NovelToon NovelToon

AKU DENGAN KESIBUKANKU

Bab 1 Perkenalan

Revisi Naskah

Di pagi Senin yang mulai cerah, seperti biasa, aku menyeduh cokelat sachet dengan air panas dalam cangkir. Bisa dibilang ini ritual wajib sebelum memulai aktivitas harian. Yup, apalagi kalau bukan sekolah. Tahu kan gimana bosannya dan ogahnya menghadapi hari Senin? Selain bisa mengubah mood, kadang juga mengubah "wujud." Eh.

Bukan jadi babi apalagi singa, ya. Cuma... agak sedikit mirip. Entahlah gimana ngejelasinnya, pokoknya gitu deh.

Kalian juga gitu kan? Nggak mungkin nggak, apalagi kalau kalian pelajar.

Oke, lanjut.

Oh ya, kenalin dulu. Aku Marga Banyu Punggawa, anak sulung dari Bapak Ganendro Punggawa dan Mamak Maria Putri. Aku punya adik bernama Mahest Anggar Punggawa, kami cuma beda dua tahun. Baru kemarin aku genap 17 tahun. Aku sekolah di SMKN Panji Gemilang, kelas XII, jurusan Tata Rias.

Nah, salah paham kan? Pasti banyak yang ngira aku cowok. Padahal, asli cewek tulen! Tapi ya, udah biasa. Apalagi kalau orang cuma dengar nama tanpa lihat langsung. Tapi kalau udah lihat, bakalan heran. Aku sendiri aja kadang suka heran dengan nama dan keadaan diri sendiri.

Aku ini tinggi tapi pendek, sekitar 150 cm lebih dikit. Mata bulat, bulu mata agak lentik, hidung pas-pasan, alis rapi tapi nggak tebal, kulit standar orang kebanyakan. Nggak gendut, nggak kurus. Yang jelas, kata orang-orang sih cantik. Tapi tetap aja, kadang mereka bilang aku agak "lain." Huh, dasar.

Kenapa? Soalnya secara penampilan sih normal-normal aja. Aku berhijab, meskipun gayaku nggak melulu pakai hijab panjang. Terkadang terlihat anggun dengan gamis, tapi ya... bukan yang princess banget juga.

Yang bikin "lain" itu gaya bicaraku—mirip kereta, manja kalau lagi nggak mood, judesnya bisa mirip singa. Tapi gimana pun, aku bersyukur lahir dari keluarga yang penyayang, saling support, nggak neko-neko, dan nggak ribet soal urusan duniawi selama itu baik dan ada manfaatnya.

Soal pertemanan, aku boleh berteman dengan siapa saja, cewek atau cowok, asal tetap ada batasannya. Apalagi soal sentuhan dan pacaran, jelas nggak boleh. Tapi jujur, teman cowokku nggak banyak juga sih, mengingat dari penampilanku, kayaknya kurang etis kalau terlalu dekat sama lawan jenis.

Selain itu, aku juga punya keberuntungan lain, yaitu intuisi yang cukup tajam. Kalau ada sesuatu yang nggak beres dari seseorang, aku bisa langsung tahu. Entah dari cara bicara, sifat, atau kelakuan mereka. Jadi, gampang buatku menghindar dari hal-hal yang nggak beres.

Aih, capek juga ya ngenalin diri sendiri. Belum lagi kalau harus ngenalin adikku yang super duper melebihi batas maksimum. Coba tebak, apa itu?

Yup, dia cewek juga. Cantik pula—kira-kira 11-12 lah sama aku. Tapi kalau soal style, beda jauh. Dia lebih suka pakai celana longgar, kulot atau semacamnya. Kalau jeans pensil bisa kena sidang 24/7 sama Mamak. Atasan tunik atau midi dress yang nutupin bagian depan.

Adikku ini tipe pendiam, pengamat, pendengar yang baik—pokoknya segala hal yang merujuk ke "alat pendingin." Dia paling anti sama orang yang banyak drama. Kecuali kalau itu Mamak atau aku, kakaknya yang tersayang.

