Sebutan villa mungkin terlalu kecil untuk bangunan itu. Bangunannya bercat merah darah. Entah apa alasannya bangunan yang mereka sebut villa itu di cat berwarna merah darah. Ratusan orang sedang menikmati berbagai hidangan dan minuman di dalamnya.
Villa ini berada sekitar sepuluh kilo meter dari kota. Bangunannya megah dengan sebuah sungai yang lumayan besar mengalir di pinggirnya. Sungai yang juga di hiasi bebatuan besar-besar membuatnya sempurna. Villa itu di kelilingi oleh pohon jati bermeter-meter ke belakangnya.
Malam itu bulan purnama sedang muncul, ikut merayakan acara syukuran seorang pengusaha di villa green palace. Sebenarnya di luar udara sangat dingin, suara dari sungai besar itu kalah oleh alunan musik merdu yang membuai jiwa.
Sekitar dua ratus lima puluh orang berada di dalam villa. Menikmati berbagai hidangan lezat dan minuman. Nama acaranya syukuran. Mereka sedang berpesta ria karena perusahaan mendapat untung besar bahkan melebihi target. Para pekerja, karyawan dan orang yang berpartisipasi dalam keuntungan besar ini di beri imbalan dan saling memberi ucapan selamat atas kerja keras mereka.
Tuan Taher Almahendra terlihat bahagia melihat para tangan kanan, pekerja dan keluarganya senang menikmati pesta. Semua keluarganya ada disini, ikut merayakan pencapaian perusahaan yang memuaskan tahun ini.
Meskipun malam hari, di dalam villa terlihat terang oleh kerlap kerlipnya lampu yang menerangi. Sementara di luar cahaya rembulan tampak romantis menghiasi malam. Daun-daun terlihat bersinar oleh pantulan cahaya bulan. Sebagian bumi yang di sekeliling villa terlihat gelap, terhalang oleh daun-daun lebar kayu jati. Cahaya bulan tidak bisa menjangkaunya.
Anak kecil berumur enam tahun sedang berada di dekat ayahnya, berkali-kali ia turun dari tempat duduknya lalu menghampiri ibunya, lalu mengganggu adiknya yang masih berumur dua bulan. Berkali-kali di ciumnya adik kecilnya itu dengan kuat karna gemas dan sayang. Namun sang ayah selalu mengangkatnya dan mendudukkannya kembali di dekatnya. Karena setiap kali ia mencium adik kecilnya itu menangis terganggu. Kesal di cegah terus si anak enam tahun itu meminta keluar. Ia tidak peduli dengan pesta syukuran itu. Ia mendorong adiknya yang berumur tiga tahun hingga jatuh, lalu merengek menarik kakaknya yang berumur empat belas tahun untuk keluar dari villa.
Tuan Taher sedikit kewalahan menghadapi anak ke duanya ini, namun begitupun, ia paling sayang dengan anak super aktif dan penyayang itu. Ia tidak pernah berniat mengganggu kedua adiknya. Itu hanya ungkapan sayang pada kedua adik lelakinya itu.
Kakek dan nenek si anak enam tahun itu mendekat, ikut membujuk si anak enam tahun agar tidak pergi keluar. Namun nihil, anak enam tahun itu keras kepala dan penuh ambisi. Ia tetap menarik kakaknya agar keluar menemaninya. Namun ia di cegah lagi, kini kakak dan neneknya ikut menghentikannya. Ia berlari kesana-kemari menyelinap di antara orang-orang yang sedang menikmati hidangan dan indahnya alunan musik.
Semua tertawa ria melihatnya. Bagi mereka anak kedua sekaligus putra kesayangan ceo perusahaan itu pintar dan menggemaskan. Anak enam tahun itu akhirnya menyelinap keluar dari villa. Pengawal yang di khsuskan untuk menjaganya segera berlari keluar untuk menghentikannya karna anak kecil itu tidak di ijinkan keluar.
