"Semua berkas ini harus kamu ketik, setelah selesai kembalikan ke ruangan saya secepatnya" perintah bu Siska. Wanita 35 tahun itu menunjuk tumpukan kertas di atas meja kerjanya.
"Siap Bu"
Arumi mengangkat kertas tersebut sampai kepalanya miring-miring karena ingin melihat jalan pun sulit.
"Tunggu dulu" bu Siska menghentikan langkah Arumi. Tentu saja Arumi menggerutu dalam hati karena harus menoleh dengan susah payah.
"Selesai mengetik, bersihkan ruangan bos" perintahnya ketus lalu duduk bersandar di kursi satu kaki numpang lutut.
"Baik Bu" jawab Arumi, rasanya ingin membantah jika yang memerintah bukan bos. Padahal itu bukan tugas Arumi, ruangan bos sudah ada bagian yang membersihkan. Arumi merasa tenaganya diperas. Untung bukan sapi bisa-bisa keluar susu.
"Huh! Enak sekali jadi bos hanya tinggal nyuruh-nyuruh kaki nangkring di kursi, padahal hanya sekelas menejer, lalu bagaimana dengan pemilik perusahaan ini" Arumi ngomel-ngomel sendiri membayangkan pemilik pabrik akan bertindak lebih kejam lagi. Ia belum tahu pemilik perusahaan karena bekerja di tempat ini baru seminggu.
Bruk!
Mulut Arumi mangap menatap berkas yang berantakan di lantai, betapa dia akan kena semprot jika bu Siska tiba-tiba keluar dari ruangan.
"Hati-hati Ate..." suara anak kecil tiba-tiba sudah di samping Rumi. Rumi berpaling dari buku menatap wajah anak kecil itu seketika berbinar-binar.
"Kamu lucu sekali" Rumi terpesona menatap bocah yang sedang menatapnya pula. Dulu Arumi ingin mempunyai adik tetapi tidak terlaksana, walaupun punya kakak laki-laki satu, tapi jahilnya kelewatan.
"Buku Ate belantakan Adel bantu ya" tangan mungil itu memungut kertas lalu mengumpulkan di lantai.
"Terimakasih..." Rumi tersenyum, anak ini masih sekitar 3 tahun tapi mempunyai solidaritas yang tinggi.
"Nama kamu Adel ya?" Arumi pun berjongkok di depan si bocah.
"Nama aku Adeline, Ate" Jawa Adel hingga menampilkan gigi putih dan rata.
"Adeline, nama kamu susah" Rumi menyentuh hidung bangir itu lantas keduanya tertawa. Rumi menatap tumpukan kertas yang disusun Adel. Ia sampai lupa bahwa kertas ini harus segera dia bereskan sebelum ketahuan bu Siska yang pasti akan berbuntut panjang.
"Kamu kesini sama siapa?" Arumi menatap anak perempuan itu baru sekali ini melihatnya. Lagi pula merasa aneh di perusahaan ada anak balita.
"Adel..." panggil pria yang berjalan ke arahnya diikuti satu pria lagi. Begitu dekat, mengait tangan Adeline agar berdiri, kemudian mengajaknya pergi tanpa melirik sosok Arumi.
Sepatu hitam kelimis menyenggol tumpukan kertas yang tinggal diangkat itu kembali ambyar. Namun, pria postur tinggi itu tidak merasa bersalah justru pergi begitu saja. Sementara pria yang membawa koper kecil di belakangnya menyusul, ketika melewati Rumi yang menampilkan wajah merengut, si pria mengulum senyum.
Arumi sudah mangap ingin protes karena kertas tersebut berantakan lagi, tetapi Adeline menoleh ke belakang sambil beseru. " Sampai jumpa Ate" ia menoleh tangannya melambai.
Arumi tersenyum tidak jadi marah yang hanya akan membuang waktu, pikirnya. Tangannya cepat merapikan kertas kembali.
"Arumiiii...! Suara Siska seperti angsa, bibirnya pun monyong seperti ingin menyosor Rumi.
"Siap kerjakan Bu" Arumi melanjutkan perjalanan ke salah satu kubikel. Semua karyawan sedang sibuk bekerja tidak ada yang ikut campur, fokus dengan pekerjaan masing-masing.
