Suasana yang sepi dan sunyi di tempat ini berbanding sangat terbalik dengan yang ada di depan sana. Ya, setidaknya begitulah yang Ayuna rasakan saat ini.
Gadis berlesung pipi itu sedang mengganti seragam kerjanya menjadi pakaian biasa karena dirinya akan pulang sebentar lagi. Ini memang sudah waktunya Ayuna untuk pulang meskipun di depan sana masih ada banyak sekali pelanggan yang datang.
"Yu, pulangnya gue anter aja kuy? Gua agak ngeri-ngeri sedap lihat lo pulang sendirian, apalagi udah malem banget ini." Dari balik pintu sana terlihat kepala seorang pria muda yang tak lain adalah rekan kerja dari Ayuna sendiri.
"Nggak usah ah, aku juga udah biasa pulang sendirian. Mending abang ke depan aja sana, lagi rame loh itu." Alih-alih menerima tawaran tadi, Ayuna memilih untuk menolaknya saja karena ia pun tak mau merepotkan orang lain.
"Biasanya cewe yang mungil kaya lo begini suka diikutin sama Mba kunti loh Yu." Bagas kira cara yang ia gunakan kali ini akan berhasil, tapi ternyata Ayuna malah terkekeh di hadapannya.
"Ya nggak apa-apa, aku jadi ada temennya nanti. Udah ah, aku pulang duluan ya bang. Semangat kerjanya, jangan genitin cewe mulu loh, ntar dimarahin tuh sama si Kokoh." Ini sudah benar, Ayuna harus menghentikan obrolan mereka. Karena jika tidak ia bisa saja tiba di rumah saat tengah malam nanti.
"Pedih hati gue Yu lo tolak terus. Yaudah deh, hati-hati ya di jalan. Kalo ada apa-apa langsung telepon aja, nggak usah sungkan." Bisa apa Ayuna selain menganggukkan kepalanya dengan patuh sebelum benar-benar pergi dari sana.
Kulit wajahnya yang tidak tertutupi oleh apapun lantas mendapatkan belaian dari angin malam yang terasa sangat dingin malam ini, sepertinya akan turun hujan.
Benar saja. Saat Ayuna menengadahkan kepalanya, ia bisa melihat kalau langit malam ini terlihat mendung. Tidak apa, toh kalau hujan nanti Ayuna bisa menggunakan payungnya.
Setelah berjalan selama lima menit, akhirnya Ayuna tiba di salah satu halte. Kini yang perlu ia lakukan hanyalah menunggu bus yang akan membawanya pulang.
"Kemana ya dia? Kok nggak ada sih?" Bukannya duduk dengan tenang di kursi besi yang ada di sana, Ayuna justru tengah sibuk memperhatikan ke arah sekitar untuk mencari sesuatu.
Lalu tak lama setelahnya terdengar suara seekor kucing yang nampaknya begitu bahagia melihat kehadiran Ayuna di tempat yang memang biasa ia singgahi.
"Kamu darimana aja, mpus? Ayo makan dulu, aku bawain sesuatu loh buat kamu." Tanpa merasa ragu sama sekali, Ayuna langsung berjongkok di sana dan merogoh isi tasnya sendiri.
"Dihabisin ya mpus." Tidak hanya membukakan bungkus makanan kucing, Ayuna juga memberikan usapan lembut di puncak kepala hewan berbulu itu.
"Ya, aku nggak bisa nemenin kamu sampai selesai makan malam ini." Namun nampaknya kesenangan Ayuna malam ini harus berakhir karena bus yang ia tunggu telah tiba.
"Aku pulang duluan ya, mpus. Kamu habis makan jangan kemana-mana, tetap di sini aja soalnya udah mau hujan tuh." Dengan berat hati akhirnya Ayuna memilih untuk bangkit, namun kedua matanya tak lepas dari kucing itu sama sekali.
