"Menikahlah dengan suamiku."
Mata Shakila dibalik burqa melebar mendengar apa yang baru saja Zahra katakan. Ia tidak menyangka Zahra mengatakan hal tidak masuk akal seperti itu kepadanya.
Mereka tidak mengenal satu sama lain dengan baik. Zahra hanya salah satu pelanggan di butik pakaian muslim milik Shakila dan mereka juga tidak pernah saling mengenal sebelumnya.
Shakila sedikit mengenal tentang Zahra dan suaminya yang merupakan pasangan yang diidamkan banyak orang di media sosial. Tapi hanya sebatas itu yang Shakila tahu tentang mereka. Selebihnya mereka hanya mengenal sebagai pemilik butik dan pelanggan.
"Maaf?" tanya Shakila barangkali telinganya mengalami masalah pendengaran.
Rasanya tidak mungkin ada perempuan yang mau suaminya menikah lagi. Apalagi di media sosial Zahra dan suaminya dikenal sebagai keluarga yang harmonis dan saling mencintai.
Shakila tidak mengetahui banyak tentang Zahra dan suaminya. Ia hanya tahu suami Zahra -Abian Devan Sanjaya atau yang dikenal Ustadz Abian merupakan dai muda lulusan universitas Kairo, mesir.
Zahra dan Abian pasangan yang lumayan populer di kalangan anak muda dan menjadi pasangan yang diidamkan banyak orang. Karena betapa manisnya mereka sebagai pasangan suami istri.
Zahra perempuan bercadar yang hanya memperlihatkan kecantikannya pada suaminya, Abian laki-laki yang selalu menjaga pandangannya dari perempuan lain selain istrinya. Sangat pantas jika mereka menjadi idaman banyak orang.
Sungguh tidak masuk akal jika sekarang Zahra tiba-tiba meminta Shakila menikahi suaminya. Tidak ada perempuan yang mau dimadu dan sebagai sesama perempuan Shakila sangat mengetahui itu.
"Aku tahu ini gila, tapi menikahlah dengan suamiku dan jadilah ibu untuk anakku," jelas Zahra.
Shakila tidak salah dengar. Zahra serius ingin Shakila menikah dengan suaminya dan menjadi ibu untuk putrinya. Ini memang terdengar gila dan tidak masuk akal, tapi Zahra ingin Shakila menjadi penggantinya setelah dirinya tiada.
Zahra mengidap penyakit serius dan dokter menyatakan usianya sudah tidak akan lama lagi. Zahra ingin mencarikan pengganti terbaik untuk suaminya sebelum meninggal dan pilihannya ada pada Shakila.
Shakila adalah perempuan yang sangat terjaga. Tidak ada satupun foto Shakila di sosial media dan Shakila juga menutupi seluruh tubuhnya dengan pakaian syar'i lengkap dengan burqa. Tidak ada yang lebih pantas untuk suami Zahra selain Shakila.
"Usiaku mungkin tidak lama lagi, tolong bantu aku menjaga suami dan anakku setelah aku tiada," Zahra memberikan tatapan memohonnya pada Shakila.
Meski Zahra tidak bisa menatap mata Shakila, tapi Zahra tahu Shakila bisa melihat matanya. Ia berharap Shakila bisa melihat keseriusan dari matanya.
"Mohon maaf sebelumnya, tapi bukankah Anda bilang ada yang perlu Anda bicarakan?" tanya Shakila tidak tertarik mendengar apapun, kecuali obrolan antara pemilik butik dengan pelanggannya.
"Jika yang Anda maksud adalah mengatakan semua ini, lebih baik kita akhiri sampai disini," Shakila dengan tegas menolak melanjutkan obrolan mereka dan secara tidak langsung menolak menjadi istri Abian.
Shakila sudah berjanji dengan dirinya sendiri. Ia tidak akan menjadi orang ketiga dalam hubungan orang lain. Dan apapun alasannya Shakila akan tetap teguh pada pendiriannya.
"Tunggu, saya mohon," Zahra bersujud dibawah kaki Shakila saat Shakila berniat pergi.
Hal itu tanpa sengaja disaksikan oleh Abian yang ingin memberitahu Zahra bahwa anak mereka ingin bersama ummanya.
"Sayang, apa yang terjadi?" tanya Abian bingung melihat Zahra bersujud dibawah kaki Shakila.
