Arlen Whiteclaw merasakan keheningan malam menusuk hingga tulang. Desa kecilnya, Woldmere, terbungkus kabut tebal yang mencekam. Langit yang biasanya terang benderang oleh cahaya bintang kini gelap gulita, seolah-olah ada sesuatu yang menghalangi mereka.
“Aneh sekali, tak pernah begini sebelumnya,” gumam Arlen sambil memandang ke langit yang kelam.
Di sebelahnya, Finn, sahabat masa kecilnya, tertawa kecil. “Mungkin kau terlalu banyak membaca dongeng, Arlen. Ini cuma malam yang mendung.”
Arlen menggeleng. “Tidak, Finn. Ini… rasanya berbeda. Ada sesuatu yang gelap. Seperti… sesuatu mengintai kita.”
Finn mengangkat bahu. “Kau terlalu banyak berpikir. Ayo, kita pulang saja. Dingin sekali di sini.”
Namun, baru beberapa langkah mereka melangkah, terdengar suara gemuruh pelan dari arah hutan. Arlen dan Finn terdiam, bertukar pandang dengan wajah tegang.
“Dengar itu?” bisik Arlen, matanya menyipit mengamati kegelapan di depan mereka.
Finn mengangguk. “Mungkin hanya angin yang menerpa pepohonan.”
Tiba-tiba, suara itu semakin mendekat, dan kini terdengar seperti derap langkah. Bukan langkah manusia, melainkan suara berat dan berderak, seakan-akan makhluk besar sedang berjalan ke arah mereka.
“Ayo pergi dari sini!” seru Arlen, menarik lengan Finn.
Namun, sebelum mereka bisa bergerak jauh, bayangan hitam muncul di ujung jalan desa, berdiri diam dengan tubuh besar dan kepala yang hampir menyentuh cabang pohon terdekat. Makhluk itu tampak seperti manusia, tapi ada sesuatu yang aneh – kulitnya gelap dan berkilau seperti batu, dan matanya merah menyala seperti bara api.
“Arlen… apa itu?” Finn bertanya, suaranya bergetar ketakutan.
“Aku tidak tahu, tapi kita harus bersembunyi,” jawab Arlen cepat, menarik Finn untuk bersembunyi di balik pagar rumah terdekat.
Mereka mengintip dari sela-sela pagar, menahan napas saat makhluk itu melangkah mendekat. Setiap langkahnya membuat tanah bergetar, dan aura dingin yang memancar darinya membuat tulang mereka terasa membeku.
Makhluk itu berhenti tepat di depan rumah tempat mereka bersembunyi. Ia mengendus-endus udara, seolah mencium keberadaan mereka.
“Kau pikir dia melihat kita?” bisik Finn, suaranya nyaris tidak terdengar.
“Sst! Jangan bergerak,” balas Arlen pelan, tangannya menggenggam erat potongan kayu di sebelahnya, meskipun ia tahu itu takkan banyak membantu.
Tiba-tiba, makhluk itu berbicara dengan suara serak dan rendah, “Aku tahu kalian di sini, anak-anak kecil. Tidak ada gunanya bersembunyi.”
Jantung Arlen berdegup kencang, hampir tidak percaya bahwa makhluk itu bisa berbicara. Ia mencoba memikirkan cara melarikan diri, tapi tubuhnya terasa kaku, tak mampu bergerak.
Makhluk itu mendekatkan wajahnya ke arah mereka, matanya yang merah menyala menatap langsung ke tempat mereka bersembunyi. “Kalian memiliki aroma yang… berbeda. Kalian menyimpan kekuatan.”
Finn bergetar ketakutan, tapi Arlen, entah dari mana keberanian itu datang, berdiri dan menatap makhluk itu dengan tatapan penuh keberanian.
“Siapa kau? Apa maumu?” tanya Arlen dengan suara bergetar, namun matanya tak berpaling.
