Terlihat, sosok gadis cantik yang masih tertidur pulas. Cahaya matahari sudah menembus ke jendela kamarnya, tapi tak membuat gadis cantik itu terbangun dari tidurnya. Seolah, ia masih betah dalam mimpinya yang sangat indah. Sampai, terdengar langkah kaki mendekati pintu kamarnya.
Tok!
Tok!
"AURORA! AURORA! BANGUN! UDAH JAM BERAPA INI!" Teriak seorang wanita dari depan kamarnya.
Gadis itu menggeliat pelan, ia merentangkan kedua tangannya dan merenggangkan otot-otot tubuhnya. Perlahan, matanya mengerjap pelan untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retinanya. Lalu, ia beranjak duduk dan menatap jam yang ada di atas nakasnya.
"Jam sembil ...." Mata gadis itu membulat sempurna saat melihat jam yang sudah menunjukkan pukul sembilan lewat lima menit.
"ASTAGA! AKU TERLAMBAAAT!" Gadis itu beranjak dari ranjang dan berlari masuk ke kamar mandi. Tak lama, dia keluar dengan bathrobe dan langsung mencari pakaiannya. Di saat dirinya sibuk mencari pakaiannya, tiba-tiba ponselnya berdering. Ia langsung mengambilnya dan mengangkatnya.
"Halo, iya bentar! Sabaaar! Aku lagi siap-siap!" Ia melempar ponselnya ke atas ranjang begitu saja dan meraih sebuah gaun putih dari dalam lemari pakaiannya.
Cklek!
Pintu terbuka, membuat gadis bernama Aurora itu terkejut dan menoleh ke arah pintu. Terlihat, seorang wanita paruh baya berjalan mendekatinya. Helaan nafas berat terdengar, ia menatap gadis di hadapannya yang terkejut akan kedatangannya.
"Jam berapa ini? Katanya ada Pentas Drama?" Tanya wanita paruh baya itu.
"Bibi, aku kesiangan. Sebentar, aku pakai dulu gaunnya. Teman-temanku menunggu di gedung acara, mereka pasti akan memarahiku jika aku terlambat. Karena acaranya jam sepuluh nanti!" Serunya.
Aurora Naomi , seorang gadis berusia sembilan belas tahun. Ia baru saja lulus dari sekolah SMA dan kini ia dan teman-temannya akan mengadakan pertunjukan sebuah Pentas Drama sebagai acara perpisahan sekolahnya. Yang nantinya akan di selenggarakan di sebuah gedung.
"Bi, aku mau pakai baju. Bisa keluar sebentar?" Ujar Aurora pada wanita paruh baya itu.
"Baiklah." Iya keluar dan menutup pintu kamar Aurora. Helen adalah istri dari paman Aurora. Ia sudah menganggap Aurora sebagai putrinya sendiri, karena sejak bayi ia lah yang merawat aurora. Ibu Aurora meninggal setelah melahirkannya, sedangkan sang ayah Berada jauh darinya. Kakak dari ayahnya lah yang mengasuhnya sejak bayi.
Tak lama, Aurora sudah siap dengan gaun putih yang akan dia tampilkan di acara Pentas Drama nanti. Sangat cantik, apalagi dengan rambut panjangnya yang di kepang dan di berikan beberapa aksesoris yang sangat cantik. Helen yang melihat keponakannya pun tersenyum, ia lalu mendekatinya.
"Bibi, apa aku cantik? Aku tidak pede dengan memakai gaun ini." Gumam Aurora sembari memainkan sisi gaunnya.
"Cantik, sangat cantik. Dengan mengenakan gaun ini, kamu semakin mirip dengan bundamu." Ujar Helen sembari mengelus pipi Aurora.
Aurora tersenyum tipis, "Terima kasih Bibi, aku tahu bunda sangat cantik! Aku merancang gaun ini seperti gaun pernikahan yang bunda pakai saat pernikahan nya. Mirip kan? Cuman lebih kekinian saja." Balas Aurora.