Abian sudah mencoba mengetuk pintu berkali-kali, tapi baik Shakila maupun Zahra tidak ada yang mendengarnya. Sehingga Abian langsung membuka pintu ruangan Shakila dan menyaksikan semuanya.
"Mas, kamu keluar dulu. Aku ingin memohon pada Shakila untuk menikah denganmu," ucap Zahra sambil terus bersujud dibawah kaki Shakila.
Zahra berharap setelah ini Shakila mau memikirkan ulang permintaannya dan bersedia menjadi istri kedua suaminya.
"Apa yang kamu bicarakan?" Abian terkejut bukan main mengetahui itu, tapi Ia berusaha untuk tenang dengan menutup pintu ruangan Shakila supaya tidak ada gosip yang tidak-tidak tentang mereka.
Abian menitipkan putrinya pada pelayan butik Shakila karena tidak ingin putri kesayangannya melihat apa yang sedang terjadi dengan ummanya.
"Sayang, apa maksudnya ini? kenapa kamu meminta perempuan lain menikah dengan mas?" Abian bertanya dengan lembut sambil mendekati Zahra dan berniat membantu Zahra berdiri.
"Ini satu-satunya hal yang bisa aku lakukan sebelum aku meninggal, mas. Tolong jangan halangi aku," ucap Zahra masih tetap bersujud dibawah kaki Shakila.
Shakila yang menyaksikan hal itu merasa tidak tega, tapi Ia juga tidak mungkin menjadi orang ketiga dalam pernikahan orang lain. Hati nuraninya tidak mengizinkannya.
"Kamu tidak akan pergi kemana-mana, kamu akan sembuh, sayang. Mas akan mengusahakan kesembuhanmu," ucap Abian masih berusaha membantu Zahra berdiri, tapi Zahra tetap tidak mau bangun.
Tubuh Shakila dibalik pakaian bergetar hebat, Ia merasa berdosa sudah membuat hamba Allah bersujud dibawah kakinya. Tapi Ia juga tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Ia tidak mungkin dan tidak mau menikah dengan suami orang.
"Kemungkinan aku bisa bertahan hanya sedikit, mas. Aku bahkan tidak tahu apakah aku masih bisa melihat matahari besok pagi," Zahra terisak dibawah kaki Shakila.
Abian menatap Shakila yang terdiam kaku di tempatnya. Abian tidak bisa melihat raut wajah Shakila karena tertutup kain, tapi Ia yakin Shakila pasti merasa tidak nyaman sekarang.
"Maaf, istri saya sedang kacau sekarang," ucap Abian pada Shakila.
Abian masih berusaha membantu Zahra berdiri, namun hasilnya nihil. Zahra masih terus bersujud dibawah kaki Shakila dan masih berharap Shakila mau menikah dengan suaminya.
Mata Shakila dari balik burqa terpejam sebentar, Ia berusaha mengontrol sesuatu dalam dirinya yang seolah ingin berontak atas apa yang sedang terjadi.
"Bangunlah, saya bukan Allah yang pantas untuk mendapat sujud Anda," ucap Shakila sambil merendahkan tubuhnya untuk membantu Zahra berdiri.
Shakila sangat mengerti kekacauan dalam hati Zahra, tapi sebagai hamba Allah tidak seharusnya Zahra bersujud pada manusia. Apalagi Shakila hanya wanita penuh dosa yang jauh dari kata baik.
Pakaian syar'i dan burqa yang Shakila kenakan hanya bentuk cintanya terhadap Baginda Rasulullah SAW yang sudah berjuang untuk kaum perempuan. Bukan karena Shakila perempuan baik ataupun suci.
"Saya minta maaf tidak bisa memenuhi permintaan Anda. Saya tidak mungkin menikah dengan pria beristri," tegasnya berharap Zahra mengerti.
"Cobalah mengenal suamiku, kamu pasti akan mencintainya," Zahra masih berusaha membujuk Shakila supaya mau menikah dengan Abian.
Zahra tidak tahu kapan ajalnya tiba. Ia ingin melihat suaminya menikahi Shakila sebelum kematiannya.
"Sayang!" Abian yang tidak setuju melakukan protes, tapi sayangnya Zahra tidak menghiraukannya.
"Setelah aku meninggal, suamiku akan menjadi milikmu seutuhnya," ucap Zahra lagi.
Shakila yang mendengar itu mengambil nafas sejenak dan membuangnya perlahan sebelum bicara.
