NovelToon NovelToon

Hasrat Cinta Sang Adik Ipar

Titik dari segala awal

Sudah menjadi khalayak umum, pasar Tumpang memang selalu ramai karena merupakan titik awal berkumpulnya pendaki yang akan mendaki Gunung Semeru, gunung tertinggi di pulau Jawa dengan puncaknya Mahameru yang berada di 3.676 meter dari permukaan laut (mdpl). Kendati demikian, di depan sebuah warung makan, seorang gadis duduk menyendiri di atas kursi anyam bambu. Sebuah tas carrier teronggok di dekat kakinya. Entah apa yang sedang gadis itu pikirkan, riuh suasana di pasar tersebut tak berhasil mengusik senyapnya isi kepala.

“Delvia Mayuri,” teriak seorang pria menyuarakan sebuah nama. “Delvia Mayuri,” ulangnya sekali lagi karena sang pemilik nama belum juga menyahut di panggilan pertama. “Delvia Mayuri!”

“Ya,” setelah panggilan ketiga, akhirnya seorang gadis bersuara, gadis yang sejak tadi larut dalam pikirannya sendiri kini beranjak dari duduk, meninggalkan kursi bambu seraya mengangkat tas carriernya dan berlari menghampiri beberapa orang yang tengah berkumpul.

“Delvia Mayuri?” tanya seorang pria sambil memegang beberapa lembar kertas di tangannya.

“Ya, saya Delvia,” sahut gadis bernama Delvia itu diiringi senyuman yang terkesan terpaksa.

“Saya Tofa, ketua kelompok pendaki hari ini,” ucap pria bernama Tofa memperkenalkan diri.

“Teman-teman, mbak Delvia ini seharusnya mendaki bersama kelompok mas Harun, tapi karena beliau sakit jadi mbak Delvia di alihkan ke kelompok kita,” ujar Tofa kepada anggota kelompok lainnya. “Silahkan memperkenalkan diri kepada teman-teman yang lain mbak Delvia!” sambung Tofa.

“Saya Delvia, saya datang dari Jakarta. Semoga kelompok kita tetap kompak sampai di puncak,” ucap Delvia seraya menganggukkan kepala sebagai tanda kesopanan.

Kelompok pendaki yang di ketuai Tofa berjumlah tujuh orang, lima di antaranya laki-laki dan dua lainnya perempuan termasuk Delvia.

“Hay Delvia, aku Sari,” sapa seorang gadis dengan ramah. “Biar aku kenalin sama yang lain ya. Ini mas Bagus, ini Eko, ini Wayan, dan yang terakhir mas Dikta,” ucap Sari seraya menunjuk satu persatu pria yang berbaris tak jauh darinya.

“Duh, wong kota pancen ayu tenan,” puji Eko dengan tatapan kagum.

"Jaga mulutmu," tegur Bagus seraya menyikut lengan Eko.

Delvia mencoba tersenyum mendengar pujian teman satu kelompoknya, dia lalu menyapa empat pria asing yang juga tengah menyapanya dengan anggukan kepala.

Perkenalan usai, setelah membuat surat keterangan sehat, ke tujuh pendaki itu menuju Jeep sewaan yang akan mengantarkan mereka ke Ranu Pani, titik awal pendakian Gunung Semeru. Entah mobilnya yang terlalu tinggi atau Delvia yang terlalu pendek sehingga gadis itu kesulitan naik ke atas mobil.

Delvia menggaruk lehernya yang tak gatal, dia ragu untuk meminta bantuan. Di saat yang sama, seseorang dari atas mobil mengulurkan tangannya ke arah Delvia, gadis itu terpaku, menatap telapak tangan yang kini berada persis di hadapannya.

“Ayo cepat naik Del,” seru Sari dari atas Jeep.

“Eh,” Delvia tersentak lalu berusaha mengembalikan fokusnya dan meraih tangan yang sejak tadi menggantung di udara. Hanya dengan sekali tarikan, Delvia berhasil menaiki Jeep Kanvas tersebut, namun karena tarikan yang begitu kuat membuat tubuh mungil Delvia menubruk dada orang yang telah membantunya.