Anak berusia enam tahun itu berteriak senang ketika ia telah berhasil keluar villa dan kini berada di halamannya, saat pengawalnya datang dari dalam villa anak itu seketika melihat bayangan. Selain pintar anak enam tahun itu juga pintar dan pemberani. Ia penasaran dengan bayangan itu dan mencoba menyusulnya untuk mencari siapa gerangan pemilik bayangan itu. Dan masuk ke dalam kebun jati yang begitu dekat dengan villa.
"BRUUKK..."
Anak enam tahun itu terjatuh dan kakinya keseleo membuat dirinya tidak mampu menggerakkan kakinya apalagi berdiri. Di intipnya di sekeliling. Anak kecil itu penasaran, dimana gerangan bayangan tadi menyelinap? Mungkinkah itu hantu? Atau orang? Anak itu tak habis fikir. Sekali lagi anak enam tahun itu mengintip ke arah villa. Jangan-jangan ada pengawal yang mencarinya.
"Haruskah ku takuti pengawal itu?"
Gumamnya dalam hati. Namun kakinya sedang keseleo sakit untuk di gerakkan, lebih baik memanggilnya agar pengawal itu menggendongnya masuk ke villa. Namun yang keluar adalah kakaknya, adek dua bulan sedang di gendongnya, pasti si kakak ingin memancing si anak enam tahun agar mesuk ke dalam bersama dedek bayi. Karna tadi dia keluar karna di larang mengganggu si dedek bayi.
"Mungkinkah kakak juga ingin menikmati cahaya bulan di luar?"
Gumam si anak enam tahun itu dalam hati. Anak enam tahun itu merasakan kakinya sakit tidak bisa di gerakkan. Ia melihat kakaknya menoleh ke sana ke mari. Pasti sedang mencarinya. Anak enam tahun itu hendak berteriak agar kakaknya tahu bahwa dirinya berada di semak-semak di antara pepohonan jati. Namun sebelum ia berteriak tiba-tiba villa itu meledak,seperti ledakan bom, lalu kemudian semburan api mengudara bersamaan dengan jeritan dan rintihan histeris orang yang memilukan. Kobaran api mengudara melahap seluruh isinya.
Anak enam tahun itu sock melihatnya, di lihatnya sang kakak masih berdiri di halaman villa dengan wajah pucat dan terkejut. Sementara si bayi di gendongan si kakak 14 tahun itu masih tertidur lelap sama sekali tidak terbangun.
Kemudian lima orang lelaki muncul dari balik pepohonan jati itu. Salah satu di antaranya berbadan tinggi tegap.Satu gendut berkepala botak. Satu berkulit sawo matang dengan perawakan sedang. Satu berhidung mancung, bahkan terlalu mancung sehingga seperti ada yang salah pada wajahnya. Sementara satu lagi kulitnya hitam.
Anak kecil enam tahun itu memperhatikan kelima orang itu. Bagaimana pun ia belum pernah bertemu dengan kelima orang itu, lalu mereka mendekati kakaknya yang sedang menggondong bayi dua bulan itu. Dengan gemetar gadis kecil itu hendak berlari, namun tidak sempat, salah satu dari lima orang itu menarik bayi dua bulan itu dari tangan si gadis kecil. Tanpa memberi jeda lelaki berhati iblis itu melempar si bayi ke dalam kobaran api. Bayi kecil itu menjerit. Tangisannya begitu kuat memecah keheningan malam, namun tangisan itu di sambut gelak tawa lima lelaki biadab itu. Semakin lama tangisannya semakin lemah hingga tiada terdengar lagi.
Sementara si kakak yang tidak sempat berlari itu berusaha melawan saat tangan kekar menampar wajahnya. Lalu yang lain menendangnya hingga terjatuh telungkup ke tanah. Gadis kecil itu menjerit kesakitan, namun tiada ampun. Kaki para penjahat itu menendanginya dengan kejam, lalu menyeretnya, lalu menendangnya lagi, menginjaknya hingga gadis kecil itu pingsan. Setelah pingsan gadis itu di lempar ke dalam kobaran api. Kelima lelaki itu tertawa puas.
