perlu perawatan di rumah sakit Gin, tapi aku belum ada uang. Ini aja mau ambil obat aku mau ngajukan kasbon lagi ke kak Dilan."

Gina menatap murung rekannya itu. "Kamu pakai yang aku dulu aja!"

Rachel menggeleng menolak. "Nggak Gin, yang tempo hari aja aku belum bisa balikin. Aku minta maaf, aku gak bisa terima bantuan kamu lagi."

Gina tahu kesulitan teman seperjuangannya itu. Ia tahu jika Rachel memang perempuan yang memiliki prinsip. Tapi ia juga tak bisa memaksakan kehendaknya.

"Aku belum perlu kok, pakai aja dulu!"

Rachel bersikukuh menolak. Ia tak ingin persahabatannya rusak hanya karena uang. Apalagi, ia masih memiliki pinjaman yang berjumlah tak sedikit pada rekannya itu.

Ia akhirnya bekerja seperti biasanya. Melayani para tamu, mengelap meja, dan sesekali membatu pekerjaan yang lain di pantry. Tepat pukul tujuh malam, ia beristirahat dan makan. Saat masih mengistirahatkan diri, sebuah pesan tiba-tiba masuk.

"Jangan bilang kau bakal kabur dan tidak bertanggungjawab. Aku bakal datang ke rumahmu dan meminta uang itu ke orangtua mu kalau kau mencoba-coba kabur!"

Sembari tersedak, Rachel menatap tak percaya sederet nomor yang mengirimkannya pesan beranda ancaman. Ia terheran-heran, dari mana pria itu mendapatkan nomornya.

"Kenapa dia dengan mudahnya punya nomorku? Apakah dia benar-benar polisi?" batinnya gelisah.

Ia pulang dengan pikiran yang masih penuh dengan beban. Kalau pria itu sampai beneran datang ke rumahnya, keadaan ayahnya pasti akan semakin parah. Usai berperang dengan pikirannya sendiri, ia mendecak lalu memutar motornya mencari alamat mansion yang di berikan oleh Reiner.

Setibanya ia di sana, ia sangat tak percaya kala melihat rumah mewah yang pilarnya menjulang tinggi seperti museum. Luas bangunan itu hampir sama seperti luas lapangan bola. Ia jadi tak yakin kalau pria itu adalah seorang polisi. Mana ada polisi yang kaya banget seperti ini.

Dengan penuh keyakinan, ia menekan bel di luar sebanyak tiga kali. Tanpa menunggu lama, seorang pria terlihat datang lalu membukakan pintu gerbang tinggi itu dan mempersilahkannya masuk.

"Anda siapa?Ada yang bisa saya bantu?" tanya pria itu masih terdengar sopan meksipun wajahnya cukup menyeramkan.

"Emmm, saya diminta datang kemari. Apakah ini betul alamat tuan Reiner?" kata Rachel seraya menyerahkan kartu nama pada pria itu.

Tangan pria itu terulur menerima kartu berwarna hitam. Ia lalu menelpon seseorang dan beberapa detik kemudian mengangguk paham.

"Bos ada di dalam. Silahkan masuk!" ucap pria tersebut.

Begitu menginjakkan kaki ke area mansion yang banyak di tumbuhi pohon Cemara, Rachel semakin terkagum-kagum manakala melihat rumah besar yang pekarangan nya sungguh luas. Sejenak, ia merasa seperti sedang di permainkan. Sudah punya rumah semewah ini, kenapa harus memeras orang miskin macam dirinya?

"Tunggu di sini sebentar, saya panggil tuan Rei!" kata pria barusan.

Rachel mengangguk paham. Sembari menunggu, ia melanjutkan mengamati kemegahan yang tersuguh di depan sana. Sungguh ia merasa kerdil. Apa pekerjaan orang itu sehingga membuatnya memiliki kekayaan semacam ini? Sekolah dimana dia dulu?

Saat sedang sibuk mengamati beberapa pajangan mahal, derak langkah mengalihkan atensinya. Sesosok pria yang memiliki paras tampan namun terlihat begitu licik datang lalu duduk di hadapan Rachel.

"Sepertinya kau sudah memikirkannya!" kata Reiner yang tentu senang dengan kedatangan Rachel.

Rachel tak mau duduk dan langsung mengutarakan niat dan tujuannya.

"Aku tidak mau bertele-tele. Aku mau bekerja menjadi pembantu di rumah ini. Tapi aku harus menyesuaikan jadwalku di cafe. Semisal hari ini aku masuk sore, maka pagi aku akan bekerja. Jika masuk pagi, maka sore aku akan bekerja. Ku harap anda memiliki kebijaksanaan!" ucapnya memilih kata 'anda' sebab ia sungguh minder dengan pria di depannya.

