"Kok bisa garis dua sih?! Gimana kamu ini argh!!!!" Ucap Martin menggaruk kasar rambutnya.
Testpack yang di sodorkan istrinya Agistya (Tya) sama sekali tak di sentuhnya.
"Ma-maaf sayang, maafin aku." lirih Tya melihat suaminya seperti orang frustasi.
"Kenapa bisa begitu hah?! Isi kepala kamu berfungsi atau engga?!!" Ucap Martin dengan nada membentak.
"A-aku lupa bawa pil KB saat kita liburan sayang."
"Terus kenapa kamu gak bilang! Kalau tau kamu gak bawa pil KB aku juga ga akan mau sentuh kamu!"
Martin dan Tya berpacaran hampir 5 tahun sejak kuliah dan lalu menikah saat mereka sudah masing-masing mendapat pekerjaan.
Martin masih menjadi tulang punggung keluarganya, karena Erlangga ayahnya sudah tidak mau lagi bekerja karena merasa sudah cukup di biayai oleh Martin setiap bulannya, Martin juga masih mempunyai adik perempuan yang masih kuliah bernama Komala, ibunya Yunita juga masih aktif mengikuti arisan sana sini dengan teman-temannya.
Awalnya semua berjalan baik sesuai rencana, Tya tidak pernah mempermasalahkan soal gaji suaminya yang lebih banyak keluar untuk keluarganya di banding untuk dirinya, karena selama ini penghasilan Tya bisa menutupi semua kebutuhan, termasuk mengirim uang untuk ibunya yang tinggal seorang diri.
Penghasilan Martin juga setiap bulannya digunakan untuk membayar cicilan rumah dan mobil yang jangka waktunya lumayan lama, karena Martin memilih angka terkecil dalam cicilan di setiap bulannya.
Martin dan Tya sepakat untuk tidak mempunyai anak dulu, sampai semua cicilan lunas dan Komala adiknya sudah lulus dan bekerja.
Tapi kenyataannya, saat ini Tya hamil di tengah cicilan rumah dan mobil yang masih berlangsung lama.
Tya terus menangis lirih, sambil tangannya terus memegang testpack. "Terus gimana sayang?"
"Kamu masih nanya gimana? YA GUGURIN!"
Tya langsung tersentak saat mendengar kata-kata yang sangat tidak di harapkan keluar dari mulut suaminya itu, walaupun kehamilannya tidak terencana, tapi berarti Tuhan sudah mempercayakan calon anak ini pada Tya dan juga Martin.
"Jaga mulut kamu sayang, ini darah daging kita, buah cinta kita."
"Arghhh perset*n dengan buah cinta, aku gak mau tau ... Gugurin anak itu, aku udah gak ada budget buat urusin semua kebutuhan anak, kecuali jika cicilan rumah dan mobil sudah selesai."
Air mata makin mengalir deras di pipi Tya, bisa-bisanya Martin berkata seperti itu terhadap calon anaknya.
"Sayang, apakah kamu tau ... Di luar sana banyak yang menginginkan kehadiran anak, tapi mereka sulit mendapatkannya, harusnya kita bersyukur."
"Terserah!" Ucap Martin lalu pergi meninggalkan Tya masuk kedalam kamar mandi.
Di luar kamar, ternyata ... Ada 3 pasang telinga yang mendengarkan pertengkaran Tya dan juga Martin, mereka sama-sama melongo, saat mendengar jika Tya hamil.
Tidak ada sama sekali kebahagiaan yang mereka rasakan, seperti pada halnya keluarga lain yang sangat senang jika mendengar akan ada anggota baru di keluarganya, mereka lebih merasa takut kehilangan jatah bulanan jika nantinya ada seorang bayi yang hadir di tengah mereka.
"Bu, Mala pokoknya gak mau kalau kak Martin punya anak dulu, kuliahku belum selesai, masih butuh banyak biaya. Oh ya ... yang aku tau pekerjaan kak Tya juga melarang karyawannya untuk hamil, pasti nanti Kak Tya resign juga, otomatis uang gaji kak Martin nantinya akan dikuasai sama kak Tya." Ucap Komala mempengaruhi ibunya.
Yunita menimbang-nimbang apa yang dikatakan oleh anak bungsunya itu.
