Chairunnisa Salsabila Putri, nama cantik yang tersemat dalam diriku. Nama indah pemberian kedua orangtua. Anugerah terindah yang aku dapatkan, sesaat setelah aku terlahir ke dunia. Satu-satunya hal yang mengikatku dengan keluarga besarku. Nama yang terus mengingatkanku akan jati diri hidupku. Mengingat darah yang terus mengalir dalam nadiku. Nisa panggilan cantik yang terngiang di telingaku. Namun tak secantik hubunganku dengan kedua orangtuaku. Keluaga yang seharusnya melindungiku, menjagaku bahkan memberi rasa aman. Namun nyatanya, aku merasa asing berada diantara mereka. Bahkan sempat terbersit dalam benakku. Dalam tubuhku tidak mengalir darah mereka. Mengingat perbedaan yang ada diantara kami.
"Mbak Nisa, sudah ditunggu di meja makan!" Ujar mbak Nur, salah satu ART di rumahku. Seketika aku menoleh, mengangguk pelan sembari tersenyum kepadanya.
Mbak Nur, salah satu ART termuda di rumah. Usianya tak jauh beda denganku. Dia beberapa tahun lebih tua dariku. Mbak Nur bekerja di rumahku, sejak tiga tahun yang lalu. Usianya yang hampir sebaya denganku. Membuatku merasa nyaman, seolah aku memiliki saudara perempuan. Mbak Nur mungkin ART bagi keluagaku, tapi dia sahabat sekaligus saudara bagiku. Mbak Nur menggantikan bik Siti ibunya. Usia yang tak lagi muda, membuat Bik Siti berhenti bekerja. Bik Siti sudah seperti ibu bagiku. Kini mbak Nur putrinya yang menjadi saudaraku. Aku merasa nyaman bersama mereka, tapi asing dengan keluarga besarku.
"Mbak, mereka sudah berkumpul?" Sahutku, mbak Nur mengangguk pelan. Aku menghela napas pelan, lalu berdiri keluar dari kamarku.
"Papa!" Ujarku lagi, mbak Nur mengangguk seraya tersenyum. Seutas senyum yang menjawab gundah di hatiku. Mbak Nur tempatku berkeluh kesah. Dia mengetahui segalanya, hanya padanya aku percaya. Tak ada yang aku rahasia diantara kami. Sebab itu, mbak Nur tersenyum menjawab pertanyaanku. Mbak Nur menyadari, rasa engganku bertemu dengan papa. Seorang ayah yang tak lagi aku kenal.
"Mbak Nisa, semua sudah berkumpul. Bahkan ada tamu khusus yang datang pagi ini. Sebab itu, bapak meminta mbak Nisa segera datang!"
"Siapa yang datang sepagi ini?" Sahutku terkejut, merasa aneh saat mendengar ada tamu di pagi hari.
Ini masih sangat pagi, bukan waktu yang tepat bertamu. Seorang tamu yang datang, bahkan di saat sarapan. Pasti dia bukan tamu sembarangan. Entah siapa yang datang? Aku tidak ada urusan dengan tamu papa. Aku pergi menemui mereka. Sebab hanya waktu sarapan aku bisa berkumpul dengan mereka. Setidaknya, saat sarapan aku bisa menghargai mereka. Menganggap keluarga ini utuh dan tak asing bagiku.
"Mbak Nur, bisa tolong siapkan roti untukku. Nanti masukkan ke dalam kotak makan. Aku akan membawanya ke kampus. Aku tidak ingin sarapan bersama mereka. Pasti ada pembicaraan penting saat sarapan. Aku malas mendengarnya, lebih baik aku membawa bekal!"
"Tapi, bapak berpesan mbak Nisa harus ikut sarapan bersama!" Sahut mbak Nur ragu, aku tersenyum simpul. Aku merangkul mbak Nur dengan tangan kananku. Sedangkan tangan kiriku membawa beberapa buku pelajaran. Aku memahami kekhawatirannya.
"Tenang, aku tetap kesana. Namun aku tidak ingin sarapan. Aku akan datang menyapa, setelah minum susu. Aku langsung pergi ke kampus!"
"Ibu sengaja membuat makanan kesukaan mbak Nisa!" Ujar mbak Nur membujukku, aku diam membisu.
"Apa yang mereka rencanakan?" Batinku.
