Aditya membuka matanya dengan perlahan. Pandangannya buram, dan kepala terasa berat. Ia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba mengusir rasa kantuk yang masih menempel. Namun, begitu pandangannya mulai jelas, ia langsung disergap kebingungan.
"Ini… ini bukan kamarku."
Ia berusaha duduk dan memperhatikan sekelilingnya. Langit merah darah membentang di atasnya, diselingi awan kelabu yang melayang seperti asap. Angin dingin berhembus, membawa aroma tanah lembap dan kabut. Di kejauhan, ada hutan dengan pepohonan raksasa berwarna hitam, dan suara lolongan aneh bergema dari sana, mengirimkan hawa dingin yang merayapi punggungnya.
Aditya bergidik, merasakan ada yang tidak beres. Ia segera melirik tubuhnya, dan langsung menyadari ada sesuatu yang sangat berbeda. Pakaian yang dikenakannya kini berupa jubah gelap, dengan pelindung logam di bagian dada, lengan, dan kaki. Seolah-olah ia adalah prajurit yang siap menghadapi perang. Di sampingnya, sebuah pedang besar bersinar samar-samar dalam cahaya merah, dengan ukiran yang tampak aneh di sepanjang bilahnya.
"Tidak mungkin… apa ini…?"
Tanpa sadar, Aditya menyentuh wajahnya dan merasakan helm logam yang dingin Jantungnya berdetak cepat. Ini pasti mimpi, pikirnya. Tapi setiap sentuhan terasa begitu nyata. Perasaan dingin logam, tekstur kasar dari jubahnya, hingga aroma tanah di sekitar membuatnya yakin bahwa apa yang dia alami saat ini bukan sekadar mimpi.
“A-aku… di dalam game?” gumamnya pelan, masih tak percaya.
Dia mencoba bergerak, dan dengan cepat menyadari sesuatu yang lebih mengejutkan—pergerakan ini sangat familier. Ini adalah pergerakan karakter Spectra, yang telah ia mainkan selama ribuan jam di Astaroth Online. Tapi sekarang, dia benar-benar merasakan tubuh ini sebagai tubuhnya sendiri.
Spectra adalah karakter yang dia buat didalam game astaroth online. Bersama spectra dia sudah menjelajahi hampir seluruh wilayah di astaroth. Semakin lama karakter spectra menjadi sangat kuat dan sangat dia andalkan, tak ada halangan yang tidak bisa spectra lalui.
“Spectra?” Suaranya gemetar. Seketika itu juga, suara berat, penuh kekuatan, keluar dari tenggorokannya. Bukan suara Aditya, melainkan suara Spectra yang terdengar dingin dan mengintimidasi.
“Apa yang terjadi di sini?” bisiknya, mencoba memahami situasi yang mendadak berubah tanpa peringatan.
Ia mencoba membuka panel menu, insting gamer dalam dirinya secara otomatis mencoba memanggil antarmuka.
“Ini… sungguhan,” desisnya, masih berusaha menerima kenyataan aneh yang kini dihadapinya.
Di tengah kebingungan, suara langkah berat terdengar mendekat dari arah hutan. Aditya, atau kini Spectra, menegang. Sebuah makhluk raksasa muncul dari balik pepohonan, seekor Wyvern—makhluk setengah naga, setengah kadal yang berukuran besar, dengan sisik hitam berkilauan. Mata merahnya memancarkan kebencian, dan taring-taringnya berkilat tajam.
“Makhluk ini wyvern kan?!…” pikir Aditya panik, mengingat betapa kuatnya Wyvern ini sebagai musuh.
Wyvern itu meraung, suaranya menggema di seluruh penjuru, dan dalam sekejap, makhluk itu melesat ke arah Aditya dengan cakar yang terulur. Namun, di saat yang sama, naluri Spectra dalam dirinya bereaksi. Aditya Panik, dia lalu membuka inventory dan mengambil pedang yang langsung dipegang erat, mengayunkannya dalam satu gerakan cepat.
Pedang itu bergerak seperti seakan dikendalikan oleh kekuatan yang bukan sepenuhnya miliknya, membelah angin dengan dentuman yang memekakkan telinga.
