"Dasar wanita bodoh! Tidak berguna! Mati saja kamu!"
"Ampun, Mas."
PLAK! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Aruni. Wanita paruh baya itu jatuh tersungkur di lantai. Tubuhnya yang kurus tak mampu menahan serangan yang diberikan oleh sang suami.
Kemarin Aruni tidak bekerja sebagai buruh cuci karena badannya sakit, hari ini sebenarnya dia belum sepenuhnya pulih. Sang suami meminta uang untuk membeli rokok namun Aruni benar-benar tidak memiliki uang.
Bukannya peduli, Hendra justru menghajar Aruni seperti ini.
"Apa gunanya menangis seperti itu! cepat pergi dan cari uang untukku!!" Hendra menarik tubuh Aruni dan dia bawa keluar rumah.
Di dorongnya tanpa ampun sampai Aruni terjerembab ke tanah.
"Pa! sudah cukup!" pekik Adrian. Anak semata wayang dalam pernikahan Aruni dan Hendra. Tahun ini Ardan berusia 18 tahun, tiap tahun kehidupannya dia selalu melihat sang ibu disiksa oleh sang ayah.
Bahkan pulang sekolah begini pemandangan pertama yang dia lihat adalah kekerasan tersebut.
Melihat anaknya datang, Hendra lantas masuk ke dalam rumah dan menutup pintu dengan kuat.
Brak! suaranya sampai membuat tubuh Aruni makin meringkuk takut. Namun di hadapan sang anak dia harus terlihat kuat. "Ibu tidak apa-apa Adrian. Papamu tidak salah, ibulah yang salah," ucap Aruni, dengan susah payah dia juga coba untuk berdiri.
Adrian tidak menjawab sepatah katapun, hanya membantu sang ibu untuk bangkit.
Adrian bukan anak bodoh, dia tahu semua tentang kebejatan sang ayah. Tak peduli meski sang ibu selalu membela tapi dia sudah begitu benci pada ayah kandungnya tersebut.
"Masuklah, ada telur di lemari, kamu goreng untuk makan siang ya. Ibu harus pergi."
"Mau sampai kapan seperti ini Bu?" tanya Adrian, tatapannya nampak berkaca-kaca, namun bocah laki-laki itu menahan dirinya agar tidak menangis. Warna merah di pipi sang ibu membekas jelas tamparan tangan ayahnya, rasa sakit yang ingin dia gantikan saja.
"Apa maksudmu? Jangan berpikir terlalu jauh, ibu baik-baik saja. Tugasmu hanyalah sekolah dan belajar, ya?" balas Aruni, dia membersihkan bajunya yang masih nampak kotor. Debu tanah itu seperti menempel kuat di atas bajunya.
"Masuklah, ibu akan pergi sekarang," titah Aruni, sebelum sang anak kembali buka suara Aruni sudah lebih dulu pergi dari sana. Dia berjalan kaki dengan cepat meninggalkan rumah sederhana tersebut.
Langkah kakinya yang tergesa-gesa membuatnya tak tahu jika Adrian akhirnya menjatuhkan air mata.
Siang ini terik sekali, Aruni mendatangi rumah tetangganya satu per satu untuk menawarkan jasa cuci dan setrika. Tapi belum ada juga yang hendak menggunakan jasanya.
Akhirnya Aruni pergi lebih jauh, mendatangi beberapa rumah makan di dekat jalan raya, berharap ada pula yang hendak menggunakan jasanya untuk mencuci piring.
Tapi penampilan Aruni yang nampak lusuh membuatnya kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan tersebut. Belum lagi wajahnya yang nampak pucat karena Aruni menahan pusing yang begitu mendera.
Sampai jam 3 sore Aruni belum juga mendapatkan pekerjaan, dia beristirahat di sebuah halte bus. Merasakan haus yang begitu menyiksa.
Kepala Aruni mendongak ke atas langit, 'Ya Tuhan, aku haus sekali,' batinnya lirih. Seolah Tuhan mendengar bisikannya, tak berselang lama kemudian hujan turun cukup lebat.
Sungguh, Aruni tidak lagi memiliki harapan tinggi untuk hidupnya. Aruni sudah sangat pasrah dengan ini semua, berpikir dia tak akan memiliki masa depan jadi terus bertahan di kehidupan yang menyakitkan.
Selama 20 tahun Aruni lah sang tulang punggung keluarga. Sementara Hendra entah apa tugasnya, pria itu tak pernah bekerja. Tiap malam berkumpul dengan teman-teman sebayanya, saat siang tidur sampai puas.
Sebenarnya Aruni juga lelah, tapi untuk apa bercerai? Aruni merasa dia sudah terlalu tua, tahun ini usianya 45 tahun. Jadi daripada pergi lebih baik dia jalani saja hidup ini, melihat Adrian sebagai satu-satunya kekuatan.
