NovelToon NovelToon

Splash

Reinhard

Malam hari, di sebuah bar kota Hamburg, Jerman..

Sebuah musik yang menciptakan suasana semakin hidup dan hiruk pikuk orang mabuk menghiasi sebuah bar tua di kota Hamburg. Di tengah-tengah keramaian, ada seorang gadis yang terus menghindari alkohol berlebihan. Dia Evelin Jenniver, gadis campuran yang baru menginjak usia 22 tahun.

"Jenny, ayo minum lagi."

Saat Evelin menidurkan kepalanya di atas meja berisi makanan dan alkohol, temannya yang seorang pria tiba-tiba menyodorkan sebuah gelas penuh anggur.

"Tidak, aku ada lomba besok pagi."

Evelin menolak. Dia lalu bangkit dari kursi dan memakai kembali jaketnya. Dia harus mempersiapkan diri untuk lomba renang yang di selenggarakan sebagai bentuk latihan campuran antar kampus.

"Jenny, kau sudah mau pulang?"

"Hei, ini baru jam sembilan."

Evelin mengangguk dan pergi dari sana. Dia memang cukup pendiam dari waktu ke waktu. Dia bahkan sangat tertutup dan tidak punya banyak teman.

Menurutnya kesuksesan adalah satu-satunya tujuan hidup. Jika dia tidak sukses, maka dia tidak pantas untuk hidup. Itu adalah apa yang sering Evelin pikirkan tentang dirinya sendiri.

Kembali, saat dia hampir mencapai ambang pintu, seorang wanita tidak sengaja menabraknya dari arah samping.

Brukk

"Aww.."

Wanita itu tampak sangat mabuk dan berantakan. Evelin hanya menatapnya tanpa membuat tanggapan tentang tabrakan barusan. Dia lalu beralih menatap sebuah kerumunan wanita yang sama. Mereka berpakaian seksi dan sangat menggoda.

Kemudian, sesuatu yang sangat mengejutkan ada pada bagian lain. Mata Evelin seketika membola sempurna. Lidahnya terasa kelu untuk mengeluarkan suara dan seluruh tubuhnya terasa membeku. Nalurinya seolah terkunci di suatu tempat yang jauh dan dalam.

Di tengah-tengah sekumpulan wanita penghibur, ada seorang pria dewasa yang duduk terlentang. Dia minum dari tangan wanita, sementara tangan miliknya di gunakan untuk memeluk dua pundak wanita lain.

Dia terlihat begitu menikmati waktu gilanya. Saat dia selesai meminum anggur sampai gelas itu kosong, dia menoleh dan mata mereka bertemu. Meski demikian, Evelin tidak mengalihkan pandangannya dan terus menatap pria itu.

"Gunner, ada apa?"

Satu wanita yang berada di pelukan pria itu tiba-tiba mengusap bibirnya. Dia yang masih menatap bingung ke arah Evelin, kini di seret kembali pada wanita-wanita tersebut.

"Tidak, sayang. Ayo berikan aku anggur lagi."

Pada akhirnya, dia kembali menikmati setiap sentuhan lembut dari wanita asing yang dia bayar untuk memenuhi malam yang panjang. Dia mengabaikan Evelin, meski gadis itu terlihat mencurigakan.

Sementara itu, Evelin kembali melanjutkan langkahnya dan keluar dari bar. Dia tampak sangat terkejut namun juga terharu. Seolah dia baru saja menemukan sesuatu yang dia cari sangat lama.

Alih-alih memesan taksi untuk pulang setelah keluar dari bar, dia malah berjongkok, menutup wajahnya lalu menangis. Dia menenggelamkan wajahnya pada tangan dan kaki yang melipat.

"Si brengsek itu.. Akhirnya aku menemukanmu."

Dia tiba-tiba bergumam. Dengan air mata yang terus banjir, mulutnya membentuk senyuman haru. Antara sakit dan senang, dia tidak bisa menahan kedua dobrakan yang terus menggebu-gebu.

Pria yang dia lihat barusan adalah Reinhard Gunner, seorang mahasiswa tahun ke empat yang gemar bermain wanita. Dia sering kali di sebut-sebut sebagai seorang Casanova karena kelakuannya yang seperti itu.

Namun, di balik semua keburukan Gunner, ada satu gadis yang memutuskan untuk meneruskan hidup karena ucapannya. Gadis yang sangat putus asa oleh kehidupan, kini beranjak dewasa dengan menjadi seorang atlet renang.