"Jangan putus asa dengan rahmat Allah. Anda mungkin sedang sakit sekarang, tapi yakinlah bahwa Allah mampu menyembuhkan segala macam penyakit."
Suara sirine ambulan terdengar. Zahra tiba-tiba drop dan harus dilarikan ke rumah sakit. Shakila yang merasa bertanggungjawab atas apa yang terjadi dengan Zahra ikut ke rumah sakit menaiki mobilnya.
"Sayang, mas mohon bertahanlah," ucap Abian pada Zahra sambil berjalan mengikuti Zahra yang dibawa oleh beberapa perawat menuju sebuah ruangan.
Satu tangan Abian menggenggam tangan Zahra untuk memberikan semangat pada istrinya yang sedang berjuang dengan penyakitnya, sementara tangan yang lain menggendong putri kecil mereka.
Melihat anak kecil dalam gendongan Abian membuat Shakila merasa iba. Pasti tidak mudah jika Zahra harus meninggalkan anak sekecil itu.
Tapi, disisi lain Shakila juga meyakini bahwa tidak ada yang tahu kematian seseorang. Dokter mungkin bisa memberikan vonis, memprediksi kematian seseorang, selebihnya rahasia Allah SWT.
"Dokter, tolong lakukan sesuatu untuk istri saya. Tolong selamatkan istri saya," ucap Abian pada dokter yang akan menangani Zahra.
Shakila dan semua orang yang ada disana bisa melihat begitu besar cinta Abian terhadap Zahra. Entah apa yang ada dipikiran Zahra sampai meminta perempuan lain menikahi laki-laki yang sangat mencintainya itu.
Jika Shakila yang berada diposisi Zahra, Shakila tidak akan mau membiarkan suaminya menikah lagi. Ia ingin suaminya hanya untuknya dan hanya mencintainya seumur hidup mereka.
"Kami akan melakukan yang terbaik yang kami bisa untuk istri Anda," ucap dokter sebelum akhirnya pintu ruang ICU tertutup dengan Zahra dan para petugas rumah sakit di dalamnya.
Shakila tidak berani mendekat kesana karena bagaimanapun Ia hanya orang asing dan tidak memiliki hubungan apapun dengan Abian maupun Zahra. Keberadaan Shakila disana hanya untuk memastikan Zahra baik-baik saja.
"Mas Abian," seorang gadis memanggil nama Abian dan berlarian menghampiri Abian.
Shakila melihat gadis itu datang bersama pemuda yang wajahnya mirip sekali dengan Abian. Sepertinya pemuda itu masih memiliki darah yang sama dengan Abian. Mungkin saudara kandung Abian.
"Bagaimana keadaan mba Zahra, mas? apa mba Zahra baik-baik saja?" tanya si gadis. Terlihat jelas raut khawatir diwajahnya.
"Mas tidak tahu. Sekarang Zahra sedang diperiksa oleh dokter," jawab Abian.
Laki-laki yang dari tadi berusaha terlihat kuat itu kini terduduk lemas di kursi depan ruang ICU. Anak kecil yang ada digendongannya juga sudah berpindah tangan dan tidak lagi digendong olehnya.
"Yang sabar, mas. Mba Zahra pasti baik-baik saja," ucap laki-laki yang wajahnya mirip dengan Abian yang kini sedang menggendong anak Abian.
Shakila tidak berbohong. Wajah Abian dengan laki-laki yang menggendong anak Abian sekarang terlihat sangat mirip, bak pinang dibelah dua.
"Iya, mas. Mba Zahra pasti baik-baik saja. Mas berdoa saja pada gusti Allah," timpal gadis yang sedang bersama mereka.
Jika diperhatikan dengan seksama, gadis itu juga mirip dengan Abian. Sepertinya mereka bertiga bersaudara. Shakila tidak tahu karena memang tidak pernah mencari tahu tentang Abian meskipun Abian lumayan populer di sosial media.
Shakila mengenal Abian dan Zahra juga karena ada orang yang memposting tentang mereka di sosial media dan tidak sengaja lewat di berandanya.
Allaahu Akbar, Allaahu Akbar
Suara Adzan berkumandang mengalihkan atensi Shakila dari ketiga orang di depan sana. Shakila mengkhawatirkan Zahra, tapi Allah menyerunya untuk segera melaksakan salat Zuhur.
"Aku salat dulu deh," Shakila pergi dari tempat itu mencari tempat untuk salat.