Helen mengangguk singkat, matanya terlihat berkaca-kaca. Namun, sedetik kemudian dia mengubah ekspresinya dan menatap Aurora dengan mata membulat sempurna. "Astaga, pamanmu sudah berangkat! Bagaimana kamu akan berangkat?" Pekiknya.
"Loh? Paman bawa mobil? Terus aku pake apa?!" Seru Aurora dengan panik, ia segera berlari keluar rumah dan benar saja. Mobil pamannya sudah tidak ada, yang ada hanya motor matic kesayangan milik sang paman.
"Cuman ada motor matic doang?! Masa aku naik motor udah pakai gaun cantik gini?!" Pekik Aurora.
"Bibi pesenin taksi aja yah? Sebentar! Tunggu sini!" Helen berlari masuk ke dalam rumah untuk mencari ponselnya. Berbeda dengan Aurora yang berpikir keras. Ia menatap jam tangannya yang ternyata sudah hampir mendekati jam sepuluh.
"Kalau nunggu taksi yang ada aku pasti akan terlambat." Gumamnya.
Aurora menatap kunci motor yang masih tergantung di motor. Senyumannya pun merekah, ia langsung menaiki motor itu dan menyalakan mesinnya. Untungnya, motornya berfungsi dengan baik. Ia pun menggulung ujung gaunnya agar tidak terseret ke aspal.
"Aurora bibi sudah pesankan ... AURORAAAA! HEIII! KAMU BELUM PUNYA SIIIM!" Helen terkejut saat mendapati keponakannya justru pergi dengan mengendarai motor matic milik suaminya. Helen tentu panik, karena Aurora belum memiliki sim. Padahal, dia hanya masuk ke rumah sebentar untuk mengambil ponselnya. Tapi lihat sekarang? Ponakannya justru membawa motor suaminya.
"Kalau Mas Herman marah gimana ini, aduh! Auroraaa ... Auroraaa ...."
.
.
.
Terlihat, sebuah gedung acara yang sudah di hiasi dengan berbagai macam hiasan bunga yang indah di setiap sudutnya. Orang-orang dengan memakai pakaian formal dan gaun yang indah berdatangan dengan senyuman yang menghiasi bibir mereka. Sebentar lagi, akan di adakan sebuah acara pernikahan yang sangat mewah.
Namun, di sisi lain. Sepertinya, acara tak berjalan cukup baik. Dimana, pengantin pria dan para keluarga tengah sibuk menghubungi seseorang yang tak kunjung menjawabnya. Bahkan, pengantin pria hanya diam sembari menunduk tak tahu harus bagaimana.
"Keluarga Andrew tidak ada yang menjawab teleponku!" Desis pria paruh baya dengan raut wajah yang panik.
"Bagaimana ini? Tamu sudah datang semua, kita harus apa?!" Sahut seorang wanita paruh baya.
"Aku tidak tahu! Coba kamu hubungi lagi, siapa tahu dia mengangkatnya!" Pintanya pada sang istri. Sementara pria yang memakai jas putih itu hanya diam tanpa melakukan apapun. Ia menyatukan jari jemarinya sembari berpikir keras.
"Mars! Kenapa kamu diam saja?! Cepat hubungi calon istrimu! Bisa-bisanya dia tidak datang!" Sentak wanita paruh baya itu yang geram dengan putranya.
Mars Prince Reviano, pria itu mengangkat pandangannya dan menatap sang mama dengan mata tajamnya. "Kenapa harus aku? Mama dan Papa yang ingin pernikahan ini kan? Kalian urus saja calon menantu pilihan kalian itu. Kabur? Dia hanya ingin bantuan yang kalian berikan, setelah itu?" Mars beranjak berdiri, ia tertawa hambar sembari menatap kedua orang tuanya.
"Kamu ...,"
Tiba-tiba seorang pria paruh baya datang dan menyela percakapan mereka.
"Tuan, nyonya. Maaf, saya sudah datangi ke kediaman Andrew. Tapi mereka sudah kembali ke Singapura malam tadi." Julia Hampir di buat pingsan, tubuhnya sampai limblung. Untung saja, suaminya cepat menangkap tubuhnya agar tak terjatuh.