Anak kecil enam tahun itu ingin berlari dan memukul ke lima penjahat itu. Namun sama sekali ia tidak bisa menggerakkan kakinya yang keseleo. Ia ingin berteriak dan mencaci maki para penjahat itu. Namun tiba-tiba ada yang menutup mulutnya. Tangan kecil dan dingin. Anak enam tahun itu menoleh, di lihatnya seorang anak lelaki yang sedikit lebih besar darinya. Anak lelaki itu menggelengkan kepalanya, mengisyaratkan agar dirinya diam.
Namun anak enam tahun itu tidak peduli. Ia begitu marah dan ingin menjerit mencabik-cabik ke lima lelaki yang sudah menghabisi keluarga dan yang semua ia miliki. Namun anak itu menutup mulut dengan paksa bahkan kini dengan memeluk tubuhnya agar diam dan tenang.
Anak enam tahun itu menangis melihat semua kejadian malam ini. Adik kecilnya, dan kakaknya semuanya ia tak sanggup, kepalanya terasa pusing, jeritan orang-orang dari dalam villa itu terdengar mengerikan. Anak enam tahun itu tidak sanggup. Jantungnya terasa mau copot semua terasa lemas dan sakit.
Cahaya rembulan malam itu menjadi saksi, saksi atas semua kejadian di villa green palace malam itu.
Setelah tiada lagi suara apapun dari kobaran api itu kelima penjahat itu memastikan bahwa semua lenyap tanpa petunjuk apapun. Kemudian kelima lelaki itu menambahi bensin untuk membuat semuanya hilang tanpa jejak dan ini akan menjadi berita kebakaran.
"Aku juga sedih, keluargaku juga terbakar dalam villa itu."
Bisik anak lelaki yang menutup mulut si anak lelaki enam tahun tadi. Malam itu benar-benar mengerikan. Tak sanggup lagi anak enam tahun itu pingsan tidak sadarkan diri. Anak itu terlalu sock dan terkejut menyaksikan semuanya.
"Di antara hujan dan gerimis yang mana yang lebih kamu suka? Si gadis kecil terdiam, mata indahnya terbuka lebar mendengarnya. Ia menarik pandangannya dari hujan lebat dan menoleh ke arah lelaki kecil itu. Pandangan dan wajahnya terlihat bingung. Lelaki kecil itu menatapnya lekat, meski tak faham apa yang di ucapkannya, ia kembali mempertegas ucapannya.
"Maukah kamu menikah denganku?" Gadis kecil itu masih melihat lelaki kecil di sampingnya dengan penuh kebingungan, rambutnya kesana-kemari di hembus angin.
"Tililit... tililit... tililit... tililit..."
Bunyi alarm membuat gadis itu terbangun dari mimpinya. Matahari sudah terbit di ufuk timur.
"Ah mimpi itu lagi, setiap kali aku tidur setelah sholat subuh mimpi itu selalu hadir entah apa maksudnya" Gumamnya sambil berdiri dengan malas, gadis itu melipat selimutnya dan merapikan tempat tidurnya. Ia membuka jendela kamarnya dan menyingsingkan tirainya. Cahaya matahari pagi langsung masuk tanpa ijin. Gadis itu menelentangkan tubuhnya di lantai untuk melaksanakan olah raga perut, olah raga untuk menghilangkan lemak di perut, meski ia tidak memiliki begitu banyak lemak di perutnya. Olah raga yang selalu di lakukannya sebelum mandi pagi dan mandi sore.
Gadis itu menelentangkan tubuhnya di lantai, kini posisi dirinya menghadap ke langit-langit kamar, lalu menempelkan kedua telapak tangan di kepala bagian belakang, lalu mengangkat seluruh tubuhnya dengan menahan kakinya agar kakinya tidak ikut terangkat. Olah raga ini untuk mengecilkan perut. Gadis ini sangat merawat tubuhnya dengan olah raga tertentu.
"Saaatu.... duuua... tiiiga..."