"Mbak Nisa, ada apa?" Ujar mbak Nur membuyarkan lamunanku. Aku tersentak, lalu tersenyum simpul menghapus kecemasan di wajah saudara perempuanku.
"Mbak Nisa baik-baik saja?" Ujarnya gelisah, aku mengangguk pelan.
"Aku baik-baik saja, selama mereka tidak mengusikku!" Gumamku lirih.
Aku berjalan perlahan menuju meja makan. Mbak Nur langsung pergi ke dapur, menyiapkan pesanan yang aku minta tadi. Beberapa langkah lagi, aku sampai di meja makan. Telingaku sudah bisa mendengar tawa mereka. Suara yang menggema di meja makan panjang. Tawa beberapa orang yang lupa akan rasa syukur. Tawa yang mengusik hati nuraniku, kala menyadari mereka tak lain keluargaku. Mereka yang tak pernah ingin mengenal rasa sakit orang lain. Sekadar mengingat rasa lapar orang-orang di sekitar mereka.
"Nisa, kenapa lama sekali? Sekarang duduk, kami sudah menunggu terlalu lama!" Teriaknya, suara barito yang menggema. Suara yang tak lagi menyimpan rasa nyaman bagiku. Tatapan tajam yang nampak, seolah marah dan menyalahkanku.
Braaakkk
Suara keras buka yang aku letakkan di atas meja makan. Semakin mempertajam tatapannya, menambah amarah yang siap meledak. Aku duduk tepat di sudut terakhir. Berhadapan langsung dengan tamu istimewa keluarga ini. Aku tak pernah menjauh dari keluarga ini. Namun tak pernah juga aku mendekat. Sebagai putri bungsu, aku memilih duduk di sudut meja. Menempatkan diriku di sudut ternyaman yang taj tersentuh mereka.
"Nak Dimas, maaf sudah lama menunggu. Sekarang kita bisa memulai sarapannya!" Ujar tuan besar rumah ini. Aku tersenyum kecut, merasa jijik mendengar keramahannya hanya untuk orang-orang atas.
"Silahkan!" Sahut laki-laki bernama Dimas. Aku menunduk, tubuhku terasa panas. Tak lagi ada rasa nyaman yang terasa. Ingin rasanya aku berlari pergi. Namun ada janji yang membuatku harus tetap bertahan di rumah ini.
"Silahkan!" Ujarnya, sembari menyodorkan sepiring nasi padaku. Aku mendongak terkejut, seketika aku menggelengkan kepala. Aku menolak sikap ramahnya. Dia tersenyum simpul, lalu meletakkan piring berisi nasi di depannya. Aku jelas melihat rasa kecewanya. Aku menoleh ke ujung meja makan. Nampak dua bola mata papa tengah menatap tajam ke arahku.
"Maaf, pagi ini saya tidak sarapan. Sebab ada ujian pagi, takut terlambat ke kampus!" Sahutku, dia mengangguk pelan. Dia mencoba menerima penjelasanku. Meski terlihat jelas kekecewaan di wajahnya.
"Nisa, kamu harus sarapan. Ingat, riwayat asam lambung yang kamu miliki!"
"Aku sudah meminta mbak Nur menyiapkan bekal. Segelas susu hangat sudah cukup!" Sahutku, sembari meminum segelas susu hangat yang disiapkan mbak Nur.
"Nisa!" Ujar papa tegas, aku diam membisu.
Kreeekk
"Semuanya, saya pergi lebih dulu!" Ujarku lirih, sembari berdiri. Suara derit kursi, bak genderang perang yang kutabuh. Genderang perang pertanda sikap keras kepalaku.
Aku menangkupkan kedua tanganku, aku mengangguk pelan menyapa laki-laki di depanku. Seutas senyum terlihat di wajah tampannya. Sebagai balasan hangat yang aku tunjukkan. Aku mencium punggung tangan papa, mama dan kedua saudaraku. Aku menghormati mereka, tak pernah aku bersikap tak pantas. Meski sampai detik ini, tak pernah ada titik temu diantara kami.
"Nisa, kakak sudah mentransfer uang jajan bulan ini!"
"Terima kasih!" Sahutku dingin, kak Faiz terdiam. Hanya uang bentuk kasih sayangnya padaku. Tak pernah aku merasakan hangat rangkulannya. Dia kakak tertuaku, pengganti kedua orangtuaku. Namun, sebatas uang dia menunjukkan kasih sayangnya padaku.