Bahkan ia masih melakukannya setelah duduk di salah satu kursi kosong di dalam bus sana. Kegiatannya memperhatikan si kucing baru usai setelah transportasi umum itu mulai menjauh dari halte.
Tidak ada banyak orang di sini, kalau dihitung totalnya hanya tiga orang saja termasuk dengan Ayuna sendiri. Tidak masalah sih, setidaknya Ayuna tidak perlu berdesakan dengan penumpang lainnya.
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas menit dan Ayuna membutuhkan waktu selama dua puluh menit untuk tiba di halte yang dekat dengan kostan tempat dirinya tinggal selama ini.
Mungkin Ayuna terlalu lelah sampai ia tidak sadarkan diri setelah kepalanya bersandar di jendela bus. Jangan khawatir, Ayuna akan bangun dengan sendirinya nanti seolah tubuhnya sudah diatur sedemikian rupa.
"Oh? Udah sampe ya." Dan benar saja, kesadarannya kembali tepat saat bus berhenti di halte yang tadi ia maksud.
"Loh di sini enggak mendung langitnya." Karena jalanan memang sudah sangat sepi, Ayuna jadi bisa berjalan sembari menatap ke arah langit dengan puas.
Gadis itu dibuat keheranan karena langit di daerah tempat tinggalnya ini tidak menandakan kalau akan turun hujan sama sekali.
Kaki pendeknya terus saja melangkah, bibir mungilnya juga terus saja menyenandungkan beberapa bait lagu yang tengah sering ia dengar belakangan ini.
Namun apa yang ia lakukan barusan itu berhenti begitu saja kala matanya menemukan ada seorang pria bertato yang sedang menatap ke arahnya. Orang itu, orang yang selalu saja membuat Ayuna ketakutan.
Oh tunggu sebentar. Ini aneh, biasanya pria itu akan datang dengan sebuah motor butut kesayangannya. Namun malam ini Ayuna justru melihat mobil hitam yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Apa dia baru membeli mobil?
"Buruan elah, lama amat udah kaya siput lo." Ayuna sempat menghembuskan napasnya dengan kasar sebelum akhirnya melanjutkan langkah kakinya yang nampak begitu ragu.
"Maaf bang, saya lupa transfer soalnya seharian ini sibuk banget. Saya transfernya besok aja ya sekalian berangkat kerja?" Tidak perlu bertanya sama sekali, Ayuna sudah mengetahui tujuan orang ini apa. Tentu saja untuk menagih hutang.
"Bilang langsung sama bos gue noh, udah nungguin lo dari setengah jam yang lalu noh di dalem sana. Buruan masuk." Kedua netra Ayuna langsung membola begitu saja kala mendengar hal itu.
Bos yang pria maksud ini adalah Braga, orang yang telah dipinjami uangnya selama ini. Dan pada orang itulah Ayuna akan mengirimkan sebagian besar gajinya setiap bulan.
Karena tak ingin mendapatkan perlakuan yang kasar, Ayuna lantas langsung memasuki kendaraan beroda empat itu dengan tubuh yang luar biasa bergetar. Ia sangat ketakutan sekarang.
"P-pak, maaf saya lupa buat transfer buat yang bulan ini. Tapi saya janji bakalan transfer besok sebelum berangkat kerja." Bahkan saat pertama kali mengeluarkan suaranya, Ayuna tergagap.
"Saya nggak mau terima cicilan lagi, Ayuna. Jadi besok kamu harus transfer semua sisanya secara kontan ke rekening saya." Ketakutan yang semula Ayuna rasakan kini berganti sudah menjadi keterkejutan sampai kedua bola matanya membelalak dengan sangat lebar.
"Tapi saya nggak punya uang sebanyak itu, Pak." Sungguh, rasanya Ayuna ingin menangis saat ini juga. Ia benar-benar merasa tertekan sekarang.
"Ya mana saya peduli, itu urusan kamu sendiri. Saya nggak mau tau, pokoknya kamu nggak boleh mencicilnya lagi." Braga pun terlihat tidak mempedulikan rasa takut yang ada pada diri Ayuna sama sekali.