Makhluk itu tersenyum tipis, mengerikan. “Namaku tidak penting untukmu, anak muda. Tapi aku datang untuk mencari sesuatu… sesuatu yang mungkin kau miliki.”
“Apa yang kau cari?” tanya Arlen, mencoba menyembunyikan rasa takutnya.
“Cahaya… Cahaya yang tersembunyi dalam kegelapan. Kau, Arlen Whiteclaw, kau adalah Pemegang Cahaya itu.”
Finn terkejut. “Apa yang dia bicarakan, Arlen? Pemegang Cahaya?”
Arlen menggeleng, bingung. “Aku tidak tahu. Aku bahkan tidak tahu apa itu Cahaya yang dia maksud.”
Makhluk itu mendekat, tangannya yang besar terulur seolah ingin meraih Arlen. “Kau mungkin belum mengetahuinya, tapi aku bisa mencium kekuatan itu dalam dirimu. Cahaya yang bisa menandingi kekuatanku.”
Tanpa sadar, Arlen mengangkat potongan kayu yang digenggamnya, siap untuk bertahan. Namun, makhluk itu hanya tertawa kecil.
“Kau pikir itu bisa melukaiku?” ejeknya, tangannya yang bersisik menepuk dada. “Aku datang dari kegelapan yang tak dapat dihancurkan dengan benda fana.”
Tiba-tiba, terdengar suara langkah mendekat. Seseorang berlari ke arah mereka.
“Jangan sentuh mereka!” Suara itu datang dari seorang wanita muda berambut panjang dan mata tajam. Ia mengenakan jubah hitam dengan hiasan perak, dan tangannya bersinar lembut.
Wanita itu menatap tajam ke arah makhluk itu. “Pergi dari sini, sebelum aku memaksamu.”
Makhluk itu tampak ragu sesaat, lalu mendengus. “Baiklah, kali ini aku pergi. Tapi kau, Arlen Whiteclaw, ingat namaku. Malakar akan kembali untukmu.”
Dengan cepat, makhluk itu menghilang dalam bayangan malam, meninggalkan Arlen dan Finn yang masih gemetar ketakutan.
Arlen menoleh pada wanita itu. “Siapa kau?”
Wanita itu tersenyum tipis. “Namaku Eira. Aku datang untuk melindungimu, Arlen. Kau memiliki sesuatu yang sangat penting – sesuatu yang dunia ini butuhkan.”
“Aku? Tapi… aku hanya pemuda biasa,” jawab Arlen bingung.
Eira menggeleng. “Tidak, Arlen. Kau adalah Pemegang Cahaya, keturunan dari garis magis yang sangat kuat. Dan musuh terbesarmu baru saja memperkenalkan dirinya.”
Arlen menelan ludah, menatap ke arah Finn yang masih syok. Hatinya berdebar keras, merasakan ketakutan sekaligus rasa tanggung jawab yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
“Apakah aku benar-benar memiliki kekuatan itu?” tanya Arlen ragu.
Eira menatapnya dalam-dalam, wajahnya serius. “Kau akan segera mengetahuinya. Tapi ingat, ini baru permulaan. Kau harus siap menghadapi hal-hal yang jauh lebih berbahaya dari apa yang kau lihat malam ini.”
Arlen merasakan jantungnya berdegup tak karuan. Kata-kata Eira bergema dalam pikirannya, membuatnya semakin bingung. Bagaimana mungkin dia, seorang pemuda desa biasa, bisa menjadi bagian dari sesuatu yang begitu besar?
Finn, yang masih bergetar, akhirnya angkat bicara. “Arlen, apa maksud semua ini? Pemegang Cahaya? Aku tak mengerti.”
Eira menoleh ke arah Finn dengan lembut. “Kau tidak sendiri, Finn. Sedikit yang tahu tentang rahasia ini, tapi Arlen menyimpan kekuatan yang bahkan dia sendiri tidak sadari. Itu sebabnya Malakar mengincarnya.”