"Saya kasih waktu dua jam harus selesai" Siska melengos lalu pergi.
"Hah? Mengetik segini banyak hanya dikasih waktu dua jam?" Arumi duduk lemas di depan komputer. Namun begitu, ia menggunakan 10 jari untuk mempermudah mengefisiankan waktu mengetik agar pekerjaan lebih cepat selesai. Walaupun tidak akan selesai jika hanya diberi tenggang waktu dua jam mengingat segitu banyaknya pekerjaan.
"Mbak Rumi ya" pria yang membawa koper tadi menghampiri dengan senyum khas.
"Iya Pak, ada apa, ya?" Rumi terpaksa menghentikan tangannya.
"Ruangan bos belum dibersihkan, tolong ya Mbak" ucapnya lalu pergi.
"Mbak-Mbak, gundulMu" Rumi kesal menatap pria yang sudah menjauh. Kerjaan ini baru dia kerjakan separuh tetapi sudah disuruh bersih-bersih.
"Hais, bodoooo... bu Siska mau marah biar marah" Arumi nggremeng seperti kumbang, lalu beranjak ambil perlengkapan sapu, pel, dan ember ke ruangan bos.
"Ateee... kita ketemu lagi..." seru Adel seketika turun dari kursi berlari memeluk perut Rumi.
Wanita yang tengah bekerja mengangkat kepala cepat, ia kaget melihat Adeline bisa seakrab itu kepada Office Girls. Padahal dia yang bekerja sebagai sekretaris selama satu tahun tidak pernah disapa Adeline.
"Adel disini?" Rumi menurunkan barang bawaan.
"Iya, Adel temani Papa kelja" celoteh Adeline.
Arumi mengangkat kepala menatap pria yang sedang sibuk dengan tumpukan berkas. Pri itu tidak terpengaruh dengan obrolan Arumi dengan Adel. "Jadi pria yang nyenggol tumpukan kertas tadi bos besar perusahaan ini. Huh! Pantas saja, bos sama saja dengan bu Siska suka berbuat seenaknya" bantin Arumi kesal.
"Cepat bersihkan ruangan ini, mau sampai kapan kamu menatap saya? Memang kemana OB yang biasa membersihkan ruangan ini? Biasanya pagi-pagi sudah rapi" bos tiba-tiba mbrebet seperti api dituangi bensin, tentu mengejutkan Arumi. Tanpa menjawab Arumi segera membersihkan lantai.
"Papa jangan malahi Ate, kasihan, Ate..." protes Adel cemberut. Arumi ingin tertawa tetapi dia tahan hanya muncul senyum tipis saja. Rupanya bos besar itu takut dengan anaknya sendiri, nyatanya langsung diam.
Rumi minta Adel kembali ke tempat duduknya jika terus diam disini bisa-bisa pekerjaan tidak akan ada yang selesai.
"Adel bantu belsih-belsih" Adel mengangkat sapu tetapi Arumi cepat-cepat menarik tangannya.
"Adel tunggu disini dulu ya, Tante mau ngepel jika Adel jalan takutnya jaaa... tuuuhh..." Arumi memanjangkan akhir kata.
"Sebaiknya kamu ke kamar sayang..." ucap bos. Rupanya pria itu bisa berkata lembut juga sampai menyita perhatian Arumi.
"Iya Pa" Adel berlari-lari ke belakang di mana papanya duduk. Arumi melongok kamar sebelum pintu ditutup Adel. Nampak ranjang mini berjajar beberapa boneka.
"Sebental Ate... nanti kita main lagi ya" bocah itu membuka pintu kembali, rupanya sayang sekali melewatkan waktu bersama Arumi.
Arumi menunjukkan jari tanda oke sambil tersenyum hingga pintu tertutup, kemudian melanjutkan pekerjaan.
Hening ruangan tersebut, Arumi sat set bekerja agar cepat selesai jika tidak, bu Siska akan mengemoh, mengembek, bahkan menggongong.
"Buatkan saya kopi" suara berat entah berbicara kepada siapa, karena pria itu tetap menyoret lembar demi lembar kertas.