“Are you okay?” tanya pria itu dengan suara lembut.

“Mm, ya, saya baik-baik saja,” jawab Delvia pelan, perlahan gadis itu mendongakkan kepala karena ingin tau siapakah gerangan yang telah membantunya.

Di saat yang sama, pria baik yang membantu Delvia juga menundukkan kepala. Untuk seperkian detik netra mereka saling beradu, menatap satu sama lain tanpa berkedip. “Cantik,” samar-samar pria itu bergumam, memuji kecantikan Delvia yang tampak jelas dengan jarak pandang yang begitu dekat.

Ya, Delvia memiliki wajah yang kecil dan berbentuk V, dia juga memiliki mata yang indah karena bagian mata dalam dan luarnya seakan menyatu membentuk garis yang cantik. Dengan mata yang besar dan bulat, setiap tatapan yang di berikan menyihir banyak orang. Tak sampai di sana, wajah kecil itu juga di hiasi hidung lurus, meski tak terlalu mancung namun sudutnya melengkapi seluruh wajah. Dengan tinggi 158cm dan berat 45kg, membuat Delvia terlihat begitu mungil.

“Terima kasih mas Dikta,” ucap Delvia setelah mengetahui siapa yang telah membantunya, gadis itu lalu menjauhkan diri dari tubuh Dikta, rasanya tidak sopan jika dia tetap mempertahankan jarak mereka yang begitu dekat.

“Hm,” Dikta hanya bergumam, karena sebagian fokusnya masih teralihkan oleh wajah cantik Delvia.

“Sudah naik semua? Ayo kita berangkat,” teriak Tofa penuh semangat.

Pedal gas di injak oleh pengemudi, menciptakan hentakan yang cukup keras. Posisi Delvia yang belum siap pun di pertaruhkan, tubuhnya hampir terhempas ke belakang. Untung saja, Dikta cepat tanggap, pria itu menahan pinggang Delvia dengan tangannya. Jarak yang awalnya di kikis oleh Delvia kini kembali terpaut, tubuh mereka kembali berimpitan di atas mobil Jeep yang tak seberapa luas.

“Are you okay?”

“Apa kau terluka?”

“Delvia?”

Entah, detik itu Delvia tuli, telinganya tak bisa mendengar apapun, matanya juga hanya tertuju pada satu obyek yang begitu indah. Mungkinkah dia terpikat?

BERSAMBUNG...

Ranu Kumbolo dan ceritanya

Adegan romansa bak di film-film romantis itu akhirnya berakhir setelah Delvia berusaha keras mengembalikan kewarasannya. Tidak bisa, dia tidak boleh terpikat oleh seorang pria hanya karena paras yang rupawan. Lihat saja contohnya, sang ayah yang memiliki paras tampan bahkan hingga usia tua pun masih hobi gonta-ganti wanita alias tukang selingkuh. Terakhir kali sang ayah membawa seorang gadis yang seumuran dengannya ke rumah mereka, menimbulkan pertikaian hebat antara kedua orang tua Delvia. Karena hal tersebut Delvia memutuskan untuk menenangkan diri, menempuh jarak ratusan kilo meter demi menapaki puncak abadi para dewa, sang Mahameru. “Terima kasih,” ucap Delvia lagi, lalu dia mulai membenahi posisinya agar kejadian seperti sebelumnya tak terulang.

Dikta hanya mengulas senyum, wajah Delvia yang memerah cukup memberitahunya jika sang gadis tengah merasa gugup atau bahkan canggung sehingga Dikta memilih untuk diam.

Jarak tempuh menuju titik awal pendakian memakan waktu sekitar satu jam, namun perjalanan tersebut sama sekali tak terasa karena pemandangan alam yang begitu indah dan di dominasi warna hijau. Akhirnya mereka tiba di Ranu Pani, satu persatu dari mereka melompat turun dari Jeep, dan kini tersisa Delvia di atas sana yang tengah bersiap untuk melompat.

“Bisa?” tanya Dikta dengan tatapan meragukan.