Pria itu malah asik mengisap lintingan nikotin yang ia apit di antara jari telunjuk dan juga jari tengahnya, Braga juga menghembuskan asap dari rokoknya itu tepat di wajah Ayuna.
Bagaimana ini? Dimana Ayuna bisa mencari uang sebanyak lima ratus juta dalam satu malam saja? Memikirkannya saja sudah membuat kepalanya sakit.
"Apa saya boleh minta waktu tambahan, Pak? Satu tahun, saya bu—"
"Satu bulan, kamu harus sudah mengembalikan uang itu kepada saya. Kalau kamu tidak bisa juga, siap-siap untuk menikah dengan saya setelahnya." Seringaian penuh kemenangan Braga tunjukkan, ia benar-benar tidak peduli dengan ketakutan yang tengah Ayuna rasakan kini.
"Sudah keluar sana, kamu ini membuang waktu saya yang berharga saja." Kalimat itu Braga tujukan pada Ayuna yang masih setia mengatupkan kedua bilah bibirnya.
"Lo nggak tuli kan? Buruan elah keluar, gue juga mau pulang kali." Tubuh Ayuna ditarik dengan paksa oleh si pria bertato sehingga ia mau tak mau keluar dari ruangan sempit itu.
Kini hanya tinggal Ayuna seorang diri di tepi jalan dekat dengan kostannya. Ia tidak tahu harus memberikan respon seperti apa setelah kejadian yang barusan itu.
Ingin menangis pun rasanya ia tidak bisa melakukannya meskipun hatinya luar biasa sedih malam ini.
Dimana? Dimana Ayuna bisa menemukan uang lima ratus juta dalam waktu satu bulan? Bahkan dalam waktu satu tahun saja Ayuna belum tentu bisa mendapatkannya.
Pagi yang tenang dengan cuaca dan udara yang sangat sejuk membuat seorang wanita nampak memejamkan kedua netranya. Sebuah Ipad yang ada di atas pangkuannya kontan terabaikan begitu saja.
Meskipun sedang duduk di ruangan makan yang luas nan besar seorang diri, namun tak membuatnya mati kebosanan sama sekali. Bahkan sampai kedua kelopak matanya kembali terbuka.
Ini adalah kebiasaan baru yang telah Lara lakukan selama beberapa hari ke belakang. Kalau kata Lara, kalau ia sedang melakukan hal itu berarti ia sedang bersyukur karena masih bisa hidup.
"Oke, ayo lanjutin bacaan yang semalam." Kini perhatiannya tertuju pada benda berbentuk persegi panjang dengan layar datang itu. Jemarinya mulai menari di atas layar sana guna mencari sesuatu.
Bukan untuk menyelesaikan pekerjaannya, Lara hanya sedang membaca salah satu jurnal yang diunduhnya semalam. Lara juga terlihat membaca kalimat demi kalimat yang ada di sana dengan begitu fokus seolah takut ada satu kata yang terlewat.
"Good morning, istri cantikku." Lara hampir saja menjatuhkan Ipadnya sendiri saat mendapatkan sapaan dan juga kecupan selamat pagi di pipi kanannya. Ia hanya terlalu terkejut.
"Ih jahil banget deh." Rengekan itu malah membuat si pelaku yang tidak lain adalah suaminya sendiri terkekeh begitu puas.
"Lagi baca apa sih? Kok fokus banget gitu sampai nggak tau kalau aku datang." Bukannya duduk di kursi yang memang biasa ia duduki, Ibra malah tengah sibuk memeluk tubuh kurus Lara dari arah belakang.
Kehadiran Ibra di sana sebenarnya membuat Lara sedikit panik sehingga ia langsung mematikan layar dari benda itu, jangan sampai Ibra melihat apa yang sedang Lara baca sejak tadi.