Reiner tentu saja merasa senang sekaligus menang. Memang ini yang di inginkan. "Kapan kau akan mulai bekerja?"

"Besok!"

Reiner bangkit lalu berjalan mendekati Rachel yang berdiri. Rachel menelan ludahnya begitu wajah Reiner berisik lirih di telinganya.

"Jangan coba menipuku. Aku tidak suka di bohongi, kau dengar?"

Rachel yang degup jantungnya tak beraturan sebab wajah Reiner nyaris menyentuh wajahnya memilih langsung pergi dari tempat itu.

Reiner yang melihat wajah takut Rachel seketika tersenyum puas sebab dalam sekejap rencananya yang ia susun telah berhasil.

Sementara Rachel, lantaran mampir dulu ke mansion Reiner, ia jadi pulang terlalu malam. Setibanya di rumah ia mendapat tamparan keras dari sang Ibu.

PLAK!

"Kluyuran dari mana kamu, hah? Bukankah kamu sudah pulang dari tadi, hah? Aku susah susah ngurus bapakmu kamu malah enak-enak keluyuran. Gantian dong!" maki sang Ibu lantaran lelah seharian berjaga.

Sembari memegangi pipi yang terasa berdenyut dan panas, Rachel mencoba untuk tak melawan. "Maaf, Bu!" hanya itu yang bisa ia jawab.

Helen yang marah langsung pergi ke kamarnya sembari membanting pintu. Meninggalkan Rachael yang masih berdiri dengan pipi yang terasa sakit. Ia lalu pergi ke kamar Ayahnya. Ia menarik kursi lalu mengelus rambut putih pria itu dengan dada nelangsa.

Ia meletakkan kepalanya di sebelah kepala sang ayah sembari berucap, "Maafkan aku Ayah. Aku belum bisa membawa Ayah berobat!"

Tanpa bisa berbicara, air mata Ayah Rachel tiba-tiba meluncur. Dalam hatinya merasa begitu sedih merasakan keadaan mereka saat ini. Ingin rasanya ia mati saja daripada menjadi beban sang anak yang teramat ia cintai.

Bab 3. Pria mengerikan

Hari ini Rachel akan masuk sore lagi. Untuk itulah ia datang ke mansion Reiner pagi hari setalah ia membatu Helen mengurusi Ayahnya. Mengantisipasi kemarahan Helen seperti semalam, ia memilih mengemukakan alasan dengan mengatakan akan mencari tambahan kerja dengan menjadi tukang bersih-bersih part time. Tentu saja wanita itu mengizinkan karena berharap akan mendapatkan tambahan uang.

Setibanya ia di sana, ia sudah tak perlu menekan tombol karena begitu datang seorang penjaga sudah paham dengan kedatangan Rachel.

"Silahkan!" ucap penjaga sembari membuka gerbang setinggi menara. Sejenak ia berpikir, mana mungkin bisa kabur kalau bangunannya saja seperti ini.

Sungguh, Rachel sebenarnya selalu takut tiap bertemu orang-orang di sana sebab wajah dan perawakannya kebanyakan seram-seram. Saat bingung harus menuju kemana, Marlon tiba-tiba muncul.

"Anda sudah datang?" seru Marlon.

Rachel nyaris menjengit kaget dengan kemunculan Marlon yang tiba-tiba. Ia lalu mengangguk sebagai jawaban. Takut sebab sorot mata Marlon juga tak kalah mengintimidasi.

"Tuan belum bangun. Tapi anda bisa langsung naik ke kamarnya untuk mulai membersihkan kamar beliau. Tugas utama anda hanya membersihkan kamarnya dan memenuhi perintah tuan Reiner. Selebihnya, beliau akan menunjukkan lagi apa yang perlu anda kerjakan!" terang Marlon sangat jelas.

"Terimakasih, aku mengerti!"

Marlon mengajak Rachel untuk naik menuju kamar Reiner. Ia lalu pergi setelah mereka berada di muka pintu kamar Reiner. Usai menghela napas dalam-dalam, Rachel mengetuk pintu kamar Reiner.

TOK

TOK

TOK

Tak mendapat jawaban, Rachel lalu menarik gagang pintu dan pintu itu rupanya tidak di kunci. Dengan isi dada yang seperti mau melompat, Rachel menutup pintu kamar yang luasnya hampir seukuran rumahnya. Kamar itu sungguh mewah dan banyak sekali berjajar perabot futuristik.

Nuansa hangat namun sejuk dengan aroma yang belum pernah ia hirup sebelumnya sungguh membuat Rachel menelan ludah gugup.

