Prolog.
Ekot dan Pak Kades duduk di depan rumah, menikmati ketenangan pagi setelah hari yang panjang. Namun, langkah cepat Pak Janjan yang datang dari kejauhan membuyarkan keheningan. Ekot segera berdiri, merasa ada sesuatu yang mendesak.
Tanpa menunggu lama, Pak Janjan, dengan napas terengah-engah, langsung menyampaikan kabar mengerikan, "Ekot! Kutukan itu kembali! Anak Pak Purrok. Daiva... Daiva telah menjadi korban."
Mendengar kabar itu, dunia Ekot seakan runtuh. Ia terjatuh berlutut, hatinya berteriak dalam hening, sementara air matanya mulai mengalir tanpa ia sadari. Pak Kades segera menghampirinya, mencoba meredam kesedihan anaknya, tapi amarah dan rasa bersalah sudah meluap di dada Ekot.
"Ekot, tenangkan dirimu," ujar Pak Kades dengan suara tenang namun putus asa, akan tetapi Ekot tidak lagi mendengarnya. Ia bangkit dengan cepat, berlari menuju sisi rumah, mengambil tombak yang tersandar di sana. Matanya menyala penuh dendam dan kepedihan yang membara.
"Ekot! Jangan gegabah!" Pak Kades mencoba menghentikannya, tapi Ekot sudah melesat ke arah hutan, tak lagi bisa dihentikan.
Ekot berlari dengan napas terengah, menerjang semua rintangan yang ada di dalam hutan. Dahan-dahan tajam menggores tubuhnya, kakinya terluka oleh batu-batu tajam, namun ia tak peduli. Meski tubuhnya terjatuh beberapa kali, ia selalu bangkit dan terus berlari, dikuasai oleh kemarahan yang membara.
Ketika akhirnya tiba di depan Gua Leluhur, Ekot tak lagi berpikir panjang. Dengan tombaknya, ia menghancurkan sesembahan yang tertata di bibir gua, melemparkan semua persembahan yang telah dipersiapkan oleh warga. Nafasnya berat, matanya menyala liar menatap kegelapan gua yang menelan semua harapannya.
"Leluhur! ... Apa yang harus kami lakukan!" Ekot berteriak ke dalam gua, suaranya menggema di antara batu-batu yang dingin. "Kami sudah melakukan apa yang kalian minta! Tapi mengapa kutukan ini masih merenggut warga kami!"
Tubuhnya jatuh berlutut, memohon, suaranya kini tersendat oleh isakan penuh keputusasaan. "Jika harus ada yang dikorbankan! ... ambillah nyawaku!"
Ekot terdiam, merasa betapa kecil dan tak berdayanya dirinya di hadapan kekuatan yang tidak bisa ia pahami. Dalam kesedihan dan rasa bersalah, ia memejamkan mata, berharap ada keajaiban yang datang untuk menghentikan penderitaan ini.
Ekot menaikan dagu, memperlihatkan air mata dan deretan gigi dari raut wajah yang begitu emosi dan tertekan. "Jika aku tak mampu melawanmu... Siapapun! Kumohon gantikanlah aku untuk mengahncurkan kutukan ini! Tolonglah desa kami! Tolong kami!"
***
Bab 1: Lisa Gadis Desa.
Desir air sungai yang mengalir di pinggir desa seringkali menjadi pengantar tidur bagi penduduk, menambah kesan bahwa Mola-Mola adalah tempat yang aman dan jauh dari kekacauan dunia luar.
Namun, ketenangan itu kini hanya ilusi. Suasana malam berubah perlahan, seperti ada sesuatu yang menyelinap di antara kabut tipis yang mulai menyelimuti lembah. Ada hawa dingin yang ganjil, menusuk kulit meski angin tak lagi berembus kencang.
Di kejauhan, terdengar suara samar-samar—seperti bisikan, atau mungkin tangisan—yang menggema di balik hutan. Bunyi hewan malam yang biasa terdengar kini sirna, seolah mereka pun memilih untuk menghindari kegelapan yang mulai terasa janggal.