"Bagaimana ini? Tamu sudah berdatangan, keluarga pun sudah hadir. Tidak mungkin kita membatalkannya, akan ada berita bu.ruk nantinya." Gumam Evano Reviano.
Tak lama, seorang pria tua datang dan mendekati mereka. Mars yang melihat kakeknya itu langsung merubah ekspresi wajahnya menjadi tegang. Ia lalu melirik sang papa yang memasang raut wajah yang sama.
"Dimana pengantin wanitanya? Kenapa belum datang juga? Sudah jam berapa ini hah?" Desis pria tua itu.
"Kakek, Aurora dan keluarganya kabur."
"APA?! KENAPA BISA?! TERUS BAGAIMANA SEKARANG? PARA TAMU SUDAH DATANG! KALIAN INGIN BUAT MALU KELUARGA REVIANO HAH?!" Sentak pria tua itu yang membuat mereka hanya diam tertunduk.
"Cari solusinya cepat! Hubungi siapapun, kalau perlu ...."
"Pa, kami sudah ke rumahnya dan tidak ada siapapun di sana. Mereka kembali ke singapura, tidak mungkin ada waktu untuk mengejar mereka ke singapura." Terang Evano.
Tuan Mark memegangi dadanya, Mars langsung memberikan kursi pada kakeknya itu untuk duduk. Tentu saja, ia terkejut mendapat kabar jika pengantin wanita dan keluarganya kabur. Padahal, sebelumnya hubungan mereka baik-baik saja. Bahkan, Evano dan Julia baru saja memberikan pinjaman uang dengan nominal yang tidak sedikit.
"Tuan ...,"
"Herman, tolong minta para tamu untuk menunggu sebentar. Kita akan mencari solusinya." Titah Tuan Mark.
"Pa, tapi pengantin wanita nya tidak ada, bagaimana kita akan melanjutkan acara ini?!"
"Kamu lah yang pikirkan! Acara ini tidak boleh batal! Mau taruh dimana muka Papa hah?! Nama keluarga kita akan bu.ruk, berita tentang gagalnya pernikahan Mars akan tersebar luas!" Sentak Tuan Mark dengan kesal.
Mars hanya diam, ia tidak tahu harus apa. Herman yang melihatnya pun kasihan. tapi, ia tak tahu harus berbuat apa. Dirinya tahu, jika Mars tak menginginkan pernikahan ini. Sebab setahunya, Mars masih sangat mencintai mendiang istrinya yang meninggal empat tahun lalu. Namun, keluarganya justru mendesaknya agar kembali menikah dengan wanita pilihan mereka.
Aurora mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi, ia bahkan tak mengenakan helm. Dengan lincah, ia mendahului motor dan mobil yang melintas di hadapannya. Gadis itu pikir, ia akan cepat sampai di gedung acaranya. Namun ternyata salah, seorang polisi yang sedang bertugas menangkap kehadirannya.
Benar, hari apes tak tercatat di kalender. Polisi itu langsung menaiki mobilnya dan mengejar Aurora yang bahkan menerobos lampu merah. Sudah tidak memakai helm, menerobos lampu merah juga.
Aurora melihat ke arah kaca spion motornya, matanya membulat sempurna saat melihat mobil polisi yang tengah berada jauh di belakangnya. Bergegas, ia menambah laju kecepatan motornya.
"Aduh! Mana gak pake helm lagi! Arghh!! Harus apa dong? Kena tilang, tiga ratus ribu melayang!" Gumam Aurora dan memutar otak untuk mencari jalan keluar.
"Gak bakal bisa menghindari kejaran polisi dengan motor butut ini." Aurora berpikir keras. Bertepatan, tak jauh di depannya terlihat ada sebuah belokan. Aurora menyunggingkan senyumnya, ia langsung membelokkan motornya masuk ke jalan tersebut.
Saat matanya melihat ke arah spion motor, ia tak melihat adanya mobil polisi. Namun, ia khawatir mobil itu akan kembali mengejarnya. Selang beberapa saat, benar saja. Ia melihat mobil polisi berbelok ke arah jalannya.
"Aduh, alamat kena tilang ini." Gumam Aurora.