Lalu dia mengajak suami dan juga anaknya, agar menjauh dari kamar Martin ... Karena sudah tidak terdengar lagi pembicaraan apapun dari dalam sana.
Erlangga juga merasa khawatir, jika nantinya dia harus kembali bekerja di umurnya yang sudah melewati paruh baya.
Aku gak mau bekerja lagi, enak begini toh. Ucap Erlangga dalam hatinya.
***
Yunita dan Komala, menyiapkan makan malam dengan perasan yang tidak seperti biasanya, mereka sedang di ambang ketakutan karena dana yang di berikan Martin tiap bulan sangatlah berpengaruh.
Tya keluar kamar seorang diri, dia langsung bergabung dengan Mala dan juga mertuanya yang sedang sibuk di dapur dan meja makan.
"Masak apa malam ini Bu?" Tanya Tya berbasa-basi.
Tya memang dilarang memasak oleh Martin setiap harinya, kecuali jika libur bekerja ... Tujuan Martin melarang Tya turun tangan di dapur adalah takut Tya lelah karena telah seharian bekerja, dan itu sudah di setujui oleh Yunita mertuanya.
"Ikan balado, sayur, tahu tempe." Ucap Yunita sekenanya.
"Biar Tya bantu Bu." Tya mengambil salah satu piring yang ada di atas meja dapur untuk di pindahkan ke atas meja makan.
Ternyata tanpa mereka sadari, Martin sudah duduk di meja makan tanpa berkata apapun, biasanya Martin selalu memulai pembicaraan sekalipun itu tidak penting, seperti menanyakan keseharian adiknya di kampus, atau kegiatan orang tuanya.
Makan malam saat ini berlangsung hening, tidak seperti biasanya.
Ibu, ayah dan Mala kenapa lebih banyak diam? Apa mereka mengetahui pertengkaran aku dengan Martin tadi? Tidak biasanya mereka seperti ini.
"Sayang, mau nambah?" Tawar Tya pada Martin yang sudah menghabiskan makanannya lebih dulu.
"Engga."
"Kamu gak enak badan?" Tanya Yunita pada Martin.
"Engga Bu, aku kurang nafsu makan aja." Jawab Martin sambil tersenyum hambar.
Selesai makan, Tya tahu diri untuk bergantian membersihkan peralatan makan, biasanya Martin melarangnya dan menyuruhnya untuk langsung masuk kamar untuk beristirahat, tapi malam ini suaminya itu membiarkan apa yang di lakukan oleh Tya, begitupun dengan Yunita dan Komala ... Mereka malah memanfaatkan keadaan ini, kedua wanita itu langsung masuk kamar masing-masing
***
Malam harinya.
Tya mengelus perutnya yang rata sambil bersandar di tempat tidurnya. "Kamu adalah sumber kebahagiaan, jangan merasa tidak di inginkan ya sayang, mama sangat menginginkan kamu." gumam Tya dengan mata yang berkaca-kaca.
Sudah hampir tengah malam, Martin belum juga masuk ke dalam kamarnya, rupa-rupanya dia tertidur sambil menonton tv di atas sofa.
Tya tidak bisa tidur, ini pertama kalinya setelah menikah Martin tidak tidur dengannya, perlahan dia berjalan keluar kamar, hendak mencari dimana Martin berisitirahat.
Martin sedikit mendengkur, dan itu memudahkan Tya untuk menemukannya.
"Ketiduran sambil nonton." Kata Tya lalu berjalan menghampiri Martin.
"Sayang, bangun ... Pindah ke kamar." Tya menggoyangkan pelan bagian tangan Martin, agar suaminya itu terbangun.
"Sayang ... pindah yuk."
Martin membuka matanya, lalu menipis tangan Tya yang menyentuhnya. "Aku mau disini, aku sedang tidak ingin tidur bersama istri yang suka melawan suaminya."
Degan mudahnya air mata turun dari pelupuk mata Tya saat mendengar Martin berkata seperti itu.
"Sayang, mari kita bicarakan lagi baik-baik." Ajak Tya dengan suara pelannya, khawatir mertua atau adik iparnya mendengar dari dalam kamar masing-masing.
"Gak mau! Sana masuk kamar!" titah Martin ketus.
Tya berdiri perlahan, lalu berjalan perlahan masuk ke kamar.