Di setiap sudut desa, jendela-jendela tertutup rapat. Tak ada satu pun penduduk yang berani keluar. Rumah-rumah yang dulu hangat kini terasa seperti penjara, menahan ketakutan yang merayap di hati setiap orang. Bahkan suara langkah kaki di atas tanah berkerikil terasa seperti ancaman, dan setiap bayangan yang bergerak di balik pepohonan disambut dengan ketegangan yang memuncak.
Malam yang dulu membawa kedamaian kini berubah menjadi malam yang penuh teror. Gadis-gadis desa tidur dengan ketakutan, bersembunyi di balik selimut tebal, berharap bisa selamat dari ancaman yang tak kasat mata. Desa yang tadinya begitu damai kini dikepung oleh ketidakpastian dan kengerian yang tak terjelaskan.
Diantara rumah Desa, terdapat sebuah rumah yang tampak tenang. Rumah panggung itu terdiri dari bahan kayu dengan dinding bilik yang menahan udara malam menerjang masuk.
Di rumah ini terdapat seorang Gadis bernama Lisa yang tinggal bersama ke dua orang tuanya. Lisa memiliki paras cantik natural.
Tubuhnya ramping ideal, dengan rambut hitam lurus sepanjang bahu. Matanya lentik, hidungnya mancung, tampak manis terukir hingga lekuk dagunya.
Tapi semua itu justru membuat Lisa khawatir akan kondisinya, hampir setiap malam ia diliputi perasaan waswas akan sebuah teror yang tengah menjadi buah bibir hangat dikalangan warga sekitar.
Akhir-akhir ini banyak anak Gadis yang menceritakan kejadian mengerikan sekaligus memalukan yang mereka alami saat malam tiba. Beberapa Gadis itu menceritakan akan sesosok mahluk hitam kekar yang berhasil merajai tubuh mereka satu per satu.
Lisa, tak henti gelisah, takut akan hal itu menimpa dirinya. Sejak tadi Lisa hanya mengurung diri, bersembunyi dibalik selimutnya dengan penuh ketegangan. Matanya sesekali melirik kesegala arah, ketika telinganya mendengar suara-suara aneh dari arah luar rumah.
Lisa yang mulai merasa hawa takutnya semakin menjadi, lalu memutuskan untuk memanggil ke dua orang tuanya.
Namun, belum sempat ia turun dari tempat tidur, Lisa yang kini terduduk ditepi ranjangnya tiba-tiba berhenti tak bergerak. Nafas Lisa mulai meninggi saat ia mulai merasakan perubahan udara dalam kamarnya.
Bau aneh yang menyengat, santer ia rasakan menusuk indra penciumannya, membuat dirinya semakin berpikir jika kutukan itu kini tiba di kamarnya.
Butiran air mulai membasahi dahinya, melintas turun di sisi mata Lisa yang kini terbuka lebar jatuh dalam kepanikan.
Aku mohon jangan lakukan itu! Jerit Lisa hanya bisa terdengar di dalam hatinya, ia terus memohon agar dirinya dibebaskan dari kutukan ini.
Lisa tak tinggal diam, ia terus meronta, berusaha menggerakan tubuhnya yang kaku tak berdaya, hingga kegelapan mulai menutupi matanya.
Dalam suasana yang hening, ditengah kegelapan, Lisa masih bisa merasakan jika ada sesuatu yang kini berdiri dihadapannya.
Siapapun kamu.. Aku mohon lepaskan aku! Lirih batin Lisa, ketika ia merasakan ada sentuhan halus meraba telinga hingga lehernya. Sentuhan itu terhenti dan lalu kembali terasa membelai bahunya dan turun kebagian punggung Lisa.
Jantungnya mulai berdetak kencang, saat ia tahu sentuhan itu kini sedang berusaha melakukan hal lebih dari itu. Lisa hanya terdiam, dengan rasa penuh ketakutan. Beberapa kali ia mencoba berteriak namun suaranya seakan teredam oleh sebuah kekuatan.