"Kamu tidak dengar" ulang bos tetap tidak mengangkat kepala.
"Bapak menyuruh saya?" Tanya Arumi melempar tatapan kepada sekretaris.
"Ya kamulah siapa lagi" ketus nya.
"Saya pikir sekretaris Pak, soalnya kan biasanya..." Arumi tidak melanjutkan bicara karena bos menatapnya tajam.
"Biar saya yang membuat Pak Davin" Sekretaris angkat bicara. Tetapi Davin mengangkat satu tangan tanda tidak setuju.
Arumi membawa peralatan ke luar ruangan, meletakkan di tempatnya, kemudian mencuci tangan di pantri sebelum membuat kopi.
"Ya ampun... capeknya... ternyata kerja itu begini" Gumam Arumi sambil mengaduk kopi dalam cangkir. Bekerja selama seminggu saja rasanya satu tahun.
...~Bersambung~...
Terimakasih yang sudah mau membaca karya Buna yang ke 15 😁 semoga betah dan retensi aman.
"Kopi nya, Pak" Arumi meletakkan cangkir di depan Davin.
"Heemm..." Davin hanya berdehem.
Arumi mendengus kesal, bukan bilang terimakasih tetapi hanya 'heemm' lelaki tak patut diteladani. Batin Rumi, tetapi tidak mau berkomentar lebih baik keluar karena kerjaan di kubikel sudah menunggu.
"Sepertinya minum kopi enak juga" Rumi ke pantri menyeduh kopi susu untuk dirinya sendiri, kemudian dia bawa ke kubikel melanjutkan mengetik sambil menunggu kopi tersebut hangat.
Sruupp... sruup...
"Segar..." pria yang bersama Davin siapa lagi jika bukan asintennya. Ia tersenyum tanpa dosa menatap wajah Rumi yang cemberut tidak ikhlas kopinya diminum.
Rumi melengos, orang di kantor ini hampir rata-rata tidak punya sopan santun, minum kopi di depan pemiliknya tidak permisi, langsung nyosor seperti bebek di sawah.
"Kopi buatan kamu enak" pria yang belum diketahui namanya itu komat kamit menelan sisa kopi.
"Habiskan saja" Rumi mengangkat kepala menatap pria yang hanya berdiri di samping kubikel seperti mandor. Namun, hanya hitungan detik, Arumi kembali fokus ke jari-jari yang menekan keyboard.
"Lagi kerjain apa Mbak? Dari tadi sibuk sekali"
"Bapak yang bikin sibuk, tadi kan suruh saya membersihkan ruangan Pak Davin jadi pekerjaan Bu Siska terbengkelai" Arumi akhirnya mengeluarkan isi hatinya. Menjadikan pria di depanya sebagai sasaran kekesalanya.
"Aku bantu" pria itu duduk di kubikel kosong sebelah Rumi, ambil kertas kemudian mengetik.
Arumi kaget karena ternyata pria itu baik juga. Semoga tidak ada buntutnya. Batin Arumi.
"Kamu tidak mau tahu nama saya?" Si pria membuka percakapan.
"Siapa" Hati Rumi luluh juga, siapa yang tidak senang dibantu saat genting seperti sekarang.
"Nama saya Dermawan, panggil saja Derman" Derman menyeruput kopi kembali hingga tak tersisa.
"Oh, mudah-mudahan nama Bapak sesuai dengan perbuatan" Rumi terkikik.
"Hais, aku jelas Dermawan, buktinya membantu kamu" Dermawan bangga diri.
"Dermawan apaan? Bapak minum kopi saya sampai habis tanpa permisi" Arumi melempar sindirian membuat Dermawan seketika menatap gelas kosong lalu tertawa.
"Apa hubungannya Dermawan dengan mencuri kopi? Yang benar itu, Dermawan tidak harus memberikan harta benda, tapi suka rela tenaga pun termasuk dermawan" Derman tak mau kalah.
"Terserah Bapak, tapi saya terimakasih sudah dibantu" Arumi senang karena bebas dari amukan wanita yang mengidap rabies seperti Siska, mungkin dulu digigit Anjing gila. Arumi berspekulasi.