Matanya berkaca, karena sebelumnya Martin tidak pernah memperlakukannya seperti ini.
"Sebegitu bebankah kehadiran buah hati kita di dalam perutku? Sampai kamu memperlakukan aku seperti ini." Gumam Tya di balik pintu kamarnya sambil menangis terisak.
***
Pagi hari.
Pukul 05.00 Tya sudah bangun, dia hendak memaksa Martin untuk bangun sebelum penghuni rumah lainnya tau kalau Martin tertidur di sofa semalaman.
Tangannya kembali membangunnya Martin dengan perlahan, "Sayang, udah pagi ... Ayo pindah, nanti ibu ayah lihat, ga enak loh kalau orang tua lihat kamu tidur di sofa begini."
Martin mengucek matanya, lalu memaksakan diri untuk bangun dan masuk ke dalam kamar, tanpa berbicara apapun pada Tya.
Tya menghela nafasnya, akhirnya suaminya mau mendengar apa yang dia katakan, lalu dia bergegas membereskan sofa yang sedikit berantakan lalu mengambil selimut bekas Martin semalam, dan memindahkannya ke dalam kamar.
"Sayang, mandi ... Kerja kan hari ini?" Kata Tya saat melihat Martin yang melanjutkan tidurnya di atas kasur.
"Gak usah ngatur!" Kata Martin dengan mata yang masih terpejam.
"Engga ngatur, aku cuma ingetin ka — "
Tya menutup mulut nya dengan tangan saat tiba-tiba rasa mual datang dan ingin memuntahkan isi perutnya.
Melihat itu Martin langsung tersentak bangun dan langsung memasang wajah kesal, "Hey! pergi ke kamar mandi sana! Aku gak mau ya lantai kamar ini kena muntahan kamu yang menjijikan itu, pergi sana!!!!! Bikin mood aku jelek aja pagi-pagi."
"Engga jadi sayang, aku masih bisa nahan."
"Awas kamu ya, muntah pas sarapan nanti! minggir ... aku mau mandi." Martin mendorong sebelah bahu Tya lalu berjalan masuk ke dalam kamar mandi.
Tya mengusap kembali perutnya, "Tumbuh sehat ya nak, mama menginginkan kamu." ucapnya dengan suara lirih.
.
.
Sarapan pagi bersama tiba.
Seperti semalam, suasana sarapan pagi hari ini sepi tanpa ada pembicaraan apapun.
Tapi karena tidak tahan saling diam seperti ini, akhirnya Yunita memulai pembicaraan lebih dulu.
"Kalian sedang ada masalah?" Tanya Yunita pada Martin dan juga Tya.
Martin tidak menjawab, dia terus fokus dengan isi piringnya, Tya yang sedari tadi menunggu jawaban Martin pun akhirnya memutuskan untuk bersuara.
"Tya hamil Bu."
karena awalnya memang sudah menguping perdebatan Tya dan juga Martin mereka tidak terkejut, respon mereka datar dan seperti tidak perduli.
"Hamil? bukannya kalian mau menundanya dulu? kamu tau kan Tya, kalau Martin itu banyak sekali tanggungan nya?"
"Iya Bu, awalnya memang seperti itu, tapi karena... "
"Karena dia ceroboh, lupa minum pil KB!" Sambung Martin sambil meletakan sendok di atas piring yang sudah kosong.
"Loh, loh ... kok bisa sih Tya? hal penting seperti itu bisa lupa? kamu tau gak, kalau punya bayi itu harus siap budget banyak, belum lagi kalau dia sakit ... itu biayanya besar." Ucap Yunita dengan nada tegas.
Tya tidak berani menjawab, dia hanya bisa menunduk, sebenarnya Tya ingin menjawab menurut persepsinya, tapi dia tahan. Dia tidak ingin terkesan seperti melawan.
"Agistya! ibuku sedang bicara, jawab pertanyaannya!" Sentak Martin pada istrinya.
"Iya Bu Tya salah, tapi Bu setiap anak yang lahir ke dunia pasti membawa rezekinya masing-masing. jadi Tuhan sudah pasti mencukupi."
"Oh ya? apa kabar dengan anak jalanan? atau orang yang terpaksa mencuri untuk memberikan anaknya susu. Itu semua adalah bukti, bahwa anak itu membawa beban ... terkecuali kalian sudah mapan dan tidak banyak urusan cicilan seperti sekarang. Gugurkan Tya ..."