Kalau soal Bapak dan Mamak, mereka punya sifat yang mirip sama anak-anaknya. Aku lebih mirip Mamak, sementara Mahest lebih mirip Bapak. Terus, dari mana asal nama-nama ajaib kami? Ya, siapa lagi kalau bukan Mamak. Katanya biar keluarga kami harmonis, harum manis, dan... anti amis? Lah.

Balik lagi ke awal.

Senin pagi, seperti biasa, aku berangkat sekolah jam 06.20 karena ada upacara. Kalau nggak ada upacara, aku baru berangkat jam 06.30. Maklum, jarak rumah ke sekolah cuma 15 menit, jadi aman, nggak bakal telat. Kalaupun mepet, biasanya gara-gara antre di SPBU.

"Marga, di mana lo?" teriak Mahest dari ruang tengah.

"Gue di dapur!" sahutku setengah berteriak.

"Udah siang nih. Mau bareng atau sendiri?" tanyanya sambil mendekat.

"Sendiri. Sore nanti gue ada janji sama klien. Lagian motor udah bisa dipakai lagi."

"Oh, oke. Kalau gitu, gue duluan. Mamak di mana?" katanya sambil berlalu.

"Aish, kebiasaan tuh anak main ngeloyor aja. Belum juga gue jawab!" gumamku sambil geleng-geleng kepala.

Setelah beberapa hari nebeng Mahest, akhirnya hari ini aku bisa berangkat sendiri lagi karena motor kesayanganku udah diperbaiki. Dan yang benerin? Bapak sendiri. Cocok lah. Lega banget!

Kalau nggak, bisa amsyong. Mahest kalau bawa motor kayak pembalap ugal-ugalan. Untung dia adik sendiri. Kalau bukan, udah gue lempar! Jarak rumah ke sekolah cuma 15 menit, tapi sama dia bisa cuma berapa menit doang. Astaghfirullah... Bisa bayangin gimana bentukanku pas sampai sekolah? Hijab awut-awutan, rambut lepek, muka kusut kayak orang kesetrum!

For your information, di desa, "ugal-ugalan" itu masih dalam batas wajar, ya. Dan soal Bapak yang bisa benerin motor, di sini banyak yang begitu. Kalau cuma masalah ringan, nggak perlu ke bengkel. Paham kan maksudku?

Oh ya, satu lagi biar lengkap. Di keluargaku, sarapan pagi itu bukan kebiasaan. Jadi, jangan harap ada acara makan pagi kecuali kalau ada acara tertentu. Apalagi Bapak kerja sebagai tukang bangunan di proyek. Yang punya Bapak kerja di proyek pasti paham—pagi berangkat, pulang sore. Kalau jauh, bisa berhari-hari nggak pulang. Selain kerja di proyek, Bapak juga punya usaha sampingan. Lebih ke hobi sih, tapi lumayan lah kalau bisa menghasilkan. Udah mirip ular kan, bisa ke mana-mana? Haha.

Mamak? Jelas ibu rumah tangga. Tapi hobi dan keahliannya banyak banget, nggak bakal cukup dijelasin satu per satu. Intinya, mungkin udah takdir kalau keluarga kami agak "lain" dari yang lain. Tapi ya... itu cuma kemungkinan. Hehe.

Oke, lanjut!

"Udah siang, Ga. Kenapa belum berangkat juga?" tegur Mamak sambil menepuk pundakku.

"Eh, Mamak! Ngagetin aja," jawabku sambil melihat jam di ponsel. "Masih jam 06.15, Mak."

"Lagian, mau ngapain di sekolah kalau kepagian? Aku kan nggak kayak Mahest yang suka nongkrong dulu sebelum upacara," sambungku sambil menghabiskan sisa cokelat panas yang udah dingin.

Aneh ya, namanya cokelat panas tapi minumnya nunggu dingin. Dasar manusia.

"Mak, aku berangkat dulu. Nanti sore pulang telat, ada janji sama klien," pamitku sambil mengulurkan tangan untuk salim. "Assalamu’alaikum!"