Teriaknya menghitung berapa kali ia mampu mengangkat tubuhnya tanpa mengangkatćl pantat dan kakinya.
"Tiiigaaa puluh...Hah... capek sekali"
Katanya setelah hitungannya sampai pada angka tiga puluh. Ia mendekati dispenser di sudut kamarnya. Lalu menampung segelas air hangat menenggaknya sampai habis.Kemudian gadis itu meletakkan gelasnya di dekat dispenser lalu duduk di lantai bersandar pada dipan tempat tidurnya.
"Satu olah raga lagi."
Gumamnya dalam hati. Kemudian menelungkupkan tubuhnya pada lantai keramik, lalu mengangkatnya dengan posisi jari kaki berpijak pada lantai dan meletakkan siku tangannya ke lantai dengan mengepalkan jari tangan sambil menahan nafas. Olah raga ini juga untuk mengecilkan perut dan melangsingkan tubuh. Di lakukannya sekitar sepuluh menit setiap pagi dan sore. Setelah mencapai sepuluh menit gadis itu bercucuran keringat.
"Oke! Sekarang saatnya mandi."
Teriaknya girang dan penuh semangat. Tiba-iba perutnya berbunyi, bukan karna lapar, gawat, gadis itu tiba-tiba ingin buang air besar.
"Aduh tiba-tiba sesak mau buang air besar."
Gumamnya. Ia segera meraih handuk yang tersangkut. Secepat kilat ia membuka pintu kamar dan berlari menuju kamar mandi.
Ayah dana ibunya sedang asyik menikmati berita pagi. Kedua orang tua itu saling pandang melihat putri cantik mereka berlari kian tak terartikan. Sang ibu geleng-geleng kepala melihat tingkah putri cantik kesayangannya. Gadis itu panik ketika ia sampai di depan pintu kamar mandi. Pintunya terkunci rapat dari dalam.
"Aduh... siapa sih.. cepatan dong... aku kebelet nih..."
Rengeknya dari luar menggedor-gedor pintu kamar mandi dengan kuat. Ia memegangi perutnya dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya menggedor-gedor pintu kamar mandi.
"Nayla! Jangan di gedor pintunya kan ada orang di dalam, sabar dikit lah nak." Teriak ibunya dari ruang tengah saat ia mendengar putrinya teriak-teriak dan menggedor pintu kamar mandi dengan kuat, kebiasaan yang di lakukannya ketika adiknya lama di kamar mandi.
"Aduh! Keluar gak? Aku dobrak nih pintu."
Teriaknya mengancam ketika pintu kamar mandi masih belum terbuka dan orang di dalan hanya diam tak menyahut. Gadis bernama Nayla itu makin kesal ketika tidak ada jawaban dari dalam kamar mandi. Ia merasa adiknya sengaja mengerjainya karna ia lagi kebelet mau buang air besar.
"Dasar adik kuarang ajar ya."
Gumamnya menahan sakit perutnya.
"Nayla!"
Panggil ibunya lagi dari ruang tengah. Nayla tidak memperdulikan panggilan ibunya lagi, perutnya tidak bisa di ajak kompromi. Nayla tidak sanggup lagi menahannya, ia duduk bersandar pada pintu kamar mandi.
Nayla tidak bersuara lagi, situasi berubah hening, di pejamkannya matanya menahan agar tidak terjadi peristiwa memalukan. Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, seketika tubuhnya ambruk dan jatuh ke lantai, pipinya menyentuh kaki orang yang keluar dari kamar mandi, Nayla sangat marah.
"Awas ya adik kurang ajar, beraninya kau mempermainkan ku."
Begitulah otaknya berfikir. Bersusah payah ia duduk, lalu mengangkat wajahnya menatap orang yang barusan membuat dirinya terjatuh, giginya gemeratuk bersuara. Namun ia terkejut setengah mati. Marahnya langsung hilang berubah jadi malu, yang barusan keluar dari kamar mandi bukan adiknya.
"Zaini..."
