Hari ini adalah hari yang paling membahagiakan bagi Arini (20 tahun). Pasalnya hari ini dia resmi dipersunting seorang lelaki tampan yang sudah sejak lama dia cintai. Lelaki itu bernama Alfian(25 tahun) pemuda yang berasal dari kampung sebelah.
Setelah dua tahun lamanya berpacaran, mereka akhirnya menikah.
Seperti apa yang diinginkan mertuanya, setelah menikah, Arini tinggal di rumah orang tua Alfian, yang berjarak kurang dari lima kilo meter dari rumah orang tuanya.
Arini adalah anak pertama dari dua bersaudara. Ayahnya sudah meninggal, dan ibunya tinggal bersama adik laki-lakinya, yang hanya terpaut usia dua tahun dengannya.
Jauh di lubuk hati, Arini sebenarnya tidak ingin tinggal bersama mertua atau orangtuanya sekalipun, karena tadinya ia berniat mengontrak di sebuah kos-kosan kecil atau semacamnya.
Bukan apa-apa, setelah berumah tangga, Arini hanya ingin belajar hidup mandiri bersama suami. Selain itu, alasan lainnya karena dia ingin menghindari konflik atau pertikaian yang sering terjadi diantara mertua dan menantu yang sering ia dengar. Tapi, karena ibu mertuanya terus memohon, ia pun menjadi tidak enak hati untuk menolak.
...
Satu bulan pertama tinggal di rumah mertua, Arini merasa betah dan senang, karena mertuanya memperlakukannya dengan baik. Apalagi Arini termasuk menantu yang rajin.
Sejak tinggal di rumah mertuanya, dia lah yang selalu membersihkan rumah, memasak, mencuci pakaian dan semua pekerjaan rumah tangga lainnya, walau kadang ada adik iparnya yang sesekali membantunya saat dia libur sekolah.
"Tuh kan, kalau udah punya istri mah, kamar dan lemari kamu jadi rapi Alfian." Ucap bu Ratih pada Alfian, saat Arini baru selesai merapikan kamar dan isi lemari Alfian yang tadinya acak-acakan.
Alfian mengangguk samar sambil tersenyum lalu menoleh ke arah Alfian yang juga sedang tersenyum.
"Ya sudah, ibu keluar. Kalian juga pasti mau istirahat kan." Imbuh bu Ratih lalu meninggalkan kamar Alfian dan Arini
Alfian menghampiri Arini lalu memeluknya.
"Sepertinya ibu sangat menyukai dan menyayangi kamu Rin. Buktinya sejak saat makan tadi, ibu terus saja memuji kamu. Dia bilang kamu rajin, dan juga pinter masak. Aku nggak salah pilih istri." Ucap Alfian memuji Arini, membuatnya tersipu.
"Jangan terlalu memuji berlebihan mas. Apa yang aku lakukan sudah biasa dilakukan oleh para istri diluar sana, termasuk ibu kamu. Aku juga belajar dari beliau. Lagipula kita kan masih tinggal di rumah orang tua, masa iya aku harus malas-malasan. Malu lah mas, hehe...." Ujar Arini.
"Apapun yang kamu katakan pokoknya aku seneng banget lihat kamu dan ibu rukun dan akrab seperti ini. Aku bahagia." Balas Alfian sambil mengeratkan pelukannya.
***
Awalnya bu Ratih selalu memuji apapun yang dilakukan Arini, dan selalu menceritakannya pada orang-orang. Namun, seiring berjalannya waktu, sikapnya perlahan berubah. Ibu mertua yang awalnya sangat baik, mulai memperlihatkan karakter aslinya. Arini sering sekali tersinggung dan sakit hati oleh sikap ataupun ucapan sang mertua yang selalu menyindirnya. Apapun yang dilakukan Arini selalu dinilai salah.
Seperti sore itu, Arini baru saja selesai memasak, saat Mila, sepupu Alfian menghampirinya. Dia menawarkan baju yang baru dia beli pada Arini, karena kekecilan, dan dia malas untuk menukar kembali.
