Mobil itu terbakar hebat, api menjilati bodi mobil yang ringsek. Petugas pemadam kebakaran berjibaku memadamkan api, sementara para petugas kepolisian sibuk mengamankan lokasi kejadian. Di tengah kepulan asap dan bau menyengat, terlihat sesosok tubuh kecil terbaring di antara puing-puing.
Gadis kecil itu, Angelica terbaring kaku dengan boneka kesayangannya, si beruang putih, erat memeluk tubuh mungilnya. Mata Angelica terpejam, wajahnya pucat pasi, seolah tertidur lelap. Namun, boneka kesayangannya, si bruno. yang biasanya selalu bersih dan berbulu halus, kini tampak kusam dan terbakar di beberapa bagian.
Di samping Angelica terbaring tubuh kedua orang tuanya, tak bernyawa. Ketiga jiwa itu, yang seharusnya menikmati kebahagiaan bersama, kini terenggut dalam sekejap oleh kecelakaan tragis yang tak terduga.
Kisah pilu itu menyisakan duka mendalam bagi keluarga dan teman-teman Angelica. Mereka mengenang Angelica sebagai gadis kecil yang periang dan penuh kasih sayang. Kepergiannya yang mendadak, bersama kedua orang tuanya, meninggalkan luka yang tak terobati di hati mereka.
Hujan gerimis membasahi tanah pemakaman, seakan ikut berduka atas kepergian Angelica dan keluarganya. Udara terasa dingin dan lembap, menambah suasana duka yang menyelimuti pemakaman.
Di tengah deretan pusara yang berjajar rapi, terlihat sebuah liang lahat yang baru digali. Di sekelilingnya, berdiri kerumunan orang-orang yang berpakaian serba hitam, wajah mereka dipenuhi kesedihan dan air mata.
Keluarga dan teman-teman Angelica berjajar rapi, saling berpelukan untuk menguatkan satu sama lain. Tangis mereka pecah sesaat ketika peti mati Angelica dan kedua orang tuanya diturunkan ke liang lahat.
Suara tangis dan isak tangis memenuhi udara, bercampur dengan suara hujan yang semakin deras.
Bunga-bunga putih dan merah muda dilemparkan ke dalam liang lahat, sebagai tanda penghormatan terakhir untuk Alicia dan keluarganya.
Suasana duka begitu terasa, mengingatkan kita akan fana dan rapuhnya kehidupan. Kepergian Angelica dan keluarganya meninggalkan luka yang mendalam bagi semua orang yang mengenalnya.
Langit berkabung, meneteskan air mata bak bulir-bulir mutiara kelabu. Hujan gerimis membasahi tanah pemakaman, seolah ikut meratapi kepergian angelica dan keluarganya. Angin berbisik lirih, membawa aroma tanah basah dan harum bunga melati yang tercium samar-samar.
Di tengah deretan pusara yang sunyi, liang lahat baru menanti kedatangan tiga jiwa yang tak berdosa. Kerumunan manusia berpakaian hitam, laksana bayangan duka, berdiri melingkar, wajah mereka berselimut kesedihan.
Keluarga dan sahabat Angelica terikat dalam ikatan duka yang tak terpisahkan. Tangis mereka pecah tak terbendung, seperti air bah yang meluap tak tertahankan.
Peti mati Angelica dan kedua orang tuanya, perlahan diturunkan ke liang lahat. Bunga-bunga putih dan merah muda, layu dan lunglai, dijatuhkan sebagai tanda perpisahan yang penuh kesedihan.
Suasana duka mencekam, menghanyutkan hati ke dalam samudra kesedihan. Kepergian Angelica dan keluarganya, bagaikan mentari yang padam, meninggalkan kegelapan yang tak terperi.
Setelah peti mati Angelica dan kedua orang tuanya terbenam dalam tanah, tanah liang pun ditutup dengan hati-hati. Suara sekop menghantam tanah, menciptakan bunyi gedebuk yang menggelegar di telinga, menandakan akhir dari sebuah perjalanan.
Bunga-bunga putih dan merah muda yang tergeletak di atas tanah, kini terbenam bersama tiga jiwa yang telah tiada.
Para pelayat, yang tadinya berkerumun di sekitar liang lahat, perlahan mulai beranjak meninggalkan tempat itu. Langkah mereka berat, diiringi desahan pilu dan tangis yang tertahan.
Mereka meninggalkan tiga pusara yang baru saja tercipta, mengheningkan cipta dalam kesunyian yang menyeramkan.
Hanya desir angin dan rintik hujan yang menemani tiga jiwa yang telah pergi menuju alam abadi.
Desas-desus tentang kematian Angelica menyebar cepat seperti api yang menjilati daun kering. Gadis kecil berambut keemasan itu ditemukan tak bernyawa di taman belakang rumahnya, wajahnya pucat dan bibirnya terbuka seperti ingin menjerit. Yang lebih menyeramkan, boneka kesayangannya, sebuah boneka beruang bernama Bruno, hilang tanpa bekas.
