Bab 1. Kecelakaan Maut
Sebuah mobil melaju oleng ke kanan-kiri di kegelapan malam. Sang pengemudi sedang berusaha mengendalikan laju kendaraannya agar berada di jalur yang benar.
"Mas Dhika, hati-hati!" pekik wanita yang sedang berbadan dua sambil memegang perutnya yang tiba-tiba saja terasa sakit.
"Tenang Andhira, jangan membuat aku panik!" bentak Andhika, sang suami.
Mulut Andhira komat-kamit berdoa berharap keselamatan mereka. Kedua matanya terpejam karena jika melihat dia akan merasa ketakutan dan berakibat kepada bayi yang ada di dalam kandungannya. Ketika dia memejamkan mata, rasa sakit di dalam perutnya tidak begitu kentara terasa seperti tadi.
Mobil yang dikemudikan oleh Andhika masih saja oleng, sulit untuk melaju secara lurus. Dia yakin kalau ada orang yang sudah merusak rem mobil milik kakaknya ini.
"Seharusnya aku tidak bertukar mobil dengan Kak Argani," batin Andhika yang merasa menyesal karena sekarang dia harus mempertaruhkan tiga nyawa.
Sebelah tangan Andhika menggapai sebuah bantal yang tersandar di belakang tuas. Lalu, dia meletakkan bantal itu ke perut Andhira agar tidak terkena benturan secara langsung ke bagian dashboard mobil. Dia tidak khawatir untuk bagian depan, karena nanti akan keluar airbag yang bisa melindungi kepala Andhira agar tidak terbentur saat tubuhnya terdorong ke depan.
Andhika terkejut karena tiba-tiba muncul mobil yang melaju berlawanan arah dengannya. Lalu, dia membanting setir secara spontan.
Andhira hendak bertanya atas apa yang dilakukan oleh suaminya, belum juga ucapannya keluar dari mulut, mobil mereka sudah berputar dan membentur pagar pembatas jalan.
Bunyi keras yang memekakkan telinga terdengar di kesunyian malam. Di dalam mobil berwarna merah itu terdapat seorang laki-laki yang kepalanya penuh dengan darah segar akibat pecahan kaca jendela mobil dari samping. Kepalanya bersandar di airbag yang berwarna putih.
Sama halnya dengan perempuan yang duduk di kursi penumpang, kepalanya juga berdarah, tetapi tidak separah sang suami. Dia memegang perutnya yang kembali terasa sakit, bahkan lebih terasa menyakitkan lagi kali ini.
Dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar, dia menghubungi nomor darurat untuk memanggil ambulans. Dia berharap bayi mereka bisa diselamatkan.
***
Seorang pria dewasa langsung berlari begitu turun dari mobil yang dia parkiran secara asal. Pintu ruang UGD yang di depan matanya terasa sangat jauh. Napas dia juga tersengal-sengal. Keringat terlihat dari membasahi keningnya.
Begitu mendapatkan kabar dari seorang polisi yang memberi tahu kecelakaan adik dan adik iparnya, pria itu langsung datang ke rumah sakit ini. Tubuhnya yang terasa remuk karena banyak pekerjaan selama seminggu ini, tidak dia hiraukan.
"Dokter, mana korban kecelakaan pasangan suami-istri yang terjadi di jalan Cendrawasih?" tanya laki-laki itu dengan napas yang kasar.
"Apa Anda pihak keluarga Bu Andhira?" tanya dokter yang kebetulan akan keluar ruangan UGD.
"Iya. Saya, Argani. Kakak ipar Andhira yang sedang hamil itu," jawab laki-laki pemilik berambut hitam legam itu sambil mengangguk.
Dokter memberi tahu kalau Andhira harus segera melakukan operasi caesar untuk mengeluarkan bayinya. Usia kandungan bayi itu baru tujuh bulan lebih, maka akan terlahir prematur.
"Itu adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan nyawa bayinya," kata dokter yang jaga malam itu dengan lirih.
"Lakukan yang terbaik untuk menyelamatkan nyawa mereka berdua, Dok," tukas Argani yang sudah siap dengan konsekuensi yang akan dia dapatkan nanti dari keluarganya.
"Lalu, bagaimana dengan suaminya, Dok?" lanjut Argani yang ingin tahu keadaan sang adik.
Raut wajah Dokter itu terlihat berubah. Lalu, dia menggelengkan kepala dan berkata, "Adik Anda meninggal di tempat."