"Baju apa Mil?." Tanya Arini
"Atasan. Bagus pokoknya, bisa dipakai buat kondangan atau buat jalan-jalan. Aku suka banget sama modelnya. Sayangnya di aku kekecilan Rin. Kalau di kamu kayaknya cocok dan pas."
"Emang kamu gak cobain dulu pas belinya?." Tanya Arini, Mila menggelengkan kepala.
"Boleh aku lihat dulu bajunya Mil?." Tanya Arini
"Oh iya tentu, boleh Rin. Kamu lihat dan cobain aja." Jawab Mila, seraya memberikan plastik baju yang ia pegang.
Arini mencoba baju itu di kamarnya, dan Mila benar, baju itu memang pas dan cocok di badannya. Arini menyukainya, dan berniat akan membeli baju tersebut.
Saat Arini hendak membayar bajunya, tiba-tiba bu Ratih datang.
"Mila!! Tumben kesini." Ucapnya.
"Iya bi, ini aku ada urusan sama Rini."
"Urusan apa?."
"Ini, aku mau jual baju, di aku kekecilan soalnya."
"Baju?. Baju apa?." Tanya bu Ratih dengan nada sedikit sinis, sambil melirik baju berwarna hitam yang di pegang Arini.
"Heh....buat apa beli baju, nanti juga ujung-ujungnya jadi sampah atau lap kompor, mending uangnya di tabung, buat bangun rumah. Jangan menghamburkan uang, kasihan suami kamu, capek kerja." Ucap bu Ratih, membuat Arini terkejut, malu dan agak tersinggung.
Tak hanya Arini, Mila pun nampak terkejut mendengar ucapan istri dari pamannya itu. Dia jadi tak enak hati, dan sedikit merasa bersalah pada Arini. Mila tahu Arini sepertinya tersinggung mendengar ucapan bu Ratih, apalagi Mila sempat melihat mata Arini yang berkaca-kaca, dia pun memilih pergi.
"Buat apa beli baju, baju kamu yang bawa seserahan aja masih bagus. Punya uang mah mending di tabung." Kata bu Ratih.
"Iya bu." Jawab Arini pelan. Bu Ratih lalu pergi ke kamarnya.
Yang dikatakan bu Ratih memang benar, baju yang dibawa Alfian saat seserahan memang masih bagus, dan ada yang belum dia pakai, karena Arini memang tidak menyukai model bajunya. Pasalnya, saat itu bukan dia yang memilih semua baju ataupun barang-barang lain yang dibeli buat seserahan, semua itu pilihan ibu mertuanya.
Arini terlanjur menyukai baju yang di tawarkan Mila tadi, tapi dia tidak berani membelinya, karena dia takut ibu mertuanya marah.
Sebagai seorang istri yang setiap hari hanya tinggal di rumah, Arini sadar dirinya hanya bergantung pada suaminya, jadi dia urungkan niatnya membeli baju itu, karena takut di tuduh menghambur-hamburkan uang suami.
....
Arini baru selesai mandi, setelah pulang dari bekerja bersama pak Hardiman, ayah Alfian.
Pak Hardiman dan Alfian bekerja di sebuah peternakan ayam yang cukup besar. Pak Hardiman kebetulan adalah orang kepercayaan pemilik peternakan tersebut, sedangkan Alfian bekerja sebagai sopir.
Arini mengajak Alfian makan, tapi Alfian menolak, karena katanya ia masih kenyang.
Pintu kamar tiba-tiba dibuka dari luar, dan bu Ratih lah yang membukanya. Dia menyuruh Alfian untuk segera makan, karena menurutnya anaknya itu pasti capek dan lapar setelah pulang dari bekerja.
"Kalau suami pulang kerja itu, buru-buru ajak makan." Ucap bu Ratih pada Arini.
"Dari tadi Arini juga ngajak aku makan kok bu, tapi akunya masih kenyang." Jelas Dani.
"Kenyang dari mana, orang pulang kerja pasti lapar." Sanggah bu Ratih.