Beruntung Shakila tinggal di negara yang mayoritas penduduknya beragama islam, bukan hal sulit baginya menemukan tempat untuk salat. Di rumah sakit atau tempat manapun kebanyakan menyediakan ruangan untuk para umat islam salat.
"Allahu Akbar," Setelah berwudhu dan membaca niat salat zuhur, Shakila mulai melaksanakan salat.
Rangkaian demi rangkaian salat Shakila lakukan sesuai dengan yang agamanya ajarkan. Berhubung Shakila salat di tempat umum yang bisa saja didatangi oleh laki-laki, Shakila salat masih dengan burqanya.
"Assalammualaikum wa rahmatullah, assalammualaikum wa rahmatullah," Shakila sampai dirangkaikan terakhir salatnya kemudian melanjutkannya dengan beristighfar dan berdzikir kepada Allah SWT.
Shakila hanya gadis lulusan tsanawiyah, ilmu agamanya masih sangat sedikit. Saking sedikit ilmunya Ia pernah meninggalkan salat hanya demi pekerjaannya. Tapi sekarang Ia merubah dirinya dan menyempatkan lebih banyak waktu untuk Tuhannya, Allah SWT.
Sebagai manusia biasa Shakila sering kali khilaf dan melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam agamanya, maka dari itu Shakila memperbanyak beristighfar untuk memohon ampunan. Shakila juga tidak lupa berdzikir untuk memuji kebesaran Allah.
Setelah beristighfar, berdzikir dan ditutup dengan bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW, Shakila mengangkat kedua tangannya untuk berdoa memohon ampuan dan memohon keselamatan kepada Allah SWT.
"Aminn Ya Rabbal Alamin," Shakila mengusap wajahnya dengan kedua tangannya setelah melangitkan doa-doanya. Baru setelah itu Shakila beranjak dan berniat melihat keadaan Zahra.
"Semoga mba Zahra sudah sadarkan diri," gumamnya dalam hati sambil berjalan keluar dari mushola.
Tepat saat Shakila baru keluar dari mushola, Shakila tanpa sengaja berpapasan dengan laki-laki yang mirip sekali dengan Abian.
"Maaf," ucap laki-laki tersebut karena mereka hampir saja saling bertabrakan.
Shakila hanya mengangguk sebagai respon sebelum akhirnya pergi dari sana. Ia buru-buru pergi karena kebetulan disana hanya ada mereka berdua. Takut dilihat orang dan menjadi fitnah.
"Kak Adam, jangan lama-lama salatnya," ucap seorang gadis sambil menggendong anak Abian.
Ternyata Shakila salah, laki-laki yang mirip dengan Abian tidak datang sendiri. Ada saudara perempuannya dan anak Abian juga. Tapi Shakila harus tetap segera pergi dari sana.
"Iya, Adiba. Emang berapa lama sih salat zuhur?"
"Ya siapa tahu aja kak Adam gabut baca surat Al-Baqarah. Inget, kita harus cepet bawa Khansa pulang ke rumah."
"Iya, bawel banget sih."
Shakila hanya mendengar obrolan mereka samar-samar karena jarak diantara mereka. Shakila tidak berniat menguping, telinganya yang tidak sengaja mendengarkan semuanya.
Saat Shakila hampir dekat dengan ruang ICU, Shakila tidak melihat siapapun disana. Abian sudah pergi, dan Shakila tidak tahu apakah Zahra masih di ruang ICU atau sudah dipindahkan ke ruangan lain.
"Kemana Ustad Abian?" gumam Shakila sambil mencari kesana kemari barangkali ada Abian di sekitar sana.
"Sudah pulang kali ya? apa aku kelamaan salat?"
Karena Shakila tidak bisa menemukan siapapun disana, Ia berniat kembali ke butik. Tapi sebuah suara yang entah berasal dari mana datangnya menghentikannya.
"Shakila," panggil seseorang dari arah belakang tubuh Shakila.
Shakila berbalik dan melihat Abian yang baru keluar dari ruang ICU tempat Zahra ditangani dokter.
"Istri saya sudah sadar dan ingin bicara dengan Anda, bisa masuk sebentar?" tanya Abian.
Abian tahu Shakila mengikutinya dari butik sampai ke rumah sakit, jadi Ia tahu perempuan dengan burqa di depannya adalah Shakila.
"Apa tidak apa-apa aku kesana? apa lagi yang ingin mba Zahra bicara denganku?"