Tubuh Argani oleng, mundur dua langkah. Dia tidak menyangka kalau pertemuan dengan Andhika di pesta tadi itu untuk terakhir kalinya mereka bercakap-cakap. Selama ini mereka jarang bertemu setelah sang adik menikah dan tinggal terpisah.
Seorang perawat datang dan memberi tahu kalau operasi caesar sudah siap. Tim medis sudah berkumpul semua di ruang operasi.
Setelah selesai mengurus administrasi, Argani menghubungi kedua orang tuanya dan orang tua Andhira. Dia memberi tahu apa yang sedang menimpa keluarga Andhika.
Keluarga Wiratama dan Atmadja datang hampir bersamaan. Wajah mereka terlihat panik dan tegang. Apalagi Mama Aini, mamanya Argani dan Andhika, mukanya sudah seperti mayat karena terlihat pucat pasi.
"Bagaimana keadaan Andhira?" tanya Pak Bagas, ayahnya Andhira.
"Dokter masih berusaha mengeluarkan bayi di dalam kandungan Andhira, Om," jawab laki-laki berbaju kaus kerah berwarna hitam yang pas di tubuhnya.
"Papa akan urus jenazah Andhika terlebih dahulu," ucap Papa Anwar sambil mendudukkan sang istri di kursi stainles.
"Aku ikut, Pa," ucap Argani.
Keadaan di sana kini hening. Bu Rosdiana menatap besannya. Dia pun duduk di samping Mama Aini.
"Semoga Andhira dan bayinya selamat dan baik-baik saja, ya, Jeng," ujar Bu Rosdiana sambil mengusap punggung wanita yang sejak tadi berderai air mata.
"Aku ... tidak menyangka ini akan terjadi kepada Andhira dan Andhika. Padahal sore tadi, mereka datang ke rumah dan terlihat bahagia sambil menunjukkan satu set perlengkapan bayi," ucap Mama Aini sambil mengusap pipinya yang basah oleh cairan bening.
"Namanya juga takdir. Tidak akan ada yang tahu apa yang terjadi selanjutnya," balas Bu Rosdiana.
"Sekarang Andhika sudah tidak ada. Apa hubungan kekeluargaan kita akan berakhir sampai di sini?" lanjut wanita itu melirik ke arah suaminya yang berdiri tepat di samping.
Pak Bagas tersentak dengan kenyataan ini. Jika hubungan mereka berakhir, dia takut besannya tidak akan mau lagi membantu modal perusahaannya yang baru saja stabil setelah diambang kebangkrutan.
Perusahaan keluarga Wiratama nyaris diakuisisi jika saja tidak mampu bersaing dengan para pengusaha lainnya. Setelah Andhira menikah dengan Andhika, perusahaan mereka mendapatkan banyak modal dari keluarga Atmadja.
"Apa sebaiknya kita nikahkan Andhira dengan Argani? Bagaimanapun juga bayi itu memerlukan kasih sayang seorang ayah yang bisa menjaga dan melindunginya. Bukannya bayi yang dikandung oleh Andhira itu laki-laki? Pasti peran seorang ayah sangat penting," tutur Bu Rosdiana dengan nada halus kepada besannya.
"Benar. Apa yang dikatakan istriku itu benar. Pastinya Bu Aini juga tidak mau kehilangan sosok cucu, 'kan? Kalau sampai Andhira pergi meninggalkan keluarga Atmadja, bisa saja dia pergi jauh entah ke mana, nanti," tambah Pak Bagas untuk meyakinkan Mama Aini.
Wanita paruh baya yang berpenampilan anggun itu diam menatap kedua besannya. Dia sangat sayang kepada Andhira layaknya putri kandung. Karena menantunya itu adalah putri sahabat baiknya yang susah payah dia temukan. Dia juga yang menjodohkan dengan Andhika, meski putranya itu sudah punya kekasih. Karena dia ingin memberikan yang terbaik untuk putra bungsu dan anak sahabatnya. Setidaknya dengan menjadi menantu keluarga Atmadja, Andhira bisa hidup nyaman dan aman.
"Ya, kalian benar. Dengan menikahkan Andhira dengan Argani, aku masih bisa berkumpul bersama mereka. Cucuku harus mendapatkan kehidupan yang baik," ujar Mama Aini.