Serangan itu mengenai Wyvern tepat di bagian leher, dan darah hitam menyembur dari luka yang menganga. Makhluk itu jatuh terguling, mengeluarkan raungan terakhir sebelum akhirnya mati.
Aditya terdiam, memandang tubuh Wyvern yang tak bernyawa di hadapannya. Ia menatap kedua tangannya yang gemetar. Ini bukan sekadar permainan lagi. Setiap gerakan, setiap luka, setiap kematian—semuanya nyata.
Merasa perlu mencari jawaban, ia berjalan menyusuri padang luas yang dipenuhi kabut tipis. Setelah berjam-jam melintasi alam yang asing dan menyeramkan, ia akhirnya menemukan sebuah sungai besar dengan air jernih yang mengalir tenang.
“Ahh, akhirnya…” gumamnya lega. “Aku sudah haus sekali!”
Ia mendekati bibir sungai, menunduk untuk minum. Namun, saat ia melihat pantulan di permukaan air, ia tertegun. Wajah yang tampak adalah wajah Spectra, lengkap dengan armor dan helm gelap. Tubuhnya bukan lagi tubuh Aditya, melainkan tubuh prajurit bayangan yang ia ciptakan.
“Benar-benar… aku adalah Spectra sekarang,” gumamnya sambil menatap kostumnya yang mencolok. “Aku harus menggantinya agar tak terlalu mencurigakan.”
Ia membuka menu inventory dalam pikirannya, mengganti armornya dengan pakaian yang lebih sederhana dan terlihat seperti petualang biasa. Setelah menyesuaikan diri, ia kembali melanjutkan perjalanan.
"Nah ini lebih baik"
“Aku akan melanjutkan tekadku bersama Spectra untuk menjadi yang terkuat,” tekadnya, merasa mulai bersemangat dengan petualangan ini.
*AHHHH!!! “TOLONG!!!”
Tiba-tiba, suara teriakan wanita memecah kesunyian. Aditya menoleh, mencari sumber suara tersebut.
"Suara itu… dari arah sana!” katanya, sambil segera berlari ke arah sumber suara. Setelah bergegas mendekat, ia tiba di sebuah area di mana sekelompok goblin sedang mengepung sebuah kereta kuda. Beberapa ksatria tampak berjuang melawan para goblin, namun jumlah mereka kalah jauh dibandingkan makhluk-makhluk kecil itu.
“Haruskah aku membantu mereka?” gumamnya ragu, namun instingnya membuat kakinya mulai melangkah maju.
Para goblin menyadari kehadiran Aditya—atau Spectra—dan mengeluarkan suara mengancam. Salah satu goblin berlari ke arahnya, mengayunkan kapak dengan niat menyerang.
“Heh, bagus! Maju saja kau!” tantang Aditya dengan suara Spectra yang dalam.
TANG!
Spectra menghindari serangan goblin dengan tenang, lalu meraih kepala goblin itu dengan satu tangan. Dengan kekuatan yang jauh di luar dugaan, ia mengeluarkan serangan sihir es.
“FREEZE SHOCK!”
Goblin itu membeku seketika dan terlempar jauh, tubuhnya terpecah menjadi serpihan es saat menghantam tanah. Para goblin lainnya tampak terkejut, dan ksatria serta wanita di dalam kereta kuda pun menatapnya dengan takjub. Para goblin yang tersisa kini berkerumun, mencoba menyerang Spectra sekaligus.
“Dasar bodoh,” ucapnya dingin.
Dengan serentak, para goblin menyerang dari berbagai arah, namun Spectra mengeluarkan kekuatan yang lebih besar dari sebelumnya.
“FREEZE SHOCK!”
Gelombang kejut yang dingin meledak dari tubuhnya, membuat semua goblin yang mendekat terlempar dan membeku. Beberapa mati di tempat, sementara yang selamat segera melarikan diri ketakutan.
“Hm… ternyata selesai juga.” Spectra menoleh, mengamati area sekitarnya. “Aneh, biasanya monster di Astaroth tidak akan lari ketakutan seperti itu.”
Pintu kereta kuda berderit terbuka, dan dua perempuan keluar untuk memeriksa kondisi para ksatria yang terluka. Salah satu perempuan, yang tampak sebagai bangsawan dengan pakaian anggun, menghampiri Spectra dengan ekspresi penuh syukur.