Ia tersentak, menahan nafasnya, saat sebuah belaian halus kembali menjelajahi tubuhnya. Belum habis Lisa menahan semua ini, kini ia kembali merasakan jika lengan itu sedang memisahkan kedua lutut Lisa secara perlahan.
Hampir sekujur tubuhnya berhasil dirajai oleh sesuatu yang tak nampak. Sesekali Lisa menahan nafasnya, lalu menariknya dalam-dalam. Keringat dingin mulai tampak membasahi dahinya, bercampur dengan butiran air mata yang membasahi pipinya.
Rasa itu begitu memilukan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Air matanya seolah menjadi akar utama meliputi perasaan tak berdaya dan lemah.
***
Duggg dugg duggggg.
Ketukan di pintu terdengar memenuhi pagi yang cerah di sebuah desa. Seorang ibu paruh baya berdiri di depan kamar anak gadisnya, mengetuk pintu dengan tergesa-gesa.
"Lisa..." panggilnya dengan suara cemas dari balik pintu, "Sudah siang Nak! Bangun."
Namun, tak ada jawaban. Ketukan ibu itu semakin cepat, semakin gelisah ketika Lisa tak kunjung merespons. Merasa ada yang tak beres, ia segera berlari ke dapur.
"Pak! Lisa Pak!" serunya panik kepada suaminya yang sedang membersihkan peralatan pertanian.
Sang suami, tanpa perlu banyak penjelasan, segera memahami situasi. Bersama istrinya, ia bergegas ke kamar Lisa. Sesampainya di sana, ia langsung mendorong pintu dengan penuh tenaga.
Brruukk!!
Pintu terbuka dengan keras, dan pemandangan di dalam kamar membuat sang ayah tercengang. Pakaian Lisa berserakan di atas ranjang, sementara Lisa terbaring di bawah selimut, wajahnya tampak pucat dan lemas.
"Lisa!" seru sang ayah dengan suara berat, tatapannya dipenuhi amarah dan kecemasan.
Ibu Lisa segera menghampiri anak gadisnya, mencoba membangunkannya dengan lembut. Lisa bergerak perlahan, membuka matanya dengan wajah penuh kelelahan. Sang ibu menoleh lirih ke arah suaminya yang berdiri terpaku, menahan emosi yang memuncak.
"Aku harus bicarakan ini ke Pak Kades!" ucap sang ayah dengan tegas, lalu segera pergi dengan langkah cepat.
Desa yang biasanya damai kini terasa mencekam bagi keluarga Lisa. Masalah besar yang menimpa anak gadis mereka menjadi beban yang menghantui.
Sesampainya di rumah Pak Kades, sang ayah langsung memanggil dengan suara lantang, "Pak Kades!"
Mendengar nada suara yang tinggi, Pak Kades segera keluar dari rumahnya dengan wajah khawatir. "Pak Janjan, Ada apa?" tanyanya.
"Kita harus bertindak! Desa ini makin rusak jika kita diam saja!" sergah sang ayah, penuh kemarahan.
Pak Kades menghela napas panjang, "Kutukan itu lagi?" gumamnya lirih. Ia membuka pintu lebar-lebar dan mempersilakan masuk. "Bicarakan di dalam."
Sudah seminggu penuh rumah Pak Kades kedatangan warga yang melaporkan hal yang sama—anak gadis mereka menjadi korban. Sebagai kepala desa, ia telah berupaya mencari solusi, namun hasilnya nihil. Terakhir, ia meminta penduduk memperketat penjagaan, terutama bagi yang memiliki anak perempuan. Namun, serangan terus terjadi tanpa henti.
"Semua ini karena kesalahan kita," ucap Pak Kades dengan nada putus asa. "Andai kita tetap menjaga tanah leluhur, kutukan ini tak akan datang."
Mendengar itu, wajah sang ayah memucat. Ia ingin melampiaskan amarah, ingin menuntut balas atas apa yang terjadi pada putrinya, tapi ia sadar, hal itu mungkin sia-sia.