"Kaya anak kecil ah kamu kepo-kepo gitu. Udah ah duduk sana, bentar lagi makanannya jadi." Tak ada penolakan yang Ibra berikan, kepalanya hanya mengangguk dengan patuh sebelum akhirnya berjalan menuju singgasananya.
Benar seperti yang telah Lara katakan sebelumnya. Tak lama setelah Ibra mendaratkan bokongnya di atas kursi yang empuk, beberapa orang pelayan datang dan siap menyajikan makanan untuk mereka berdua.
Untung saja tadi Lara bisa dengan cepat mematikan Ipad itu, kalau tidak bisa saja ia dan Ibra malah adu mulut di pagi yang indah ini.
Tadi itu Lara sedang membaca sebuah jurnal mengenai Ibu pengganti yang mana ia tidak ingin kalau Ibra mengetahuinya.
Memangnya kenapa Lara harus sampai membaca jurnal itu? Jawabannya tentu saja karena Lara membutuhkannya untuk lebih menyakinkan diri untuk menggunakan cara itu agar dirinya dan Ibra bisa memiliki keturunan.
Lara tidak bisa lagi mengandung untuk saat ini dan ke depannya. Jangankan mengandung, untuk bisa beraktivitas dengan normal saja sudah sangat sulit Lara lakukan saat ini. Dan Ibu pengganti adalah hal yang ingin sekali Lara coba.
"Sayang? Hey, masih pagi tapi kamunya udah ngelamun aja." Tubuh Lara tentu saja terlonjak karena mendapatkan sentuhan yang begitu mendadak dari Ibra.
Lihatlah, suaminya ini bahkan sampai rela harus berjalan ke arahnya hanya agar Lara tak lagi melamun dan mereka bisa mulai sarapan bersama.
"Makan dulu ya, setelah itu minum obat." Karena tidak ingin membuat Ibra menjadi curiga, Lara hanya mengangguk lalu mulai meraih sendok dan garpu miliknya sendiri.
Sama seperti hari biasanya, suasana ruang makan yang hanya diisi oleh dua orang itu terasa begitu sunyi. Yang terdengar hanyalah suara sendok dan garpu yang saling beradu dengan permukaan piring.
"Makasih, Mas." Lara tak lupa menyunggingkan senyuman terbaik yang ia miliki setelah menerima beberapa butir obat dari Ibra.
"Aku berangkat dulu ya? Kalau ada apa-apa langsung kabarin aku." Ada banyak sekali kecupan yang Lara dapatkan di sekujur wajahnya dari Ibra. Hal ini pun setiap harinya terjadi di rumah mereka.
"Hati-hati ya, Mas sayang." Senang sekali rasanya hati Ibra meskipun Lara hanya mengatakan kalimat ringan itu.
Tak adalagi yang terjadi selanjutnya karena Ibra sudah berangkat bersama dengan sekretaris pribadinya yang baru saja tiba beberapa waktu yang lalu.
Tinggallah Lara seorang diri di rumahnya yang begitu megah ini tanpa bisa melakukan kegiatan apapun dikarenakan fisiknya yang semakin melemah.
......................
"Aku bosan di rumah, Farah. Ayo kita jalan-jalan di taman." Suara buku yang tebal yang ditutup terdengar di ruangan yang sunyi ini, lalu setelahnya disusul oleh suara Lara yang sangat kentara kalau ia sedang merasa bosan.
"Kita jalan-jalannya di taman belakang saja, Nyonya. Tuan Ibra tentu tidak akan memberikan izin jika Nyonya ingin keluar dari rumah." Wajah Lara yang tadinya menampakkan senyuman lebar, kini malah menunjukkan raut sedih. Ia tidak suka kalau keinginannya dibantah.