"Wa’alaikumsalam. Hati-hati, jangan ngebut!" pesan Mamak.

"Iya, Mak. Tenang aja. Aku bukan Mahest yang kalau bawa motor kayak jalanan punya nenek moyangnya sendiri," sahutku sambil keluar rumah.

...----------------...

Hasil revisi guys.

Maaf ya kalo yang udah pada baca kurang berkenan karena belum di revisi ,jadi sekarang buat yang mau baca ulang atau pembaca baru,dari bab pertama sampai bab 60+ adalah bab yang sudah di revisi.

Terima kasih dan selamat membaca.I love you.

Bab 2 Rutinitas

Sebenarnya, cerita ini berlatar di sebuah desa yang bisa dibilang sudah masuk daerah pegunungan. Kalian tahu Wisata Dieng, kan? Kalau belum tahu, coba cari di Google. Nah, desaku tidak begitu jauh dari daerah Dieng. Lalu, kenapa panggilan antar tokoh dalam cerita ini menggunakan "loe" dan "gue"? Ya, biar lebih keren sedikit. Sebenarnya, panggilan itu menggantikan "Nyong/Inyong" (aku) dan "Kowe" (kamu), tapi hanya berlaku untuk yang seumuran saja. Paham, kan?

Begitu tiba di sekolah, aku langsung memarkirkan motor seperti biasa, lalu melangkah menuju kelas untuk menaruh ransel. Setelah sampai, aku duduk santai sambil membuka ponsel, tepatnya halaman chat.

Ada banyak sekali pesan yang belum kubaca sejak bangun tidur—pesan dari semalam hingga yang baru masuk tadi pagi. Belum lagi grup kelas yang selalu ramai tanpa henti, padahal isinya sering kali nggak penting.

Jujur, cuma menyimak saja rasanya sudah membosankan. Apa mereka nggak merasa begitu juga? Banyak yang menyarankan agar notifikasi dimatikan saja. Nah, justru itu yang nggak kulakukan, karena kalau disilent, aku nggak akan tahu kalau ada chat dari klien.

Grup Kelas 3TR 1

Kemarin, 13:45

Kakak Tua (Aghis): Guys, jangan lupa besok setelah upacara bakal ada razia rutin dari OSIS. Please, jangan ada yang bikin malu, apalagi masalah.

Kamboja: Oke.

Anya: Sip. @Kakak Tua, coba deh si Ndoro Ayu lo ingetin japri, kali aja lupa lagi atau malah sengaja.

Ayu: Please deh @Anya, jangan ingetin itu lagi. Gue kan udah jelasin kalau lupa. Lagian, kenapa sih razia harus di jam terakhir? Biasanya kan pagi. Gue beneran lupa pas itu, bukannya sengaja.

Dan masih banyak ocehan nggak jelas lainnya yang out of topic.

Ayu ngomong begitu karena dua minggu lalu, saat razia, dia lupa membuang sampah pembalut bekas pakainya yang masih ada di dalam ranselnya. Padahal jelas-jelas dia menggantinya pas jam istirahat kedua, dan dari kelas ke toilet itu sudah ada tong sampah. Sementara itu, razia diadakan di jam pelajaran terakhir. Lah, kenapa malah dibawa ke kelas dan disimpan di ransel? Duh, jorok banget.

Bisa kalian bayangkan betapa menjijikkannya itu? Ya, memang sih, terbungkus plastik. Tapi, tolonglah, kira-kira sedikit! Mending kalau plastik hitam, lah ini plastik bening!

Astaghfirullah, si Ayu memang... Cantik sesuai namanya, tapi kecerobohan dan kebersihannya? 0% banget.

Oke, cukup ghibahnya.

Aku pun kembali menggulir chat lain dan membalas seperlunya, mengingat waktu sudah semakin mepet dengan upacara.

Kemarin, 19:30

1: Gimana dek, Selasa besok bisa, nggak? Sore kok. Soal biaya bisa dibicarain lagi pas ketemu atau aku bisa ke rumahmu besok malam.