Hening sesaat kemudian, seorang pria muda dengan bandan kekar, sorot matanya tajam dan tegas. Muncul dari dalam rumah. "Ini jelas tak bisa lagi kita biarkan," gumamnya, terdengar geram.
"Kita harus menemui Tetua Adat," ucap Pak Kades dengan tegas, merujuk kepada sesepuh desa.
Menjelang siang, Pak Kades bersama beberapa warga menuju rumah seorang Kakek Tua, Datuk Muntikei, yang hampir berusia seratus tahun. Ia dikenal sebagai saksi hidup masa kejayaan desa dan masih setia memegang tradisi leluhur.
Pak Dehen, kepala desa, dan Pak Janjan, ayah Lisa, melangkah pelan menuju rumah tua yang tampak usang di ujung Desa Mola-Mola. Suasana terasa berat, dan duka menyelimuti wajah Pak Janjan yang masih terpukul oleh nasib putrinya. Pak Dehen menahan napas, berusaha tetap tenang di tengah kekalutan ini. Mereka berharap bisa menemukan jawaban dari Tetua Adat, orang yang dianggap paling tahu sejarah dan Adat leluhur desa.
Setibanya di depan pintu, sebelum mereka sempat mengetuk, Djaya, anak lelaki Tetua Adat, muncul dari dalam rumah dengan tatapan tajam. Raut wajahnya tak ramah, dan sinis saat menyapa.
"Ada urusan apa kalian ke sini?" tanya Djaya, nada suaranya dingin.
Pak Dehen mencoba menjawab dengan sopan, "Kami ingin bertemu dengan ayahmu, Tetua Adat. Ada hal penting yang perlu kami bicarakan, terkait kutukan yang menimpa desa."
Djaya menghela napas panjang, menatap mereka dengan tatapan penuh dendam yang samar. "Oh, soal kutukan itu, ya? Silakan masuk." Ia membuka pintu lebar-lebar, meski ekspresi wajahnya tetap tak bersahabat. Seolah ada sesuatu yang ia simpan dalam hati, dendam yang terpendam.
Pak Dehen dan Pak Janjan memasuki rumah itu dengan sedikit keraguan. Mereka berjalan melewati ruang tamu yang terasa suram dan sepi, menuju ruangan di mana Datuk Muntikei, sang Tetua Desa, duduk di kursi kayu tuanya. Tubuhnya terlihat rapuh, namun mata tuanya masih menyimpan kebijaksanaan yang terpendam.
Pak Dehen memulai dengan hati-hati, "Ketua, kami datang untuk mencari jawaban. Kutukan yang menimpa desa semakin parah. Banyak anak muda, seperti putri Pak Janjan, Lisa, yang menjadi korban. Kami membutuhkan bantuanmu."
Namun, tak ada respons yang menggembirakan dari Petua Adat itu. Ia hanya menatap lurus ke depan, wajahnya kaku, sebelum akhirnya ia berkata dengan nada dingin, "Kutukan ini adalah akibat dari kesalahan kalian sendiri. Kalian semua telah membuat leluhur murka. Kalian lupa pada adat, kalian lupa pada kewajiban kalian kepada arwah leluhur."
Pak Janjan yang sudah tak mampu menahan emosinya segera meledak. "Apa maksudmu menyalahkan kami, Tetua? Kami datang ke sini untuk meminta bantuan, bukan untuk mendengar tuduhan!" Suaranya menggema di ruangan kecil itu, amarahnya meluap.
Pak Dehen segera meraih lengan Pak Janjan, mencoba menenangkan temannya. "Tenang, Janjan. Kita di sini mencari solusi, bukan memperparah keadaan."
Datuk Muntikei tetap tak bergeming. "Jalan keluar? Satu-satunya jalan keluar adalah kalian kembali pada adat. Hanya itu. Kalau tidak, kutukan ini akan terus berlanjut."
Pak Dehen menyadari bahwa tak ada jawaban yang memuaskan dari Ketua Adat. Ia tahu percakapan ini tak akan membuahkan hasil. "Terima kasih atas waktumu, Tetua. Kami akan mencoba yang terbaik untuk desa."