Reflex nama itu keluar dari mulutnya. Yang di panggil Zaini itupun terkejut, dari tadi saat ia di kamar mandi gadis ini menggedor-gedor pintu ingin buang air besar. Namun ketika ia selesai mandi suara gadis itu sudah tidak ada lagi. Zaini mengira gadis yang kebelet dari sudah pergi, namun saat ia buka pintu kamar mandi ia di buat kaget.
Gadis itu mengadu kesakitan. Saking paniknya lelaki bernama Zaini itu berjongkok ia lupa kalau dirinya hanya mengenakan handuk selutut.
"Kamu tidak apa-apa?
Tanyanya dengan panik. Namun sebelum ia selesai dengan kalimatnya gadis itu langsung memangnya.
"Ya, aku tidak apa-apa, cepat pergi." Potong Nayla. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Zaini barus sadar kalau gadis cantik di hadapannya sedang malu melihat dirinya yang hanya mengenakan handuk.
"Oh ya, maaf."
Zaini langsung berdiri dan melangkah meninggalkan Nayla. Nayla mengintip Zaini dari celah jarinya yang tengah menutupi wajahnya, ia berhenti menutup wajahnya ketika ia melihat punggung Zaini menghilang di belokan menuju kamar.
"Ampuun... kok dia ada di sini?" Gumam Nayla menepuk-nepuk kepalanya. Adiknya datang menghampirinya dengan senyum nakal, senyum nakal itu di hiasi lesung pipi yang membuatnya semakin tampan dan cool. Dari tadi saat ia mendengar kakaknya menggedor-gedor kamar mandi dan menjerit-jerit ia tersenyum sendiri.
" Ha ha ha ha ha kebiasaan kakak mengganggu ku di kamar kamar mandi, kena batunya kan."
Zaini tertawa lepas dan puas.
"Dasar! Awas kamu ya."
Ancam Nayla dengan geram, ia berdiri dengan susah payah. Lalu menutup pintu kamar mandi dengan keras.
"Ha ha ha ha ha ha ha."
Adiknya tertawa memegangi perutnya.
"Aduh.. hari ini aku senang sekali." Gumamnya sambil menggedor-gedor pintu kamar mandi sebelum ia meninggalkannya.
"Kalian ya, stiap pagi ribut, padahal itu kamar mandi hanya untuk kalian berdua lo." Teriak ibu dari ruang tengah.
"Sama aja bu, ibu juga teriaki anak-anak tuh."
Ayah bergumam sambil menyeruput kopi yang dari tadi di hidangkan. Asapnya masih mengepul membuatnya masih terasa nikmat saat di seruput.
"Setiap pagi kami ribut itu salahnya ka Nayla mah." Kata sang adik membela diri. Ia bergegas menuju kamarnya.
"Malu banget, kok Zaini bisa ada di sini ya?" Gumam Nayla dalam hati. Ia baru saja selesai kodo hajat dan langsung membuka pakaiannya.
"Aauuuuu." Jerit gadis itu kaget ketika ia berbalik ke dinding hendak menggantungkan pakaiannya di di dinding sponta ia menyilangkan tangannya di dada seorang lelaki india tengah tersenyum padanya.
"Ya ampun... ternyata hanya foto." Gumamnya dengan nafas lega.
"Apa segitu pentingnya buat adikku foto Salman Khon ini? Sampe posternya sebesar ini di pajang di kamar mandi?'
Gumam Nayla dengan geram. Seketika ia menyobek potret itu tanpa ampun. Hari ini semua membuatnya kesal.
"Oh Salmaan Khan, kamu tidak salah, tapi aku terlalu kesal hari ini."
Bisiknya seolah merasa bersalah karna telah merobek posternya. Setelah selesai mandi Nayla segera keluar. Saat ia keluar semua sudah ngumpul di meja makan siap untuk sarapan. Nayla melirik satu persatu mulai dari ayahnya, kemudian ibunya lalu adiknya Andhika dan berlanjut pada Zaini. Ke empat orang itu sudah duduk di meja makan.
"Sana cepat siap-siap, ayah mau cepat berangkat kerja."