Matanya berbinar terang saat melihat janur kuning di hadapannya. Ia langsung membelokkan motornya dan masuk ke dalam gerbang sebuah gedung yang sedang di selenggarakan acara pernikahan. Dengan cepat, ia memarkirkan motornya dan berlari masuk ke dalam gedung itu.
Polisi itu menghentikan mobilnya di depan gedung acara, ia lalu menurunkan jendela kaca mobilnya dan mencari keberadaan Aurora. Namun, ia tak dapat menemukannya. Karena tak menemukan tanda-tanda keberadaan gadis tadi, akhirnya polisi itu kembali melajukan mobilnya pergi.
Sedangkan di dalam gedung acara, Aurora berlari masuk sembari memegang sisi gaunnya. Saat kakinya menginjak aula gedung, ia terlihat takjub melihat dekor pernikahan yang terlihat sangat mewah. Rasa takjubnya membuatnya tak menyadari, semua orang langsung menatap ke arahnya.
"Ini sangat hebat! Pernikahan impianku bersama Xu Kai!" Gumam Aurora.
Para tamu yang melihat kedatangan Aurora saling berbisik. Apalagi, gadis itu memakai gaun putih sebagai ciri khas pengantin wanita. Aurora tak menyadari, tatapan para tamu ke arahnya.
"Apa itu pengantin wanitanya? Kenapa dia baru datang?"
"Entah lah, aku juga tidak tahu. Kenapa dia datang seorang diri? Sangat aneh, tidak ada fotonya juga disini."
Tatapan Aurora jatuh pada seorang pria paruh baya yang melihat keberadaannya. Mata pria itu membulat sempurna, ia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan keadaan. Lalu, ia berlari kecil menghampiri Aurora dengan melewati kerumunan para tamu.
"Aurora, apa yang kamu lakukan disini!" Seru Pria paruh baya itu yang mana membuat Aurora terkejut.
"Eh, Paman? Kok Paman ada disini juga?!" Kaget Aurora.
Herman menepuk keningnya, "Paman bertanya, kenapa kamu balik bertanya?! Kenapa kamu disini?! Bos Paman sedang mengadakan acara pernikahan, tentu saja Paman disini!" Kesal Herman.
Aurora mengg4ruk pipinya yang tak gatal, tatapannya terlihat sangat polos. "Maaf, tadi aku menghindari kejaran polisi karena tak memakai helm. Lagi pula aku tidak membawa SIM, aku gak mau di tilang." Jawab Aurora.
Interaksi keduanya tak lepas dari tatapan Tuan Mark. Ia langsung beranjak dari duduknya dan menyingkirkan tangan putranya yang memegangi bahunya. Perlahan, ia berjalan mendekati kedua orang berbeda usia itu. Tatapannya terlihat sangat lekat menatap Aurora yang tengah berdebat kecil dengan sang paman.
"Siapa dia?" Tanya Tuan Mark.
Herman terkejut, ia langsung merasa tak enak apalagi saat melihat tatapan atasannya itu. "Tuan besar, maaf kan keponakan saya. Dia tak sengaja masuk ke dalam cara ini. Saya, saya akan memintanya pulang." Herman langsung menatap ke arah Aurora.
"Pulanglah, kamu bisa pulang sendiri kan Aurora? Paman masih harus disini," ujar Herman yang mana membuat Tuan Mark langsung menatap ke arah Aurora.
"Siapa namanya tadi?" Tanya Tuan Mark
Aurora menatap sang paman, begitu pun sebaliknya. Dengan ragu, Aurora kembali menatap ke arah Tuan Mark yang masih menunggu jawabannya.
"Aurora Naomi." Jawab Aurora dengan singkat.
Tuan Mark terdiam sebentar, ia lalu kembali menatap Herman dan memberi isyarat mata padanya. "Kita bicara sebentar." Titahnya.
Herman merasa takut, ia khawatir pekerjaannya akan di taruhkan karena kedatangan keponakannya. Aurora pun menjadi merasa serba salah, ia tidak tahu jika sang paman ada di acara pernikahan ini. Apalagi, saat di depan pintu tadi ia tak di hadang oleh penjaga. Mungkin, apa karena ia memakai gaun?