"Dari tadi kamu panggil aku Bapak, memang sudah bapak-bapak" protes Derman padahal dia baru 25 tahun.
"Lalu, mau dipanggil apa? Kakek?" Arumi mentertawakan kata-katanya sendiri.
"Mas, Abang, Kakak, atau Darling" Derman tertawa.
"Dih" Arumi melengos tetapi senang kerena pekerjaan sudah selesai, kemudian merapikan kertas.
"Sebagai imbalan karena kamu membuatkan kopi untuk saya, saya bantu mengantar ke ruangan bu Siska" Derman mengangkat kertas lebih dulu, kemudian mengantar ke ruangan bu Siska diikuti Rumi.
"Ini tugas kamu selanjutnya" bu Siska memberikan kertas yang ditulis tangan, ketika Arumi tiba di ruangan bu Siska.
"Baik bu" Tanpa membantah karena selamat dari omelan bu Siska pun sudah beruntung. Arumi kembali ke kubikel mengetik tulisan tangan tersebut.
"Atee..." Adel berlari sambil membawa boneka.
"Hai sayang... sini duduk di sebelah Tante" Rumi mengangkat tubuh mungil itu ke atas kursi. Kehadiran bocah itu terasa mengisi energi positif kala semangat Arumi mulai mengendur.
"Ate lagi kelja ya? Olang dewasa senengnya kelja, kelja, telus..." Adel cemberut sebagai aksi protes. Rumi menangkap bahwa Adel menunjukkan kurangnya perhatian.
"Iya, karena orang dewasa mempunyai tanggung jawab lebih besar" Arumi mengusap rambut panjang dan ikal itu lembut.
"Pasti Ate akan bilang sepelti Papa. Papa sibuk kelja untuk kamu sayang..." Adel menirukan ucapan Davin.
Arumi kaget, anak ini sangat cerdas bisa menangkap apa yang akan Arumi ucapkan. "Umur Adel berapa tahun?" Tanya Arumi penasaran karena Adel sangat dewasa.
"Tiga tahun, hali minggu nanti aku ulang tahun, Ate datang ya" wajah Adel tiba-tiba sumringah.
"Boleh-boleh" Arumi melanjutkan mengetik. Namun, Adel terus mengajak bicara, Arumi tahu jika Adel butuh perhatian, tetapi Arumi harus profesional menyelesaikan tugas yang diberikan Siska.
"Adel bisa gambar tidak?"
"Bisa-bisa"
"Sekarang Adel gambar dulu ya" Rumi terpaksa memberikan pensil alis milik temannya satu kos yang dia titipkan di tas Rumi, karena bekerja di tempat ini juga. Tidak masalah jika Rumi harus mengganti pensil alis temannya itu yang penting Adel senang dan pekerjaan Rumi pun selesai.
"Ini bukan buat gambal Ate, tapi buat gini" Adel tiba-tiba berdiri dan menyoret-nyoret alis Arumi. Aduh... bagaimana ini? batin Arumi tidak menyangka jika Adel akan tahu kegunaan pensil tersebut. Mungkin saja Adel sering melihat sang mama menggunakan alat itu.
Mau menolak kasihan, tidak ditolak tugasnya belum dia kerjakan. Rumi membayangkan jika bu Siska akan mengeluarkan tanduk. Namun, Arumi membiarkan saja ketika tangan kecil itu terasa menggerakkan pensil di alisnya entah apa bentuknya, padahal Arumi sendiri belum pernah menggunakan alat itu.
"Holee... Ate cantiiiikk..." Adel berseru riang.
"Ya sudah... sekarang Adel duduk manis ya, Tante mau kerja dulu" Rumi membantu Adel duduk kembali, tetapi bocah itu turun dari kursi lalu berlari tanpa berkata-kata.
"Waduh, jangan-jangan marah" Arumi menatap Adel hingga tidak terlihat. Kemudian melanjutkan mengetik.
"Atee... Adel sekalang mau gambal..."
Hanya waktu lima menit Adel kembali dengan menggendong ransel kecil berwarna pink. Arumi tersenyum ketika Adel mengeluarkan krayon dan buku gambar.