“Apa yang dia inginkan dariku?” Arlen bertanya, merasa sedikit gentar menyebut nama Malakar.
“Malakar adalah penjaga kegelapan. Dia ingin menghancurkan keseimbangan dunia ini, dan hanya Cahaya yang bisa menandinginya. Kau, Arlen, memiliki Cahaya itu.”
Arlen merasa beban besar menghimpit dadanya. “Bagaimana aku bisa memiliki kekuatan yang besar, padahal aku bahkan tak tahu caranya melindungi diriku sendiri?”
Eira tersenyum lembut. “Itulah sebabnya aku di sini. Aku akan membantumu, mengajarimu cara mengendalikan kekuatanmu. Tapi… perjalanan ini tidak akan mudah.”
Finn meremas bahu Arlen, matanya berkilat penuh tekad. “Kalau begitu, aku ikut. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap di sampingmu, Arlen.”
Arlen menatap Finn, lalu Eira. Meskipun masih bingung dan takut, ia merasakan secercah harapan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Dia tidak sendirian.
Malam itu, Arlen memutuskan untuk menerima takdirnya – dan tak pernah menyadari bahaya besar yang menanti mereka dalam bayang-bayang gelap Forgotten Realm.
Keesokan harinya, Arlen terbangun dengan kepala berat, seolah-olah baru saja melewati mimpi buruk yang tak berujung. Namun, ia segera sadar bahwa semua yang terjadi semalam bukan sekadar mimpi. Makhluk gelap, sosok mengerikan bernama Malakar, dan Eira, wanita misterius yang mengaku akan melindunginya. Semua itu nyata, dan pagi ini ia harus memulai perjalanan yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.
Di luar, Finn menunggu sambil mengisyaratkan Arlen agar mendekat. “Arlen, Eira menunggumu di tepi desa. Dia bilang akan menunjukkan sesuatu.”
Arlen menghela napas, masih merasa berat untuk mencerna semua informasi. “Finn… kau yakin kita harus melakukan ini?”
Finn mengangguk mantap. “Kau tidak bisa mengabaikan apa yang terjadi. Jika Malakar benar-benar mencari sesuatu dalam dirimu, kita perlu tahu lebih banyak. Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian.”
Arlen tersenyum tipis, merasakan kekuatan baru dari persahabatan mereka. “Baiklah, kalau begitu. Ayo kita temui Eira.”
Di tepi desa, Eira berdiri dengan tenang, wajahnya serius. Begitu melihat mereka datang, ia langsung berbicara. “Waktu kita tidak banyak. Semakin lama, semakin besar kemungkinan Malakar menemukan keberadaanmu. Arlen, sudah saatnya kau mulai memahami kekuatan yang kau miliki.”
“Apa maksudmu?” tanya Arlen, berusaha memahami urgensi di balik kata-katanya.
“Kekuatanmu, Cahaya yang tersembunyi dalam dirimu, adalah salah satu dari sedikit hal yang bisa melawan kegelapan seperti Malakar. Tapi kekuatan itu belum terbangun sepenuhnya. Aku akan membantumu membuka kemampuan itu.”
Arlen mengernyit. “Bagaimana caranya? Aku tidak pernah mempelajari hal semacam ini.”
Eira tersenyum tipis. “Tidak ada yang terlahir sebagai pemilik kekuatan sempurna. Kau akan belajar, tapi pertama-tama, kita harus melakukan ritual pemanggilan di Tempat Terlarang.”
Finn tersentak. “Tempat Terlarang? Itu hutan yang ditinggalkan, bukan? Banyak orang hilang di sana, Eira.”
Eira mengangguk serius. “Benar. Tempat itu memiliki energi yang sangat kuat, tetapi berbahaya. Namun, hanya di sana kita bisa memulai perjalanan ini.”
Arlen terdiam sejenak, merasa takut tetapi juga terdorong. “Kalau itu yang harus aku lakukan, aku siap.”