"Di kira pengantinnya kali yah? Emang pengantinnya belum datang?" Gumam Aurora dan melihat sekitar mencari sosok pengantin.
Sementara itu, Tuan Mark membawa Herman berkumpul bersama keluarganya yang sedang mencari solusi di tengah masalah mereka. Kedatangan Tuan Mark, sontak membuat suasana menjadi bertambah tegang.
"Mars, kemari." Panggil Tuan Mark pada cucunya itu.
Mars menurut, ia mendekati kakeknya dan berdiri disisinya. Ia menatap bingung ke arah asisten kakeknya yang tengah memasang raut wajah takut. Apa ada masalah yang di buat? Kondisi keadaan saat ini sudah tidak berjalan dengan baik, apa ada tambahan masalah lagi?
"Mars, seperti yang kamu tahu ... pernikahan ini tidak bisa di lanjutkan tanpa adanya pengantin wanita. Calon istrimu, Aurora Renia sudah meninggalkan pernikahan. Dalam artian lain, dia menolak menikah denganmu. Kita tidak bisa membatalkan pernikahan, nama baik keluarga ini taruhannya."
"Inti dari semuanya apa?" Tanya Mars langsung pada intinya, ia tak suka berbelit-belit dan menebak apa yang kakeknya maksudkan.
Tuan Mark beralih menatap Herman, sosok pria yang menjadi asistennya selama puluhan tahun. Dari yang hanya seorang supir keluarga, Tuan Mark mengangkatnya menjadi asisten pribadinya. Yang selalu menemaninya ke setiap acara dan membantunya untuk menghandle jadwal pekerjaannya. Bahkan, menjadi orang kepercayaannya. Tuan Mark tahu seperti apa asistennya, tapi ia tidak pernah tahu bagaimana keluarga pria itu.
"Herman, kamu bekerja denganku sudah lama bukan? Apa kamu mengingat semua kebaikanku padamu dan keluargamu?" Pertanyaan Tuan Mark membuat semuanya bertambah bingung.
"Ya Tuan, tentu saja saya mengingatnya. Kebaikan anda, tidak akan pernah saya lupakan. Bahkan, anda sering sekali membantu keluarga saya dulu di tengah kesulitan ekonomi hingga seperti sekarang." Jawab Herman dengan tegas.
Tuan Mark menatap ke arah Aurora sejenak yang masih berdiri di tengah-tengah para tamu. Lalu, tatapannya beralih menatap asisten pribadinya yang tengah menunggunya kembali berbicara.
"Saya ingin, keponakanmu menikah dengan cucuku."
"APA?! TU-TUAN, ANDA SERIUS?!" Herman tentu saja terkejut, ia tak menyangka permintaan Tuan Mark sangat di luar dugaannya. Bukan hanya Herman, Mars dan orang tuanya juga sangat kaget sampai tak bisa berkata-kata.
"Pa, kita batalkan saja. Kita bisa pakai alasan lain mengapa pernikahan ini batal, tanpa harus menikahkannya dengan wanita lain. Orang juga akan tahu jika Mars menikah bukan dengan calon istrinya yang sebenarnya!" Seru Julia merasa keberatan.
Tuan menggeleng, "Nama baik keluarga kita di pertaruhkan! Perbuatan keluarga Andrew sangat merendahkan keluarga kita! Apa kalian mau muncul berita bu.ruk tentang Mars? Lagian, nama keponakan Herman sama dengan calon istri Mars yang kabur. Jadi, ikuti saja perintahku!" Sentak Tuan Mark.
Tatapan Mars tak sengaja menatap seorang gadis yang memakai gaun putih tengah tersenyum sembari menatap dekor acara pernikahannya. Senyuman dan tatapan berbinar gadis itu membuat Mars tak bisa mengalihkan perhatiannya.
"Apa dia orangnya?" Tanya Mars tanpa mengalihkan pandangannya. Tuan Mark dan yang lainnya turut menatap siapa yang Mars tatap.
"Ya, dia orangnya." Jawab Tuan Mark.