Kaca-kaca jendela dikamar itu sangat tinggi. Membuatnya berpikir pantas saja Marlon tadi berkata jika dia hanya fokus membersihkan kamar Reiner saja. Tanpa membersihkan ruangan lain, ia yakin jika tenaganya hari itu pasti bakal terkuras habis.

"Sopan sekali kau tiba-tiba masuk!"

Ia berjingkat karena suara Reiner yang tiba-tiba itu terdengar sangat sinis. Ia langsung membuang muka sebab Reiner tak mengenakan pakaian dan hanya mengenakan boxer pendek.

Sialan.

"Kenapa anda tidak memakai baju?" ia nyaris menyesali diri kenapa harus melempar pertanyaan itu.

Ia gugup karena tubuh liat yang tampak keras, dengan punggung yang penuh tato hingga ke lengan itu sangat membuatnya malu.

Reiner tersenyum tanpa beban. "Aku bahkan sering telanjang!"

"Gila, apa dia tidak waras?" Rachel bergumam lirih dengan hati kesal.

"Kau mengatai ku?"

Rachel sontak menggeleng dengan muka takut. Reaksi spontan yang tak bisa ia tahan bisa-bisa membuat laki-laki itu marah.

"Pakai ini ketika bekerja. Aku tidak mau melihat kau bekerja dengan pakaian kampungan dan murahan milikmu itu!"

Rachel sempoyongan ketika menangkap satu stel seragam yang di lempar Reiner kepadanya. Pakaian dengan warna putih dan biru navy yang pasti harganya tak pernah ia jangkau.

"Kenapa masih berdiri, cepat ganti pakaian mu. Ada dua kamar mandi di kamarku ini!"

Meskipun kesal sebab hari pertama sudah di bentak-bentak seperti ini, tanpa membuang waktu Rachel segera mengganti pakaiannya. Dan ketika seragam itu sudah melekat di tubuhnya, ia mengumpat lirih demi melihat pakaian yang lebih mirip cosplay pemain blue.

"Apa dia sengaja mau melecehkan ku? CK!" Rachel mendecak dengan keresahan yang meluap.

"Kau sudah selesai, cepat keluar. Ganti seprey ku!" teriakan dari luar membuat Rachel gusar. Ia malu jika harus keluar sekarang.

Tentu saja Rachel masih terdiam di kamar mandi. Payudaranya terlihat separuh dan menonjol, sementara rok yang ia kenakan itu sangat mini sekali. Mustahil ia mengenakan pakaian itu di sana.

"Hey, Rachel!" Reiner berteriak dengan nada marah dan membuat Rachel tergeragap. Jika tak segera keluar, pria itu pasti bakal mengatai nya lagi.

Ia akhirnya keluar dengan menutup bagian dadanya menggunakan pakaiannya yang lama. Terus menunduk sebab malu bukan main.

Reiner yang melihat hal itu mengerutkan keningnya. "Kenapa bajumu kau taruh di depan. Bajumu kebesaran?"

"Kebesaran matamu? Tidakkah kau lihat pakaiannya ini?" ia bergumam dengan mulut tak terbuka.

"Bicara yang jelas. Berani kau mengumpatiku?"

Rachel menggeleng lantaran melihat nata Reiner yang melotot. "Apa anda yakin dengan seragam ini. Seragam ini sangat kekecilan tuan. Saya...saya tidak bisa bekerja dengan baju ini. Bisakah anda memberi saya baju lain?" ia berkata dengan ragu-ragu. Berharap Reiner tak mendampratnya lagi.

"Memangnya siapa kau menyuruhku, cepat buang bajumu!" teriak Reiner sembari melempar paksa baju Rachel ke sembarang arah.

Rachel reflek menutupi dadanya dengan tangannya meksipun tak sepenuhnya membantu. Dan Reiner terlihat puas melihat pakaian yang dikenakan oleh Rachel. Ia mengusap bibirnya sendiri sembari menatap Rachel penuh selera.

Ia seperti menemukan berlian dalam tumpukan batu kali. Body yang sangat menggiurkan sudah dalam cengkeraman nya.

"Bersihkan kamarku. Ingat, hanya kamar ku!" kata Reiner penuh penekanan.

Semula, Rachel takut kalau Reiner akan memantaunya di sana. Namun ia segera bernapas lega sewaktu Reiner keluar kamar. Rachel tidak tahu saja bila Reiner sekarang berada di ruang kontrol CCTV untuk melihat Rachel yang kini mulai membereskan tempat tidurnya.

Kelelakiannya menegang ketika kamera pengawas itu menangkap bokong Rachel yang memperlihatkan CD yang kelihatan sebab pendeknya rok yang dikenakan dengan mudahnya tersingkap.