"Nak Dimas, maafkan sikap Nisa. Dia selalu mengutamakan kuliahnya!" Ujar papa, seolah takut Dimas marah dengan sikap dinginku.
"Izinkan aku mengantarmu!" Ujarnya menawarkan diri, aku menggeleng pelan.
"Chairunisa, papa tidak pernah mengajarkan sikap tak pantas seperti ini!"
"Tidak masalah, lain kali saja!" Sahutnya lirih, aku menatap lekat ke arahnya. Banyak pertanyaan di benakku, siapa dia yang begitu dipedulikan papa?
"Chairunisa Salsabila Putri, mahasiswi semester akhir fakultas keperawatan!" Ujarku, sembari menangkupkan tangan.
"Di...!"
"Aku harus pergi, assalammualaikum!" Ujarku menyela, dia terdiam.
"Siapapun dirimu? Maaf, aku tak ingin mengenalmu. Sebab, mereka yang memintamu. Aku tidak ingin tunduk pada keinginan mereka. Sekali lagi maaf, aku telah melukaimu!" Batinku, sembari aku tinggalkan meja makan. Aku merasa asing di tempat ternyaman dalam hidupku.
"Silahkan duduk, masih satu jam lagi rapat dimulai. Kita bisa minum secangkir kopi bersama!" Ujar Faiz, Dimas mengangguk pelan. Nampak jelas tatapan kosong Dimas. Seolah ada seseuatu yang tengah mengganggu pikirannya.
Faiz memberikan secangkir kopi pada Dimas. Sesaat Faiz menyadari kegamangan Dimas. Dua bola mata Dimas menyiratkan kegundahan hatinya. Semenjak bertemu denganku, Dimas lebih banyak termenung. Faiz menangkap kegalauan hati sahabatnya. Dimas seorang sahabat, sekaligus rekan bisnis Faiz. Sejak awal Dimas hanya mengenal Faiz. Entah sejak kapan Dimas mengenal papa? Hubungan hangat yang membuat hatiku gelisah. Pembelaan, amarah dan kepedulian papa akan rasa kecewa Dimas. Menyisipkan rasa takut di hatiku. Dimas menjadi laki-laki pertama yang terang-terangan menyapaku di depan papa.
"Sampai kapan kamu melamun? Sehebat itu pesona adikku. Sampai-sampai kamu larut dalam lamunan tanpa batas. Apa yang mengganggumu? Tanyakan saja padaku, papa sudah memberikan lampu hijau. Sebisa mungkin aku akan membantumu. Namun, keputusan tetap ada padanya. Aku tidak akan ikut campur, sepenuhnya keputusan ada ditangannya. Aku sudah kehilangan hangatnya, tidak akan aku sanggup melihat diamnya!"
"Maksudmu!" Sahut Dimas terkejut, Faiz duduk tepat di depan Dimas. Faiz diam sejenak, lalu terdengar helaan napasnya. Dimas meletakkan kopi yang ada ditangannya. Tak lagi Dimas ingin meminumnya, Dimas hanya peduli akan hidupku. Segala sesuatu yang berhubungan denganku. Dimas sangat ingin mengenal pribadiku. Hanya keluarga besarku yang mengenal pribadiku.
"Nisa memanggilku kakak, tapi tak lagi menganggapku kakak. Aku tak lebih saudara sedarah baginya. Bukan kakak yang berhak akan rasa lemah dan takutnya. Dia tak pernah bersandar padaku. Nisa menyimpan tangisnya, tanpa berharap aku menghapusnya. Dia kuat tanpa diriku, bahkan berusaha kuat tanpa keluarganya!"
"Pantas, dia begitu dingin. Dia menghargai kalian, tapi ada jarak yang terbentang diantara kalian!"
"Sejak tadi kamu memikirkan hal itu!" Ujar Faiz, Dimas mengangguk pelan. Faiz terdiam membisu, menampakkan penyesalan dihatinya. Jarak diantara kami nyata adanya. Bahkan Dimas bisa melihatnya dalam beberapa menit.
"Faiz, aku tidak ingin ikut campur. Namun aku berhak mengenal Nisa. Satu hal mengganjal di benakku, kegelisahan yang sejak tadi mengusikku!"
"Katakan, aku akan menjawabnya!"
"Apa alasan dari sikap Nisa? Dia pribadi yang lembut, tidak mungkin dia bisa bersikap sedingin dan sekeras ini tanpa alasan yang jelas!"