"Baiklah, aku mau menikah dengannya." Keputusan Mars membuat kedua orang tuanya terkejut.
"MARSS! pernikahan bukan main-main!" Sentak sang mama dengan ketakutannya.
"Aku tidak pernah main-main Ma, mama sendiri yang ingin aku menikah lagi kan? Sekarang, apa Pak Herman menerima jika keponakan anda menikah dengan saya?"
"Itu ....,"
"Aurora adalah anak dari adik laki-laki saya, sedangkan istri adik saya sudah meninggal setelah melahirkan Aurora. Jadi, saya tidak bisa memutuskan." Ujar Herman dengan ragu.
"Kalau begitu, hubungi adikmu dan katakan jika keluarga Reviano akan meminangnya. Jika dia bisa datang dan menjadi wali nya, itu bagus." Titah Tuan Mark.
Herman ragu, ia bingung. Di satu sisi, ia ingin menolak karena tahu Aurora pasti akan menolak. Tapi disi lain, ia merasa takut keluarga Reviano kecewa pada dirinya. terlebih, ia merasa banyak berhutang budi pada keluarga itu.
"Baiklah, saya akan menghubungi adik saya." Ucapnya. Ia lalu mengambil ponselnya dari dalam saku jasnya dan menelpon seseorang. Ia sedikit berjalan menjauh ketika tersambung.
"Ansel, Tuan Mark ingin cucunya Mars menikahi putrimu. Apa kamu mengizinkannya? Kamu bisa kesini untuk menjadi walinya?"
Tuan Mark dan keluarganya masih memantau Herman yang tenga mengobrol serius dengan seseorang di telepon. Terjadi sedikit perdebatan antara Herman dengan adiknya. Membuat Mars dan yang lainnya sedikit bingung dengan apa yang terjadi. Tak lama, Herman kembali, raut wajahnya terlihat kesal dan penuh amarah.
"Saya yang akan menjadi wali untuk keponakan saya." Jawab Herman dengan lantang.
Seribu pertanyaan di pikiran Mars, mengapa ayah dari gadis yang ia lihat saat ini tak mau menjadi wali? Atau karena berada di luar kota dan akan membutuhkan waktu kesini?
"Adik saya kerja di luar kota, akan butuh waktu lebih lama. Jadi, dia meminta saya untuk mewakilinya." Terang Herman saat melihat ketegangan keluarga itu.
"Yasudah, bagus. Ayo, panggil keponakanmu. kita mulai acaranya!" Seru Tuan Mark dengan senyuman mengembang. Ia berniat berbalik dan beranjak dari sana. Namun, asistennya itu justru malah memanggilnya kembali.
"Tuan, tapi jika ponakan saya menolak. Saya tak punya hak untuk memaksanya. Karena pernikahan ini dia yang jalani, bukan saya. Tapi, saya akan mencoba membujuknya dulu." Ujar Herman dan segera beranjak menemui Aurora.
Tuan Mark langsung merangkul cucunya pergi. Meninggalkan sepasang suami istri yang sedang saling berdebat karena permasalahan yang sedang di landa saat ini.
"Kenapa harus keponakan asisten Papa mu itu sih? Dia masih sangat muda!" Desis dengan raut wajahnya yang kesal.
"Kamu mau yang seperti apa? Wanita berpendidikan kayak Aurora yang kabur itu? Sudahlah, yang terpenting masalah ini cepat selesai!" Balas Evano dan berlalu pergi, meninggalkan sang istri yang akhirnya menurut keputusan Tuan Mark.
Sementara itu, Herman menemui Aurora. Dia sebenarnya ragu akan mengatakan hal ini. melihat kegelisahan sang paman, Aurora mencoba mencairkan suasana yang ada.
"Apa atasan Paman tadi marah? Kalau gitu, biar aku saja yang minta maaf." Ujar Aurora dan berkata akan pergi menghampiri Tuan Mark. Namun, sang Paman justru menahannya.
"Tuan Mark ingin kamu menikah dengan cucunya."