Eira memimpin mereka melewati jalan setapak yang berkelok menuju hutan tua. Semakin jauh mereka masuk, semakin pekat atmosfer di sekitar mereka. Suara burung dan hewan liar menghilang, digantikan oleh desis angin dan daun-daun kering yang berjatuhan.
“Aku punya pertanyaan, Eira,” ujar Finn tiba-tiba. “Kenapa kau datang mencari Arlen? Bagaimana kau tahu tentang dirinya?”
Eira terdiam sejenak, seolah memikirkan jawaban yang tepat. “Aku… punya kewajiban untuk melindungi Cahaya. Sudah lama aku mengembara mencari Pemegang Cahaya yang baru, dan akhirnya kutemukan Arlen.”
“Tapi kenapa aku?” tanya Arlen bingung. “Aku bahkan tidak tahu apa-apa tentang kekuatan ini.”
“Kekuatan kadang bersembunyi dalam diri orang yang tidak pernah menduganya,” jawab Eira lembut. “Kau adalah keturunan garis magis kuno. Meski tidak menyadarinya, darah para pelindung dunia mengalir dalam dirimu.”
Mereka terus berjalan hingga tiba di sebuah batu besar yang penuh ukiran simbol-simbol kuno. Batu itu tampak seperti telah berada di sana selama berabad-abad, tertutup lumut dan akar-akar pohon.
“Di sinilah kita memulai,” kata Eira sambil menyiapkan beberapa lilin dan batu permata yang bersinar lemah. Ia menempatkan lilin-lilin itu di sekeliling batu, lalu memberi isyarat pada Arlen untuk berdiri di tengah lingkaran tersebut.
“Apa yang harus aku lakukan?” Arlen bertanya dengan suara bergetar.
“Pejamkan matamu. Fokuskan pikiranmu pada apa pun yang kau rasakan dalam hatimu. Rasa takut, keraguan, harapan. Biarkan semua perasaan itu muncul.”
Arlen memejamkan matanya, mencoba menenangkan diri. Pada awalnya, ia merasa kosong, namun semakin dalam ia berfokus, ia merasakan sesuatu. Seperti nyala api kecil yang hangat, cahaya itu ada di dalam dirinya.
“Rasakan itu, Arlen. Itu adalah bagian dari Cahaya yang ada di dalam dirimu,” bisik Eira.
Arlen mengangguk pelan, tetapi tiba-tiba ia merasakan gelombang dingin merasuk. Suara-suara aneh bergema di telinganya, seperti bisikan-bisikan dari kegelapan yang ingin menguasainya.
“Arlen! Fokus!” suara Eira terdengar tegas, membangunkannya dari ketakutan yang hampir membuatnya tenggelam.
Namun, sebelum ia bisa menguasai dirinya sepenuhnya, suara mendesis memenuhi udara. Mereka bertiga menoleh dengan terkejut saat melihat kabut hitam muncul dari balik pepohonan, mengitari mereka seperti ular.
“Apa itu?” Finn bertanya dengan suara bergetar.
Eira mundur selangkah, wajahnya berubah pucat. “Itu adalah Penjaga Kegelapan. Mereka merasakan kehadiran Cahaya.”
Kabut itu semakin dekat, membentuk sosok-sosok yang menyerupai bayangan manusia, dengan mata merah menyala. Arlen merasa dirinya terkunci, tak mampu bergerak atau berpaling.
“Kita harus pergi dari sini!” seru Finn, menarik Arlen.
Namun Eira menahan mereka. “Tidak! Arlen harus menyelesaikan pemanggilan ini. Hanya dengan begitu kita bisa mengaktifkan kekuatannya.”
Arlen menatap Eira dengan panik. “Aku… aku tidak tahu apakah aku bisa.”
“Percayalah, Arlen. Jangan biarkan kegelapan ini menakutimu. Kau adalah Pemegang Cahaya,” ujar Eira dengan penuh keyakinan.