"Kalau gambal itu pakai pensil sama klayon Ate... bukan... bukan..." mulut Adel menyon-menyon lupa menyebut pensil alis.
Arumi terkikik untuk menutup rasa malu karena diajari anak umur tiga tahun. Padahal Rumi kira Adel tidak membawa peralatan menggambar.
"Okay... sekarang Adel menggambar dulu" Arumi meletakkan buku gambar dan pensel di atas meja. Kali ini Adel menggambar dengan tenang. Kesempatan itu digunakan Rumi untuk bekerja. Arumi geleng-geleng serasa punya anak bayi yang harus menunggu anaknya tidur baru bisa ditinggal kerja.
Mereka sibuk dengan dunianya masing-masing, sesekali Adel minta hasil gambarnya dinilai Rumi. Hingga pekerjaan selesai, Arumi membereskan bekas gambar nemasukan ke dalam tas.
"Adel Tante antar keruangan Papa, ya" kata Arumi setelah memasang tas di bahu Adeline. Jika lama-lama di luar bos besar pasti akan mencarinya.
"Ate mau kemana?" Adel mendongak menatap wajah Rumi seakan tidak mau berpisah.
"Mau keruangan bu Siska"
"Ikuuutt..." mulut Adel ngumpul nampak memelas. Arumi tersenyum terpaksa menuntun Adel mengajaknya serta.
"Sudah selesai Bu" Arumi meletakkan hasil kerjanya di depan bu Siska. Siska mengangkat kepala menatap wajah Rumi nyengir karena dandanan Rumi aneh, lanjut melempar tatapan kepada Adeline yang merangkul lengan Arumi.
"Ini buat kamu" bu Siska memberi uang lembaran 10 ribu dengan raut wajah tidak ikhlas.
Rumi hanya bengong menatap uang tersebut tanpa berniat mengambil. Bukan dia ngarep dikasih uang tip karena Rumi akan mendapat gaji. Rumi hanya ingin ucapan terimakasih baginya sudah cukup. Padahal jika dilihat pekerjaan yang Arumi kerjakan hingga siang ini sangat melelahkan. Merasa tidak adil jika diberi imbalan 10 ribu pun tidak ikhlas. Padahal itu seharusnya tugas bu Siska yang akan mendapat uang insentif. Huh! Enak banget jadi bos, hanya tinggal laminating langsung serahkan kepada atasannya lagi, Siska yang mendapat keuntungan.
"Permisi Bu..." Rumi meninggalkan uang tersebut.
"Sekarang Tante mau ke kantin, Adel Tante antar keruangan Papa ya"
"Nggak mauuu... Ikuuutt..."
"Ya sudah..." Rumi terpaksa mengajak Adel ke kantin.
"Mau kamu ajak kemana anak saya?" Suara bariton tiba-tiba sudah di belakang Rumi.
...~Bersambung~...
"Mau kamu ajak kemana anak saya?" Tukas Davin langsung ambil alih tangan Adel dari tangan Rumi. Jika Davin kesal, lain halnya dengan Derman, pria itu justru mentertawakan Rumi.
"Bapak kok marah-marah, sebaiknya tanya dulu sama Adel, Pak" Arumi terpaksa menjawab, heran dengan kelakuan bos yang mengedepankan emosi tanpa diselidiki lebih dulu.
Davin tidak menjawab karena Adel ngambek memukul-mukul pelan tangannya. Mata Adel mengembun karena sang papa galak pada Ate.
Sementara Rumi berpaling ke arah Derman "Bang Derman juga, kenapa tertawa begitu?" Rumi merasa Derman menari di atas penderitaannya.
"Wajah kamu kenapa Rumi? Hahaha" Derman tertawa lebih kencang.
Rumi kaget seketika ingat alisnya yang dicoret-coret Adel. Pantas saja bu Siska cengar cengir. Tanpa menjawab ia meninggalkan mereka hendak ke toilet.
"Atee... Adel ikut... hu huhuhu..." Adel menangis melepas tangan Davin kemudian mengejar Rumi merangkul dari belakang seperti Ibunya.
Davin dengan Derman hanya memandangi Rumi yang tengah berjongkok berbicara dengan Adel, entah apa yang ia katakan. Karena tidak lama kemudian Adel kembali kepada Davin.