"Hah? Paman, aku hanya tak sengaja masuk ke dalam acara ini. Mengapa hukumannya harus menikah dengan cucunya itu? Aku ingat, cucunya itu duda kan? Ih, aku gak mau sama duda!" Pekik Aurora yang mengundang tatapan semua orang ke arahnya. Untungnya, Herman langsung memintanya untuk tidak berisik.
"Pelankan suara mu! Pengantin perempuannya kabur, reputasi keluarga ini akan hancur jika pernikahan di batalkan. Namamu dan nama calon pengantin wanita sama. Jadi, Tuan Mark meminta mu untuk menjadi istri cucunya. Aurora, keluarga Reviano sangat baik, cucunya sangat tampan, kaya raya pula. Seperti Xu Kai idamanmu. Semuanya terwujud disini, cuman kurangnya duda aja." Bisik Herman yang berusaha membujuk keponakannya.
"Paman, pernikahan itu sekali seumur hidup. Aku tidak mencintainya," ujar Aurora merasa keberatan.
"Keluarga Herman sangat banyak membantu kita, ingat saat kamu sakit dan harus di rawat? Paman tak punya biaya, tapi saat paman meminta di pinjamkan uang pada Tuan Mark ... bukan hanya di pinjamkan, bahkan di kasih secara cuma-cuma. Kalau Paman punya anak perempuan, Paman tidak akan memintamu membantu Paman." Herman berusaha membujuk Aurora. Dia merasa takut menolak keinginan Tuan Mark.
Aurora terdiam, ia memandang sang paman yang menatapnya dengan penuh harap. Aurora tak tahu dia harus memutuskan apa. Tapi, sang paman yang telah merawatnya sejak bayi. Bukankah ia harus membalas apa yang Paman dan bibinya berikan padanya?
"Sejak bayi, aku sudah merepotkan paman dan bibi. Banyak hal yang mereka lakukan untukku. Jika aku menolak, pekerjaan paman yang akan menjadi taruhannya. Mungkin, ini adalah cara membalas kebaikan paman dan bibi selama ini. Aku juga tidak mungkin, terus membuat mereka mengalami kesulitan karenaku." Batin Aurora.
Aurora mengangkat pandangannya ke arah wajah Herman yang sedang menunggu jawabannya.
"Baiklah Paman, aku mau. Demi Paman," ujar Aurora dengan mata berkaca-kaca.
Herman menghela nafas lega, "Kamu tenang saja, setahu Paman calon suamimu pria yang baik. Kamu tidak akan kesulitan menikah dengannya. Ayo, kita ...,"
"Ayah?" Herman menghentikan niatnya, ia kembali menatap wajah keponakannya yang terlihat murung.
"Ayahmu menyerahkan tugasnya pada Paman, dia masih belum bisa pulang. Akan butuh waktu sampai kesini, dan ...,"
Aurora menghapus air matanya yang sempat luruh, ia sudah akan menduga hal ini terjadi. "Andai saja ayah disini bersamaku, dia bisa menghadirinya bukan? Biarkan, aku tidak peduli tentangnya. Ayo Paman,"
Herman menatap sedih ke arah keponakannya itu. Ia tahu, seberapa kecewanya Aurora pada sang ayah yang selalu enggan menemuinya. Ia pun mengelus kepala Aurora dan tersenyum lembut pada keponakannya itu. Berharap, hal itu bisa sedikit menguatkannya.
Melihat kedatangan Aurora, Tuan Mark langsung memintanya duduk di sebelah Mars. Melihat sosok calon suaminya, Aurora sampai mematung. Ketampanan Mars, tak dapat dia pungkiri. Ia sampai tak bisa mengalihkan pandangannya saat melihat pria tampan itu.
"Aurora, ayo duduk sini." Ajak Tuan Mark.
Julia mengambil alih, ia langsung menarik lembut lengan calon menantunya dan mendudukkan nya di sebelah Mars. Semua keluarga telah siap di kursi mereka, para tamu pun duduk kembali di kursi masing-maisng dan bersiap menunggu pengesahan pernikahan dua insan itu.