Karena tak ingin mendengar ocehan ibunya, Alfian pun pergi ke ruang makan bersama Arini. Saat di ruang makan, Arini hendak mengambilkan nasi dan lauknya untuk Alfian, tapi Alfian melarangnya.
"Mending jajan baso yuk." Ajak Alfian saat mendengar suara tukang baso yang lewat di depan rumahnya.
"Hayu!! Seru Arini senang.
Mereka beranjak hendak menghampiri tukang baso yang biasa mangkal di dekat pos ronda, namun suara bu Ratih menghentikan langkah mereka.
"Mau kemana?. Bukannya kamu mau makan?." Tanya bu Ratih.
"Jajan baso bu." Jawab Alfian.
"Kenapa harus jajan baso, ini nasi dan lauknya banyak dan masih hangat. Siapa yang akan memakannya kalau kalian jajan baso." Kata bu Ratih. "Arini, mending kamu ajak suami kamu makan, jangan jajan baso." Titah bu Ratih, Arini hanya diam. Lagi-lagi dia yang disalahkan.
"Iya bu, nanti pasti kami makan kok. Sekarang kami jajan dulu. Ibu mau?." Tanya Alfian
"Enggak. Ibu mending makan, dari pada jajan baso. Kamu tahu kan harga baso satu mangkuk hampir sama dengan harga beras satu liter. Mending ibu makan, lumayan ngirit-ngirit." Sarkas bu Ratih seraya melirik sekilas pada Arini.
Akhirnya Alfian mengurungkan niatnya untuk jajan baso sore itu, karena Arini yang memintanya. Dia makan, tapi tidak dengan Arini. Selera makannya sudah hilang sejak mendengar ucapan bu Ratih saat Mila menawarkan baju tadi, apalagi setelah mendengar ucapan bu Ratih barusan, dia semakin kehilangan selera makannya.
Arini merasa ibu mertuanya itu seolah-olah menuduhnya menghambur-hamburkan uang Alfian, padahal selama ini dia tidak pernah melakukan hal itu. Sejak tinggal bersama mertuanya, Arini jarang sekali jajan atau mengeluarkan uang selain untuk keperluan makan. Dia jajan hanya saat bersama Alfian.
Jangankan untuk jajan, bahkan untuk sekedar tidur atau istirahat sebentar saat siang hari saja, dia sangat ragu melakukannya, karena ia merasa setiap gerak-geriknya selalu di awasi oleh sang ibu mertua.
🌿🌳🌳🌳🌳🌳🌳🌳🌳
Lama semakin lama, sikap bu Ratih semakin membuat Arini tidak nyaman, dan tidak betah tinggal di rumah itu. Berulang kali dia meminta pada Alfian agar mereka mengontrak rumah, tapi semua percuma, karena bu Ratih dan pak Hardiman tidak pernah mengijinkan, dan ujung-ujungnya bu Ratih menuduh dan memperingatkan Arini agar ia tidak berusaha mempengaruhi Alfian.
Arini hanya bisa bersabar dan pasrah, menerima perlakuan ibu mertuanya itu. Dia tidak pernah menceritakan perlakuan yang diterimanya pada Alfian, karena takut di tuduh mengadu domba ibu dan anaknya. Walau sebenarnya Alfian pun merasakan sikap ibunya yang selalu menyudutkan Arini.
Kalau awal-awal bu Ratih selalu memuji Arini maka sekarang sebaliknya, sekarang dia selalu menjelek-jelekkan Arini pada orang-orang disekitar rumahnya, bahkan hampir satu kampung mendengar dan tahu cerita bu Ratih tentang menantunya itu.
Suatu malam, dikamar Dani
"Mas, boleh kan kalau aku kerja?." Tanya Arini
"Kerja?. Kerja dimana?." Tanya balik Alfian
"Di konveksi milik pak Indra. Katanya lagi butuh karyawan tambahan." Jawab Arini
Meski tidak mau mengijinkan, Alfian tetap memberikan ijinnya pada Arini.
Arini tampak senang, tapi tidak dengan sang mertua yang terlihat tidak suka saat dia tahu Arini akan pergi melamar (pagi harinya).