Pak Dehen dan Pak Janjan kemudian beranjak pergi, meninggalkan ruangan dengan perasaan tak menentu. Di pintu, Djaya menatap mereka lagi, kali ini dengan senyum sinis yang semakin menegaskan jarak antara mereka. "Semoga berhasil," katanya sambil menutup pintu dengan keras.
Di luar, angin siang terasa lebih dingin dari biasanya. Pak Janjan menghela napas panjang, sementara Pak Dehen menepuk bahunya. "Kita akan temukan jalan keluar, Janjan. Kita harus tetap kuat."
Mereka berdua berjalan pulang, dengan hati yang berat dan pikiran penuh tanya. Desa yang semula tenang dan damai, kini terasa mencekam saat malam datang.
Siang itu, matahari terik menyinari kampus Universitas Kebudayaan. Di sebuah kafe sederhana yang terletak di sudut area kampus, suara perdebatan empat orang menggema, meski di luar tampak suasana sepi. Di tengah meja yang dipenuhi buku-buku tua, peta kuno, dan secangkir kopi yang sudah mulai dingin, Satrio dan timnya berusaha menguraikan misteri yang terkandung dalam prasasti kuno yang baru saja mereka temukan.
Satrio duduk tegap di ujung meja, matanya menelusuri setiap detail pada peta di hadapannya. Posturnya yang tinggi dan atletis mencerminkan pengalaman panjangnya sebagai arkeolog lapangan. Wajahnya tegas dengan rahang kokoh dan kulit sawo matang yang sering terpapar matahari. Rambut hitam ikalnya sedikit berantakan, tanda ia lebih sering fokus pada petualangan daripada penampilan. Di balik sorot tajam matanya, ada keyakinan yang tak tergoyahkan. “Gunung Niuts,” ucapnya pelan, namun penuh keyakinan. “Prasasti ini jelas merujuk ke sana. Lihat pola simboliknya, ini menggambarkan pegunungan yang terjal dan hutan lebat.”
Rio, yang duduk di seberangnya, menggeleng pelan. "Aku nggak yakin," katanya sambil meremas gelas kopinya yang masih hangat. Berbeda dari Satrio yang berkarakter tegas, Rio lebih kalem namun analitis. Sebagai ahli perhutanan, dia tahu betul betapa luasnya hutan-hutan di Barat. Tubuhnya sedikit lebih pendek daripada Satrio, dengan rambut lurus yang selalu rapi dan wajah yang tenang. "Kita nggak bisa langsung bilang kalau itu Gunung Niuts. Hutan di Barat terlalu luas, dan banyak yang belum kita teliti. Bisa saja ada gunung lain yang dimaksud."
Gilang, yang sedang membolak-balik buku kuno di tangannya, tersenyum tipis. "Terjemahannya jelas, kok," ujarnya sambil menunjuk beberapa catatan di bukunya. Gilang, dengan rambut keriting tebal dan kaca mata bundar di ujung hidungnya, adalah ahli teks kuno. Dia tampak lebih bersemangat dari biasanya, matanya berkilat-kilat setiap kali ia menemukan sesuatu yang baru dalam teks kuno. “Ini bukan sekadar soal hutan atau gunung. Lihat, ada kata frasa ‘persembahan hijau’ yang merujuk pada tempat di daerah Barat. Ini pasti merujuk ke suatu lokasi yang memiliki lembah hijau, dan aku tidak menunjuk itu mengarah ke Gunung Niuts.”
Bayu, yang duduk dengan tenang di samping Rio, memandangi peta dan prasasti itu dengan ekspresi tenang, seperti biasanya. Sebagai ahli biologi, Bayu lebih suka menganalisis fakta-fakta yang lebih konkret, meski dalam situasi seperti ini, ia sering kali menjadi penengah. Tubuhnya kekar, lebih besar daripada yang lain, dengan rambut pendek dan kulit yang juga terbakar matahari. “Aku rasa, kita harus mempertimbangkan semua opsi,” katanya bijak. “Baik itu teori Satrio ataupun kemungkinan lain yang diajukan Rio. Kita butuh lebih banyak bukti sebelum memutuskan apa pun.”