***
Bab 2. Titah Turun Ranjang
Proses operasi caesar berjalan lancar, tetapi keadaan Andhira kini koma dan bayinya dimasukkan ke inkubator karena prematur. Keluarga Wiratama dan Atmadja bahagia menyambut cucu pertama mereka.
Keluarga Atmadja juga mengurus proses pemakaman Andhika malam itu dan dikebumikan pagi hari sekitar jam sembilan. Kaum kerabat sudah berdatangan, mereka langsung datang begitu dikabari berita duka ini.
Terjadi kekacauan ketika proses pemakaman Andhika. Seorang perempuan yang berdandan cantik berteriak histeris sambil menangis. Dia menerobos kerumunan pelayat, lalu jatuh duduk bersimpuh memeluk keranda.
Tentu saja ini menjadi tontonan orang yang ikut mengantarkan jasad Andhika ke tempat pembaringan terakhir. Sebagian dari mereka ada yang tahu siapa wanita itu.
"Andhika, kenapa kamu tinggalkan aku dengan anak kita. Dia kasihan sekali belum terlahir ke dunia ini, tetapi sudah kehilangan sosok ayahnya," racau wanita yang tidak lain adalah Selena. Kekasih Andhika sebelum menikah dengan Andhira.
Mata para pelayat itu terbelalak dan mulut ditutup oleh tangan. Mereka tidak menyangka putra seorang konglomerat kondang sudah menghamili seorang wanita yang bukan istrinya.
"Apa-apaan kamu, Selena!" bentak Argani sambil menarik wanita yang memeluk keranda di mana jenazah Andhika berada.
"Tidak, Mas Argani. Aku harus melihat dan memeluk Andhika untuk terakhir kalinya. Kemarin dia berjanji akan mengajak aku jalan-jalan menaiki mobil sport. Seharusnya sekarang aku dan dia bersenang-senang," ucap Selena itu tidak tahu malu.
Argani tersentak mendengar ucapan Selena. Karena semalam Andhika meminta izin untuk meminjam mobil Ferrari berwarna merah yang dia bawa ke acara pesta semalam. Sebenarnya Andhika juga punya tiga mobil sport dengan merek berbeda-beda, hanya saja semua warna miliknya gelap. Berbeda dengan mobil miliknya yang suka warna terang yang menurutnya bagus.
Bisik-bisik para pelayat mengganggu pendengaran Argani. Dia melihat ke arah kedua orang tuanya. Laki-laki itu melihat ekspresi yang tidak mengenakan.
Raut wajah Papa Anwar dan Mama Aini kini merah padam tersirat rasa menahan amarah dan malu. Mereka tidak menyangka kalau putra bungsunya tega melakukan suatu perbuatan yang tidak bisa ditolerir.
"Jangan coba kamu menyebar fitnah! Andhika sudah punya istri dan anak. Mereka hidup bahagia dalam rumah tangganya. Kamu iri dan marah karena Andhika memilih Andhira, 'kan?" ucap Mama Aini yang sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya.
"Siapa bilang? Tante tidak tahu kalau Andhika dan aku masih menjalin hubungan. Sekarang aku sedang hamil anaknya. Andikha bilang akan menceraikan istrinya setelah anaknya lahir dan akan menikahi aku secepatnya," bantah Selena. Wanita itu terlihat sangat percaya diri mengungkapkan skandal putra keluarga Atmadja di hadapan ratusan orang.
"Kau ...." Mama Aini memegang dadanya yang tiba-tiba saja terasa sakit. Ya, dia memiliki riwayat penyakit jantung.
"Mama!" Argani dan Papa Anwar memegangi Mama Aini yang hampir jatuh.
Lagi-lagi orang di sana dibuat terkejut. Mereka juga panik kalau sampai penyakit Mama Aini kambuh.
"Pergi kau dari sini!" Salah seorang kerabat Andhika menarik Selena dan mengusirnya dari area pemakaman.
"Tidak. Lepaskan aku! Aku ingin melihat ayah dari anakku untuk terakhir kalinya!" jerit wanita itu sambil berontak.
Beberapa orang membantu untuk menyeret Selena agar tidak mengganggu proses pemakaman. Suara teriakan wanita itu mereka abaikan.
Tidak sampai satu jam pemakaman Andhika sudah selesai. Para pelayat pun pergi meninggalkan area pemakaman, tinggal keluarga inti Pak Anwar saja di sana dan Pak Bagas. Sejak tadi ayahnya Andhira hanya diam. Dia tidak peduli dengan keadaan rumah tangga anak dari istri pertamanya itu. Karena yang dia butuhkan adalah modal dari keluarga Atmadja.