Mie: Oh, bisa kok, Mbak. Maaf ya baru balas, semalam ngerjain tugas jadi nggak buka chat. Sore jam berapa kira-kira acaranya, Mbak?

1: Oh iya, nggak apa-apa. Alhamdulillah kalau bisa. Sekitar jam 17.00 ke rumah. Acara sebenarnya habis Isya, sih, cuma yang mau di-makeup ada dua orang. Gimana, kamu beneran bisa?

Mie: Kalau jam segitu, insyaallah bisa, Mbak. Lagian dekat dari sekolah, jadi nggak bakal telat di jalan. Saya bisa langsung ke rumah Mbak dari sekolah. Yang di-makeup Mbak sama siapa lagi?

1: Adik kembarku, dek.

Setelah jelas, aku tidak membalas lagi dan lanjut ke chat lain.

2: Jangan lupa nanti sore aku tunggu di Kedai Bakso Gunung Merapi.

Mie: Oke.

Lalu aku lanjut membuka chat lainnya, yang pasti bikin makin semangat 45. Haha.

+62:: Assalamualaikum, Dek. Maaf mengganggu. Aku Nadia dari Desa S. Mau tanya, kalau minggu depan ada jadwal nggak? Kalau kosong, aku mau booking buat acara ngunduh mantu adikku.

Mie: Wa’alaikumsalam, Mbak. Minggu depan ya? Kira-kira acaranya jam berapa? Soalnya malam Senin kalau jadi aku ada job.

+62:: Pagi kok acaranya, sekitar jam 08.00-an. Gimana, bisa?

Mie: Oh, oke, Mbak. Insyaallah bisa. Biar lebih jelas, kalau ada waktu kita ketemu dulu, gimana?

+62:: Setuju. Oke, nanti aku kabarin lagi kalau mau ketemuan.

Mie: Siap, ditunggu ya, Mbak.

Tak terasa, bel upacara berbunyi. Aku segera memasukkan ponsel ke saku dan keluar kelas untuk mengikuti upacara bendera.

Setengah jam berlalu, semua siswa kembali ke kelas masing-masing, termasuk aku. Saat menikmati riuhnya suasana setelah pembubaran, tiba-tiba datang si biang rusuh. Siapa lagi kalau bukan Kamboja, si Kembang Kuburan. Eh, bener nggak sih itu? Entahlah.

Kamboja adalah teman sekelasku, selain Aghis dan Ayu. Kalau Anya, aku nggak begitu dekat dengannya karena rumahnya jauh dan berbeda arah. Meskipun kami bertiga berteman, aku lebih sering bersama Kamboja sejak SMK.

Kenapa? Karena mereka berdua sibuk. Tapi bukan sibuk kerja, melainkan sibuk ekstrakurikuler dan les. Memang beda kalau orang pintar juga banyak uang, selalu ada kegiatan tanpa perlu mikirin duit. Eh.

Sementara Kamboja lebih banyak waktu luang alias pengangguran berkedok pelajar. Hehehe. Tapi bagaimanapun, kita tetap sering jalan atau liburan bareng.

Oke, lanjut ke topik sebelumnya.

"Gimana nanti sore?" tanya Kamboja kepadaku.

"Jadi dong, udah bebas lagi gue," jawabku sambil terkikik.

"Oh, udah bener lagi tuh motor kesayangan?"

"Haha, tenang. Selagi ada Bapak, semua aman," jawabku percaya diri.

"Aneh loe, bisa-bisanya adik-kakak bedanya kayak langit dan bumi. Jangan-jangan beda DNA tuh," ucap Kamboja santai.

"Aish, ngawur aja tuh moncong kalau ngomong."

Obrolan kami terhenti karena pelajaran segera dimulai. Guru Bahasa Indonesia masuk kelas dengan anggun. Ya, memang begitu. Namanya juga Bu Anggun. Kalau nggak anggun, ya nggak selaras, kan?