Flashback

5 tahun lalu..

Sebuah kecelakaan besar terjadi dan menyebabkan dua orang meninggal dunia. Di dalamnya terdapat Evelin dan kedua orang tuanya. Dia yang duduk di belakang dengan sabuk pengaman berhasil selamat, meski mengalami luka yang cukup parah.

Dia di larikan ke rumah sakit dan tidak sadarkan diri selama seminggu penuh. Yang menjaganya hanya satu-satunya kerabat, wanita berusia 30 tahun yang juga merupakan bibi dari Evelin.

Setelah seminggu, dia akhirnya bangun dari koma. Dia tampak bingung dengan keadaan di sekitarnya. Lampu yang menyorot dari ketinggian, sebuah selang yang melingkar dan tersimpan di samping tempat tidur, lalu bibinya yang terus terjaga.

"Evelin, akhirnya kamu bangun."

Meski sebuah sambutan langsung mendarat setelah dia membuka mata, namun dia tidak menemukan kedua orang tuanya di sana. Dia terus bertanya-tanya kemana mereka pergi?

Dia ingat tentang kecelakaan sebelumnya. Dan tidak butuh waktu lama, dia mendengar kebenaran bahwa kedua orang tuanya sudah meninggal dunia.

Dia yang baru berusia 17 tahun saat itu mengalami keterpurukan dan trauma yang dalam. Dia menjadi sangat kosong dan terus duduk terdiam di ranjang rumah sakit. Matanya menatap lurus namun terlihat tidak hidup. Bahkan, saat bibinya datang dan menyapa, bertanya tentang kondisi, Evelin tidak pernah menjawabnya.

"Evelin, hari ini bibi bawakan buah kesukaanmu. Bibi kupas dulu ya.."

Evelin tidak menyahut. Dia bahkan tidak membuat tanggapan dengan ekspresi sedikitpun. Dia seperti sebuah patung yang sengaja di pajang untuk menambah pemandangan di tengah kota.

*

*

*

Setelah beberapa hari mematung di tempat, dia akhirnya berani menatap bibinya yang terus terjaga di samping ranjang rumah sakit. Mata kosong itu bergilir dan menoleh ke samping.

Perubahan tersebut tentu membuat Helga, bibi Evelin terkejut. Dia langsung bangkit dari kursi dan mendekat.

"Sayang, apa yang kamu butuhkan?"

"Bibi.. Kenapa aku masih hidup?"

Suara yang tertahan selama dua minggu, kini di keluarkan dan terdengar begitu serak. Helga semakin di buat terkejut. Dia tidak tahu jawaban seperti apa yang di harapkan gadis malang itu.

Namun, pada akhirnya dia menjawab dengan senyuman. Dia sangat senang melihat perubahan Evelin, namun juga merasa sangat sedih dengan kepribadiannya yang berubah.

"Evelin, kamu harus merasa beruntung dengan itu."

Jawaban Helga tidak membuat Evelin menjadi lebih baik. Meski demikian, Helga tampak sangat sabar merawatnya.

*

*

Suatu hari, Evelin keluar dari kamar dan pergi ke teras. Dia melirik pemandangan di bawah kakinya dengan tatapan yang kosong.

"Kenapa aku masih hidup? Seharusnya aku yang mati. Aku ingin mati. Kenapa tuhan tidak mengambil nyawaku juga?"

Dia terus menangis dan berteriak. Saat itu, dia tidak bisa mengendalikan dirinya untuk tidak termakan emosi. Pikirannya kabur dan hanya meninggalkan ruangan kosong, seolah dia tidak memiliki niat untuk melanjutkan hidupnya yang hampa.

Saat dia hendak melompat, seseorang menarik kerah bajunya dari belakang. Dia di angkat dan di seret ke belakang dengan enteng. Setelah di turunkan kembali, Evelin menoleh sambil menggeram.

"Siapa kau?! Kenapa kau ikut campur urusan orang lain, ha? Apa kau menganggur? Urus dirimu sendiri, sialan."

Perbedaan tinggi badan mereka sangat mencolok. Meskipun dia mengoceh tentang ini dan itu, pria di hadapannya malah menggaruk telinga dan menatap ke tempat lain. Dia tampak tidak peduli dengan semua ocehan Evelin, meski suara gadis itu dapat mengalahkan meriam.