Gumam ayah saat ia melihat putrinya keluar dengan malu-malu. Nayla tersenyum malu.
"Duluan aja yah, Nayla lama siap-siapnya."
Nayla langsung berlari ke kamarnya ketika ia melihat Zaini menatapnya dengan senyum. Ada misteri apa di balik senyum itu sehingga bisa membuat wajah gadis itu bak kepiting rebus.
Sampai di kamar Nayla menutup pintu dengan kuat. Seolah ada yang mengejarnya. Ia memegangi dadanya menahan jantungnya yang berdegup kencang. Nayla mengunci pintu kamar lalu berlari ke depan cermin besar di kamarnya.
"Wajahku memerah? Sejak kapan aku malu pada Zaini, jantungku berdetak lebih cepat? Padahal aku berkali-kali menolaknya aku baik-baik saja, ini aneh."
Gumamnya pada diri sendiri. Ia merasa ada yang aneh pada dirinya, lelaki itu adalah orang yang mati-matian mencintainya meski selalu di tolaknya. Nayla menampar-nampar pipinya dengan kedua telapak tangannya.
"Aduuuh... malu banget."
Gumamnya lagi menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Lalu pelan-pelan ia mengintip wajahnya di cermin dari celah jari-jarinya. Di cermin ia melihat wajahnya malu-malu pada dirinya sendirii.
"Aish kenapa aku bertindak bodoh? Kenapa aku malu? Kan aku di sini sendirian."
Gumamnya pada diri sendiri.
"Apa aku jatuh cinta pada Zaini? Aish... tidak mungkin aku sudah menolaknya lebih dari tujuh kali." Gumamnya lagi memonyongkan bibirnya. Kemudian ia mengeringkan rambutnya, mengoleskan bodylation keseluruh tubuhnya. Kemudian ia berdiri lagi di depan cermin, memperhatikan dirinya, ia begitu cantik, rambutnya lurus dan hitam panjang hampir sampai ke pinggang, kulitnya putih bersih. Nayla mengikat rambutnya lalu memakai baju tunik dengan celana panjang dengan kerudung pashmina membalut wajah cantiknya.
Seperti biasa Nayla selalu terlihat cantik, anggun penuh pesona. Nayla meraih laptopnya dan memasukkannya ke dalam tas tidak lupa memasukkan buku dan perlengkapan lainnya. Gadis itu menyemprotkan parfum ke tubuhnya, terasa harumnya segar dan besahaja. Kemudiaan membuka pintu kamar, pelan-pelan di intipnya keadaan. Sepertinya tidak ada yang tau kalau dia sudah keluar dari kamar. Ia berjalan pelan-pelan seperti pencuri yang takut ketahuan.
"Jangan sampai aku bertemu dengan Zaini lagi, uku sudah cukup malu,"
Gumamnya dalam hati sambil membuka pintu dengan hati-hati. Sementara matanya tertuju pada pintu ruang tengah menuju dapur. Ia harap-harap cemas jangan-jangan ada yang sudah selesai sarapan dan melihatnya keluar diam-diam.
"Al hamdulillah selamat..."
Gumam Nayla dalam hati. Ia menghela nafas lega dan mengelus-elus dadanya ketika ia berhasil keluar. Pelan-pelan pula ia menutup pintu agar tidak menimbulkan suara. Lalu menghela nafas lega menghadap pintu yang baru saja berhasil ditutupnya dengan pelan-pelan. Seolah ia berhasil lolos dari bahaya yang sedang mengintai. Nayla tidak menyadari seseorang sedang tersenyum geleng-geleng kepala melihat tingkah konyolnya. Orang itu mendekati Nayla.
"Kamu sudah siap berangkat?"
"Aauuuu...."
Pertanyaan itu membuat Nayla menjerit kaget. Jantungnya hampir copot ketika ia menoleh dan hampir saja menabrak orang itu.
"Z Z Zaini..."
Gumamnya dengan gugup, wajahnya kini memerah bak kepiting rebus. Zaini tersenyum, bagaimana pun ekspresi gadis ini ia selalu menyukainya.