"Ya jangan kasih tau Mas Ibra lah, gitu aja kok repot sih. Udah sana kamu minta Pak Marni buat siapin mobil, aku mau ganti pakaian dulu." Lara tahu dengan jelas kalau Farah pasti akan kembali menentang dirinya, jadi ia memilih untuk kabur saja. Kalau dengan cara ini sudah dijamin seratus persen kalau Farah pasti akan menyanggupinya.
Lantas bisa apa Farah selain menggelengkan kepalanya setelah melihat sang atasan pergi berlalu dari hadapannya. Mungkin setelah ini Farah akan mendapatkan amukan dari Ibra karena tak memberitahukan tentang rencananya Lara hari ini.
Hanya membutuhkan waktu dua puluh menit dan sekarang Lara sudah siap dengan penampilan yang jauh lebih baik. Wajah pucatnya juga sudah ia poles dengan make up karena ia tidak ingin terlihat seperti wanita pesakitan, ya meskipun memang seperti itu kenyataannya.
Sesuai dengan apa yang Farah inginkan, mobil mewahnya berhenti pada salah satu taman yang tidak terlalu ramai karena ini memang bukan akhir pekan.
"Udah, kamu tunggu di sini aja nggak usah ikut sama aku. Cuma mau jalan-jalan sebentar kok, bukannya mau kabur." Bibir merah muda itu sempat berdecak dengan keras karena Farah yang enggan meninggalkannya seorang diri.
"Tapi Nyonya, saya ha—"
"Nggak apa-apa, Farah. Aku bisa sendiri kok, beneran deh." Setelah mengatakan hal itu, Lara bergegas pergi dari sana meninggalkan Farah yang lagi-lagi hanya bisa pasrah.
Untungnya siang ini tidak terlalu terik sehingga Lara bisa menikmati waktunya seorang diri dengan lebih nyaman.
Kalau sudah sendirian seperti ini, pasti kepala Lara sedang memikirkan banyak hal. Namun kali ini pikirannya hanya terfokus pada satu hal, yaitu Ibu pengganti.
Lara memang belum meberitahukan pada Ibra tentang rencananya yang satu ini karena ia pun yakin kalau suaminya itu pasti akan menolak dengan keras.
Tadinya Lara ingin meminta Ibra untuk menikah lagi agar suaminya itu bisa memiliki keturunan. Namun ternyata di keyakinan yang ia dan Ibra anut saat ini, seorang lelaki dilarang menikah dua kali. Apalagi kalau istrinya masih dinyatakan hidup.
Pilihan lainnya adalah mengadopsi anak dari panti asuhan, namun Lara tidak mau menggunakan cara yang seperti itu.
Lara hanya ingin anak yang berasal dari suaminya sendiri dan itu hanya bisa dilakukan dengan cara Ibra yang menikah lagi atau Ibu pengganti.
Karena pilihan yang pertama tak bisa direalisasikan, pilihan kedua pun Lara tak mau melakukannya. Maka tidak ada cara lain selain mencari Ibu pengganti untuk anaknya nanti.
Andai saja Lara tidak harus menerima takdir kalau saat ini dirinya tidak bisa mengandung karena penyakit kanker rahim yang sedang ia idap, pasti saat ini ia sudah bisa menimang seorang bayi kecil yang menggemaskan.
"Aduh!" Tubuh Lara tiba-tiba saja terjerembab ke atas jalanan taman yang tidak rata sama sekali.
Bukan. Lara bukannya tersandung batu atau apapun itu, melainkan kedua kakinya tiba-tiba saja melemah dengan sendirinya dan hal ini terjadi karena penyakit yang ia derita.
"Mbanya nggak apa-apa?" Saat Lara sedang berusaha bangkit, seorang gadis mendatanginya dengan wajah yang begitu panik.
"Mba bisa jalan nggak?" Pertanyaan itu Lara jawab dengan gelengan pelan karena kakinya benar-benar tidak bisa ia gerakkan sama sekali.
"Aduh maaf Mba, tapi saya juga nggak sanggup kalau gendong Mba." Bisa-bisa Lara malah dibuat salah fokus dengan wajah cantik dari gadis yang telah menolongnya ini.