Arlen menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. Ia menutup mata kembali, mencoba merasakan cahaya yang ada di dalam dirinya. Sedikit demi sedikit, ia merasakan kehangatan itu tumbuh, mengisi hatinya dengan keberanian.
Namun, tepat ketika ia hampir menguasai cahaya itu, salah satu Penjaga Kegelapan melompat ke arahnya, siap menyerang.
“Arlen, hati-hati!” Finn berteriak panik.
Arlen membuka matanya, hanya untuk melihat cakar bayangan hitam itu melesat ke arahnya. Sebelum ia sempat bereaksi, sesuatu dalam dirinya bangkit. Cahaya putih terang menyembur dari tubuhnya, menghantam Penjaga Kegelapan itu hingga terpental dan meleleh menjadi kabut hitam.
Eira tersenyum puas. “Kau berhasil, Arlen. Itu adalah Cahaya dalam dirimu.”
Namun, belum sempat mereka merasa lega, kabut hitam yang tersisa berputar di sekitar mereka dengan kecepatan tinggi, membentuk pusaran yang semakin menyempit.
“Kita harus keluar dari sini sekarang!” teriak Eira, menggenggam tangan Arlen dan Finn.
Mereka berlari secepat mungkin, meninggalkan batu pemanggilan dan hutan gelap di belakang mereka. Namun, sebelum mereka berhasil keluar dari hutan, suara dingin yang familiar terdengar dari kegelapan.
“Arlen… aku akan menemukanmu. Kau tak bisa lari dari takdirmu.”
Arlen berbalik, melihat sekilas sosok Malakar berdiri di antara kabut, matanya bersinar merah darah. Ia tahu, meski untuk sementara berhasil meloloskan diri, ini bukan akhir. Justru, ini baru permulaan dari pertempuran panjang yang akan datang.
Arlen merasakan napasnya tersengal-sengal saat mereka akhirnya keluar dari hutan. Cahaya pagi yang menyambut mereka terasa seperti anugerah setelah ketegangan di Tempat Terlarang.
Finn menyandarkan diri di pohon, wajahnya pucat. “Kita tidak bisa terus-terusan berlari seperti ini, Arlen. Malakar tidak akan berhenti.”
Eira menatap mereka berdua dengan tatapan penuh tekad. “Benar. Karena itu, kita harus mempersiapkan diri lebih baik. Kau telah membuktikan kekuatanmu, Arlen. Tetapi, kekuatan itu harus kau kendalikan, atau justru akan menjadi senjata yang merugikanmu.”
Arlen mengangguk, masih merasakan kehangatan Cahaya yang telah menyelamatkan mereka. “Jadi, apa yang harus kita lakukan?”
“Kita harus pergi ke Tanah Pelindung, tempat di mana kau bisa berlatih dan mengasah kekuatanmu dengan aman,” jawab Eira. “Di sana, para pemilik Cahaya akan membantumu.”
Finn melirik Arlen. “Dan aku? Aku tidak memiliki kekuatan apa pun.”
Eira tersenyum tipis. “Kau memiliki sesuatu yang jauh lebih kuat, Finn. Keberanian dan kesetiaan. Itu juga senjata yang tidak dimiliki oleh sembarang orang.”
Arlen menepuk bahu Finn, merasakan rasa syukur yang mendalam atas kehadiran sahabatnya. “Kita akan melewati semua ini bersama.”
Eira memandang mereka dengan sorot mata penuh harapan. “Bersiaplah. Perjalanan kita baru dimulai, dan akan ada banyak bahaya di sepanjang jalan.”
Mereka bertiga berjalan kembali ke desa dengan tekad yang semakin kuat. Di dalam hati Arlen, bayangan Malakar dan ancaman yang baru saja mereka alami terus menghantui. Perjalanan menuju Tanah Pelindung akan menjadi langkah pertama dalam pertempuran yang jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.