"Assalamu’alaikum, pagi anak-anak. Gimana kemarin, menyenangkan atau menyebalkan?" sapanya dengan senyum manis.

"Menyenangkan!"

"Menyebalkan!"

Semua kompak menjawab dengan pendapat masing-masing.

Beberapa jam berlalu. Hingga akhirnya, waktu pulang tiba. Aku tidak langsung pulang karena ada janji bertemu seseorang.

Sampai di parkiran, kami berpamitan. Dengan semangat yang masih membara, aku naik motor dan melaju ke tempat pertemuan. Iya, Kedai Bakso Gunung Merapi. Meletus nggak nanti tuh kedai? Hihi.

Zaman sekarang, selain nama anak yang semakin aneh, tempat makan pun dikasih nama unik buat menarik pengunjung. Heran.

Lah, tapi aku juga aneh sih. Cewek tulen dengan nama cowok. Ya Allah, dasar Mamak emang agak lain. Tapi, oke juga sih buat nge-prank buaya cap boba. Haha.

Bab 3 Bertemu Cowok Aneh

Beberapa menit berlalu, akhirnya aku sampai di kedai tempat janji temu. Seperti biasa, aku memarkir motorku di tempat yang tersedia.

"Ampun dah, demi sesuap nasi, gue harus nyempil di tempat seramai ini," batinku. Ah, elah, drama banget sih ngebatinnya. Karena nggak mau capek dengan hal konyol, sebelum masuk ke dalam, aku mencari nomor si pembuat janji.

"Halo, kamu di mana?" tanyaku langsung, tanpa basa-basi.

"Loe udah sampai? Masuk aja, cari meja nomor 17. Gue udah di dalem," jawabnya.

"Oke—" Tut, tut, tut. Belum selesai aku jawab, teleponnya sudah dimatikan tanpa aba-aba.

"Sableng tuh orang, belum juga selesai ngomong 'oke' udah dimatiin aja," ucapku lirih, lebih ke bergumam sendiri. Dengan perasaan yang entah kenapa terasa mati. Lah, kalimat apaan tuh barusan? Mati rasa kali, ah.

Aku masuk, menoleh ke kanan dan kiri seperti mau menyeberang, mencari sesosok makhluk yang katanya menunggu di meja nomor 17. Cuma butuh beberapa detik sampai akhirnya aku melihat batang hidungnya yang mancung.

Anugrah.

Iya, benar. Yang aku temui seorang cowok. Kalian nggak salah tebak.

Anugrah Pangurip. Cowok dengan tinggi hampir 170 cm, kulit sawo matang, hidung mancung, bulu mata tebal, alis lebat, badan ideal—dan, pastinya, ganteng. Dulu, dia satu-satunya anggota OSIS sekaligus kakak kelas yang banyak digandrungi cewek-cewek. Waktu aku masih kelas X, dia menjabat sebagai Ketua OSIS. Iya, kami cuma beda dua tahun. Yang artinya, sekarang dia sudah jadi alumni SMKN Panji Gemilang. Oke, cukup sampai sini kenalannya. Nanti akan ada cerita lebih lanjut di bab selanjutnya. Harap sabar dan berlapang dada, ya, penonton. Hihi.

"On time amat, biasanya ngaret," sapaku tanpa sopan santun.

"Enak aja. Loe kali yang gitu. Duduk," jawabnya dengan gaya khas seorang pemimpin.

"Jadi, ada apa yang mulia memintaku meluangkan waktu untuk menemui Anda?" tanyaku dramatis sambil menarik kursi.

"Sabar napa, udah setahun berlalu, dan loe masih sama aja, nggak ada yang berubah. Oh ya, loe mau bakso apa? Sekalian minumnya juga?"

"Bayarin nggak nih? Ntar udah habis semangkok malah suruh bayar sendiri."

"Heh, gue nggak sepelit itu ya, apalagi sama cewek. Loe aja yang emang sewot dan anti banget sama cowok ganteng kayak gue." Ucapnya dengan percaya diri tingkat dewa.