"Sebaiknya kita segera pergi. Mungkin Andhira sudah siuman," ucap Papa Anwar kepada istrinya.
Mendengar nama menantu kesayangannya, Mama Aina pun mau beranjak pergi dari sana. Sekarang ada orang yang sedang membutuhkan perhatiannya, yaitu Andhira dan sang cucu yang belum diberi nama.
***
Andhira baru siuman menjelang sore hari. Hal yang pertama dia pikirkan adalah bayi di dalam perutnya. Dia meraba perut yang kini sudah rata.
"Bayimu selamat, tapi harus mendapatkan perawatan khusus karena terlahir prematur," ucap Bu Rosdiana yang melihat anak sambungnya membuka mata.
Andhira melirik kepada wanita paruh baya yang sudah menghancurkan rumah tangga orang tuanya. Dia sangat benci sekali kepadanya. Wanita itu berhasil merebut semua hal dari ibu dan dirinya sampai sang ayah yang begitu mereka sayangi berbalik membencinya.
"Sekarang Andhika sudah meninggal. Dan ayahmu berniat menikahkan dirimu dengan Argani," lanjut Bu Rosdiana yang bicara seenaknya tanpa memikirkan keadaan Andhira yang baru saja siuman dari komanya.
Mendengar suaminya sudah meninggal, Andhira sangat terpukul. Padahal hubungan mereka baru saja dekat sebulan belakangan ini. Suami yang dahulu selalu mengabaikan dirinya dan memandang sinis, berubah menjadi baik setelah dia merawat dirinya yang sakit selama satu minggu.
Pernikahan Andhira dan Andhika terjadi atas keinginan Mama Aina yang ingin jadikan perempuan itu bagian dari keluarganya. Apalagi Pak Bagas mendukung pernikahan itu dengan catatan memberi uang sebesar lima miliar kepadanya untuk suntikan dana perusahaannya. Kalau tidak mau maka Andhira akan dinikahkan dengan saudagar dari negeri seberang untuk dijadikan istri keempat.
Sungguh miris sekali hidup Andhira. Dia dan ibunya diusir oleh Pak Bagas saat baru beranjak remaja demi menikahi Bu Rosdiana, selingkuhannya.
Hidup luntang-lantung dan sering kelaparan sampai mereka pergi ke sebuah desa pelosok untuk menjadi buruh tani. Dari seorang nona muda menjadi pekerja buruh, Andhira menjalani hidupnya sampai usia 20 tahun dan ditemukan oleh Mama Aina.
Ketika Andhira memerlukan Pak Bagas sebagai wali nikah, laki-lak itu malah memberikan persyaratan. Tentu saja Mama Aina dan Pak Anwar menyanggupinya.
Andhira merasa dirinya sudah dijual oleh sang ayah demi keuntungan dirinya. Kini, hal itu akan terjadi lagi.
"Aku tidak ada niatan untuk menikah lagi," ucap Andhira dengan tatapan tajam.
"Jangan bodoh kamu, Andhira!" pekik Bu Rosdiana. "Kamu mau berpisah dengan anakmu, hah!"
"Apa maksudmu? Bayi itu anakku. Tidak ada yang bisa memisahkan kami!" balas Andhira dengan tatapan penuh kebencian kepada ibu tirinya.
Bu Rosdiana tertawa terkekeh mendengar ucapan anak sambungnya. Dia menatap Andhira dengan penuh ejekan.
Sementara itu, Argani sedang bersama kedua orang tuanya di kediaman keluarga Atmadja. Mereka semua sedang berunding di ruang keluarga. Ada beberapa kerabat mereka yang masih tinggal di sana.
"Aku tidak mau menikah dengan janda adik kandungku sendiri," ucap Argani menolak keinginan kedua orang tuanya.
"Mama mohon Gani. Hanya itu satu-satunya cara untuk menjaga dan melindungi Andhira dan putranya," ujar Mama Aini.
"Tapi, Ma ...."
"Mama berharap kamu tidak menolak keinginan mamamu ini," potong wanita paruh baya itu dengan tatapan memohon.
Argani betah menduda karena punya alasan. Akibat perceraian dahulu, dia jadi trauma menjalin hubungan dengan wanita manapun.
***
Bab 3. Penolakan
"Maaf, aku tidak bisa, Ma," ucap Argani bersikukuh.