Dinginnya hujan tidak mampu menghapus dahaga yang Aruni rasakan, dia lantas maju beberapa langkah dan menengadahkan tangannya ke atas langit, menampung air hujan tersebut dan meminumnya.
Namun ternyata Aruni terlalu maju, sampai sebuah mobil nyaris menabrak tangannya andai saja mobil tersebut tidak mengerem mendadak.
"Astaga, ada apa?" tanya Gionino, pemilik mobil mewah tersebut.
"Maaf Tuan, saya hampir menabrak seseorang."
Di tengah hujan tersebut pandangan Gio tak nampak jelas, samar-samar dia melihat seorang wanita tersungkur di luar sana. Cemas terjadi sesuatu yang serius, Gio lantas mengambil payung di laci kursi dan segera keluar menembus hujan.
"Nyonya, mari saya bantu," ucap Gio dengan cemas, sebagian tubuh wanita ini telah basah karena hujan. Atap halte bus terlalu kecil, tak benar-benar mampu melindungi.
Aruni yang terkejut membuatnya semakin lemas, dia menerima uluran tangan pria asing tersebut tanpa melihat wajahnya dan berjalan mundur untuk menjauhi jalan raya.
Namun alangkah terkejutnya Aruni saat tatapan mereka tanpa sengaja bertemu. Ingatannya langsung kembali berputar pada kehidupan 20 tahun lalu.
"Aruni," ucap Gionino.
Aruni dengan cepat menurunkan pandangannya, berpikir keras bagaimana caranya dia lari dari situasi yang memalukan ini.
Aruni pikir Tuhan tengah membantunya dengan diturunkan hujan, sebab membuatnya terbebas dari rasa haus yang begitu menyiksa. Namun siapa sangka, dia justru dipertemukan dengan seseorang yang tak pernah Aruni duga. Seolah membawanya terjun kembali ke dari masa lalu yang ingin dia lupakan.
"Maaf Tuan, sepertinya anda salah orang," jawab Aruni, dia berkilah. Tidak mungkin menunjukkan diri dalam keadaan seperti ini, Aruni menundukkan kepala sampai rambutnya yang basah menutupi wajah.
Sungguh, Aruni bersedia bertemu dengan siapapun di dunia ini, asalkan jangan pria tersebut.
Diantara pikirannya yang buntu, akhirnya Aruni memilih untuk langsung pergi. Melangkah cepat keluar dari halte bus, terus berjalan tanpa menoleh ke belakang.
Tak peduli meski kini tubuhnya jadi basah kuyup karena hujan menerpa secara langsung.
"Aruni," gumam Gio di saat bayangan Wanita itu telah benar-benar hilang dari pandangannya. Kini yang nampak hanya hujan yang begitu lebat.
Bahkan payung yang Gio gunakan tidak benar-benar mampu melindungi tubuhnya, sepatu dan celana bagian bawahnya masih basah terkena percikan air.
Sama halnya seperti Aruni, Gionino pun jadi teringat semua kenangan di masa lalu yang baginya terasa menyakitkan.
Dia seperti bimbang, bertanya-tanya benarkah wanita itu adalah Aruni. Wanita yang pernah sangat dia cintai, namun juga memberikan luka yang paling dalam.
Mereka telah merencanakan pernikahan, tapi di lain hari Gio justru menerima undangan pernikahan dari Aruni dan pria lain.
Tapi waktu sudah berlalu begitu lama, ketika mengingat memang masih ada sedikit desir nyeri. Tapi saat melihat wanita itu tadi rasa iba jauh lebih menguasai diri.
Jika benar wanita itu adalah Aruni, maka kini Aruni benar-benar sudah berubah. Tubuhnya nampak kurus dengan wajah yang kusam dan beberapa keriput.
Sementara Aruni yang dia kenal adalah wanita cantik dengan senyum yang begitu manis. Selalu mendapatkan juara saat SMA, gadis yang digadang-gadang memiliki masa depan cerah.
Tapi apa itu tadi? Aruni nampak seperti seorang buruh.
"Tuan, lebih baik kita segera pergi. Nampaknya wanita itu baik-baik saja," ucap Deni, dia adalah asisten pribadi Gionino. Seseorang yang mengemudikan mobil berwarna hitam tersebut.
"Cari tahu tentang wanita itu, Aku ingin tahu apakah dia Aruni atau bukan."
"Baik Tuan," jawab Deni, meski sedikit bingung dengan perintah sang Tuan. Karena tiba-tiba sang Tuan memberinya perintah untuk menyelidiki seorang wanita asing yang mereka temui di jalanan.
*
*
Hujan masih belum reda sampai sore menjelang.