Gadis ini seperti malaikat penolong yang Tuhan kirimkan untuk Lara di masa terpuruknya. Tidak hanya wajahnya saja yang begitu cantik dan manis, namun hatinya pun sangat cantik.
Lihat saja, sekarang ia nampak begitu panik sekaligus merasa bersalah karena tidak bisa memberikan pertolongan pada Lara yang masih terduduk di bawah sana. Lara jadi merasa terharu dibuatnya.
"Ay." Panggilan yang terdengar pelan itu nyatanya tak berhasil membuat lawan bicaranya tersadar dari lamunan.
"Ayuna Tanisha." Sang empu nama baru menoleh kala namanya dipanggil dengan sangat lengkap. Wajah cantiknya pun terlihat begitu panik entah karena apa.
"Lo lagi kenapa sih Ay sampe nggak fokus gitu?" Jika ditanya apakah lawan bicara Ayuna ini kesal atau tidak, tentu ia akan menjawab 'ya' dengan sangat lantang.
Pasalnya Dhea sangat jarang menemukan Ayuna yang tidak bersemangat sekaligus kehilangan fokus seperti saat ini.
"Permisi, Mba." Sepertinya Ayuna harus berterima kasih pada pelayan yang baru saja tiba sembari membawa pesanan mereka berdua karena telah menyelamatkannya dari pertanyaan Dhea barusan.
"Kita makan dulu ya, nanti setelah makan aku cerita deh ke kamu. Janji." Yasudah lah, kali ini Dhea akan membiarkannya karena ia pun tahu kalau sahabatnya ini tidak akan pernah ingkar janji sama sekali.
Berakhir dengan keduanya yang mulai menyantap makan siang dalam keadaan diam sepenuhnya dan yang terdengar hanyalah suara beberapa pelanggan lainnya di sekitar mereka berdua.
Ayuna memang sedang menyantap makanannya, namun kepalanya sedang begitu berisik menyusun kalimat yang nantinya akan ia tumpahkan pada Dhea.
Apalagi kalau bukan mengenai hutang almarhum Ayahnya yang harus segera dilunasi bulan ini juga. Ayuna juga sudah tahu pasti Dhea akan marah padanya karena ia baru memberitahukannya saat ini.
"Jadi?" Ayolah, bahkan Ayuna baru saja meletakkan sendok dan garpunya di atas piring yang sudah kosong. Minumannya pun belum tersentuh sedikit pun, tetapi ia sudah ditodong saja.
"Masalah hutangnya Ayah." Hanya itu yang Ayuna ucapkan sebagai pembuka kalimat karena setelahnya ia memilih untuk menenggak minumannya terlebih dahulu.
"Lo telat bayar lagi?" Gelengan pelan langsung Ayuna berikan meskipun ia masih sibuk dengan minuman segarnya.
"Bukan, Pak Braga minta aku buat lunasin semuanya dalam waktu satu bulan." Ayuna sudah mengetahui kalau respon seperti inilah yang akan ia lihat dari Dhea.
Kedua mata sahabatnya itu langsung melebar dengan mulut yang terbuka dengan tak kalah lebarnya. Maklum saja, sahabatnya Ayuna ini memang sangat berlebihan.
"Berapaan, Ay?" Sebenarnya Ayuna merasa ragu apakah ia harus memberitahukan nominalnya pada Dhea atau tidak, tapi ia juga tak mau membuat Dhe merasa lebih kesal lagi nantinya.
"Lima ratus juga lagi." Satu pukulan yang cukup keras Dhea berikan pada meja yang sedang mereka tempati saat ini sampai membuat orang-orang menoleh ke arah mereka.
"Itu orang sinting atau gimana sih? Gila aja, gimana ceritanya dapetin uang sebanyak itu dalam waktu satu bulan." Tidak tahu, Ayuna juga kebingungan sekali karena ia tak tahu harus mencari uang sebanyak itu kemana.