*Degh
Tubuh Tya meremang, kala mendengar kata-kata itu keluar bukan hanya dari mulut suaminya, tetapi mertuanya juga.
"Tuh kan, kamu denger kan? bukan cuma aku yang berfikir kayak gitu, ibu ku juga. itu artinya aku belum siap menjadi orang tua, kasihan anak itu ketika lahir malah merasakan susah karena orang tuanya belum siap secara finansial."
Tya tidak meneruskan makannya, rasanya sungguh mual mendengar semua penolakan yang di ucapkan oleh suami dan mertuanya.
"Aku akan mengcover kebutuhan anakku, dari sisa gaji dan tabunganku nanti." Tya berusaha kuat, dia tidak ingin lagi menangis ... dia harus menjadi pelindung yang kuat untuk anaknya.
Mendengar kata yang tidak sesuai dari mulut Tya, Martin langsung memicingkan matanya seraya berkata "Sisa gaji? Apa maksud kamu?"
"Kantorku melarang karyawan nya untuk hamil, bukannya aku sudah menceritakan sejak awal aku bekerja disana? Mungkin kamu lupa sayang."
"Aku ingat betul Kak Tya pernah menceritakan itu, Lalu apakah kakak pernah berfikir jika kak Tya berhenti bekerja, otomatis jatahku dari kak Martin pasti berkurang." Ucap Komala menambahkan.
"Diam kamu anak kecil!" Sentak Martin saat Komala ikut berkomentar tentang masalahnya.
Wajah Komala langsung merah padam, menahan kesal saat di bentak oleh Martin.
"Kamu nih, ikut-ikutan aja."Tambah Erlangga yang baru bersuara, dia sedari tadi diam karena tidak mau ikut campur, pria paruh baya itu takut jika Martin menyarankan nya untuk bekerja kembali seperti dulu.
Komala langsung beranjak dari duduknya lalu pergi masuk ke dalam kamarnya.
"Adik kamu itu hanya mengingatkan, tidak usah di bentak Martin! Memang benar adanya istri kamu yang bersalah, orangnya tidak bisa berfikir panjang." Ucap Yunita yang wajahnya sudah berubah menjadi sinis saat melirik pada Tya.
"Maaf Bu, tapi seharusnya Komala tidak ikut—"
"Ahhhh sudahlah Tya, jangan malah menyalahkan Komala, sudah jelas disini kamu biang masalahnya." Yunita lalu pergi meninggalkan meja makan, dan menyusul Komala ke dalam kamar untuk membujuknya agar mau berangkat kuliah pagi ini.
Di susul oleh Erlangga yang meninggalkan meja makan, karena pria itu tidak tahu juga harus berkomentar apa.
Cerita flashback
Dulu sebelum menikah dengan Tya, keluarga Martin termasuk golongan keluarga yang cukup dan buka termasuk orang berada, untuk kuliah Martin saja, ibu dan ayahnya rela menjual rumah dan memilih hidup mengontrak. Erlangga bekerja sebagai supir taxi untuk membayar kontrakan dan makan setiap harinya.
Setelah Martin sudah bekerja, barulah Erlangga meminta Martin untuk menanggung semua bebannya yang selama ini dia pikul sendiri, sebagai bakti anak kepada ayahnya... Martin lalu menyuruh Erlangga untuk berhenti bekerja dan menyanggupi untuk mencukupi semua kebutuhan sehari-hari dan biaya sekola adiknya saat itu.
Flashback selesai.
"Ayo berangkat, ngapain masih bengong disini." Ucap Martin yang sudah siap degan tas kerjanya, sedangkan Tya masih merenungi semuanya di meja makan.
"Aku ambil tas dulu." Ucap Tya dengan nada datarnya.
Di dalam mobil.
"Aku ingatkan sekali lagi Tya, kamu jangan egois jadi manusia, anak itu harus di beri kebahagiaan bukan kesengsaraan, jika kamu berhenti bekerja nanti, keuangan kita pasti jatuh sedalam dalamnya. Apa kamu rela tidak bisa berbelanja sesuka hati kamu lagi, dan tidak bisa pula merawat wajahmu di salon kecantikan ternama seperti saat kamu belum hamil dulu?"