"Papa jangan malahi Ate, Adel mau ikut Ate" Adel manyun, mata basah itu lalu dikeringkan dengan telunjuk Davin.
"Okay... Adel makan dulu ya" Davin hendak menuntun Adel.
"Adel mau makan tapi sama Ate" Adel rupanya keras kepala, Davin pun menggendong Adel ke ruangan.
Sementara Rumi di toilet syok memandangi wajahnya di depan kaca nyaris tidak mengenali dirinya sendiri. "Ya Allah... Adel..." Rumi geleng-geleng ketika tampilan alisnya menyeramkan seperti Mak Lampir.
"Rumi..." panggil seorang wanita. Arumi yang hendak membasuh wajahnya urung ketika mendengar suara yang dia kenal masuk.
"Gue cari loe sampai ngubek-ubek lantai tiga ternyata disini" tutur Anjani. "Ha? Wajah loe kenapa?" Lanjut Anjani terdengar seperti kaleng rombeng di telinga Rumi.
"Ceritanya panjang" Rumi segera membasuh wajahnya. "Pensil alis kamu kok nggak bisa hilang sih?" Rumi yang tidak pernah dandan itu kebingungan karena tidak membawa sabun wajah.
"Lagian loe sok-sok-an dandan" Anjani tertawa sembari mengeluarkan pembersih, memberikan kepada sahabatnya itu. Setelah bersih, mereka lanjut ke kantin, Rumi menceritakan bahwa alisnya dicoret-coret Adel.
"Masa sih... kok bisa loe seakrab itu" Anjani kaget, dia yang bekerja selama satu tahun tidak pernah didekati Adel.
"Nggak tahu juga aku, seharian ini anak bos itu nguber-nguber terus" Rumi juga bingung, sebenarnya bukan hanya Adel ingin bermain dengannya tetapi Rumi sendiri ingin selalu dekat.
"Nguber-nguber itu apa sih?" Anjani kadang bingung karena seringkali Rumi mencampur bahasa jawa dengan bahasa Indonesia.
"Ngejar-ngejar"
"Oh... Sekarang loe dikejar-kejar Adel, lama-lama sama Bapaknya. Hahaha..." Anjani tertawa mangap, seketika kena toyoran tangan Rumi. Rumi pikir sahabatnya itu ngaco.
Tidak terasa mereka tiba di kantin kemudian memesan makan siang.
"Memang Ibunya Adel kemana An?" Arumi mulai serius.
"Kagak tahu gue, kan, kan loe mulai keppo" Anjani menunjuk wajah Rumi. "Kenapa memang, loe takut dijadikan isteri kedua? Hahaha... lagi-lagi Anjani ngablak.
"Dari tadi kamu melantur terus" Rumi berdecak kesal. Padahal yang ia maksud mengapa Adel seperti kurang kasih sayang dan perhatian.
"Nggak tahu juga gue Rum. Dahlah, kita makan dulu, loe kelihatan lapar tuh" Anjani menyeruput air putih.
"Aku bukan lapar An, tapi capek banget" Arumi menenggelamkan wajahnya di atas meja berbantalkan tangan.
"Nah, nah! Apa gue bilang? Loe itu nggak cocok bekerja seperti ini Rumi" Anjani kasihan dengan temannya yang tidak biasa bekerja kasar.
Flashback On.
"An, di kantor ada lowongan pekerjaan nggak?" Arumi ingin bekerja. Di kampus sudah tidak ada kuliah, hampir setiap hari bengong di dalam kos, sementara Anjani bekerja.
"Sementara ini belum ada Rum, nanti kalau ada gue kabarin. Ada juga lowongan pesuruh, nggak cocok untuk loe"
Anjani yakin bahwa Rumi yang berasal dari Semarang itu bukan orang biasa. Walaupun selama ini Arumi tidak pernah cerita tentang keluarganya, tetapi Anjani bisa menilai bahwa Arumi anak orang berada. Jika Arumi tinggal di kost itu karena kuliah di universitas negeri .