Satrio mendesah pelan, tapi dia tidak menyerah. Matanya beralih pada peta di meja, jarinya menunjuk ke sebuah titik di selatan. “Aku tahu ini Gunung Niuts. Segala bukti di prasasti mengarah ke sana. Kalau kalian ragu, biarkan aku yang pergi. Aku nggak mau kita buang waktu terlalu lama hanya untuk berdebat.”
Rio langsung mendongak, wajahnya tegang. “Pergi sendiri? Jangan gegabah, Tri! Gunung Niuts itu hutan tropis yang luas! Kita bahkan nggak tau apa yang ada di sana.”
Gilang menutup bukunya, sorot matanya tajam. “Setuju sama Rio. Kalau kau pergi sendiri lalu ada apa-apa, siapa yang bakal tahu? Ini bukan cuma soal Gunung Niuts atau hutan di Barat, tapi ini akan keselamatanmu, Tri."
Bayu menyandarkan tubuhnya di kursi, menatap Satrio dengan serius. “Sifat keras kepalamu kadang menyelamatkan kita, tapi ini terlalu berisiko.”
Satrio menatap mereka satu per satu, merasa terhimpit oleh kekhawatiran teman-temannya. Tapi, dia tidak bisa menunggu lebih lama. “Aku tau pilihan ini mengandung resiko tinggi, tapi aku juga nggak mau melibatkan kalian dalam ekspedisi yang belum pasti ini.”
Perdebatan kembali memanas, tapi kali ini ada kekhawatiran di dalamnya. Bukan lagi soal lokasi, melainkan keselamatan Satrio. Setelah beberapa saat, ketiga temannya akhirnya setuju, karena mereka tahu betul jika Satrio sudah menentukan pilihan tak akan ada seorangpun yang bisa merubahnya.
“Baiklah,” kata Rio, mengalah. “Tapi, dengan satu syarat! .... " Belum usai Rio berkata, Satrio memotongnya dengan percaya diri.
"Satu, aku harus melaporkan semua temuanku. Dua, setiap hari aku harus memberikan kabar. Itu, kan?" Ketiga teman Satrio hanya menghela nafas, tampak pasrah dengan keputusan yang telah ia buat.
"Satu lagi! timpal Rio, menaikan satu jarinya, "selalu kirim koordinat terakhir kepada kami."
Gilang menambahkan, “Dan jangan ambil risiko yang nggak perlu. Kita bisa mengejarnya bersama kalau sudah ada bukti lebih kuat.”
Bayu mengangguk setuju. “Kalau sampai kau hilang tanpa kabar, aku yang pertama akan menyusulmu!”
Satrio tersenyum tipis, merasa didukung meski mereka masih ragu. “Tenang saja, aku tahu apa yang kulakukan.”
Mereka semua tahu, ini bukan sekadar soal perdebatan. Ini adalah awal dari perjalanan yang bisa mengubah segalanya.
"Jadi... Kamu tetap beneran mau pergi sendiri?" tanya Rio sambil menyedot kopinya, ekspresinya setengah tak percaya.
Satrio mengangguk mantap, "Aku nggak mau kalian semua ikut kalau ini belum jelas. Aku sendiri pun belum yakin, tapi insting-ku kuat ke arah sana."
Gilang bersandar ke kursinya, ekspresi penuh ragu. "Instingmu itu selalu bawa kita ke petualangan gila sebelumnya, tapi khusus kali ini aku ngerasa ada risiko yang terlalu besar."
Bayu, yang sedari tadi diam saja, akhirnya bicara. "Ya... Kalau dia sudah yakin, kita nggak akan bisa cegah. Tapi tolong, Tri. Tepati syarat dari kita tadi! Jangan sampe buat kita bingung tiba-tiba kamu hilang di hutan."
Satrio tersenyum kecil. "Pasti, tenang aja."