"Berisik, kau bocah tengik. Apa kau mau mengakhiri hidupmu di usia sekecil ini? Kau pasti beban keluarga."

Pria itu akhirnya menyahut. Namun, tatapannya sangat menyebalkan dan tingkahnya yang meledek secara terang-terangan semakin membuat Evelin naik pitam.

"Kau tidak mengerti masalah hidupku! Jangan ikut campur dan pergilah dari sini, sialan."

"Hei, anak kecil tidak di izinkan bicara kasar. Di mana kau belajar bicara seperti itu?"

Evelin terbungkam dengan cepat. Dia sebenarnya tidak pernah berkata kasar sebelumnya. Namun, karena pria asing itu sangat menyebalkan sampai membuat emosinya memuncak, dia jadi hilang kendali.

"Jadi, gadis kecil. Apa yang sebenarnya membuatmu ingin mengakhiri hidupmu sendiri?"

Dia merubah nada bicaranya. Kini dia lebih terdengar seperti pria dewasa yang hendak memberi nasihat. Namun, Evelin masih tidak menerima kehadirannya.

Alih-alih menjawab, Evelin malah melengos. Tingkahnya yang cukup tengik membuat pria itu kesal. Saat Evelin masih membuang muka ke samping, pria itu mendekat dan mengusap rambutnya.

"Hei, bocah tengik. Kau harus terus menjalani hidupmu. Jika kau mati, kau tidak akan merasakan betapa enaknya makan es krim di siang hari."

Evelin semakin merengut. Dia tidak mengerti sebenarnya dia terlihat sekecil apa di hadapan pria itu. Padahal dia sudah menginjak usia remaja. Dia tidak tertarik memakan es krim di siang hari.

"Aku sudah 17 tahun!"

"Benarkah? tapi kau hanya setinggi dadaku. Kau terlihat seperti anak berusia 10 tahun, ups."

"Beraninya kau, dasar pria aneh! Pergi dari sini!"

Pria itu menertawakannya. Tawanya yang terlepas dan menggema terlihat sangat indah. Evelin bahkan sampai terpaku pada satu titik, dimana pria itu membuka mulutnya.

Setelah tawanya habis, dia mengelus rambut Evelin lagi. Dia tampak sangat dewasa saat melakukan itu. Entah dimana dia mengubur tingkahnya yang menyebalkan beberapa saat lalu.

"Jadi, anak manis. Katakan padaku apa yang membuatmu mengambil keputusan itu?"

Evelin menunduk muram. Beberapa saat lalu dia sangat terpesona sampai membeku, namun saat ini dia kembali seperti semula. Dia terlihat tidak berniat menjawabnya.

"... Jangan lakukan itu lagi. Kau harus tumbuh dewasa dan nikmati hidupmu."

Evelin semakin terlihat muram. Dia hampir menangis karena ucapan pria asing itu. Sadar Evelin malah semakin sedih, pria itu menjauhkan tangannya. Dia pikir, dia sangat payah dalam memberi nasihat.

Saat dia menggaruk telinganya karena merasa bersalah, Evelin tiba-tiba mendongak sambil bercucuran air mata. Pria itu terkejut dan mendekat untuk menenangkan gadis kecil itu.

"H-hei, ada apa? Umm.. Mau es krim?"

"... Sebenarnya aku sangat putus asa karena kedua orang tuaku mati dalam kecelakaan. Kami baru pulang dari lomba renang yang aku menangkan. Karena terlalu senang, ayahku tidak fokus pada jalan dan menabrak trotoar. Mereka mati karena aku. Jika saja aku tidak menyuruh mereka datang ke lomba renang, hal ini tidak akan terjadi. Hiks.. Kenapa mereka yang harus mati dan bukan aku? Kenapa hanya aku yang hidup? Aku juga ingin mati."

Putus asa

Pria itu mendengarkan sampai bagian terakhir. Karena merasa iba, dia semakin beringsut mendekat dan memeluknya. Evelin yang malang terkejut, namun tidak membuat tanggapan.

"Kau harus memperlihatkan pada keluargamu, bahwa kau bisa sukses dengan usahamu sendiri. Dengan begitu, mereka tidak akan menyesal menyelamatkanmu dari kematian."