Tidak seperti Anjani yang hanya lulusan SMK dan bekerja di bagian produksi. Sedangkan Arumi setiap bulan mendapat kiriman uang dari orang tua. Anjani tentu tidak yakin jika Rumi mampu bekerja seperti itu.
"Nggak apa-apa An, aku mau bekerja apapun" tekat Arumi sudah bulat.
"Baiklah kalau begitu, kamu segera buat lamaran, tapi kalau terlalu lelah jangan salahkan aku" Anjani memperingatkan.
"Mudah-mudahan aku bisa An, itung-itung belajar dulu" Arumi antusias, walaupun pekerjaan tersebut tidak sesuai bidangnya, tentu ada pengalaman yang bisa dia ambil dari sana.
Flashback Off.
"Rum, kalau loe memang nggak kuat, sebaiknya berhenti saja terus cari pekerjaan yang pas untuk loe" Anjani kasihan dengan Rumi, walaupun pekerjaan dirinya juga berat tetapi Anjani memang biasa hidup susah.
"Ayo makan dulu nanti kita pikirkan lagi" Anjani mengangkat dahi Arumi begitu makanan sudah tersaji. Selesai makan, mereka melanjutkan bekerja hingga sore hari.
Hingga tiba saatnya pulang, Arumi menunggu Anjani di parkiran motor. Sudah biasa mereka pulang bersama berboncengan motor milik Arumi kecuali Anjani sedang lembur.
"Itu kan bos jutek itu? Lalu mana Adel?" Arumi memandangi Davin yang bersandar di mobil tengah mantengin handphone, tetapi tidak ada Adel.
Hingga beberapa menit kemudian, Adel muncul dengan seorang wanita dari arah berbeda entah darimana. Tangan kanan wanita itu membawa paper bag, sementara tangan kiri menuntun Adel. "Mungkin itu Mamanya Adel" Rumi membatin. Entah apa kesibukan mama Adel hingga tidak memperhatikan buah hatinya yang seharusnya mendapat perhatian khusus.
Plak!
"Hai... lihat apa loe" Anjani ternyata sudah tiba menepuk pundak Rumi, lalu menatap ke arah mana mata Arumi memandang.
"Hihihi... jadi loe memandangi Pak Davin?" Anjani tertawa ketika melihat Davin masuk mobil setelah dibukakan pintu oleh Derman.
"Dih, ngacok" Arumi mendengus lalu memasang helm sebelum naik ke atas motor, ia ingin segera pulang dan merasakan empuknya kasur.
"Sini kunci motornya biar gue yang bawa" Anjani kasihan melihat Rumi lelah. Arumi menyerahkan kunci dengan senang hati. Jika biasanya Rumi yang membawa motor, kali ini dia membonceng.
Hanya numpang tidur saja mereka di dalam kos, keesokan harinya sudah berangkat kerja lagi setelah sarapan nasi uduk yang mereka beli diluar pagar kos wanita.
"Loe yakin mau lanjut kerja" Anjani meyakinkan sebelum berangkat.
"Sudah rapi begini kok baru tanya, terlambat kamu" Arumi merasa aneh dengan sahabatnya itu, sudah mau naik motor baru bertanya. Tentu saja Arumi tidak menyerah apa lagi setiap kali ingat Adel semangatnya memuncak
"Ate... ini undangan buat Ate. Ate halus datang" Adel rupanya sudah berada di ruangan, padahal Arumi berangkat lebih awal. Ingin bersih-bersih sebelum bos galak itu datang.
"Terimakasih..." Arumi menerima kertas undangan berwarna pink gambar boneka lucu, bertuliskan Adeline Zivana.
"IsyaAllah... besok Tante datang, Adel kok pagi-pagi sekali sudah di sini?"
"Adel mau cepat-cepat ketemu Ate" polos Adel. Arumi tersenyum lebar.
"Daripada kamu selalu datang kesiangan" pria dingin di depan komputer yang menjawab ketus.
Senyum Arumi mendadak hilang, melempar tatapan tajam ke arah Davin yang memang sibuk atau pura-pura sibuk di depan komputer. Enak saja dibilang datang kesiangan padahal aturan masuk jam delapan seperti karyawan lain, sementara saat ini masih jam tujuh.
...~Bersambung~...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!