"Aku rela, demi anak kita."
"Anakmu bukan anak kita! Aku belum menginginkannya!"
"Sayang ... jangan begitu, kamu boleh tidak mau membiayai anakmu, tapi tidak dengan berkata seperti itu."
"Terserah apa katamu."
Aku yakin, jika anak ini sudah lahir ... kamu pasti akan menyayanginya.
Setelah perdebatan singkatnya di dalam mobil, Martin tidak mengeluarkan suara apapun lagi, dia fokus dengan jalanan yang ada di hadapannya.
Mobil sudah berada di depan kantor Tya, biasanya Martin keluar mobil untuk sekedar menemani Tya, lalu masuk kembali ketika Tya sudah menghilang dari pandangannya.
Tapi kali ini, Martin tetap berada di dalam saat Tya sudah mencium tangannya untuk berpamitan bekerja.
"Aku masuk ya sayang, jangan terlalu di fikirin ... Ini semua pasti ada jalan keluarnya."
"Argh ... Omong kosong, udah cepat sana keluar."
Tya menghela nafasnya, lalu keluar dari mobil.
***
Beberapa Minggu kemudian.
Kehamilan Tya sudah berjalan 8 Minggu, selama ini Tya memeriksa kehamilan ke dokter kandungan seorang diri, karena sudah pasti Martin tidak mau menemani, mengantar ke rumah sakit saja Martin langsung menolak tanpa memikirkan bagaimana perasaan istrinya.
Di rumah sakit
"Ada anti mual ga dok? Makin hari mual muntah saya tidak bisa di tahan."
"Kenapa harus di tahan Bu? ini kan memang efek alami ibu hamil saat di tahap awal, yang terpenting ibu jaga asupan makanan dan minuman, jangan sampai ibu dehidrasi karena banyak makanan dan cairan yang keluar."
"Oh iya dok, saya kira ada obat anti mual muntah untuk ibu hamil muda seperti saya."
Dokterpun mengulas senyumnya, lalu menuliskan resep vitamin yang harus di tebus Tya.
"Ini resepnya vitaminnya, jangan lupa asupan makanannya dijaga, jangan makan pedas ya ... biasanya kan ibu hamil muda suka ngidam makanan pedas, terus si suami pasti menurutinya kan? nantinya, jika ibu mengalami masalah pencernaan bisa berdampak juga pada si janin. untuk konsultasi selanjutnya bisakah suami ibu meluangkan waktunya sebentar? saya harus bicara secara langsung mengenai peran suami saat istri sedang hamil, apalagi ini pertama kalinya untuk kalian kan?"
Tya terlihat kikuk, bagaimana caranya dia mengajak Martin agar mau ikut berkonsultasi perihal kehamilan nya.
"B-baik dok, nanti jika suami saya bisa izin bekerja, saya akan mengajaknya untuk bertemu dengan dokter."
Setelah selesai berkonsultasi, Tya bergegas kembali ke kantor, karena dia hanya izin 2 jam di sela jam istirahatnya, dengan alasan keperluan keluarga.
Di depan rumah sakit, jarang sekali taxi lewat, entah sedang ada demo atau ada penghambat lainnya, Tya lagi-lagi panik sendiri melihat jam tangannya yang sudah menunjukan pukul 14.00, rapat di mulai pukul 15.00 dan modul rapat belum sepenuhnya selesai.
"Ya ampun ini gimana ya? Atasanku bisa marah besar ini."
Keberuntungan datang pada Tya siang ini, bus umum dengan rute yang melewati kantornya tiba-tiba berhenti ketika ada penumpang yang akan turun, dengan cepat Tya langsung menaiki bus tersebut.
Karena sudah bertahun-tahun Tya tidak menggunakan transportasi seperti ini, perasaan mual mulai melanda ... Di tambah Tya sedang hamil muda yang sensitif dengan apa yang ada di sekitarnya, dari mulai bau dan suhu.
Yaampun mual banget, aku ga tahan pengen muntah disini juga rasanya.
20 menit di perjalanan, Tya sudah berada di depan kantor dengan berjalan setengah berlari, mengejar waktu yang tersisa untuk mengerjakan pekerjaan urgentnya yang belum selesai.