Belum sempat aku jawab, dia sudah ngeloyor pergi ke kasir untuk memesan.

"Lah, aneh. Emang tau gue mau makan apa? Dasar nggak ada akhlak. Mirip siapa, ya? Kok kayak kenal? Lah, akhlaknya mirip si Mahest, adik laknat ku," batinku jengah.

Baru saja aku menikmati momen tenang beberapa detik, suara khasnya kembali terdengar.

"Tunggu bentar, lagi diproses."

"Oke," jawabku singkat.

"To the point aja, gue ngajak loe ketemu buat bahas yang dua hari lalu. Gimana, loe bisa kan dandanin kakak sama Ibu gue buat acara wisuda kakak?" jelasnya.

Oh iya, dua hari lalu dia memang telepon buat booking jasaku. Guys, inget ya, bukan jasa open BO loh. Katanya buat si kakak, tapi aku nggak begitu nanggepin karena takut cuma dikerjain—seperti yang pernah kejadian setahun lalu.

"Emang acaranya beneran bulan depan?" tanyaku.

"Nggak jadi, katanya dimajukan dua minggu lagi. Makanya gue gerak cepat ngabarin loe, siapa tahu loe beneran jadi orang yang sok sibuk."

"Gue beneran kadang sibuk, ya. Bukan sok sibuk. Lagian, aneh. Kenapa nggak kakak loe sendiri yang ngomong langsung? Kenapa harus lewat loe?" jawabku, mulai curiga. Nomorku kan udah banyak yang tahu, masa iya kakaknya nggak punya waktu sebentar buat ngomong sendiri?

"Kenapa emang? Nggak haram, kan? Kalau bukan karena kasihan dan males ribut, gue juga ogah. Lagian, gue juga ngerasa aneh sih kalau gue yang omong. Tapi ya udahlah, udah kecebur sekalian renang." Dia diam sebentar sebelum lanjut. "Kakak gue lagi nggak sehat dan harus istirahat total. Ibu nemenin kakak, Ayah sibuk kerja biar bisa ambil cuti pas hari H. Nah, yang ada waktu luang cuma gue. Kebetulan tinggal cari MUA, gue langsung keinget loe. Mengingat kerjaan loe yang demen main dempul, akhirnya gue telepon loe. Gue kira nomornya udah nggak aktif, ternyata masih."

Dari caranya ngomong, kayaknya dia nggak bohong. Berarti bukan modus, kan?

"Oh, begitu. Bisa sih, insyaAllah. Tapi masalahnya, hari apa? Kalau pas hari sekolah kan susah. Tau sendiri, semakin hari makin sibuk aja menjelang ujian akhir sama magang."

"Nah, itu dia masalahnya. Makanya gue agak ragu mau ngomong ke loe. Jujur aja, dua mingguan lagi itu pas hari Rabu," ucapnya, membuatku menarik napas dalam.

"Hmmm, gini deh. Coba kamu pastiin dulu, beneran di hari Rabu atau nggak. Kalau iya, nanti aku pikirin lagi gimana keputusannya," putus ku, masih bimbang.

Hadeh, udah mirip lirik lagu nggak sih?

Tiba-tiba aku sadar sesuatu. "Eh, bentar. Kayaknya ada yang kelewat, deh."

"Apaan?" tanya Nuga dengan ekspresi nahan kesel. Sumpah, malah bikin aku pengen ketawa.

"Ini beneran mereka yang lambat atau kamu yang pesen bakso di urutan terakhir? Kok belum datang-datang?"

"Lah, iya. Baru sadar gue. Bentar, gue susul deh. Keburu loe kabur lagi."

"Enak aja kalau ngomong," jawabku sewot.

"Kan bener. Itu tabiat loe, yang apa-apa nggak sabaran," balas Nuga sambil berlalu menuju kasir.

Nggak lama kemudian, dia datang dengan nampan di tangannya.

"Nih, makan," ucapnya.

Aku terkejut melihat apa yang ada di depan mataku. Semangkuk bakso mercon dengan topping pangsit, lengkap dengan segelas teh manis hangat.