Perjalanan menuju Tanah Pelindung dimulai saat fajar pertama menyingsing. Arlen, Finn, dan Eira meninggalkan desa tanpa ada yang tahu tujuan mereka. Meninggalkan Woldmere, desa kecil yang menjadi tempat tinggal mereka seumur hidup, terasa seperti langkah besar bagi Arlen dan Finn. Tapi, di hati kecil mereka, keduanya sadar bahwa tak ada pilihan lain.
“Kita harus bergerak cepat,” ujar Eira, matanya menatap lurus ke jalanan tanah di depan mereka.
Arlen mengangguk, menggenggam tas kecil yang ia bawa. “Berapa jauh lagi, Eira?”
Eira menghela napas, ragu-ragu sebelum menjawab. “Perjalanan ini tidak mudah, Arlen. Bahkan, mungkin akan memakan waktu beberapa hari, bahkan berminggu-minggu. Tanah Pelindung tidak bisa dicapai dengan mudah oleh sembarang orang.”
Finn tersenyum lemah. “Bagus, jadi bukan cuma kita yang bisa tersesat.”
Eira mengangguk pelan, lalu berhenti sejenak, seolah ingin menjelaskan sesuatu. “Tanah Pelindung bukan sekadar tempat perlindungan. Ia dilindungi oleh mantra kuno yang melindunginya dari kegelapan. Namun, hanya mereka yang layak yang bisa mencapainya.”
Arlen menelan ludah, menyadari bahwa ia tak bisa membayangkan apa yang ada di depan mereka. “Bagaimana jika kita gagal? Apa yang terjadi jika kita tidak bisa sampai ke sana?”
Eira menatapnya dalam-dalam. “Jika kita gagal, maka kegelapan akan menemukan kita. Kita akan menjadi sasaran Malakar dan pasukan kegelapan.”
Suasana menjadi tegang setelah kata-kata Eira. Finn mengalihkan perhatian dengan tertawa kecil. “Sepertinya kita tidak punya pilihan, bukan?”
Arlen tersenyum tipis. “Memang, tidak ada pilihan lain.”
Mereka melanjutkan perjalanan, melewati ladang dan hutan kecil, hingga sampai di sebuah padang luas yang dipenuhi rumput liar setinggi lutut. Angin berhembus kencang, membuat udara terasa semakin dingin.
Tiba-tiba, Eira berhenti, tubuhnya menegang. Ia mengangkat tangan, memberi isyarat agar Arlen dan Finn berdiam diri.
“Ada apa?” bisik Arlen, melihat Eira yang tampak serius.
Eira memicingkan mata, menatap jauh ke depan. “Kita tidak sendirian. Ada seseorang atau sesuatu yang mengikuti kita.”
Finn menelan ludah, matanya berkeliling penuh kewaspadaan. “Kau yakin? Mungkin hanya perasaanmu saja.”
Namun, sebelum Finn sempat menyelesaikan kalimatnya, dari balik pepohonan di ujung padang, muncul bayangan hitam yang bergerak cepat ke arah mereka.
“Arlen! Finn! Cepat mundur!” Eira berteriak, mengangkat tangannya. Ia mulai mengucapkan mantra dalam bahasa kuno, dan seketika angin berhembus lebih kencang, membentuk dinding pelindung di depan mereka.
Arlen dan Finn hanya bisa melihat dengan mata terbuka lebar saat sosok bayangan itu semakin dekat, matanya merah menyala. Makhluk itu menyerupai serigala besar dengan taring panjang, tubuhnya hitam pekat dengan cakar tajam yang menancap di tanah setiap kali ia melangkah.
“Makhluk apa itu?” Arlen bertanya dengan suara gemetar.
“Itu adalah Pelacak Malakar. Mereka mengendus keberadaan Cahaya. Kita harus melawan mereka, atau mereka akan terus mengejar kita,” jawab Eira sambil memperkuat mantranya.
Finn menarik napas panjang. “Lalu bagaimana kita bisa melawan makhluk sebesar itu?”