"Tya! Kamu dari mana aja? saya butuh modul rapat, kamu simpan dimana?" Ucap Pak regard Atasan Tya dengan nada tegasnya.
"Ng ... maaf pak, saya belum kerjain semua, ini baru mau silaya selesaikan pak, tadi saya ada kendala di jalan, jadi telat sampai kantor."
"Terus maksudnya kita harus tunda rapat dengan orang penting cuman karena masalah receh kamu itu? Begitu?"
Tya hanya menunduk saat Pak regard memarahinya, dan banyak orang yang menyaksikan tapi mereka hanya diam tanpa membela apapun, membela Tya artinya orang itu harus siap bernasib sama.
"Saya janji akan mengerjakannya dalam wak — hueeeeek."
Tya langsung berlari ke kamar mandi dengan tangan yang menutup mulut agar muntahnya tidak bercecer di lantai.
Setelah selesai dengan urusannya, Tya kembali menemui Pak Regard untuk meminta maaf tentang kesalahannya.
"Kamu kenapa? Hamil? Kamu tau kan di perusahaan ini karyawan di larang hamil?" Selidik pak Regard karena melihat Tya yang tiba-tiba mual seperti tadi.
"Itu pak, tadi saya naik bus ... Karena tidak biasa, saya jadi pusing dan mual, itu penyebabnya."
Pak Regard berdecak Mendengar jawaban Tya, lalu menyuruh Tya menyelesaikan pekerjaannya dalam waktu 10 menit.
Karena Tya termasuk sekertaris yang cekatan, waktu 10 menit bisa dia gunakan sebaik mungkin, agar atasannya itu tidak kesal dan kecewa lagi dengan kinerjanya di kantor.
***
Di rumah.
Setelah makan malam bersama yang masih di selimuti keheningan, Tya kembali ke kamar ... Karena Martin sudah masuk lebih dulu, sofa yang semalam dia pakai untuk tidur sudah di tempati oleh ayah ya menonton Tv kesukaannya.
"Sayang." Panggil Tya saat melihat Martin sedang fokus dengan ponselnya di atas kasur.
"Hm."
"Hari tadi bener-bener deh, nguji kesabaran banget."
"Kenapa? Di pecat?"
"Ih ... Engga, tadi aku izin buat cek kandungan ke RS .. Aku alasan ada acara keluarga, terus pas pulangnya Taxi satupun gak ada yang lewat, terpaksa aku naik bis, kamu tau ga? Aku mual dan muntah depan bos aku, untung aja muntahnya bisa aku tahan pake tangan."
Martin menyunggingkan senyumnya, " Apa aku bilang kan? Bayi itu pembawa sial, belum lahir aja udah nyusahin."
"Sayaaaang ... Enggak gitu, aku cuman cerita hari aku aja, aku ga nyalahin bayi kita kok."
"Bayi kamu, aku belum pengen."
"Sayang ... Bikinnya kan berdua." Tya berusaha bersikap biasa saja, karena dia ingin hubungannya dengan Martin kembali harmonis seperti awal, dia tidak mau terlalu di bawa perasaan dengan semua kata-kata pedas yang keluar dari mulut suaminya itu perihal kehamilannya.
"Ya, tapi kan kalau bukan kecerobohan kamu, semua ini gak akan terjadi, secara gak langsung kamu udah ngancurin kebahagiaan orang tua dan adik aku, dan juga mimpiku yang ingin mapan sebelum mempunyai anak, gagal sudah semua rancanganku selama ini."
Tya menaikan sebelah alisnya, mendengar betapa berlebihannya Martin ketika merasa gagal sebagai manusia hanya karena istrinya sedang mengandung buah cintanya
"Sayang, percaya sama aku, kalau nanti Dede nya lahir ... Dia pasti akan bawa keberuntungan buat kamu lebih daripada yang ini."
"Halah ... Omong kosong, Oh ya ... Kesepakatan soal kebutuhan anak, waktu kamu bilang akan menanggungnya, aku setujui itu, kamu boleh menggunakan uangku hanya untuk keperluan rumah, tidak dengan lain-lain, skincare, baju, tas dan apalagi kebutuhan bayi itu, semuanya di luar dari tanggung jawabku, karena kamu yang menyanggupi semua ini."
Tya tersenyum getir, ketika suaminya berubah menjadi perhitungan. "Segitunya sayang?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!