"Dimas, kamu benar tentang Nisa yang lembut. Namun sikap keras dan tegas papa, membuat Nisa kecilku berubah dingin dan pendendam. Nisa menganggap keluarganya musuh. Kala dia merasa tersisih selama hampir tujuh tahun. Nisa hidup sendiri tanpa keluarga, dia tinggal bersama orang asing yang berubah menjadi keluarga. Akhirnya, kini Nisa kecilku tak lagi mengenal saudaranya. Aku memang salah, tak pernah berani melawan kehendak papa. Bahkan demi membela Nisa kecilku!"
"Hidup sendiri!" Sahut Dimas, Faiz mengangguk. Tatapan kosong Faiz, jawaban tegas akan rasa tak percaya Dimas. Jauh dalam benak Dimas, ada rasa tak percaya. Jika aku pernah hidup sendiri tanpa keluarga besarku. Tersisih tanpa bisa mengeluh, sekadar menghapus rasa rindu dihatiku.
"Iya Dimas, Nisa kecilku pernah hidup tanpa kami. Tepat setelah lulus sekolah dasar, Nisa memutuskan menimba ilmu disalah satu pesantren terbaik di negara ini. Nisa memutuskan hidup di pesantren. Keputusan yang ditentang oleh papa dan membuat kami harus menjauh dari Nisa. Hampir tujuh tahun, kami memutuskan hubungan dengannya. Papa melarang kami menemui Nisa, sampai akhirnya Nisa kembali!"
"Kamu kehilangan akal, tujuh tahun kalian mengacuhkan Nisa. Pantas, jika Nisa dingin dan dendam pada kalian!" Sahut Dimas tak percaya, Faiz hanya diam. Perkataan Dimas nyata adanya, fakta pahit yang sangat disesali Faiz.
Drrrrrttt Drrrrttt Drrrrttt
"Assalammualaikum, aku tidak pulang malam ini. Ada acara di pesantren. Setelah ujian selesai, aku langsung berangkat kesana. Aku akan menginap selama tiga hari. Aku sudah menghubungi papa, tapi papa tidak menjawab. Tolong sampaikan pada mama dan mbak Nur, takut mereka khawatir padaku. Terima kasih!" Bunyi pesan singkat dariku, tepat setelah suara getaran ponsel Faiz.
"Lihatlah Dimas, Nisa kecilku sangat dingin. Bahkan dalam tulisannya, tak lagi aku merasakan hangatnya lagi!" Ujar Faiz, sembari menunjukkan pesan singkat yang aku kirim pada Faiz.
"Dia tidak pulang!"
"Iya, ada acara di pesantren!"
"Pergi sendiri!" Sahut Dimas tak percaya, Faiz mengangguk tanpa ragu. Dimas langsung berdiri, rasa khawatir menguasai dirinya. Dimas takut terjadi sesuatu padaku.
"Dimas Ethan Sebastian, sepuluh menit lagi rapat dimulai!" Teriak Faiz, saat melihat Dimas berlari keluar.
"Batalkan!" Sahut Dimas tegas, Faiz menggeleng seraya tersenyum. Ada rasa heran, tapi tersisip rasa bahagia. Melihat jelas rasa khawatir Dimas padaku. Meski hanya sekali kami bertemu, Dimas sudah sangat peduli padaku.
"Ini rapat penting!"
"Dia lebih penting!" Teriak Dimas lantang, Faiz hanya bisa tersenyum.
"Akhirnya, Dimas sahabatku luluh akan dingin Nisa kecilku. Aku berharap, hangat Dimas mampu meleburkan dinding es dihati Nisa kecilku. Aku berjanji, takkan kubiarkan papa mencampuri hubungan mereka. Aku pernah tunduk, tapi tidak sekarang. Sudah saatnya aku menjadi kakak yang bisa diandalkan!" Batin Faiz, sembari menatap punggung Dimas yang semakin menjauh.
...☆☆☆...
Rintik hujan menetes perlahan, membasahi tanah kering tandus. Tangisan langit perlahan menggenangi bumi tempatku berpijak. Air mata suci nan jernih, tetes demi tetes menerpa wajahku. Aku mendongak, menatap langit gelap yang begitu tenang. Angin dingin menyapa tubuh lemahku. Air dan angin bergandeng tangan menyapaku dengan basah dan dinginnya.