"Hah, beneran nih? Kenapa tau kesukaanku? Dari mana bocorannya?" batinku, syok.

"Kenapa cuma diliatin? Udah nggak suka bakso mercon sama teh manis?" tanyanya, membuatku sedikit kaget.

"Hah? Ng—nggak kok. Masih suka," jawabku tergagap.

Tanpa banyak bicara lagi, kami segera menyantap bakso yang seakan melambai-lambai, minta dicaplok.

Heh, Marga. Mulutmu memang minta ditabok. Weh.

****

Setelah kurang lebih tiga jam pertemuan yang bikin otakku ngang-ngong dan badanku makin lelah, akhirnya aku tiba di rumah pukul 18.30. Ini sih bukan telat lagi namanya—udah masuk kategori kebangetan. Semua gara-gara biang kerok bernama Nuga.

Awalnya, setelah makan, aku berencana langsung pulang kalau memang tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Tapi entah kesambet apa, dia malah menahan ku dengan seribu alasan. Eh, enggak seribu juga sih, cuma beberapa alasan receh yang menurutku nggak penting.

"Kenapa buru-buru? Ini juga masih sore."

"Udah deh, tenang aja. Nanti gue anterin kalau takut pulang sendirian."

"Udah lama kan nggak ketemu? Sekali-kali lah kita ngobrol santai."

Hah, ini orang kesambet apaan sore-sore begini? Karena mulai muak dengan ocehannya, otakku pun mendadak iseng.

"Oke, aku pulang nanti. Tapi kamu sendiri yang harus minta izin ke Bapak. Berani nggak?"

Tanpa menunggu jawabannya, aku langsung menekan nomor Bapak. Nggak butuh waktu lama, panggilan tersambung.

"Assalamualaikum, Ga. Kenapa telepon?"

"Waalaikumsalam. Oh, nggak ada apa-apa, Pak. Cuma ini, temenku mau ngomong sesuatu sama Bapak."

"Oh ya? Siapa? Mau ngomong apa?"

Aku melirik Nuga yang langsung panik. Dengan menahan tawa, aku menyodorkan ponsel ke tangannya.

"Eh, gila loe! Awas aja beneran gue culik kalau gue berani ngomong sama Bapak loe," gerutunya pelan, hanya dengan gerakan mulut. Aku cuma mengedikkan bahu.

"Halo, Ga? Kok diam? Masih nyambung nggak ini?" suara Bapak terdengar lagi.

Mau tak mau, akhirnya Nuga bersuara, "Assalamualaikum, Pak. Ini Nuga, temennya Marga, yang ada janji sore ini buat ketemu. Sebenarnya udah selesai, tapi karena udah lama nggak ketemu, apa boleh saya ajak Marga main sebentar?"

"Waalaikumsalam. Oh, Nuga yang dulu pernah ke rumah? Boleh, asal jangan kemalaman, ya. Tolong ingat batasan."

"Iya, Pak. Baik. InsyaAllah aman," jawab Nuga dengan penuh kemenangan.

Telepon berakhir. Kalian pasti tahu apa yang terjadi setelahnya. Dan please, penulis mohon, jangan mikir yang aneh-aneh. Ini murni seperti kencan, titik.

Saat masuk rumah, Mahest,adik laknat ku langsung menyambut dengan komentar julid nya.

"Baru jam segini kok udah pulang? Katanya kencan?" ucapnya santai, duduk di ruang tengah, TV menyala, ponsel di tangannya.

"Kencan palamu. Yang ada, dijebak," sahutku sebal, langsung menuju kamar.

Begitu sampai di kasur, aku berencana rebahan sebentar sebelum adzan Isya. "Huh, lega! Untung tuh orang rada peka. Kalau nggak, udah matang nih badan," gumamku sambil merebahkan diri. Mungkin karena terlalu lelah, aku malah ketiduran.

Oh iya, sebelum ‘acara main’ yang lebih mirip kencan itu, aku sempat minta pulang sebentar karena gerah dan lengket. Aku masih pakai seragam sekolah sejak pagi. Bukan takut diomongin orang, tapi benar-benar nggak nyaman.