Gadis itu semakin di buat menangis. Dia selalu berpikir bahwa kehidupannya adalah sebuah kutukan setelah bangun dari koma. Namun, saat ini dia menemukan sebuah tujuan baru. Yaitu menjadi sukses untuk di perlihatkan pada ayah dan ibunya.

Setelah sadar betapa memalukannya menangis di depan orang asing, Evelin menjauh dan raut wajahnya kembali seperti semula. Dia menunjuk pria itu dengan tajam seolah memberi ancaman.

"J-jangan mengatakannya pada siapapun, dasar kau brengsek."

Dia melengos lalu pergi dari teras. Meninggalkan seorang pria yang sudah susah payah memberi nasihat absurd yang muncul secara bergilir di dalam kepalanya.

Pria itu hanya melihat punggung Evelin yang semakin menjauh. Dia tidak mengerti harus bereaksi seperti apa tentang kejadian barusan. Bukankah itu cukup mengharukan? tapi kenapa di bagaimana terakhir malah sedikit menyebalkan?

"Bocah tengik itu benar-benar."

*

*

*

Setelah kejadian di teras, Evelin jadi lebih sering bertemu dengan Gunner. Pria asing yang memberi nasihat saat di teras hari itu.

Setiap dia keluar kamar, dia terus melihat Gunner yang duduk di kursi rumah sakit. Dan yang lebih menyebalkan, setiap kali mata mereka bertemu, pria itu selalu melambai seolah mereka cukup akrab untuk saling menyapa. Namun, Setiap kali hal itu terjadi, Evelin selalu bersikap acuh tak acuh.

Meski demikian, Gunner sebenarnya tampak sangat putus asa tidak di ketahui apa alasannya.

*

*

Suatu hari, Evelin duduk di taman rumah sakit sambil menunggu bibinya. Dia mendongak menikmati angin yang berhembus mengenai dahan pohon di atas kepalanya. Dia merasa kembali hidup setelah terus berdiam diri dalam ruangan.

Saat dia asik memejam sambil merasakan dobrakan angin, Gunner tiba-tiba duduk di sampingnya. Dengan senyuman mekar, pria tak tahu malu itu melakukan hal yang sama.

Sadar dengan kehadiran seseorang, Evelin membuka mata dan mendapat wajah pria asing itu lagi. Dia berhenti bersandar dan menggeram.

"Apa yang kau lakukan disini?!"

"Menemanimu."

Pria itu menjawab dengan senyuman. Setelah menjawab, dia kembali seperti semula. Bersandar sambil memejam, merasakan dobrakan angin dari dahan pohon yang bergoyang.

Sementara itu, Evelin hanya memperhatikannya dalam diam. Dia tidak mengerti kenapa pria yang tak di ketahui namanya itu begitu sering dia lihat akhir-akhir ini.

"Oh iya, bagaimana kondisimu?"

Gunner tiba-tiba bertanya. Evelin yang terdiam gugup langsung tersadar. Sebenarnya, dengan hanya melihat saja orang lain bisa menyimpulkan bahwa Evelin masih butuh perawatan. Perban di wajahnya masih sangat banyak. Yang membedakan hanya kaki yang sudah bisa menapak dengan benar.

"Sudah membaik. Hanya butuh beberapa hari lagi sampai aku bisa keluar dari rumah sakit."

"Benarkah? baguslah. gadis manis memang harus mendengarkan ucapan dokter~"

Evelin tidak membuat tanggapan. Dia sebenarnya ingin mengetahui nama pria itu sebelum keluar dari rumah sakit, namun masih sangat malu. Menurutnya orang asing hanya akan dia temui sekali seumur hidup. Jadi tidak perlu memberi informasi lain selain kebenaran bahwa mereka hanya pernah bertukar kata.

"Setelah sembuh, teruslah menjadi perenang sampai mendapat medali emas pertama untuk Jerman."

Gunner melanjutkan. Dia mengelus rambut Evelin dengan senyuman yang sama seperti sebelumnya. kata-katanya yang terdengar bagus, dan suaranya yang melambung terdengar seperti sebuah melodi indah.

Pria itu sangat luar biasa. Dari segi fisik dan kemampuannya untuk memikat orang lain.

"Dari mana kau tahu aku suka berenang?"

Evelin memicingkan mata curiga. Dia jelas tidak pernah memperkenalkan diri sebelumnya. Sebuah nama saja masih di sembunyikan, apalagi hobi.