"Om memintaku mengantarmu, karna hari ini om agak sibuk, Nayla gak keberatan kan?"
Tanya Zaini masih tersenyum. Jaraknya begitu dekat dengan Nayla.
"Ja ja jangan mendekati ku." Teriak Nayla gugup.
Zaini tersenyum melihat tingkah dan ekspresi gadis cantik yang telah menolaknya berkali-kali ini.
"Apa aku yang mendekatimu? Aku tau diri kok kamu sudah berkali-kali menolakku." Gumam Zaini. Kali ini ia menjauh dan melangkah keluar. Nayla masih memandanginya dengan bingung. Ia masih berdiri dan terdiam, tidak bisa di bohongi kali ini jantungnya berdetak tidak seperti biasanya. Lelaki yang berkali-kali di tolaknya ini sangat baik. Lelaki itu tidak pernah marah pada Nayla dan tidak pula benci. Lelaki ini masih saja baik padanya padahal ia lelaki yang tampan dan sudah mapan.
"Kok masih bingung? Ayok cepat kalo kamu gak mau terlambat." Teriak Zaini dari luar. Lelaki itu sudah menghidupkan mobilnya. Nayla tersadar dan cepat-cepat keluar.
"Zaini gak usah repot, aku bisa naik angkot kok."
"Naik ajalah Nayla, jangan merasa gak enak, kamu berkali-ai menolakku aku masih baik saja, ayok cepat naik."
"bu... bukan gitu Zaini, aku lebih suka naik angkot kok."
"Alah... Nayla gak usah jual mahal deh, tadi ayah yang minta kok, kakak takut ya bang Fandy cemburu." Ledak Andika tiba-tiba keluar dari rumah. Nayla menoleh ke arah adik nakalnya ini. Adiknya tersenyum menggodanya. Nayla memelototinya dengan geram. Ingin sekali menonjok lesung pipi milik adiknya.
"Bucin.. bucin.. ku doakan hari ini bang Fandy mutusin kakak, sebagai hadiah ulang tahun spesial buat kakak, hari inikan kakak ulang tahun." Gumam Andika meledak Nayla sambil tertawa lepas.
"Andika mana boleh doin Nayla dan Fandy yang jelek-jelek, apalagi mereka kan sudah tunangan gimana kalo putus, kan malu keluarga jadinya." Gumam Zaini menegur Andika.
"Awas kamu ya adik kurang ajar." Nayla berjalan cepat ke arah Andika hendak memukul adiknya yang suka mengganggunya ini.
"Sudah Nayla, Andika bercanda tuh, gak usah di ladenin nanti kita telat." Zaini menahan Nayla dengan memegang tangan gadis itu. Nayla mendorong Zaini yang menahannya dengan memegang tangannya.
"Maaf saya tidak bermaksud apapun, tapi sebaiknya tidak usah di ladenin tuh anak." Gumam Zaini lagi melepaskan tangan Nayla.
"Ha ha ha ha ha ha ha,marah benaran dianya." Ledak Andika lagi masih tertawa senang bisa membuat kakaknya marah. Sebenarnya niatnya hanya ingin membuat kakaknya marah di hari ulang tahun kakaknya ini. Pagi ini ia hanya ingin mengerjain Nayla. Nanti sore baru ia berniat minta maaf dan menyiapkan kado pada kakak yang sebenarnya sangat di sayangi olehnya. Begitulah cara ia memberikan kejutan pada kakaknya. Dia juga tidak mau kalau kakaknya yang sudah tunangan dengan lelaki bernama Fandy malah putus. Sungguh ia tiadak mau kakaknya putus dengan Fandy. Dia tidak mau kakaknya gagal dan patah hati. Ia ingin kakaknya bahagia.
"Harusnya bang Fandy mutusin kakak hari ini, biar bang Zaini dapat kesempatan lagi, ia kan bang Zaini." Tambahnya lagi dengan senyum nakalnya itu.
"Andika... diam kamu!" Teriak Nayla.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!