“Hai, apa kau terluka?” tanya wanita itu lembut.
Spectra menatapnya. “Tidak usah khawatir, aku baik-baik saja.”
Wanita itu tersenyum lega. “Terima kasih sudah membantu kami. Jika tidak ada dirimu, mungkin kami sudah habis di sini.”
“Tidak masalah. Kebetulan aku lewat. Apakah semua baik-baik saja?”
“Ya, untung saja luka-luka mereka ringan dan bisa aku sembuhkan,” jawabnya dengan senyum lega.
Spectra mengangguk. “Kalau begitu, aku akan pergi sekarang. Sampai jumpa.”
“Eh… tunggu!” panggil wanita itu tiba-tiba. “Ke mana kau akan pergi? Jika berkenan, izinkan kami mengantarmu.”
Spectra terdiam sejenak, mempertimbangkan tawaran itu. “Aku ingin pergi ke kota manusia terdekat.”
“Ah, kebetulan sekali, kami juga menuju ke sana. Naiklah, anggap saja ini sebagai ucapan terima kasih dari kami.”
Spectra mengangguk, menerima tawaran itu, dan menaiki kereta kuda bersama mereka. Di dunia baru yang penuh misteri ini, ia bukan lagi Aditya sang gamer. Kini, ia adalah Spectra, prajurit bayangan yang menjadi legenda di Astaroth Online.
Ia tahu, untuk bertahan hidup, ia harus memanfaatkan seluruh kemampuan dan pengalamannya—karena kini, pertarungan dan bahaya ini adalah nyata.
Kereta kuda bergoyang perlahan di jalan berbatu, membawa Spectra, Putri Endrina, dan pelayannya, Gracia, menuju kota Eldenris. Suasana sunyi dipecahkan oleh suara Putri Endrina yang memperkenalkan diri.
"Perkenalkan, aku Endrina van Millie, putri pertama Count Emiris," ucapnya dengan lembut. "Dan ini Gracia, pelayanku yang setia."
Spectra menatap Gracia sekilas, memperhatikan sikapnya yang tenang dan sopan.
(Hoo, jadi dia punya pelayan yang selalu menemani, ya) gumamnya dalam hati, sedikit terkesan.
Endrina tersenyum lembut ke arahnya. "Sekali lagi, terima kasih atas bantuan Tuan telah menyelamatkan kami dari serangan goblin tadi."
Spectra mengangguk sambil menyandarkan tubuhnya di kursi kereta yang nyaman. "Tidak masalah. Aku pun beruntung bisa ikut menumpang di keretamu menuju kota."
Mendengar jawaban santai itu, Endrina menatapnya penuh rasa ingin tahu. "Kalau boleh tahu, Nama, dari mana asalmu?"
Pertanyaan itu membuat Spectra tersentak. Sebagai seseorang yang berasal dari dunia lain, ia tidak memiliki jawaban yang jelas. Matanya berkedip gugup, tapi ia berusaha tetap tenang.
"Aku minta maaf kalau pertanyaanku mengganggumu," kata Endrina, tampak menyesal.
Spectra menggeleng pelan dan tersenyum. "Tidak, tidak apa. Kau bisa panggil aku Spectra. Aku hanya seorang pengelana dari wilayah timur, cukup jauh dari sini."
Endrina dan Gracia bertukar pandang. Meskipun Spectra menyembunyikan asal-usulnya dengan jawaban samar, Endrina tampak menerima jawabannya dengan senyuman manis. "Baiklah, Tuan Spectra. Jika kau butuh bantuan di Eldenris, jangan ragu untuk mencari kami. Rumahku ada di tengah kota, kau bisa menemukannya dengan mudah."
"Terima kasih," balas Spectra singkat, berusaha tidak terlalu banyak bicara. Ada banyak hal yang membuatnya penasaran—seperti alasan kenapa mereka bisa diserang goblin tadi. Namun, dia memilih untuk menyimpan rasa ingin tahunya.
Setelah beberapa lama, pemandangan tembok besar Eldenris terlihat di kejauhan.
"Lihat, kita sudah hampir sampai!" seru Endrina penuh kegembiraan. Spectra menatap keluar jendela, terkesima oleh pemandangan kota besar dengan bangunan megah dan menara tinggi yang menjulang.