Eira menoleh ke arah Arlen. “Arlen, kau sudah memunculkan Cahaya di Tempat Terlarang. Sekarang, kau harus bisa mengendalikannya.”
Arlen menatap Eira, bingung. “Tapi aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya!”
“Kau harus mencoba,” jawab Eira tegas. “Pusatkan pikiranmu pada Cahaya di dalam dirimu. Jangan biarkan rasa takut menguasaimu.”
Arlen menarik napas dalam-dalam, berusaha mengingat kehangatan yang ia rasakan saat pertama kali memunculkan Cahaya. Ia memejamkan mata, mencoba merasakan kehadiran kekuatan itu.
Namun, tepat saat ia merasa hampir berhasil, Pelacak Malakar itu menerobos dinding angin Eira dan menerjang ke arahnya.
“Arlen, hati-hati!” Finn berteriak sambil mencoba menarik Arlen menjauh.
Makhluk itu melompat ke arah Arlen, taringnya siap mencabik. Arlen menahan napas, tubuhnya terasa kaku. Tapi, di saat yang sama, ia merasakan semburan energi keluar dari dalam dirinya. Cahaya putih memancar, menciptakan pelindung di sekitarnya yang membuat makhluk itu terpental mundur.
Finn terperangah. “Kau berhasil, Arlen! Kau berhasil memunculkannya!”
Namun, Eira menggeleng, wajahnya tegang. “Ini belum selesai. Pelacak itu hanya terluka. Kita harus menghancurkannya sebelum ia kembali.”
Arlen merasakan kelelahan luar biasa, tapi ia tahu mereka tidak punya pilihan lain. Dengan sekuat tenaga, ia mencoba memfokuskan Cahaya yang ada dalam dirinya. Tangannya bersinar terang, dan ia mengarahkan kekuatan itu ke makhluk hitam yang baru saja bangkit.
“Pergilah!” seru Arlen sambil melepaskan Cahaya itu.
Makhluk hitam itu berteriak kesakitan, tubuhnya mulai larut dalam sinar putih yang membakar. Tak lama kemudian, makhluk itu lenyap, hanya menyisakan kabut tipis yang terbang tertiup angin.
Arlen terduduk lemas, napasnya terengah-engah. Ia tak menyangka bahwa menggunakan kekuatan itu akan menguras tenaganya begitu besar.
Eira menghampirinya dan menyentuh pundaknya. “Kau melakukannya dengan baik, Arlen. Tapi ini baru awal. Kau harus belajar mengendalikan kekuatan itu dengan lebih baik.”
Arlen mengangguk, masih merasakan sisa-sisa ketegangan di tubuhnya. “Aku tidak tahu apakah aku bisa terus melakukannya. Rasanya sulit sekali.”
Finn menepuk bahunya dengan senyum lemah. “Hei, kau sudah menyelamatkan kita semua. Itu sudah lebih dari cukup.”
Eira berdiri dan menatap ke arah tempat makhluk hitam itu lenyap. “Malakar semakin dekat. Dia tahu kita bergerak menuju Tanah Pelindung. Kita harus lebih cepat, atau dia akan mengirimkan makhluk-makhluk yang lebih kuat untuk menghadang kita.”
Arlen menelan ludah, sadar bahwa bahaya yang mereka hadapi baru permulaan. “Bagaimana cara kita bisa mempercepat perjalanan ini?”
Eira terdiam sesaat, lalu berkata, “Ada jalur lain yang bisa kita ambil, tapi jalur itu berbahaya. Hanya sedikit orang yang bisa melaluinya tanpa kehilangan arah atau bahkan nyawa.”
Finn menatap Eira, wajahnya serius. “Kita tidak punya pilihan, bukan?”
Eira mengangguk. “Benar. Jalur itu adalah satu-satunya cara untuk mencapai Tanah Pelindung sebelum Malakar menemukan kita.”