Warga desa berbisik tentang kutukan. Mereka menunjuk jari ke Bruno, mengatakan bahwa boneka itu berhantu dan menuntut balas dendam. Kisah tentang Bruno yang menyeramkan tersebar dengan cepat. Orang-orang mengatakan bahwa Bruno muncul di tengah malam, berjalan sendiri di jalan desa dengan mata berbinar-binar.
Tak hanya itu, teror kematian pun mulai melanda desa. Seorang petani tua ditemukan mati di ladangnya, tangannya mencengkeram sebatang kayu yang tertancap di dadanya. Beberapa hari kemudian, seorang ibu rumah tangga ditemukan mati di dalam sumur rumahnya, wajahnya menunjukkan ekspresi ketakutan.
Histeria menyerang desa. Orang-orang hidup dalam ketakutan dan kecemasan. Mereka menghindari jalan sepi, mengunci pintu rumah dengan kuat,
Keheningan malam di desa itu terpecah oleh langkah kaki kecil yang menyeramkan. Angelica, gadis kecil yang seharusnya terbaring di kuburan, muncul dari balik pohon besar di tepi desa. Matanya berbinar-binar dengan cahaya yang tak alamiah, bibirnya tersenyum sinis, menyeramkan seperti hantu yang keluar dari kubur.
Di tangannya, dia menggenggam boneka beruang Bruno, yang dulunya merupakan teman setia Angelica. Namun, sekarang, Bruno tampak berbeda. Matanya hitam menyeramkan, dan mulutnya terbuka lebar menunjukkan deretan gigi tajam.
Angelica berjalan menuju rumah-rumah warga desa, langkahnya senyap dan menyeramkan. Dia mengetuk pintu dengan jari-jarinya yang kecil, kemudian menunggu dengan senyum sinis di wajahnya.
Ketika pintu dibuka, warga desa yang terkejut menatap Angelica dengan mata mebulat. Mereka mencoba menjerit, tapi suara mereka terjebak di tenggorokan seperti ada sesuatu yang menekan dada mereka.
"Angelica?" bisik mereka, suara mereka bergetar karena ketakutan.
Angelica hanya tersenyum sinis, kemudian menunjuk Bruno ke arah mereka. "Dia ingin bermain," bisik Angelica, suaranya menyeramkan seperti desisan ular.
Warga desa itu merasa dingin menyerbu tubuh mereka. Mereka mencoba menarik diri ke dalam rumah, tapi tangan mereka terasa lemah. Angelica mendekati mereka dengan langkah yang tak terduga, Bruno di tangannya bergoyang-goyang seperti menari.
"Mainkan aku," bisik Angelica, suaranya menyeramkan.
Warga desa itu terpaku di tempat, tak berani bergerak. Mereka menatap Angelica dan Bruno dengan mata yang mengerikan.
Angelica tersenyum lagi, kemudian berbalik dan menghilang dalam kegelapan. Warga desa itu masih terpaku di tempat, tubuh mereka bergetar karena ketakutan. Mereka tahu, teror itu baru mulai.
Di tempat kecelakaan itu, di mana mobil keluarga Angelica menabrak pohon besar dan menghilangkan nyawa mereka, terdapat suasana sunyi dan menyeramkan. Udara terasa dingin dan berat, seolah-olah tempat itu diliputi aura kematian.
Namun, di tengah kesunyian itu, terdapat sesuatu yang menyeramkan. Bruno, boneka beruang kesayangan Angelica, berdiri tegak di atas reruntuhan mobil yang berkarat. Matanya yang hitam berbinar-binar, menatap ke arah jalan desa.
"Aku ingin bermain," bisik Bruno, suaranya terdengar lemah tapi menyeramkan. "Berikan aku tumbal."
Bruno berjalan perlahan menuju jalan desa. Langkah kakinya senyap, tapi aura kematian yang dipancarkannya menyeramkan.
"Aku ingin bermain," bisik Bruno lagi, suaranya semakin keras. "Berikan aku tumbal."
Bruno menunggu di pinggir jalan desa, menatap ke arah mobil yang melewati jalan itu. Dia mencari tumbal, seseorang yang berani mendekati dia.
"Berikan aku tumbal," teriak Bruno, suaranya menyeramkan dan mengancam. "Atau, aku akan mengambil jiwa mu!"
Bruno bersiap menyerang, menunggu korban berikutnya. Teror kematian di desa itu belum berakhir. Bruno akan terus mencari tumbal sampai kepuasan hatinya terpenuhi.
Heningnya malam di desa itu kembali terusik. Bayangan kecil berambut keemasan berjalan senyap di antara rumah-rumah kayu yang terbuat dari bambu. Angelica, gadis kecil yang seharusnya terbaring tenang di kuburan, kembali menghantui desa.