"Wow, kota yang besar dan indah…" gumam Spectra, kagum.
Endrina tertawa kecil mendengar kekaguman Spectra. "Kota ini adalah kebanggaan ayahku. Beliau berusaha keras agar Eldenris makmur dan menjadi tempat yang aman bagi semua orang."
"Ayahmu orang yang hebat," puji Spectra. Endrina tampak tersipu mendengar itu.
Setelah melalui pemeriksaan di gerbang, kereta kuda memasuki kota. Saat Spectra bersiap untuk turun, Endrina tampak terkejut.
"Tuan Spectra, tidak ingin mampir ke rumahku dulu?"
Spectra menggeleng. "Aku punya urusan yang harus ku urus dulu. Tapi, setelah semuanya selesai, aku akan mampir."
Endrina tampak kecewa, tetapi dia tersenyum dan mengangguk. Sebelum Spectra turun, ia melepas sebuah cincin berkilauan dari jarinya dan menyerahkannya pada Spectra.
"Ambillah. Kalau kau datang berkunjung, kembalikan cincin ini padaku, ya," katanya dengan senyum manis.
Spectra tersenyum dan mengambil cincinnya. "Baiklah. Sampai bertemu lagi, Putri Endrina."
Kereta bergerak meninggalkan Spectra yang kini berdiri di tengah kota. Ia menatap sekeliling, takjub dengan hiruk-pikuk Eldenris—anak-anak bermain, para pedagang menjajakan dagangan, dan orang-orang yang lalu-lalang sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
(Luar biasa… kota ini begitu hidup) pikir Spectra, kagum. Perutnya tiba-tiba berbunyi kencang, mengingatkan bahwa ia belum makan sejak tadii.
"Aku butuh makanan. Ayo cari kedai," gumamnya.
Ia menemukan sebuah kedai kecil di pinggir jalan. Aroma masakan lezat tercium sampai ke luar. Tanpa berpikir panjang, Spectra masuk dan memesan beberapa hidangan. Saat makanan disajikan, dia segera melahapnya.
"Ah, ini enak sekali!" serunya puas setelah menyantap makanan terakhir.
Namun, tiba-tiba dia tersadar akan satu hal penting.
"Sial, aku tidak punya uang!"
Panik, Spectra mengingat cincin yang diberikan Endrina. (Apa aku harus menjual cincin ini? Tidak mungkin… ini pemberian dari seorang putri!) pikirnya, kebingungan.
"Oh iya aku ingat, saat bertarung dengan wyvern aku bisa membuka menu"
"Bagaimana cara membukanya lagi ya?!"
Saat itulah dia melihat sebuah titik kecil di sudut penglihatannya. Dia memicingkan mata, mencoba melihat lebih jelas.
"Itu dia.... Tombol menu!" pikirnya terkejut.
Ingin memastikan, Spectra mencoba berteriak, "Open menu!"
Benar saja, sebuah layar dengan menu antarmuka terbuka di hadapannya. Rasa lega langsung mengalir. Dengan cepat ia mengakses inventory-nya dan menemukan sejumlah koin emas yang pernah ia kumpulkan dalam permainan.
(Syukurlah, uangku masih ada!) pikirnya, merasa seperti orang paling beruntung. Dia mengeluarkan beberapa koin dan membayar tagihan makanan.
Setelah makan, Spectra memutuskan untuk berjalan-jalan melihat kota. Eldenris benar-benar kota yang berbeda dari yang ia kenal di dunia nyata. Sementara berjalan, ia menemukan sebuah pohon besar yang rindang di taman. Spectra duduk di bawahnya, menikmati angin yang sejuk. Tak lama kemudian, rasa kantuk menyerangnya, dan ia tertidur.
Di istana keluarga Emiris, Putri Endrina disambut hangat oleh ayah dan ibunya.
"Putriku! Lama sekali ayah tidak melihatmu. Ayah sudah sangat merindukanmu!" kata Count Emiris dengan wajah penuh kebahagiaan.
Endrina tersenyum dan memeluk ayahnya. Namun, Count Emiris tiba-tiba menyadari bekas-bekas kerusakan di kereta mereka dan bertanya dengan nada cemas, "Apa yang terjadi dengan keretamu? Siapa yang menyerang kalian? Apa kau terluka?"