"Tabungan lo pasti nggak cukup kan, Ay?" Tabungan? Bahkan Ayuna tidak memiliki tabungan sama sekali karena harus mencicil hutang yang ditinggalkan oleh Ayahnya.
"Gini aja, nanti gue bilang ke Ayah sama Bunda kalo lo la—"
"Jangan, Dhea. Aku nggak mau ngerepotin orang tua kamu, selama ini aku udah dibantuin banyak banget sama mereka." Untuk kali ini Ayuna tidak akan menerima tawaran yang Dhea berikan.
Ayuna tahu kalau keluarganya Dhea pasti memiliki uang sebanyak itu. Tetapi kalau mereka meminjamkannya pada Ayuna, ia tidak bisa mengembalikannya dalam waktu yang cepat.
"Kalo misalnya lo nggak bisa lunasin dalam waktu satu bulan, gimana?" Benar, Dhea harus mengetahui konsekuensi seperti apa yang akan Ayuna dapatkan barulah ia bisa membuat keputusan apakah ia harus memaksa sahabatnya ini atau tidak.
"Aku harus nikah sama Pak Braga." Ekspresi terkejut itu kembali Ayuna lihat dengan begitu jelasnya, mungkin yang kali ini terlihat lebih dramatis dari yang sebelumnya.
"Dih amit-amit. Udah sekarang lo terima aja bantuan dari Ayah sama Bunda gue, daripada lo harus nikah sama tua bangka yang gendut sama plontos begitu kan. Pasti mereka berdua juga mau bantu lo kok Ay, percaya sama gue." Tentu saja Ayuna mempercayai ucapan Dhea karena ia juga tahu sebaik apa kedua orang tau dari sahabatnya.
"Enggak, Dhea. Aku mau berusaha dengan caraku sendiri dulu." Tak ada yang bisa Dhea lakukan selain menghembuskan napasnya dengan begitu keras. Sahabatnya ini begitu keras kepala.
"Gini deh, kalo misal nanti lo nggak berhasil nemuin lima ratus juta itu. Lo harus datang ke gue dan terima bantuan dari Ayah sama Bunda, gue nggak terima penolakan sama sekali." Kalau Ayuna keras kepala, maka Dhea bisa lebih keras lagi. Biasanya ancaman seperti ini juga selalu berhasil ia lakukan.
"Tapi Dhe, aku ng—"
"Nggak ada tapi-tapian ya Ay, tu bibir lo lama-lama gue pelintir juga." Lihatlah, bahkan Dhea sudah siap dengan posisinya yang akan memberikan cubitan di bibir Ayuna yang hanya dipoles dengan pelembab bibir saja.
"Bilang iya nggak?" Bisa apa Ayuna selain menganggukkan kepalanya dengan luar biasa pasrah, daripada nanti ia kena marah lagi.
Tadinya Dhea masih ingin mengatakan sesuatu, namun urung karena deringan ponsel Ayuna yang menyita perhatian sang pemilik.
"Aku harus balik ke hotel sekarang, kamu nggak apa-apa kan kalau pulang sendiri?" Yang benar saja? Mereka ini seumuran loh, tapi bisa-bisanya Ayuna mengkhawatirkan Dhea layaknya anak kecil.
"Gue udah gede plis Ay. Udah sana lo balik, hati-hati jalannya jangan sambil ngelamun. Jangan sampe lupa sama apa yang gue bilang tadi pokoknya." Hanya dehaman pelan yang Ayuna berikan sebelum akhirnya gadis itu mengemas barang-barang yang dibawanya.
Untungnya tempat makan yang Dhea tentukan tidak terlalu jauh dari hotel tempat Ayuna bekerja selama ini, ia hanya perlu menempuh perjalanan selama lima belas menit menggunakan kaki pendeknya.