Aku berdiri tegak, tanpa peduli dingin yang menyusup ke hatiku. Aku melangkah perlahan di atas tanah merah. Aku menatap ke sekeliling, menyusun kenangan yang pernah ada. Gerbang tinggi saksi bisu waktu yang pernah aku lalui di tempat ini. Pohon-pohon rindang menjadi tempatku bersandar. Menumpahkan segala resah dan gelisah dihatiku. Menghapus air mata yang menetes tanpa sebab. Menenangkan hati gelisah yang merindukan kasih sayang. Dinding dingin kamar yang menghangatkan tubuhku. Peraturan-peraturan yang mengajarkanku arti tanggungjawab.
Kulangkahkan kaki lemahku, berjalan masuk ke dalam asrama putri. Sebuah pesantren terbesar di kota ini, ratusan kilometer jarak dari tempatku dilahirkan. Kota asing yang kini menjadi asalku. Sebuah kota yang mengajarkanku banyak hal. Kota asing yang menjauhkanku dari keluarga, tapi mendekatkanku pada iman. Hampir tujuh tahun, aku menghabiskan waktu di pesantren ini. Sampai akhirnya tahun ke delapan, aku harus kembali ke kota asalku. Kota yang terasa asing bagiku.
Hari ini langit menangis, menambah kegalauan hatiku. Tiga tahun yang lalu, aku melangkah keluar dari pesantren. Hari ini, aku datang membawa rindu yang tak terucap. Hari yang aku tunggu selama tiga tahun Kerinduan yang terjawab, kala sebuah undangan datang menghampiri. Aku langsung pergi, tanpa banyak berpikir.
Huuufff
Aku menghela napas panjang penuh kelegaan. Menatap kembali pesantren tempatku menata hidup. Seakan hadiah terbaik dalam hidupku. Aku menoleh, sesaat setelah mendengar suara tangisan. Terdengar lirih penuh kerinduan. Tangis yang pernah mengisi hariku. Tangis merindukan kedua orangtuaku yang tak pernah datang menemuiku. Betapa bahagia mereka, saat keluarga mereka datang. Tangis mereka tak lagi terdengar pilu, kelegaan yang menjadi alasan tangis itu terdengar.
"Chairunnisa"
Aku menoleh, sebuah panggilan terdengar menyapaku. Begitu hangat nan lembut menyusup di telingaku. Panggilan yang menghiasi hari-hariku dulu. Keakraban yang kujalin bersama putri pemilik pesantren. Salah satu penerus pesantren kelak. Ning panggilan yang melekat pada suara yang memanggilku. Aku langsung menunduk, saat menyadari Ning Zahra yang memanggilku. Putri bungsu kyai pemilik pesantren tempatku menuntut ilmu.
"Ning!" Sahutku lirih, tubuhku membungkuk. Mengalihkan pandangan akan kecantikan putri pemilik pesantren. Aku sengaja menunduk, sebagai rasa hormat pada keluarga dalem pesantren. Meski Ning Zahra marah, saat melihat sikapku. Rasa hormatku padanya, terasa canggung baginya. Sebab itu Ning Zahra melarang aku bersikap hormat.
"Aku Zahra, bukan Ning Zahra. Berapa kali aku harus mengatakan itu? Selamanya kita sahabat, tidak akan pernah ada jarak diantara kita!" Ujarnya, sembari merangkul tubuhku. Kepalanya bersandar pada bahuku. Tingginya hampir sama denganku, meski lebih tinggi aku sedikit.
"Mungkin, tapi dulu saat kita sama-sama belajar. Sekarang status kita berbeda. Aku hanya alumni, Ning Zahra putri Kyai!"
"Sudahlah, kita pergi sekarang. Tidak peduli akan status, terserah pemikiranmu!" Ujarnya lantang, lalu menggandeng tanganku. Aku hanya bisa pasrah, berjalan mengikuti langkahnya. Saudara yang aku temukan dalam kesendirianku.
"Mungkin rasa nyaman ini salah, tapi salahkan aku bahagia dan merasa nyaman berada diantara mereka!" Batinku pilu, mengingat keluarga yang tak pernah menganggapku ada.