Dengan perasaan gundah Adrian berulang kali mengintip dari balik jendela menunggu kepulangan sang ibu. Di dalam hatinya berulang kali bertanya kenapa hujan harus turun sekarang? tidak bisakah hujan turun setelah sang ibu pulang saja?
Setiap hari Adrian selalu merasa Tuhan tak pernah adil pada ibunya. Hidup yang seolah menderita dari berbagai sisi. Tanpa ada satupun kebahagiaan yang nampak.
Ketika samar-samar Adrian melihat sang ibu di ujung sana, dia langsung keluar dan membawa sebuah payung, berlari menyambut.
Tanpa ada kata-kata Adrian langsung memeluk pundak ibu Aruniya agar berlindung di bawah payung yang sama, Adrian memanglah anak yang pendiam. Daripada menunjukkan kata-kata, dia lebih memilih untuk langsung bertindak.
"Adrian, kenapa kamu keluar. Bajumu jadi ikut basah karena ibu," ucap Aruni, sekarang mereka sudah berada di teras rumah.
"Tidak usah berhenti di sini, ibu langsung masuk saja. Nanti aku yang akan mengepel lantainya."
"Tidak Adrian, ibu akan lewat samping, lebih baik kamu buka pintu dapur."
"Papa tidak ada di rumah Bu, aku sudah memberinya uang 10 ribu tadi." balas Adrian, dia tahu sang ibu tak ingin langsung masuk karena takut atas kemarahan sang ayah.
"Darimana kamu mendapatkan uang itu, Nak?"
"Tabunganku."
"Ya Tuhan," lirih Aruni, hatinya sakit sekali saat mendengar hal itu. "Maafkan ibu Nak."
"Ayo masuk," jawab Adrian langsung, tidak ingin mendengar kata-kata sedih yang akan keluar dari mulut ibunya. Adrian juga langsung menarik sang ibu ke dalam rumah, tidak perlu hujan-hujanan lagi untuk lewat pintu samping.
Di saat ibunya membersihkan tubuh, Adrian langsung mengepel lantai yang basah. Dia juga membuat teh hangat tanpa gula, sebab saat dia lihat gula sudah habis.
Tak berselang lama kemudian Aruni keluar dari dalam kamarnya dan tidak melihat Adrian di manapun, tapi rumah sudah bersih dan ada segelas teh panas di atas meja makan.
Aruni tahu, pasti Adrian yang telah menyiapkan itu semua. Ditatapnya pintu kamar sang anak yang tertutup, tanpa sadar ada air mata yang jatuh dari kedua mata Aruni. Namun dengan cepat Aruni hapus air mata tersebut, sekarang menangis seperti tidak ada gunanya.
Sebab hidup terus berlangsung dan segala hal meskipun buruk harus dia hadapi sendiri.
Dengan perasaan penuh syukur Aruni akhirnya meminum teh buatan sang anak, menghangatkan perut yang sejak tadi kosong.
Hujan masih terus turun sampai pagi menjelang. Entah kemana perginya Hendra sejak kemarin siang, sampai kini pria itu belum juga menampakkan batang hidungnya di rumah.
Aruni memasak telur goreng dengan campuran tepung untuk sarapan Adrian sebelum pergi ke sekolah. Aruni hanya mampu membeli telur untuk makanan bergizi bagi sang anak.
Kadang dia bahkan menyembunyikan telur itu agar tidak dimasak sendiri oleh sang suami.
"Ibu tidak makan?" tanya Adrian.
"Ibu sudah tadi, makanlah. Sebentar lagi jam 7," balas Aruni, dia menjawab seraya mencuci beberapa peralatan dapur yang kotor. Sebenarnya Aruni belum sarapan, tapi dia ingin Adrian puas lebih dulu, baru setelahnya dia akan makan sisa sang anak.
Sampai jam 8 pagi Hendra tak pulang juga, jadi Aruni memutuskan tidak menunggu dan langsung pergi untuk menawarkan jasanya pada orang-orang. Cuci baju, setrika, mencabut rumput, atau apapun itu akan dikerjakan asal bisa langsung mendapatkan uang.
Aruni tidak sadar bahwa semua gerak-geriknya hari ini tengah dipantau oleh seseorang dari kejauhan.
Gio tertegun, "Aruni, jadi kamu pergi hanya untuk hidup seperti ini?" ucap Gionino.
Deni sudah berhasil mendapatkan semua informasi yang diminta oleh sang Tuan, wanita asing yang sempat mereka temui di saat hujan kemarin ternyata benar-benar seseorang yang Gio kenal.
Aruni Almaisya, cinta pertama yang telah berakhir namun kenangannya seperti terbawa seumur hidup.
Segala kebencian yang pernah Gio rasakan di masa lalu hari ini telah benar-benar hilang saat melihat Aruni hidup semenderita itu.