Di tangannya, dia menggenggam boneka beruang Bruno. Matanya berbinar dengan cahaya yang tak alamiah, seolah menyerap kegelapan malam itu. Bibirnya tersenyum sinis, menimbulkan rasa takut yang mendalam.
"Ayo bermain," bisik Angelica, suaranya menyeramkan seperti desisan ular. "Aku ingin bermain."
Langkahnya mendekati rumah warga desa, mengetuk pintu dengan jari-jari kecil yang dingin. Setiap ketukan menimbulkan rasa ketakutan yang menjalar ke dalam hati warga desa.
Warga desa yang terbangun dari tidur menatap Angelica dengan mata mebulat, tubuh mereka bergetar ketakutan. Mereka tahu bahwa teror itu telah kembali.
"Angelica?" bisik mereka, suara mereka tertahan karena ketakutan.
Angelica hanya tersenyum sinis. Dia mengangkat Bruno dan menunjuk ke arah mereka. "Dia ingin bermain," bisik Angelica lagi, suaranya menyeramkan.
Warga desa itu mencoba menarik diri ke dalam rumah. Namun, kaki mereka terasa lemah dan tak berdaya. Angelica mendekati mereka, Bruno di tangannya bergoyang-goyang seperti menari dalam kegelapan.
"Bermain dengan kami," bisik Angelica lagi, suaranya semakin keras. "Atau kamu akan bermain dengan kami selalu."
Teror itu mulai menyebar di desa itu. Warga desa hidup dalam ketakutan yang tak terlupakan. Hantu kecil itu telah kembali, mencari tumbal untuk permainan mengerikannya.
Warga desa berdesak-desakan di pos satpam, mencari perlindungan dari teror Angelica. Mereka berharap bahwa di tempat itu, mereka akan aman dari hantunya. Namun, harapan mereka terbanting ketika bayangan kecil berambut keemasan muncul di depan mereka.
"Angelica!" teriak warga desa dengan ketakutan, mencoba menjauh dari hantunya.
Angelica tersenyum sinis, matanya berbinar dengan cahaya yang tak alamiah. Dia mengangkat Bruno dan menunjuk ke arah mereka.
"Kalian mau bermain?" bisik Angelica, suaranya menyeramkan.
Warga desa itu mencoba menarik diri ke dalam pos satpam, mencoba mencari perlindungan di balik meja satpam. Namun, Angelica sudah mendekati mereka.
"Bermainlah dengan kami!" teriak Angelica, suaranya menyeramkan. "Atau kamu akan bermain dengan kami selalu!"
Bruno tertawa mengerikan, suaranya menyeramkan seperti tangisan hantu. Warga desa itu menutup telinga mereka, takut mendengar suara tertawa yang menyeramkan itu.
"Tolong!" teriak warga desa, mencari pertolongan dari seseorang.
Namun, tak ada yang bisa menolong mereka. Angelica sudah mendekati mereka. Dia mengangkat Bruno dan menunjuk ke arah warga desa itu.
"Kalian akan bermain dengan kami selama lamanya," bisik Angelica, suaranya menyeramkan.
Warga desa itu menutup mata mereka, takut melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Mereka tahu, teror itu baru mulai.
Ketakutan menyerbu warga desa saat Bruno terlepas dari genggaman Angelica. Boneka beruang itu berlari dengan langkah yang cepat, matanya berbinar dengan cahaya yang tak alamiah.
"Dia akan menyerang!" teriak warga desa itu, mencoba menghindar dari Bruno.
Bruno menyerbu ke arah seorang warga desa yang bernama Pak Suro. Pak Suro mencoba menghindar, tapi Bruno bergerak dengan cepat dan menyerang Pak Suro dari belakang.
"Tolong!" teriak Pak Suro, suaranya terputus-putus karena ketakutan.
Bruno mencengkram leher Pak Suro dengan kuat. Pak Suro berusaha melepaskan cengkeraman Bruno, tapi tenaga Bruno terlalu kuat.
Pak Suro jatuh ke tanah, mencoba menarik napas. Namun, tenaga Bruno semakin kuat mencengkram lehernya.
"Tolong!" teriak Pak Suro lagi, suaranya semakin lemah.
Warga desa itu menatap dengan ketakutan. Mereka tak berani mendekati Bruno. Mereka tahu, Bruno akan menyerang mereka jika mereka mencoba mendekati.
Bruno tertawa mengerikan, suaranya menyeramkan seperti tangisan hantu. Pak Suro mencoba menarik napas lagi, tapi tenaga Bruno semakin kuat mencengkram lehernya.
Mata Pak Suro mengelap, napasnya semakin sulit. Bruno terus mencengkram leher Pak Suro dengan kuat, sampai Pak Suro tak berdaya lagi.
Pak Suro terkulai lemas di tanah, tak bernyawa. Bruno menarik diri dari tubuh Pak Suro dan tertawa mengerikan.
Warga desa itu menangis ketakutan. Mereka tahu, teror itu baru mulai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!