"Jangan egois begitu Argani! Andhira itu ibu dari penerus keluarga Atmadja. Bagaimana kalau dia membawa pergi penerus keluarga kalian?" Salah seorang sesepuh keluarganya ikut menekan putra sulung pasangan Mama Aini dan Papa Anwar.
"Tanpa aku nikahi, anaknya akan tetap bagian dari keluarga ini. Aku yakin meski tidak bersama kita, anak itu akan dirawat dengan baik oleh Andhira," balas Argani.
Laki-laki itu tidak bisa menikah dengan wanita mana pun. Akibat kecelakaan saat akan pergi honeymoon bersama Liana, membuat dia sulit untuk ereksi. Keperkasaan sebagai seorang pria hilang pada dirinya. Ya, Argani menjadi impo-ten.
Kelemahannya ini hanya diketahui oleh kedua orang tua, mantan istri, dan dokter yang mengobatinya dahulu. Argani tidak mau kekurangan dirinya ini tersebar. Selain merupakan sebuah aib dirinya, ini juga akan menjatuhkan nama baik keluarga besar Atmadja.
Mama Aini menangis tergugu. Dia sangat berharap putranya mau menikahi menantu kesayangannya itu. Andhira merupakan wanita sederhana dan patuh. Selalu bisa menempatkan diri di mana pun berada meski dirinya tidak mengenyam pendidikan sampai ke jenjang lebih tinggi.
"Jika kamu masih ingin memegang perusahaan properti milik keluarga Atmadja, maka nikahi Andhira. Jika tidak mau, kamu bisa menyerahkan jabatan itu ke sepupumu yang lain," ucap Papa Anwar langsung to the point. Laki-laki paruh baya itu pun berdiri, lalu pergi meninggalkan ruang keluarga yang luas dengan furnitur mewah dan berkelas.
Mama Aina pun mengikuti langkah suaminya. Beberapa kerabat keluarga Atmadja juga pergi satu persatu meninggalkan Argani seorang diri.
Keluarga Atmadja memiliki banyak perusahaan di beberapa bidang. Argani memegang tanggung jawab perusahaan yang bergerak di bagian properti. Sementara mendiang Andhika memegang perusahaan keluarganya di bidang pertambangan.
Terlihat Mama Aini dan Papa Anwar berjalan dengan tergesa-gesa. Melihat itu Argani bertanya-tanya.
'Ada apa? Apa terjadi sesuatu di rumah sakit?' batin Argani. Laki-laki itu mengikuti kedua orang tuanya.
***
Andhira meminta seorang perawat untuk membawanya ke ruang NICU. Dia ingin melihat putranya yang lahir semalam lewat operasi caesar.
Seorang bayi mungil terlihat di dalam sebuah inkubator dalam keadaan tertidur lelap. Air mata Andhira jatuh bercucuran ketika melihat putranya. Dia merasa kasihan karena sang anak sudah kehilangan ayahnya sebelum dilahirkan.
Masih jelas dalam ingatan Andhira percakapan dia dengan mendiang suaminya sekitar satu minggu yang lalu. Andhika begitu semangat mencari nama untuk putranya. Lalu, apa saja yang bisa mereka lakukan untuk menghabiskan waktu bersama sebagai seorang laki-laki.
Selama hampir delapan bulan pernikahannya bersama Andhika, baru satu bulan belakangan ini Andhira bisa merasakan indah dan manisnya sebuah ikatan pernikahan. Dia selalu bersabar saat menghadapi sikap suaminya yang dingin dan ketus. Namun, semua berubah setelah kejadian yang membuat laki-laki itu tidak berdaya dan membutuhkan dirinya.
Satu minggu setelah pernikahan, Andhika pulang dalam keadaan mabuk berat. Laki-laki itu merudapaksa istrinya sendiri. Hasil dari perbuatan satu malam itu membuat Andhira hamil.
Ketika sedang asyik memandangi wajah putranya, Andhira dikejutkan dengan kedatangan keluarga Andhika. Ucapan ibu tirinya tiba-tiba saja memenuhi pikirannya. Dia tidak mau dipisahkan dengan anaknya. Wanita itu tahu keluarga mertuanya memiliki banyak pengaruh dan bukan hal yang sulit jika menjauhkan putra semata wayangnya dari dia.