Jadi tulang punggung keluarga dari suami yang tidak bertanggung jawab, berulang kali mengalami kekerasan dan bahkan suaminya pun sering bermain dengan wanita lain.
Dibandingkan marah, Gio justru merasa tidak terima Aruni diperlakukan seperti ini. Dia ingin membawa Aruni kembali ke sisinya lagi, akan dia tunjukkan pada Aruni bahwa hanya dialah yang bisa memperlakukan Aruni seperti ratu, bukan babu.
Seharian penuh tanpa lelah Gio terus membuntuti Aruni, hingga tiba saat wanita itu hendak pulang barulah Gio keluar dari mobilnya dan menghadang.
Deg!
Jantung Aruni rasanya ingin terlepas detik itu juga. Pertemuannya dengan Gio kemarin saja terasa seperti mimpi yang tidak ingin dia percaya, namun kini pria itu justru kembali menunjukkan diri sampai membuat semuanya terasa nyata.
Karena malu dan cemas, Aruni sontak menundukkan wajahnya. Tetap berjalan maju meski pura-pura tidak melihat.
"Jangan pura-pura tidak melihatku Aruni, aku tahu ini kamu," tegas Gionino.
Suara berat yang membuat tubuh Aruni seketika gemetar. Kedua kakinya berhenti melangkah sebab dia seperti membatu dalam sekejap.
Tentang masa lalu yang pernah ada di antara mereka berdua, memang Aruni lah sang penghianatnya.
Tapi saat ini semuanya telah benar-benar berbeda, mereka bukan lagi remaja yang terus membicarakan tentang cinta.
Usia mereka sudah tua, harusnya cukup melanjutkan hidup masing-masing saja. Tanpa perlu saling terlibat satu sama lain lagi.
"Aku tidak berharap mendapatkan kata permohonan maaf darimu, Aruni. Tapi setidaknya jangan pura-pura tidak mengenalku," ucap Gio lagi.
"Ma-maaf Gio, aku harus segera pergi. Anggaplah pertemuan ini tidak pernah ada."
"Aku akan membantu mu untuk terlepas dari suamimu. Tapi setelah itu menikahlah denganku." tawar Gio langsung.
Satu kalimat panjang yang membuat Aruni makin tercengang. Bagaimana bisa kata-kata itu keluar dari mulut seorang Gionino. Bahkan setelah semua penghianatan yang dia lakukan.
Aruni bukanlah Aruni yang dulu, segala keindahan dalam dirinya kini telah benar-benar hilang. Yang ada hanyalah kerutan di wajah tanda kehidupan yang tak mudah , Aruni hanya seperti tulang hidup tanpa sedikitpun pesona.
Sementara saat Aruni menatap Gio, semuanya masih terasa sama seperti dulu. Tubuh tegap dan sedikit berotot, wajah tampan dengan rahangnya yang tegas. Sorot mata bak mata elang yang tak pernah sayu.
Sejak awal hubungan mereka memang tak masuk akal, Gio yang seorang Tuan Muda sementara Aruni hanya gadis biasa.
"Kamu ingin menghinaku?" tanya Aruni, bertanya diantara sisa-sisa harga diri yang dia punya. Gio pasti merasa marah atas apa yang terjadi di masa lalu, karena itulah dia menawarkan hal gila ini untuk menghinanya.
Inilah yang diyakini oleh Aruni.
"Pikiranmu terlalu jauh, Aruni. Aku hanya ingin membantumu," balas Gio dengan begitu tulus. "Aku akan memberikanmu kehidupan yang jauh lebih baik daripada ini."
Aruni menggeleng, "Hidupku baik-baik saja."
"Benarkah? Bagimu ini semua baik-baik saja? setelah lulus SMA aku yakin anakmu tidak akan melanjutkan pendidikannya."
"Kamu menyelidiki kami?"
"Sangat mudah bagiku untuk mencari semua Informasi itu."
Aruni sampai tak mampu berkata apa-apa lagi, akhirnya dia terdiam seribu bahasa di bawah langit senja.
Di hadapan Gionino Abraham dia memang sangat kecil, dunia seperti berada di genggaman tangan Gio.
Sesaat tak ada pembicaraan apapun diantara mereka, hanya ada suara angin yang lalu lalang. Aruni tak bisa berlagak tegar, sebab semua kelemahannya telah diketahui oleh pria tersebut.
"Aku ucapkan sekali lagi. Aku akan membantumu untuk berpisah dengan pria itu, tapi setelahnya menikahlah denganku."
"Maaf Gio, aku tidak bisa. Daripada menikah lagi, bukankah kematian lebih baik untukku?" jawab Runi yang sudah begitu trauma.
"Kamu juga butuh seseorang untuk menguburkan mu Runi, ku pastikan kamu akan meninggal dalam keadaan yang baik."
Air mata Aruni akhirnya jatuh saat itu juga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!