Melihat Shakila berdiam diri di tempatnya, Abian langsung memahami sesuatu.
"Saya tidak tahu apa yang ingin istri saya bicarakan, tapi jika berkenan tolong temui istri saya walau hanya sebentar," kalimat halus itu berhasil meluluhkan Shakila dan membuat Shakila mengiyakannya.
"Baiklah, saya akan bicara dengan istri Anda," ucap Shakila setuju menemui Zahra.
Selain karena Zahra ingin membicarakan sesuatu dengannya, Shakila juga ingin melihat keadaan Zahra dan ingin melihat separah apa sebenarnya penyakit yang diderita oleh wanita itu.
Shakila tidak bermaksud apa-apa saat meminta Zahra untuk tidak berputus asa dengan rahmat Allah SWT. Ia sadar ilmunya masih jauh lebih sedikit dibandingkan Zahra yang sudah mendalami ilmu agama.
Tujuan Shakila hanya supaya Zahra berhenti berpikir untuk menjadikan Shakila istri kedua Abian. Karena Shakila yakin Zahra bisa sembuh jika berikhtiar dan berdoa kepada Allah SWT.
Shakila pikir hanya akan bicara berdua dengan Zahra. Tapi ternyata Abian ikut masuk dan ikut terlibat dengan pembicaraan mereka.
"Duduklah disini, Shakila," Zahra melirik kearah kursi yang ada disamping ranjangnya, meminta Shakila untuk duduk di kursi itu.
Shakila langsung menuruti permintaan Zahra dan duduk disana, "bagaimana keadaan Anda, mba?"
Shakila tidak bermaksud sok akrab. Ia memanggil Zahra dengan embel-embel mba hanya sebagai rasa hormatnya terhadap Zahra.
"Alhamdulillah, aku sudah baikan. Maaf sudah membuat keributan di butik kamu," Zahra memegangi kedua tangan Shakila dan tersenyum tulus dibalik cadar yang dikenakannya.
Zahra bisa bersikap seperti itu pada orang yang baru ditemuinya hari ini karena mereka berdua sesama umat muslim, penganut agama islam. Dalam agama mereka, sesama umat muslim bersaudara tanpa mengenal suku ataupun ras.
"Tidak apa-apa, mba. Alhamdulillah kalau mba sudah merasa baikan. Saya ikut senang mendengarnya," Shakila mengusap lengan Zahra. Berharap hal itu dapat memberikan semangat untuk Zahra yang sedang berjuang dengan penyakitnya.
Shakila ingin menanyakan penyakit apa yang Zahra derita, tapi Ia tidak memiliki keberanian untuk itu. Lagipula, Shakila tidak memiliki hak untuk bertanya.
Zahra kembali tersenyum. Tidak lupa Zahra juga mengucapkan terimakasihnya untuk Shakila, "terimakasih ya."
Zahra tidak salah menilai orang. Perempuan yang tidak pernah memposting dirinya dan hanya memposting kutipan-kutipan untuk mempromosikan novelnya di sosial media ini adalah perempuan yang baik.
Zahra tidak mungkin gegabah ingin menikahkan suaminya dengan perempuan lain. Sebelum meminta Shakila menikah dengan suaminya, Zahra sudah lebih dulu mencari tahu tentang Shakila di sosial media.
Shakila Anara Ainur adalah penulis novel bertema islami yang karyanya berhasil menyentuh hati para pembacanya. Banyak yang penasaran dengan wajah Shakila, tapi Shakila tidak pernah menunjukkan wajahnya di sosial media manapun.
Zahra salah satu orang yang mengagumi karya Shakila, dan kekaguman Zahra bertambah setelah Zahra tahu bahwa Shakila gadis yang mengenakan burqa sekaligus pemilik butik langganannya.
"Shakila..." Zahra memanggil nama Shakila dengan lembut sambil menatap kain yang menutupi seluruh wajah Shakila.
"Maaf jika permintaanku tadi terlalu tiba-tiba dan mengejutkanmu."
Shakila hanya diam mendengarkan apa yang ingin Zahra katakan selanjutnya padanya.
"Tapi aku sangat berharap kamu bisa mempertimbangkan permintaanku untuk menikah dengan suamiku," Zahra melirik sebentar Abian sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Aku bukan berputus asa dengan rahmat Allah, aku hanya ingin melakukan persiapan atas segala kemungkinan yang akan terjadi. Aku tidak ingin putriku kehilangan sosok ummanya setelah aku meninggal nanti."