“Bisa!” Delvia menjawab tegas, karena tak ingin merepotkan Dikta lagi, gadis itu segera melompat dari atas Jeep, beruntung dia melakukan pendaratan yang sempurna sehingga tidak terjadi cedera di kakinya.

“Perhatian teman-teman,” seru Tofa seraya menepuk tangannya. Kini semua orang berdiri di dekat Tofa dengan posisi melingkar. “Setelah saya menyerahkan berkas kalian, kita akan melakukan briefing bersama relawan Semeru lalu kita akan memulai pendakian menuju pos 1. Sebelum kita berangkat, saya ingin memastikan apa ada di antara kalian yang merasa kurang sehat?” Tofa bertanya untuk memastikan kondisi anggota kelompoknya sebelum pendakian di mulai.

“Kami semua sehat pak ketua,” jawab Eko lantang dan penuh semangat.

“Mbak Delvia, kamu baik-baik saja? Wajahmu terlihat pucat?” Tofa menatap Delvia khawatir.

Delvia tersenyum seraya memegang wajahnya. “Saya baik-baik saja, wajah saya memang begini mas.”

“Delvia terlalu putih mas Tofa, bukan pucat,” celetuk Sari sambil tertawa.

Tofa turut tersenyum, apalagi setelah melihat hasil pemeriksaan milik Delvia yang disisipkan di antara berkas pribadi dan surat keterangan sehat. “Baguslah, sekarang kita mulai briefing.”

Relawan Semeru memberikan briefing singkat di antaranya pendaki harus mematuhi protokol kesehatan, menghargai dan menghormati alam serta menghindari tumbuhan dan hewan beracun.

Setelah berdoa bersama, Tofa dan anggota kelompoknya memulai pendakian mereka. Sebagai ketua, Tofa berada di barisan terdepan, di ikuti Bagas, Eko, Wayan, Sari, Delvia lalu Dikta sebagai sweeper.

Untuk tiba di pos 1 mereka melewati Jalur batu konblok dan belum menanjak. Hanya butuh waktu sekitar satu jam hingga mereka tiba di pos pertama. Perjalanan terus berlanjut, kini jalur batu berganti jalur tanah, namun perjalanan menuju pos 2 terhitung belum terlalu berat.

Ketika tiba di pos 3, Tofa menginstruksikan anggota kelompoknya untuk beristirahat selama 15 menit. Bukan tanpa alasan, sebab perjalanan menuju pos 4 akan mulai dengan tanjakan yang sangat curam,

Delvia memanfaatkan waktu istirahat untuk menikmati pemandangan yang semakin terlihat indah. Di pos 3 ini, dia merasa sudah berada di atas awan karena dia dapat melihat kumpulan awan yang bergerombol.

“Indah bukan? Kamu pasti tidak pernah melihatnya di Jakarta?” ucap Dikta yang entah sejak kapan sudah berdiri di sebelah Delvia.

Delvia menoleh singkat, lalu atensinya kembali fokus pada awan. “Hem, di Jakarta hanya ada pemandangan gedung tinggi.”

“Ya benar, belum lagi polusi yang semakin parah,” sahut Dikta.

Hening, keduanya fokus pada pemandangan menakjubkan di depan mereka. Tanpa Delvia dan Dikta sadari, anggota kelompok lainnya tengah mengamati mereka dari jauh.

“Kayanya mas Dikta naksir sama anak kota itu deh,” terka Eko.

“Jangan ngawur deh,” sahut Wayan tak sependapat.

“Aku gak ngawur, dari awal saja aku lihat mas Dikta curi-curi pandang ke mbak Delvia,” Eko semakin yakin jika Dikta tertarik pada Delvia.

“Malah bagus to, tandane Dikta normal,” Bagas yang sejak awal diam akhirnya membuka suaranya.

“Emang sebelumnya mas Dikta belum pernah pacaran?” Sari tiba-tiba penasaran, dia tak yakin pria setampan Dikta melajang.