Tapi bukannya mengantarku pulang, Nuga malah membawa motornya ke SPBU. Kami berhenti di depan musholla, dan dengan santainya dia menyuruhku masuk ke toilet.

"Ngapain nyuruh ke toilet? Orang aku nggak kebelet juga," tanyaku bingung.

"Mandi, lah. Mau ngapain lagi? Katanya loe gerah. Nih, pakai ini, biar nggak dikira calon ani-ani," ucapnya sambil membuka jok motor dan menyerahkan plastik hitam padaku.

Aku meliriknya curiga. Belum sempat bertanya, dia sudah menambahkan, "Ini gamis kakak gue yang ketinggalan lama di jok motor. Gue lupa terus mau balikin ke dia. Udah jarang dipakai sih. Di dalam juga ada hijabnya, kalau nggak salah. Tapi… sorry…"

"Nggak ada dalamannya?" sahutku cepat.

Mata Nuga langsung melotot, mungkin shock aku ngomong gitu tanpa malu-malu.

"Gila loe! Sama sekali nggak ada rasa segan. Di depan gue loe ngomong gitu santai banget. Gue cowok, bego!"

Aku cuek. Masa bodoh dengan reaksi berlebihan dia. Tanpa bicara lagi, aku langsung berbalik dan masuk ke toilet di samping musholla.

****

Tok tok tok.

Suara ketukan terdengar di pintu kamarku.

"Ga, kamu tidur ya?" suara Mamak membangunkan ku dari luar.

"Iya, Mak. Bentar lagi aku keluar," jawabku dengan suara serak.

Setelah itu, tak ada suara lagi. Mungkin Mamak sudah pergi dari depan kamar. Aku bangun dengan muka bantal, masih menahan kantuk. Refleks, aku meraih ponsel di samping bantal dan melihat jam—sudah pukul 20.20. Astaga, solat Isya sudah telat! Dengan setengah sadar, aku segera keluar kamar dan menuju kamar mandi untuk berwudhu.

Saat aku baru saja menaruh mukena di dekat pintu musholla kecil di rumah, Mamak tiba-tiba menghampiriku.

"Ga, kamu udah makan?" tanyanya lembut.

"Udah, tadi makan bakso, Mak," jawabku santai. "Oh ya, Mahest sama Bapak mana?"

"Tadi masih sibuk di depan sama perkakasnya. Sekarang kayaknya udah nonton TV, deh."

Benar saja, saat aku melangkah ke ruang tengah, di sana sudah ada Bapak dan Mahest yang duduk santai menonton TV.

"Hest, geseran dikit," pintaku sambil berdiri di sampingnya.

"Kebiasaan loe! Nggak pernah ngebiarin gue hidup tenang," gerutunya dengan malas.

"Hih, apaan sih?" sahutku sambil nyengir.

Meski terdengar jengkel, Mahest tetap bergeser sedikit, memberi ruang untukku. Dengan sumringah, aku langsung duduk selonjoran di atas karpet bulu yang lembut di sampingnya.

Beginilah keluargaku saat malam tiba—berkumpul di ruang tengah, berbincang tentang banyak hal. Kadang obrolannya serius, tapi lebih sering berisi topik random yang bikin ngakak. Aku selalu salut dengan kedua orang tuaku. Meskipun mereka sibuk dengan tanggung jawab sebagai orang tua, mereka juga punya karier masing-masing.

Bapak memang pernah bekerja sebagai kuli, tapi sebenarnya itu sudah lama jadi pekerjaan sampingan. Justru usaha yang beliau jalankan sekarang sudah berdiri sejak aku mau masuk SMP, berbarengan dengan usaha yang Mamak rintis. Alhamdulillah, semua berjalan lancar sampai sekarang.

Kami bukan keluarga kaya. Masih ada banyak orang di atas kami, seperti Aghis dan Ayu,dua sahabatku sejak SMP.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!