Aku menunduk, menatap jam ditanganku. Tepat pukul 23.00 WIB, satu jam menuju tengah malam. Kesunyian terasa menyusup ke relung hatiku. Malam yang semakin larut, tak terasa oleh hatiku yang lelah. Waktu terasa begitu cepat berputar. Tanpa terasa, malam tengah menyapa dan bersiap menyambut pagi. Aku terhenyak, menyadari tak ada siapapun di sekitarku. Acara malam ini begitu meriah dan khidmat. Pertemuan dengan para sahabat dan alumni. Tanpa sadar membuatku lupa akan waktu. Hati sepiku begitu bahagia, kerinduan di jiwaku terhapus tanpa sisa. Ketenangan terasa menyusup ke relung hatiku. Seolah tak pernah ingin aku pergi menjauh. Namun dingin angin malam, menyadarkan tubuhku yang tak lagi mampu bertahan. Aku terbangun dari angan indah penuh harap. Tersadar, jika ini semua hanya sesaat dan akan menghilang esok hari.
Aku mendongak, menatap langit malam. Kesyahduan yang tergambar dari indah langit penuh bintang. Suara hewan malam yang bersahutan. Desiran angin malam, kala menerpa daun-daun. Menambah ketakutan akan akhir rasa tenang ini. Aku terlahir dalam keluarga yang tak kekurangan. Namun aku besar dengan segala kekurangan. Di sinilah, pesantren ini tempatku belajar arti keluarga. Angin malam ini, mengajarkanku cara melawan dingin. Sunyi malam, mengingatkan diriku akan keagungan sang pencipta. Lama aku mencari jati diri, sampai akhirnya aku menyadari arti hadirku.
"Sampai kapan kamu berdiri dalam gelap? Malam tetap berlalu dan pagi segera menyapa. Diammu takkan pernah bisa menahan malam pergi. Teguhmu takkan bisa menghadang pagi datang. Sampai kapan kamu mencari tenang dalam sunyi malam? Ingat Nisa, semua sudah berubah. Kamu hidup tidak sendiri. Begitu banyak kasih sayang untukmu, kenapa kamu sombong dengan mengacuhkan rasa tulus mereka!"
"Kak Azzam, sejak kapan?" Sahutku terkejut, suara yang begitu aku kenal. Suara yang telah pergi menjauh dariku. Kini nyata terdengar kembali, dia yang telah pergi beberapa tahun lalu. Kini datang menyapa, suara yang sama dan tak pernah berbeda.
Aku menoleh, terpaku akan pesona sahabat kecilku dulu. Laki-laki yang pernah ada dalam tangis dan tawaku. Dia yang dulu ada, bahkan selalu ada menemani sepiku. Laki-laki yang tak pernah malu bermain boneka bersamaku. Laki-laki yang tak pernah menolak permintaan anehku. Dia, iya dia yang pernah mengisi hari-hariku dulu. Dia yang memutuskan menjauh, melupakan nama dan pertemanan diantara kami. Aku tak pernah menyalahkan keputusannya. Dia berhak pergi, bahkan membenciku. Demi mempertahankan harga diri dan martabat keluarganya. Dia yang begitu aku nantikan, tapi tak pernah aku harapkan kembali. Lebih baik aku menahan kepahitan, daripada melihat harga dirinya terluka.
"Sejak kamu diam menatap bintang. Berdiri menahan malam pergi. Agar tak ada pagi datang membawa luka!"
"Kakak bukan alumni pesantren!" Sahutku bingung, Azzam menoleh ke arahku. Dia mengangguk pelan, lalu menunjuk tepat ke dadanya. Aku mengikuti arah yang ditunjuk kak Azzam. Aku mengangguk pelan, memahami alasan kehadirannya.
"Dia datang bukan untukku, tapi tugasnya. Dia perwira yang takkan pernah menoleh padaku. Dia hanya mengingat namaku, tidak pertemanan dan diantara kami. Kini, perwiraku berlari sangat jauh. Langkah kecilku takkan pernah bisa menyusulnya. Sapaan hangatnya, terasa asing tanpa ada hangat terasa. Kak Azzam, kenapa kita bertemu? Jika nyatanya luka yang terkoyak. Kak Azzam, aku selalu mendoakan kebahagianmu. Namun aku takut, kala bahagia menyapamu. Saat itu, hatiku telah hancur tanpa sisa. Kak Azzam, kenapa ada pertemuan ini? Kenapa kak?" Batinku pilu, lalu menyeka kedua air mata yang tiba-tiba menetes. Aku mencoba tetap tenang, takkan aku biarkan kak Azzam melihat rapuhku.
"Kapten Muhammad Fachri Azzam!" Sahutku, kak Azzam langsung menoleh.