“Boro-boro pacaran, waktunya habis di ruang operasi. Katanya lebih baik membantu kehidupan baru terlahir ke dunia ini dari pada pacaran,” jawab Bagas lugas, pemuda itu memang mengenal baik Dikta karena mereka adalah teman seperjuangan.

“Sudah, jangan gosip lagi. Ayo lanjut, nanti keburu gelap,” sela Tofa di tengah asyiknya pergosipan mereka.

Matahari mulai tergelincir ke barat, tak ada candaan lagi, mereka fokus pada jalur menanjak yang semakin curam. Beberapa kali Sari terpeleset, untung saja Wayan sigap membantu sehingga tak terjadi hal-hal yang tidak di inginkan.

Setibanya di Pos 4, rasanya perjalanan sudah tidak berat lagi. Beban di pundak akibat mengangkut carrier pun seolah lenyap, rasa capek yang mengikuti sepanjang Pos Ranu Pani – Pos 4 pun seolah hilang begitu saja. Hal tersebut tidak lain karena keindahan Ranu Kumbolo yang memang benar-benar sudah nampak di depan mata. Daya magis yang ditimbulkan oleh keindahannya begitu luar biasa.

Perjalanan dari Pos 4 ke Ranu Kumbolo pun mulai berubah. Jalur tidak lagi menanjak. Langkah kaki yang tadinya diiringi deruan napas panjang dan berat kini berganti menjadi nyanyian. Kerutan di wajah perlahan berubah menjadi senyuman.

“Ranu Kumbolo,” teriak Wayan dan Eko bersamaan, keduanya berlari ke arah danau dengan penuh semangat.

“Dasar bocah,” celetuk Tofa seraya tersenyum. Di antara mereka, Wayan dan Eko memang yang termuda sehingga Tofa memaklumi tingkah mereka. “Sudah mainnya, cepat dirikan tenda kalian!”

“Yo mas!”

Ya, mereka mendirikan tenda di sana, malam ini mereka akan menginap di Ranu Kumbolo sebelum melanjutkan pendakian mereka menuju puncak Mahameru.

Sang surya telah kembali ke peraduannya, guratan warna jingga membentang luas, sebelum akhirnya langit benar-benar gelap.

Meski Delvia satu-satunya orang asing di kelompok tersebut, namun gadis itu merasa sangat di sambut, dia merasa telah menjadi bagian dari mereka, apalagi tingkah Wayan dan Eko yang kerap membuatnya tersenyum.

“Sudah malam, kita harus istirahat karena besok pendakian semakin berat,” ujar Tofa memerintah, sebagai ketua dia harus selalu mengingatkan anggotanya.

Lelah dan kekenyangan menjadi faktor mereka cepat tertidur. Hanya Delvia satu-satunya orang yang masih terjaga. Delvia meraih senter, gadis itu lalu keluar dari tendanya. Delvia membekap mulutnya, gadis itu takjub melihat pemandangan malam yang begitu indah. Langit di penuhi bintang-bintang dan sekelompok kunang-kunang beterbangan di sekitar danau.

Delvi melangkahkan kakinya meninggalkan tenda, dia sama sekali tak merasa takut karena di sekitarnya juga banyak tenda dari pada pendaki. Delvia lantas duduk di dekat danau, kepalanya mendongak, menatap bintang yang tak pernah di lihatnya di langit Jakarta. Sepertinya keputusannya untuk mendaki adalah pilihan yang sangat tepat. Sejenak dia bisa melupakan masalah yang sedang menimpa keluarganya.

Rupanya bukan hanya Delvia yang masih terjaga, Dikta yang mendengar langkah kaki seseorang pun akhirnya keluar dari tenda dan berjalan mengikuti si pemilik langkah kaki. Cukup lama Dikta diam di tempat sampai akhirnya dia memiliki keberanian untuk duduk di samping Delvia.

“Boleh saya bergabung?” tanya Dikta seraya menatap Delvia.

Delvia sempat terkejut, namun dia sudah mengenali suara Dikta sehingga keterkejutannya perlahan hilang. “Hem,” sahut Delvia tanpa menoleh sedikit pun, terlalu tidak rela dia mengalihkan atensinya, sebab bintang di atas sana seolah tengah menghibur dirinya.