Endrina menenangkan ayahnya dengan lembut. "Ayah, aku baik-baik saja. Aku akan menceritakan semuanya, tapi bagaimana kalau kita bicara di dalam sambil menikmati teh?"
Count Emiris mengangguk dan segera mengajak putri kesayangannya masuk ke dalam.
Kembali ke taman, Spectra terbangun oleh suara kasar yang membangunkannya.
"Heh, tidur enak ya di sini, dasar pengganggu!" kata seorang pria dengan kasar.
Spectra membuka mata, melihat tiga orang berpenampilan kasar berdiri di hadapannya. Mereka menatapnya dengan wajah sinis.
"Tersesat ya, anak manis? Ini tempat kami, jadi enyahlah!" bentak salah satu dari mereka.
Spectra memicingkan matanya, menatap tajam orang-orang itu. Rasa kesal membuncah di dadanya.
"Apa kau mau mati?" jawabnya dingin, berdiri dengan tangan masih di gagang pedangnya.
Ketiga pria itu tampak sedikit terkejut melihat tatapan tajam Spectra, tapi salah satu dari mereka tertawa kecil, tampak tidak gentar. "Oh, sok jagoan rupanya. Kalau begitu, mari kita lihat seberapa kuat kau sebenarnya!"
Spectra menyeringai, merasa bahwa ini akan menjadi pertarungan yang menarik.
Di Kediaman Count Emiris
Keluarga Count Emiris berkumpul dalam ruang tamu yang mewah. Di tengah suasana hangat, mereka menyimak dengan penuh perhatian cerita Putri Endrina yang masih tampak bersemangat, meskipun tampak lelah setelah perjalanan panjangnya.
"Saat menuju kota Greenmount, perjalanan awalnya berjalan lancar," kata Putri Endrina, menyesap teh hangatnya. "Tapi ternyata, urusan diplomatik yang Ayah tugaskan memakan waktu lebih lama dari perkiraan. Tujuh hari berlalu, dan akhirnya kami memutuskan untuk segera pulang meskipun sudah sangat lelah."
Count Emiris mengangguk, memperhatikan setiap kata yang diucapkan putrinya. Lalu, Endrina melanjutkan dengan nada yang lebih serius. "Namun, di tengah perjalanan pulang, kami disergap oleh kawanan goblin. Para kesatria yang mengawal kami kewalahan melawan jumlah mereka yang begitu banyak. Aku sangat takut, tapi terus berdoa agar seseorang datang membantu kami."
"Kemudian datanglah seorang pria yang memperkenalkan diri sebagai Tuan Spectra," lanjut Endrina dengan wajah kagum. "Dia seorang diri menghadapi para goblin dengan kekuatan yang luar biasa. Gerakannya sangat cepat, dan sihir esnya mampu melumpuhkan para goblin tanpa kesulitan."
Count Emiris tampak tertarik. "Gracia, apakah benar kejadian itu seperti yang diceritakan?"
Gracia, pelayan setia Endrina, mengangguk hormat. "Benar, Tuan. Tuan Spectra memiliki kemampuan bertarung yang sangat hebat. Dengan gerakan gesit dan kekuatan sihirnya, ia mampu mengalahkan para goblin tanpa terluka sedikit pun."
"Hm, sungguh luar biasa," gumam Count Emiris dengan kagum. "Sayang, kenapa kau tak mengajaknya ke sini?"
"Sudah aku coba, Ayah," Endrina menjawab sambil tersenyum. "Tapi dia meminta turun di gerbang utama kota."
Mereka melanjutkan percakapan dengan santai, hingga tiba-tiba terdengar suara ledakan yang sangat keras dari arah luar.
BOOM!
Seluruh bangunan bergetar, membuat orang-orang panik dan berlarian ke luar.
Di Tempat Spectra
Sementara itu, di tengah kota, Spectra sedang menghadapi tiga orang berandalan yang mengepungnya.
"Kau sedang dalam masalah besar sekarang, tahu?" ejek salah satu berandalan itu.
Spectra hanya menyeringai. "Masalah besar? Aku rasa kalian yang sedang dalam masalah besar jika tidak pergi sekarang."