Tempat makan itu berada tepat di seberang taman yang juga berada di sebelah hotelnya Ayuna. Mungkin Dhea sengaja melakukannya agar Ayuna juga tidak terlalu repot dan lelah nantinya.
Sepanjang kakinya melangkah, Ayuna justru dibuat kembali teringat dengan semua ucapan Dhea yang sarat akan kekhawatiran. Kalau tahu respon seperti itu yang Dhea berikan, maka Ayuna tidak akan menceritakannya tadi.
Ayuna benar-benar tidak mau lebih banyak lagi merepotkan keluarganya Dhea. Sudah cukup masa remajanya saja, Ayuna yang sudah dewasa ini tidak boleh lagi melakukan hal yang sama seperti di masa itu.
"Aduh!" Lamunan Ayuna buyar begitu saja kala rungunya menangkap suara seseorang yang sepertinya tak terlalu jauh dari posisinya berjalan saat ini.
"Eh ya ampun." Secepat kilat ia berlari menghampiri seorang wanita yang sudah terduduk pada lintasan jalan yang ada di taman sana.
"Mbanya nggak apa-apa?" Dengan wajah yang sarat akan kekhawatiran, Ayuna bertanya pada wanita yang sedang mengaduh kesakitan itu.
"Mba bisa jalan nggak?" Pertanyaan Ayuna yang sebelumnya tak terjawab sama sekali sehingga membuatnya melontarkan pertanyaan lainnya.
Kiranya orang ini masih tak akan menjawabnya seperti tadi, tapi ternyata kepalanya menggeleng dengan pelan dan itu Ayuna anggap sebagai jawaban.
"Aduh maaf Mba, tapi saya juga nggak sanggup kalau gendong Mba." Tubuhnya Ayuna itu kecil, jadi akan sulit untuk menggendong orang ini dan ia tidak mau mengambil resiko kalau harus coba-coba.
Ayuna terlalu sibuk mengkhawatirkan wanita ini sampai ia baru sadar kalau wanita ini sangatlah cantik, wajahnya seperti artis yang sering ia lihat di televisi.
"Saya telepon asisten saya dulu." Bisa-bisanya Ayuna malah salah fokus dan jadi salah tingkah sendiri setelah mendengar suara orang yang ingin ia tolong ini.
Sudah, orang ini sudah menelepon asistennya dan sambungan telepon juga sudah diputuskan. Itu artinya yang harus Ayuna lakukan hanyalah menunggu sampai sang penolong datang.
"Saya Lara, nama kamu siapa?" Ini sedikit aneh karena orang bernama Lara ini malah ingin berkenalan dengan dirinya.
"Ayuna, Mba." Tak lupa senyuman lebar juga Ayuna berikan pada Lara sampai membuat kedua lesung pipinya muncul ke permukaan.
Setelah jabatan tangan itu terurai keduanya kembali terdiam. Lara diam karena ia sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, sedangkan Ayuna terdiam karena ia sedang resah memikirkan keterlambatannya.
Iya, Ayuna pasti terlambat tiba di hotel karena harus menunggu seperti ini. Tapi tak apalah, toh Ayuna sedang berbuat baik sekarang.
"Bu Lara." Akhirnya orang yang sejak tadi mereka nanti tiba juga. Sama persis seperti Ayuna tadi, wajahnya juga nampak begitu khawatir.
Orang yang Lara katakan sebagai asistennya ini datang bersama dengan seorang pria paruh baya yang tidak bisa Ayuna tebak siapa tapi yang pasti dia juga orang yang bekerja untuk Lara.
"Kalau gitu saya pamit duluan ya Mba Lara, soalnya harus buru-buru balik kerja. Saya duluan Mba." Tidak ada waktu lagi, Ayuna harus segera pergi.
"Farah, cari tau tentang anak itu. Namanya Ayuna." Tanpa Ayuna ketahui sama sekali kalau dirinya berhasil menarik minat dari seorang Lara sampai-sampai ia meminta Farah untuk mencari tahu mengenai dirinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!