“Apa kau tau asal-usul Danau Ranu Kumbolo?” tanya Dikta tiba-tiba. “Ranu Kumbolo berasal dari kisah sepasang suami istri yang hidup melarat. Suatu hari, sang suami memancing di sungai dan mendapatkan ikan mas ajaib yang dapat berbicara dan mengubah sisiknya menjadi emas. Sang suami membawa ikan itu ke rumah dan menyimpannya di gentong, tetapi ketika ia kembali, ikan itu sudah tidak ada. Setelah itu, sang istri melahirkan seorang anak laki-laki yang memiliki sisik ikan di tubuhnya. Sang ibu bermimpi bahwa sisik ikan itu bisa hilang jika anaknya mencari mutiara pelangi di puncak Gunung Mahameru. Anaknya berhasil menemukan mutiara pelangi, tetapi menjatuhkannya saat turun gunung. Tanah tempat mutiara itu jatuh amblas dan digenangi air, menenggelamkan Kumbolo. Namun, Kumbolo keluar dari danau dan berenang ke tepian dengan tubuh bersih dari sisik ikan,” jelas Dikta panjang lebar, padahal Delvia sama sekali tak menanyakannya.

“Bohong,” sahut Delvia. “Ranu Kumbolo terbentuk dari kawah Gunung Jambangan yang telah memadat dan menampung air,” sambungnya menginterupsi.

Dikta terkekeh karena gadis yang duduk di sampingnya rupanya memiliki pengetahuan tentang Ranu Kumbolo. “Itukan menurut Badan Geologi Kementerian ESDM, yang saya ceritakan ini versi masyarakat Tengger.”

“Saya tidak tahu kalau mas Dikta lebih percaya cerita rakyat,” cetus Delvia seraya menoleh, menatap Dikta dari samping.

“Bukan percaya, saya hanya mencoba melestarikan cerita rakyat, saya juga tidak abai dari sisi ilmu geologi,” Dikta menyadari jika Delvia tengah menatapnya, oleh karena itu dia memalingkan wajah ke arah Delvia hingga keduanya saling menatap satu sama lain. “Apa kamu sudah punya pacar?”

Penolakan yang memikat

“Apa kamu sudah punya pacar?” Gila, Dikta sangat berani menanyakan hal yang bisa di anggap sebagai privasi itu pada Delvia, padahal baru beberapa jam sejak mereka bertemu dan berkenalan.

Pertanyaan Dikta tentu saja membuat Delvia terkejut, gadis itu meneguk salivanya kasar dan tanpa dia sadari kepalanya menggeleng. “Bodoh, kenapa aku harus menggeleng,” batin Delvia kesal. Seharusnya dia tetap diam dan tak meladeni pria yang baru di kenalnya itu. Delvia jadi yakin kalau Dikta termasuk dalam jenis buaya darat.

“Baguslah,” jawab Dikta seraya tersenyum.

“Baguslah?” ulang Delvia tak mengerti apa yang di maksud Dikta.

“Hmm, baguslah. Itu artinya saya memiliki kesempatan untuk mendekati kamu. Sepertinya saya jatuh cinta pada pandangan pertama!” dengan lugas Dikta mengutarakan isi hatinya. Tanpa ragu, pria itu menatap Delvia dengan sorot yang begitu dalam. Meski berada di tengah kegelapan, namun Dikta bisa melihat kecantikan yang terpancar dari wajah Delvia.

Delvia tersenyum mengejek, dia membalas Dikta dengan tatapan ragu dan meremehkan. “Maaf, saya tidak tertarik dengan novel romansa yang sedang kamu karang. Cinta pada pandangan pertama? Itu sama sekali tidak nyata dan tidak ada!”

“Dulu saya juga memiliki pemikiran yang sama seperti kamu sebelum saya merasakannya sendiri. Kamu berhak untuk menolak atau tidak percaya, sementara saya berhak mengutarakan apa yang saya rasakan!”  ya, dulu Dikta juga tidak terlalu percaya akan cinta. Hidupnya terlalu sibuk, dia menghabiskan sebagian waktunya di rumah sakit tempatnya bekerja. Namun kejadian hari ini benar-benar mengubah cara pandangnya.