Reiner melihat tanpa jeda setiap gerakan yang dilakukan oleh Rachel. Ia menelan ludah ketika Rachel berjalan dan payudaranya terlihat jelas manakala perempuan itu memasang seprei baru.

Tak kuat melihat hal itu, Reiner lalu menuju ke kamar mandi dan menuntaskan hal yang membuatnya pusing di sana. Ia bisa saja memaksa Rachel menuruti hasratnya. Tapi ia belum mau melakukannya.

Waktu berlalu. Melihat semua pekerjaannya beres, Rachel segera mengganti pakaiannya yang benar-benar tak nyaman itu lalu melemparkannya ke keranjang kotor.

"Apa dia benar-benar orang tidak waras? Bagaimana jika dia melecehkan ku nanti. Kenapa aku jadi takut?" masih bergelut dengan ketakutannya.

Menjelang makan siang, ia mengira jika Reiner sudah pergi bekerja. Namun ketika berjalan ke belakang dan tiba di sebuah ruangan terbuka, ia tak sengaja melihat Reiner tengah menembak kepala seseorang yang tangannya di ikat.

DOR!

Maka orang itu seketika tewas tergeletak tak berdaya. Tubuh Rachel kontan menegang. Sekujur tubuhnya juga mendadak menggigil. Ia terpaku disana. Sulit menggerakkan diri hanya untuk berlari. Karena tak kuat melihat itu, Rachel seketika pingsan.

Reiner yang tak mengira bila Rachel bakal melihatnya mengeksekusi musuh seketika berlari ke arah Rachel. Ia langsung mengangkat tubuh gadis itu lalu membawanya ke kamar.

"Marlon, bereskan itu!"

Marlon mengangguk meskipun kini wajahnya juga terlihat resah karena orang lain melihat mereka melenyapkan seseorang.

Di kamar, Reiner meletakkan tubuh lemah Rachel ke atas kasur miliknya. Ia memandangi wajah cantik alami Rachel yang tanpa make up berlebih itu dengan tatapan mendalam. Ia lalu memperhatikan sudut bibir Rachel yang sedikit lebam.

Ia menyentuhnya, menjadi sangat penasaran kenapa ada banyak sekalian luka janggal. Apakah karena sikap gadis ini yang berani sehingga membuatnya sering bertengkar?

Ia menyusuri garis wajah Rachel menggunakan jarinya. Dan ketukan di pintu membuatnya menoleh.

"Tuan!"

"Masuk!"

Marlon masuk, tapi ia segera terkejut ketika melihat Rachel berbaring diatas kasur tuannya. Tidak salah lihat kan dia?

"Tuan, nona Rachel telah melihat kita tadi. Apakah itu tidak menjadi masalah?" kata Marlon terlihatnya cemas.

"Kau tenang saja. Dia akan aku tangani. Kau bereskan saja mereka yang telah berani menipu kita!"

Marlon mengangguk lalu pamit.

Sekitar pukul dua, Rachel mengerjap dan menjadi takut kala melihat Reiner duduk menyilangkan kaki. Ia beringsut dengan muka ketakutan bahkan sampai pucat.

"Kau jangan takut. Selama kau menurut dan tidak menjadi pembangkang, nasibmu tidak akan seperti pria tadi!" ucap Reiner dengan posisi tak berubah. Duduk santai padahal barusaja menghilangkan nyawa orang.

Mati-matian Rachel menahan air matanya namun cairan bening itu lolos juga. Dalam pikirannya saat ini, ia telah berhadapan dengan pria bengis yang entah dari golongan apa. Ia hanya bisa menahan takut saat tangan berjemari besar milik Reiner mulai menyusuri lehernya.

"Jadi, tentukan pilihanmu sekarang. Kau mau menurut, atau..." ia menjeda ucapannya karena mengusap bibir merah jambu Rachel.

"Pembunuh!" teriak Rachel karena ketakutan dengan Reiner.

Reiner tersenyum lalu mencengkeram rahang Rachel. "Bukankah kau sekarang harus kembali bekerja?"

Reiner menelan saliva begitu melihat bibir yang menggoda itu. Rachel reflek membuang wajahnya ketika Reiner seperti akan menciumnya. Reiner tersenyum dan tak memaksa. Ia merasa ini memang belum saatnya mencicipi hidangan.

"Pergilah. Jangan terlambat datang besok. Dan ingat, aku bakal mengawasi setiap gerak-gerik mu. Jadi, jangan berpikir kau bisa kabur, hm?"

Rachel langsung pergi dengan ketakutan. Sementara Reiner yang melihat hal itu hanya bisa tersenyum.

"Aku sangat menyukainya!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!