Shakila masih setia menyimak apa yang Zahra katakan kepadanya meskipun telinganya kurang berkenan untuk mendengarkannya.
Meskipun dengan ilmu agamanya yang masih sangat sedikit, etikanya saat bicara dengan orang lain terlihat cukup baik. Shakila tidak pernah menyela ucapan orang lain, dan hanya akan bicara jika memang dirinya diperlukan untuk berbicara.
"Mas Abian," Zahra kali ini memanggil nama suaminya.
Abian yang dipanggil langsung mendekat tanpa mengatakan apapun.
"Mas mau kan menikah lagi?" tanya Zahra memegang tangan kiri Abian.
"Sayang..." Abian berkata lirih.
Abian ingin dengan tegas mengatakan bahwa dirinya tidak mau dan tidak berniat menikah lagi, tapi takut ucapannya nanti membuat Zahra kembali drop.
"Tolong beri saya waktu untuk berpikir," ucap Shakila pada akhirnya.
Shakila tidak berniat menikah dengan Abian, tapi Ia berharap itu bisa membuat Zahra lebih tenang dan bisa lebih fokus dengan kesembuhannya.
Orang sakit tidak boleh banyak pikiran. Akan lebih baik jika Zahra tidak memikirkan apapun selain cara untuk sembuh dari penyakitnya.
"Menikah bukan sesuatu yang bisa diputuskan dalam satu atau dua hari, saya membutuhkan waktu untuk berpikir sebelum mengambil keputusan," jelasnya.
"Baiklah, kamu bisa memikirkannya selama apapun yang kamu butuhkan. Terimakasih," Zahra tersenyum senang karena Shakila mau memikirkan tawarannya.
Baik Shakila maupun Abian tidak tega menghancurkan kebahagiaan yang tersirat dari mata Zahra. Mereka berdua diam-diam memikirkan solusi supaya tidak perlu ada pernikahan yang terjadi antara mereka.
Shakila dan Abian memiliki pemikiran yang sama dalam masalah ini. Mereka tidak ingin menikah tapi juga tidak ingin membuat Zahra kembali drop karena terus memikirkan yang akan terjadi ke depannya.
Setelah obrolan singkat itu, Shakila memutuskan pulang ke rumahnya. Shakila sebenarnya jarang berada di butik, Ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah untuk menulis novel bertema islami.
Shakila pernah bermimpi menjadi ustazah, tapi impiannya tidak terwujud karena masalah ekonomi dalam keluarganya. Sekarang, Shakila menggunakan kemampuannya dalam menulis novel untuk menyampaikan banyak hal tentang agamanya.
Bisa dibilang Shakila memperdalam ilmu agamanya sambil menyampaikan hal yang Ia pelajari ke dalam novel, supaya yang Ia pelajari tidak sia-sia dan berguna untuk banyak orang.
"Assalamu'alaikum," Shakila mengucapkan salam sambil memasuki rumah sederhanya.
Shakila hanya tinggal sendiri di rumah itu. Orang tua serta saudaranya berada jauh di desa. Shakila memutuskan tinggal sendirian di Bandung karena sudah lelah dengan segala hal yang terjadi dalam keluarganya.
Selain kekurangan ekonomi, Shakila mengalami banyak hal tidak menyenangkan dalam keluarganya. Pernah menyaksikan ibunya mengalami kekerasan dalam rumah tangga, ayahnya berselingkuh dan masih banyak hal tidak menyenangkan yang terjadi.
"Sebentar lagi ashar, sebaiknya aku mandi dulu," ucap Shakila sambil berjalan kearah kamarnya.
Shakila selalu berusaha salat di awal waktu sejak mengetahui kutipan, "bukan kamu yang malas salat, Allah yang tidak mau bertemu kamu."
Shakila bertekad jika Allah tidak mau bertemu dengannya, maka Ia akan lebih sering menunjukkan wajahnya untuk menghadap Allah.
Shakila ingin menjadi manusia yang haus akan cinta Allah sehingga Ia tidak butuh lagi cinta dari manusia lain yang sifatnya hanya sementara.
Dalam salat ashar kali ini Shakila mengubah doanya, Ia menyelipkan doa tentang Zahra supaya tidak salah dalam mengambil keputusan.
Shakila tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, maka dari itu Ia melibatkan Allah SWT dengan cara berdoa memohon petunjuk.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!