"Kamu pernah mengatakannya saat kamu bercerita tentang kecelakaan itu."

Gunner menjawab dengan lugas. Jika di ingat, Evelin memang mengatakan bahwa dia memenangkan sebuah perlombaan renang sebelum kecelakaan terjadi.

Gadis itu tampak sangat malu setelah mengingat sampai ke bagian sana. Dia seharusnya tidak banyak bicara pada orang asing tentang masalah hidupnya.

"... Aku akan melakukannya bahkan tanpa kau suruh."

Dia menyahut tentang ucapan pria itu sebelumnya. Bohong jika dia mengatakan demikian. Padahal niat awalnya dia ingin berhenti berenang karena kecelakaan itu. Karena cedera tangan dan kaki tidak cukup parah, dia masih bisa bergerak di dalam air. Seharusnya itu akan baik-baik saja jikapun dia akan tetap meneruskan hobinya.

*

*

*

Setelah terus bertemu satu sama lain, Evelin jadi sangat penasaran tentang alasan pria itu tetap ada di rumah sakit. Jika di lihat dari tubuhnya, dia tidak memiliki luka sedikitpun untuk terus melalukan pemeriksaan. Lalu kenapa dia selalu berada di rumah sakit tanpa berobat?

Dia memutuskan untuk mengintip ke dalam kamar seorang pasien yang sering Gunner datangi. Ternyata, di dalamnya terdapat nenek tua yang terbaring di ranjang. Saat berhadapan dengan nenek itu, tampang Gunner menjadi sangat bahagia. Dia terlihat sedang menceritakan hal sepele yang membuat keduanya tertawa secara bersamaan.

Sementara itu, Evelin hanya terdiam di dekat pintu. Dia sebenarnya sangat terkejut dengan kebenaran tersebut. Ternyata pria menyebalkan itu bisa bersikap sangat manis saat berhadapan dengan orang yang dia sayangi.

Setelah mengetahui alasan keberadaan Gunner di rumah sakit, Evelin kembali ke kamarnya. Saat ini, yang sangat ingin dia tahu adalah nama pria itu. Dia memutuskan untuk menanyakan namanya saat mereka bertemu besok.

*

*

*

Keesokan harinya setelah rutinitas pagi, Evelin bergegas keluar untuk menemui Gunner. Dia sudah mempersiapkan diri untuk bertanya tentang namanya dan memperkenalkan dirinya sendiri. Dia sadar setelah beberapa kali bertemu, bahwa dia sangat menyukai pria asing itu.

Namun, dia tidak menemukan pria itu setelah menyusuri semua tempat yang sering dia kunjungi. Kemudian, dia memutuskan untuk memeriksa ke dalam kamar yang di tempati oleh neneknya. Dan semua usaha itu tidak membuahkan hasil.

Pria asing itu sudah pergi dari rumah sakit! Ini adalah kebenaran yang sangat buruk. Awalnya dia berpikir bahwa mereka akan berpisah beberapa hari lagi karena dia yang akan segera keluar dari rumah sakit, namun ternyata pria itu mendahuluinya.

Ini akhir yang buruk. Dia bahkan belum sempat bertanya tentang nama.

Dengan hati yang putus asa, dia keluar dari kamar kosong itu untuk kembali ke kamarnya sendiri. Namun, saat dia melangkah keluar, seorang dokter hampir menabraknya dari samping.

"Hati-hati, nak. Apa yang kamu lakukan di kamar kosong?"

Evelin menoleh dengan wajah yang menunjukkan kesedihan. Dia tampak begitu putus asa seolah baru saja kehilangan sesuatu yang berharga.

"Pasien di kamar ini.. Kapan mereka keluar, dok?"

"Dia sudah meninggal dunia. Malam tadi mayatnya di antarkan ke rumah beliau, bersama cucu satu-satunya."

Evelin membola terkejut. Dia menolak percaya, namun yang bicara adalah seorang dokter. Dia berpikir berarti selama ini bukan hanya dia yang merasa begitu hampa dan putus asa tentang hidup.

"Lalu, apa dokter tahu siapa nama cucu satu-satunya itu?"

Suara Evelin berubah. Kini terdengar begitu pelan dan serak. Bahkan dokter hampir tidak dapat mendengar seluruhnya.

"Kalau tidak salah, namanya Gunner."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!