Kembali pada pagi ini saat Tofa tiba-tiba datang menghampirinya, memberi tahu jika kelompoknya akan kedatangan anggota baru sebab Harun tiba-tiba sakit dan harus membagi kelompoknya pada beberapa kelompok kenalan.  Dikta awalnya menolak karena kelompok mereka bukan termasuk kelompok trip agen, namun Tofa terus memaksanya dengan dalih Harun teman baiknya dan tidak ingin citra Harun sebagai trip agen terlihat buruk.

Merasa simpati, Dikta akhirnya mengiyakan permintaan Tofa, dia juga bersedia menyambut Delvia di pasar Tumpang sebagai perwakilan Tofa. Dikta menunggu di pintu masuk pasar seraya menatap ponsel karena baru saja Tofa mengirimi sebuah foto dan plat mobil yang di tumpangi Delvia.  Tidak ada yang spesial dari foto tersebut, hanya potret seorang gadis yang terlihat muda.

Tak lama kemudian sebuah mobil berhenti, Dikta lalu mencocokkan nomor polisi kendaraan tersebut. Tamu yang dia tunggu akhirnya datang, seorang gadis turun dari mobil tersebut dan sedang mengeluarkan tas carrier besar dari mobil. Membantu? Tentu saja tidak. Dikta hanya memperhatikan gadis asing itu seraya menutup wajahnya dengan Buff.

“Permisi, apa kamu Delvia?” tanya Dikta begitu gadis bermasker itu hampir melewatinya.

“Ya,” jawab Delvia singkat.

“Maaf lancang, apa saya boleh menginformasi identitas kamu?” ujar Dikta seraya menunjuk masker yang Delvia kenakan.

“Tentu,” Delvia lalu menurunkan masker hingga ke dagu sehingga wajahnya kini terlihat jelas.

Deg...

Dikta terkesiap, pria itu terpaku dengan pupil yang sedikit melebar.

“Permisi,” ucap Delvia seraya menggerakkan telapak tangan di depan wajah Dikta. “Hello.”

“Ah ya maaf. Foto kamu sedikit berbeda ya,” ujar Dikta gugup.

“Itu foto lama,” Delvia menyahut.

“Mari ikut saya!” Dikta mengajak Delvia ke tempat perkumpulan mereka. Karena anggota yang lain sedang sibuk dengan persiapan masing-masing, Dikta menyuruh Delvia menunggu di depan warung makan. “Sebentar lagi jam makan siang,  kamu boleh makan dulu. Tapi jangan pergi terlalu jauh dari warung ini, nanti kamu akan di panggil lagi saat semuanya sudah berkumpul!”

“Ya!”

Dikta lantas pergi, pria itu duduk di tempat yang cukup sepi  guna menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. “Apa ini?” gumam Dikta seraya menyentuh dadanya. “Tidak mungkin!”

Kembali pada malam pengakuan, Delvia hanya diam tak memberikan komentar apa pun.

“Saya harap pengakuan saya tidak mengganggu pendakian kita besok. Maaf karena saya mengutarakan perasaan saya secara tiba-tiba,” Dikta lantas berdiri setelah mengakui keburu-buruannya dalam menyampaikan perasaan. “Sudah larut, sebaiknya kamu kembali ke tenda dan tidur!”

Delvia beranjak dari duduk, berdiri mengimbangi Dikta meski faktanya perbedaan tingi mereka begitu ketara. “Saya harap lain kali kamu jangan terlalu lancang. Saya anggap saya tidak mendengar apapun malam ini. Selamat malam,” ucap Delvia tegas, gadis itu lantas melangkahkan kaki menuju tenda.

Senyum kembali terukir di wajah Dikta, penolakan Delvia justru membuatnya semakin bersemangat. “Kamu menolakku, tapi tatapan matamu semakin menenggelamkanku Delvia!”

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!