Tapi sayangnya keberuntungan belum berpihak pada Arini. Dia tidak di terima di konveksi itu. Lebih tepatnya, dia terlambat karena lowongan pekerjaan yang dia dengar sudah terisi orang lain. Ya sudahlah, berarti dia masih harus mengumpulkan stok sabar menghadapi sikap ibu mertuanya itu.
🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿🌿
Tak terasa sudah hampir tiga bulan Arini menjalani kehidupan rumah tangganya. Besok adalah hari raya idul fitri. Tedi (Kakak laki-laki Alfian) dan istrinya, Nena datang bersama anak mereka yang baru berusia lima tahun. Mereka akan menginap di rumah bu Ratih, karena akan berlebaran bersama. Dan saat ini, mereka sedang berbuka puasa bersama.
Bu Ratih memperlakukan Nena dengan sangat istimewa, sikapnya pun terasa begitu hangat. Semua makanan dia tawarkan pada menantu pertamanya itu, sedangkan pada Arini, dia memperlakukannya seperti pada pembantu yang harus melayani mereka semua. Arini tetap menerima, karena baginya ini sudah biasa. Dan lagi, bagaimanapun juga Nena dan Tedi adalah tamu yang harus dia layani, Arini sama sekali tak keberatan.
Hanya saja yang membuatnya tak enak hati adalah saat dirinya tak sengaja melihat bu Ratih berbisik-bisik pada Nena, sambil sesekali menoleh ke arahnya. Dia tidak mau berburuk sangka, tapi entah mengapa hatinya berkata, ibu mertuanya itu sedang membicarakannya pada Nena.
...
Selesai berbuka puasa bersama, Arini membereskan gelas dan mangkuk kotor bekas takjil. Nena berniat membantu, tapi bu Ratih melarangnya.
"Biar Arini aja yang beresin. Kamu pasti capek Nena." Kata bu Ratih.
"Iya, kak!! Biar saya aja yang beresin." Timpal Arini.
"Ah gapapa, sekalian mau cuci tangan dan wudhu juga." Sahut Nena, seraya membawa gelas dan mangkuk kecil bekasnya sendiri, lalu dia wudhu dan sholat. Begitu juga bu Ratih, sedangkan Arini sebelum sholat dia mencuci dulu semua gelas dan mangkuk kotor tadi.
****
Arini baru saja selesai melaksanakan sholat maghrib. Dia masih duduk di atas sajadah dengan memakai mukenanya.
"Hei!! Habis sholat kok malah ngelamun." Ucap Alfian seraya meletakan tangan di bahu kanan Arini.
"Eh..(Sedikit tersentak). "Eng....enggak kok mas. Aku nggak ngelamun." Jawab Arini
"Kenapa ? Kamu capek ya?." Tanya Alfian
"Enggak kok. Biasa aja." Jawab Arini
"Bener kamu nggak capek?." Tanya Alfian memastikan.
"Bener." Jawab Arini
"Kalau gitu, habis isya nanti kita jalan-jalan yuk, naik motor." Ajak Alfian
"Jalan-jalan?. Kemana?." Tanya Arini antusias
"Ya kemana aja. Yang penting jalan-jalan. Malam takbiran kayak gini biasanya banyak diskon gede-gedean." Jawab Alfian.
"Oh ya. Ayo mas." Sahut Arini sambil tersenyum senang. Namun senyum di bibirnya itu perlahan memudar saat dia ingat pada ibu mertuanya, yang dia yakin tidak akan mengijinkan mereka pergi.
"Tapi mas, apa ibu dan bapak akan mengijinkan kita pergi?." Tanya Arini
"Kenapa enggak?. Kita sekarang sudah jadi suami istri, bukan baru pacaran, jadi kenapa ibu atau bapak harus melarang kita?." Jawab Arini.
"Tapi mas......"
"Sudah lah kamu nggak perlu takut, biar nanti aku yang izin sama ibu ya." Kata Alfian menyela ucapan Arini.
TBC🌿
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!