"Azzam!" Sahutnya dingin, seolah marah akan panggilanku padanya.
"Seorang kapten terdampar di keheningan malam. Tentu ada tugas penting, jadi silahkan lanjutkan bertugas. Jangan hiraukan gadis lemah sepertiku. Tugas negara jauh lebih penting!" Ujarku tegas, takkan mampu aku berdiri tegar disampingnya. Aku harus bisa mengusirnya pergi. Dia satu-satunya orang yang membuatku rapuh. Pundaknya yang selalu terasa nyaman bagiku. Takkan butuh waktu lama, aku akan lemah dan bersandar padanya.
"Ini sudah larut malam, aku sudah selesai bertugas. Aku mungkin salah satu perwira yang mengemban tugas negara. Namun ada waktu, aku ingin menjadi manusia biasa!"
"Kalau begitu, lebih baik aku yang pergi!"
"Kenapa Nisa? Semarah itukah kamu, sampai enggan berdiri di sampingku. Maaf, jika aku menyakiti hatimu!" Ujarnya, sembari menahan tanganku. Langkahku terhenti, detak jantungku berhenti berdetak. Kedua mataku terasa panas, seolah terbakar oleh hangat sentuhan kak Azzam. Lama aku terpaku, mengenang hari-hari bersamanya.
Ting Tong Ting Tong
"Maaf, aku harus pergi!" Ujarku sembari menepis tangannya. Denting lonceng pesantren menyadarkanku dari lamunan indah akan kenangan bersamanya. Aku bergegas pergi, malam semakin larut. Tidak ada alasan bagiku tetap berdiri menatap bintang bersama kak Azzam. Sejak awal ini salah dan akan selamanya salah. Aku pergi dengan hati pilu, pertemuan indah ini harus aku akhiri.
"Kenapa kamu menjaga jarak denganku? Karena aku putra ART!" Ujarnya lantang, seketika aku berhenti. Tubuhku kaku, darahku berdesir dan hatiku terasa pilu. Aku menoleh, kutatap tajam wajah kak Azzam.
"Tak pernah aku menjaga jarak denganmu. Sebaliknya, kakak yang pergi menjauh. Sikapku tak pernah ada hubungan dengan statusmu. Aku tak pernah mempermasalahkan, kamu terlahir dari rahim siapa? Keluarga seperti apa yang membesarkanmu. Bik Siti mungkin ibu kandung kak Azzam, tapi jangan lupakan hubungan hati diantara kami. Dia bukan ART bagiku, dia ibu yang mengasuhku!"
"Mbak Nisa, ning Zahra mencarimu!"Ujar salah satu santriwati, aku mengangguk pelan.
"Kapten Azzam, kamar anda sudah disiapkan!" Ujar santri putra, aku melihat kak Azzam mengangguk pelan. Kak Azzam mengikuti langkah salah satu santri putra. Langkahnya begitu gagah, punggungnya begitu kuat dan pundaknya begitu kokoh. Aku menatap kesempurnaan kak Azzam. Pesona yang tak pantas aku miliki. Mengingat luka yang pernah aku torehkan dihatinya.
"Mbak Nisa mengenal kapten Azzam!" Ujar Ifa, saat melihat aku mengawasi kak Azzam. Aku mengangguk pelan, seutas senyum terlihat di wajahku. Sekadar menutupi kecangguan yang tengah aku rasakan.
"Iya, memang kenapa?"
"Kapten Azzam tamu istimewa pak Kyai?"
"Dia ada disini, hanya karena tugas!" Ujarku, Ifa menggelengkan kepalanya.
"Mbak Nisa salah, kapten Azzam memang bertugas menjaga acara malam ini. Namun ada acara lain besok pagi!"
"Acara lain!" Sahutku mengulang perkataan Ifa.
"Hmmmm!" Ujar Ifa, sembari mengangguk beberapa kali.
"Kapten Azzam akan bertemu dengan mbak Villa!"
"Villa, sepupu ning Zahra!" Sahutku terkejut, Ifa mengangguk tanpa ragu.
"Mereka pasti cocok satu dengan yang lainnya. Kapten Azzam tampan dan baik hati. Dokter Villa cantik dan juga baik. Kelak putra mereka pasti tampan dan cantik!" Cerocos Ifa, aku terdiam membeku.
"Pertemuan, apa mungkin mereka dijodohkan?" Batinku galau dan resah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!