Tanpa menunggu jawaban, salah satu dari mereka melancarkan serangan, tapi Spectra mengelak dengan mudah. Dia mengepalkan tangan, bersiap untuk melawan. "Yah, cukup sudah! Kalau begitu, aku akan menumbangkan kalian satu per satu."
Namun sebelum Spectra sempat bertindak, tiba-tiba terdengar suara teriakan yang keras.
"KETEMU KAU!!!"
Spectra dan para berandalan menoleh. Seorang anak laki-laki berambut pirang dengan pakaian petualang dan pedang besar melompat turun, langsung berdiri di antara mereka.
"Siapa kau?" tanya Spectra bingung.
Anak laki-laki itu tersenyum lebar. "Namaku Dale! Aku sudah lama mencari lawan yang kuat, dan aku yakin kaulah orangnya."
Spectra mengerutkan kening. "Sekarang bukan waktu yang tepat! Aku sedang sibuk."
Dale hanya tertawa dan langsung melompat ke arah para berandalan. "Yang lemah sebaiknya tidak mengganggu!" Dengan cepat, Dale melumpuhkan mereka bertiga hanya dalam beberapa gerakan, membuat mereka terkapar tak berdaya di tanah.
Spectra menghela napas, agak kesal tapi juga kagum melihat kemampuan anak ini. "Hebat juga... Tapi, apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?"
Dale tersenyum penuh semangat. "Aku mencari lawan kuat. Kau tak akan menolak bertarung, kan?"
Spectra menatap Dale dengan tatapan tajam. "Baiklah. Kalau kau ingin melawan, aku tak akan mundur."
Dengan satu gerakan, Spectra membuka menu inventory-nya dan mengeluarkan pedang mithril bernama Kubikiri. Pedang itu berkilauan dengan aura dingin dan tajam.
Dale melihat pedang itu dan tertawa kagum. "Luar biasa! Pedang itu pasti luar biasa kuat."
Spectra hanya tersenyum tipis. "Kalau begitu, jangan sampai kecewa."
Tanpa aba-aba lagi, Dale maju menyerang dengan cepat, pedangnya berkilau dengan cahaya merah yang mencerminkan semangat bertarungnya. Spectra menangkis tebasan Dale dengan mudah, tapi Dale tak menyerah. Ia menyerang berkali-kali, namun setiap serangannya selalu ditangkis atau dihindari oleh Spectra.
Dale melompat mundur, terengah-engah. "Kau kuat... lebih kuat dari yang kubayangkan."
"Sudah puas?" tanya Spectra sambil bersiap menghadapi serangan berikutnya.
"Belum!" Dale tertawa sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Kali ini aura merah mengelilingi tubuhnya, memberikan energi tambahan pada pedangnya. "Kali ini, kau akan kalah! Bloody God Slash!"
Teriakan Dale menggema di udara, diiringi kilauan cahaya merah menyala yang membungkus pedangnya. Dalam sekejap, ia melepaskan tebasan yang melesat dengan kekuatan dahsyat, langsung menuju ke arah Spectra.
Spectra sempat menatap serangan itu dengan mata menyipit, lalu ia melangkah mundur dan bersiap untuk menangkis. Namun, kekuatan yang terpancar dari tebasan Dale jauh lebih besar daripada yang ia duga. Energi merah itu menghantam Spectra tepat sasaran, menciptakan ledakan besar yang mengguncang tanah di bawah mereka.
*BOOOMMM!!!
Asap dan debu beterbangan ke segala arah, menyelimuti Spectra dan membuatnya sulit terlihat. Ledakan tersebut bahkan menimbulkan retakan di tanah dan merusak bangunan di sekitar mereka.
Dale, yang berdiri tak jauh dari sana, mengatur napasnya yang masih berat. Keringat mengucur di dahinya, tapi di matanya terpancar rasa puas. Ia menyaksikan asap yang masih menggumpal di tempat Spectra berdiri, yakin bahwa serangannya berhasil melumpuhkan lawannya.
"Hehehe... HAHAHAHA!" Tawa Dale membahana, penuh kemenangan. Ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, seolah-olah merayakan pencapaian yang luar biasa. Dengan napas tersengal, ia berteriak lantang, "AKU MENANG! AKU BERHASIL MENGALAHKANMU!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!