"Andhira, kenapa kamu di sini, Sayang?" tanya Mama Aini. "Kamu jangan banyak bergerak. Kondisi tubuh kamu belum sehat betul, masih harus banyak istirahat."
"Aku hanya ingin melihat putraku, Ma," jawab Andhira. "Ternyata dia sangat mirip dengan Mas Dhika."
Andhira tersenyum tipis. Dia senang karena memiliki mertua yang sangat baik.
"Ya, kamu benar. Dia mirip dengan Andhika," ujar Mama Aini.
Papa Anwar melirik kepada Argani yang mengikuti ke mana pun mereka pergi. Terlihat putra sulungnya itu menatap tajam kepada Andhira.
'Semoga saja mereka benar-benar berjodoh,' batin Papa Anwar dengan penuh harap.
Andhira kembali ke ruang rawat inap kelas VVIP. Ternyata di sana sudah ada Pak Bagas dan Bu Rosdiana. Wanita itu menatap jengah pada keduanya. Dia sudah bisa membayangkan apa yang akan mereka lakukan kepadanya. Apalagi kalau bukan memaksanya untuk menikah dengan Argani.
"Eh, besan. Ternyata ada di sini juga," ucap Bu Rosdiana basa-basi sambil tersenyum manis.
"Iya, nengok mantu dan cucu," balas Mama Aini.
"Maaf sekali tadi pagi tidak bisa ikut mengantar ke pemakaman karena harus menjaga Andhira di sini?" ujar Bu Rosdiana masih memasang wajah ramah.
"Dhira, Papa mau bicara hal yang penting," ucap Pak Bagas.
Andhira diam karena sudah tahu apa yang akan dibicarakan oleh ayahnya. Hanya ada uang, uang, dan uang, dalam pikiran ayah kandungnya.
"Katakan saja, Yah," balas Andhira.
"Bagaimana kalau kamu dan Argani menikah? Demi bayi mungil itu!" kata Pak Bagas langsung ke inti pembicaraan.
Senyum kecut tercipta dari bibir pucat milik Andhira. Kuburan suaminya saja masih basah, sekarang ayahnya malah menyuruh menikah lagi dengan kakak iparnya.
"Yah, Mas Dhika baru saja meninggal! Tidak pantas kita membicarakan hal ini. Aku tekankan lagi, kalau aku tidak mau menikah!" balas Andhira dengan tegas.
Mata Pak Bagas melotot mendengar ucapan Andhira. Rasanya dia ingin memaki atau bahkan memakinya putri kandungnya sendiri.
Argani merasa senang dengan jawaban Andhira. Dia juga pasti akan menolak jika berada di posisinya. Orang gila mana yang menyuruh anaknya menikah di hari duka dalam hidupnya.
"Andhira, kamu mau hidup luntang-lantung di jalan ibu kota ini? Pikirkan nasib anakmu itu!" bentak Bu Rosdiana yang kini suka ikut campur urusannya dengan terang-terangan.
Mama Aini tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Dia akan menjamin menantu dan cucunya hidup berkecukupan. Begitu juga dengan Papa Anwar. Harta keluarga mereka banyak dan tidak akan habis cuma memberikan puluhan juta tiap bulannya untuk keperluan Andhira dan putranya.
"Siapa yang akan menjaga dan melindungi kalian nanti? Ayah hanya ingin kamu dan bayimu itu hidup terjamin dan ada yang melindungi," kata Pak Bagas dengan lembut kali ini.
Andhira memalingkan muka dari mereka. Dia tidak suka ditekan seperti ini. Mereka tidak pernah memikirkan apa yang sedang dirasakan olehnya.
"Jika kamu masih ingin bersama anakmu, maka kamu harus mau menikah dengan Argani, karena bayi itu adalah penerus keluarga Atmadja. Bayi itu milik mereka," ucap Bu Rosdiana memberi ancaman.
Mama Aina dan Papa Anwar terkesiap mendengar ucapan Bu Rosdiana. Tidak ada yang salah dengan ucapan barusan, tetapi tidak juga bisa dibenarkan.
"Kalian jangan memaksa jika Andhira tidak ingin menikah untuk saat ini. Wanita mana yang langsung menikah ketika suaminya baru saja meninggal," kata Argani menyindir mereka semua.
Andhira menatap Argani. Rasanya dia ingin berterima kasih kepada kakak iparnya itu.
"Sebaiknya kita pikirkan lagi setelah beberapa bulan ke depan," lanjut sang duda dan itu membuat Andhira berdecih.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!