Arlen menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ia merasa takut, tapi juga merasakan dorongan yang kuat untuk melanjutkan perjalanan ini. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa tidak ada jalan untuk kembali.
Dengan semangat yang baru, mereka bertiga melanjutkan perjalanan, menyusuri jalur sempit yang Eira tunjukkan. Kabut tebal mulai menyelimuti, dan suasana di sekeliling mereka berubah menjadi sunyi, seolah-olah mereka memasuki dunia yang berbeda.
Namun, di tengah perjalanan, mereka tiba-tiba mendengar suara langkah kaki di belakang mereka. Arlen menoleh, wajahnya penuh kecurigaan.
“Eira… kita diikuti lagi?” bisik Arlen dengan perasaan waspada.
Eira mengangguk, wajahnya serius. “Cepat, kita harus menemukan tempat untuk bersembunyi. Jika ini adalah pelacak lain, kita tidak punya waktu untuk melawannya.”
Mereka segera berlari menuju celah di antara pepohonan, berusaha menyembunyikan diri di balik batang-batang pohon yang lebat. Namun, suara langkah kaki itu semakin mendekat, membuat mereka bertiga menahan napas.
Tiba-tiba, sosok tinggi dengan jubah hitam muncul di depan mereka, wajahnya tersembunyi dalam bayangan. Orang itu berdiri diam, seolah tahu bahwa mereka sedang bersembunyi.
“Arlen Whiteclaw,” suara sosok itu terdengar dingin, menusuk udara yang hening.
Arlen merasakan bulu kuduknya meremang. Ia tak mengenali sosok ini, namun ia bisa merasakan aura kekuatan yang besar terpancar dari orang itu.
Finn menatap Arlen dengan khawatir. “Apa yang harus kita lakukan? Melawan atau lari?”
Sebelum Arlen bisa menjawab, sosok itu berbicara lagi, kali ini suaranya lebih keras. “Aku bukan musuh. Aku datang dengan peringatan untukmu, Pemegang Cahaya.”
Arlen keluar dari balik pohon, menghadapi sosok berjubah hitam itu dengan rasa was-was. Finn dan Eira tetap di belakangnya, bersiaga jika sesuatu terjadi.
“Apa yang kau inginkan dariku?” tanya Arlen, berusaha menutupi rasa takutnya.
Sosok itu mengangkat tangan perlahan, menunjukkan bahwa ia datang tanpa niat bermusuhan. “Aku dikirim oleh Pengawal Cahaya. Mereka tahu kau dalam bahaya, Arlen. Malakar dan para Pelacaknya bukanlah musuh yang bisa kau lawan sendirian.”
Arlen menatap sosok itu dengan curiga. “Mengapa aku harus mempercayaimu?”
Orang berjubah itu menundukkan kepalanya, membuka sedikit tudungnya hingga wajahnya terlihat samar dalam bayangan. “Aku adalah Joran, mantan murid Pengawal Cahaya. Aku datang untuk membantumu mencapai Tanah Pelindung dengan aman.”
Eira melangkah maju, masih menatap Joran penuh keraguan. “Bagaimana kami tahu bahwa kau benar-benar bisa dipercaya? Malakar punya banyak antek yang bisa menyamar.”
Joran tersenyum tipis. “Aku bisa membuktikannya dengan membawa kalian ke gerbang tersembunyi menuju Tanah Pelindung. Hanya sedikit yang tahu lokasinya.”
Arlen bertukar pandang dengan Finn dan Eira, menyadari bahwa mereka sedang dihadapkan pada pilihan yang sulit. Namun, perjalanan mereka ke Tanah Pelindung takkan berhasil jika mereka terus-menerus dihadang oleh musuh.
“Baik,” akhirnya Arlen berkata, walau masih ragu. “Kami akan mengikuti petunjukmu, Joran.”
Senyum misterius terlintas di wajah Joran, seolah-olah ia menyimpan rahasia yang belum terungkap.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!