Acara di mulai, Mars mengangkat tangannya dan berjabatan tangan langsung dengan sang penghulu. Jantung Aurora semakin berdegup kencang, perasaannya saat ini sedang kacau. Entah mengapa, d4danya terasa sesak. Air matanya rasanya ingin jatuh mengalir di pipinya.
"Saya nikah kan engkau, dengan saudari Aurora Naomi binti Ansel Pratama. Dengan mas kawin, uang sebesar enam ratus ribu US Dollar di bayar tunai!"
"Saya terima nikah dan kawinnya Aurora Naomi binti Ansel Pratama dengan mas kawin tersebut Tunai."
Deghh!
Jantung Aurora berpacu semakin kencang, air matanya luruh tak sanggup lagi ia tahan. Suara lantang Mars membuat tubuh Aurora menegang kaku. Ia melirik pria yang saat ini baru saja sah menjadi suaminya. Suami? Aurora tak pernah membayangkan akan menjadi seorang istri secepat ini.
Mars beralih menatap Aurora, gadis yang baru saja menjadi istrinya itu sedang menahan tangis. Herman membantu menenangkan keponakannya, ia tahu mengapa Aurora menangis. Sebab, tak hadirnya sang ayah di pernikahannya. Mars berinisiatif mengambil tisu dan memberikannya pada Aurora.
"Makasih." Jawab Aurora sembari mengambil tisu itu. Ia lalu menghapus air matanya dan mengeluarkan cairan hidungnya.
"Aurora!" Tegur Herman, ia merasa tak enak dengan Mars yang terkejut atas tingkah Aurora.
"Ingusnya ngehalangin jalan napas." Ucap Aurora tanpa malu.
Tuan Mark berbicara dengan penghulu yang menikahkan cucunya. Setelah selesai, ia kembali mendekati Mars dan juga Aurora. Senyumannya terbit, ia menepuk pundak cucunya itu dan menatap Aurora yang masih menangis.
"Nanti, uang enam ratus ribunya pegang Aurora langsung atau?"
"Maharnya enam ratus ribu?!" Pekik Aurora dengan mata membulat sempurna.
"Dollar." Sahut Mars memberi kejelasan.
"Do-dollar?!" Aurora bergegas menghitungnya, ia memakai semua jari-jarinya guna menghitung berapakah uang yang ia dapat.
"Itu totalnya berapa? Sepuluh juta? Lima puluh? Paman ...." Aurora syok bukan main, ia menatap Pamannya yang justru meringis pelan.
"Lebih dari Xu Kai mu kan Nak?"
.
.
.
Di tempat berbeda, terlihat seorang pria paruh baya tengah berada di kamarnya. Mendengar kabar putrinya akan segera menikah dengan waktu yang sangat mendadak, membuat pria itu terkejut. Sudah seminggu ia kembali dari perantauan dan memilih tinggal di rumahnya dulu bersama mendiang istrinya tanpa mengabari siapapun. Termasuk, putrinya.
Tatapan matanya tak melepas dari foto istrinya yang tengah mengandung buah hati mereka. Matanya terlihat berkaca-kaca, d4danya terasa sesak. Merindukan seseorang yang sudah tiada, rasanya sangat menyakitkan. Air matanya pun luruh tanpa bisa ia cegah, ia merindukan sosok mendiang istri tercintanya.
"Hari ini putri kita menikah, maafkan aku karena tak menepati janjiku menjadi wali saat putri kita menikah. Aku merasa tidak pantas menjadi wali di pernikahan putri kita. Maafkan aku, aku minta maaf jika selama ini aku terkesan tidak menyayangi putri kita. Dia terlalu mirip denganmu, melihat nya ... sungguh membuatku sakit." Lirih Ansel, ayah kandung dari Aurora.
Ia masih belum terima akan kematian istrinya karena melahirkan putri mereka. Setiap kali melihat wajah putrinya, ia pasti akan teringat akan mendiang istrinya. Bagai pinang di belah dua, keduanya memang sangat mirip. Itulah mengapa, ia memutuskan untuk merantau. Meninggalkan putrinya di asuh oleh kakaknya.
"Selamat atas pernikahan mu, putriku." Lirihnya dan mengangkat pandangannya ke arah luar jendela kamarnya.
___
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!