Rio menutup laptopnya, merasa pembicaraan soal ekspedisi ini sudah selesai. "Aku masih nggak habis pikir kenapa kampus makin heboh gara-gara tim kita. Kita cuma ngerjain yang seharusnya, kan?"
Gilang tertawa. "Cuma? Kamu lupa gimana kita nemuin situs megalitikum di daerah terpencil waktu itu? Satu-satunya tim dari fakultas ini yang bisa narik kesimpulan dari temuan yang dianggap sepele sama orang lain."
Bayu ikut tersenyum. "Iya, aku inget ekspresi Rizal waktu itu. Kayak nggak percaya kita bisa nemuin struktur batu yang umurnya ribuan tahun."
"Dan aku yang harus bolak-balik ngejelasin soal artefak yang kita temuin," tambah Satrio. "Tapi ya, itu bikin kita dapet perhatian. Bagusnya sih, sekarang mereka lebih dukung penelitian kita, mempermudah mencari dana untuk penelitian."
Rio menyandarkan tubuhnya, menikmati cerita yang mereka kenang. "Waktu itu gila sih. Semua orang ngeremehin, bilang daerah itu nggak mungkin ada apa-apa. Andai kalaitu Satrio nggak keras kepala, mungkin sudah berakhir dengan tangan kosong."
"Insting," Satrio tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. "Sama kayak sekarang. Kita nggak bakal tahu apa yang tersembunyi di Hutan Gunung Niuts kalau aku nggak nyoba."
"Dan yakin banget instingmu kali ini benar?" tanya Gilang, suaranya terdengar serius.
Satrio terdiam sejenak, menatap ke luar jendela. "Aku nggak tahu pasti, tapi kadang sesuatu yang paling penting justru tersembunyi di tempat yang nggak kita sangka."
Rio menatap dalam ke arah Satrio sambil mengetuk jemari di atas meja, lalu menatap Satrio dengan serius. "Kamu tau kan, kalau hutan tropis itu nggak kayak yang ada di film dokumenter? Medannya berat, cuacanya nggak bisa ditebak, dan... binatang buas yang bisa mengintai kapa saja."
Satrio menarik napas dalam-dalam, jelas sudah mendengar kekhawatiran ini sebelumnya. "Aku udah siap, Rio. Aku tahu risikonya. Lagi pula, ini bukan pertama kalinya kita ke hutan, kan?"
"Ya, tapi kali ini kamu itu sendirian!" Rio menekankan, suaranya naik setengah oktaf. "Kamu nggak ada back up. Kalau ada apa-apa, siapa yang bakal bantu di sana?"
Gilang yang dari tadi diam, akhirnya menyela. "Rio ada benarnya, Tri. Kita pernah hampir tersesat bareng, inget nggak? Itu aja udah parah, padahal kita berempat waktu itu."
Satrio mengangguk, mengingat pengalaman mereka dulu. "Aku nggak lupa, Gi. Pelajaran saat itu menjadi pondasi kuat untuk terus melangkah. Aku pasti siapkan semua peralatan penting."
Bayu yang sedari tadi diam ikut angkat bicara. "Peralatan penting, tapi itu bukan jaminan lo bisa balik dengan selamat, Tri. Apalagi kalo kamu kena masalah fisik, kecelakaan kecil aja di tengah hutan bisa fatal."
Satrio terdiam sesaat, merasakan beratnya kekhawatiran dari teman-temannya. "Aku nggak gegabah, kok. Setiap langkah bakal aku pertimbangkan."
Rio menghela napas, menunduk sejenak sebelum menatap Satrio lagi. "Oke, kita tau kamu itu keras kepala. Kalau udah mutusin, susah buat batalin. Tapi gue cuma minta satu hal, Tri—tolong, hati-hati di sana. Jangan anggap remeh alam liar. Hutan tropis itu kejam buat yang belum siap."
Satrio tersenyum tipis, menepuk bahu Rio. "Aku nggak akan lupa pesan itu, Rio. Aku bakal lebih hati-hati dari biasanya."
Rio hanya mengangguk pelan, tapi jelas masih ada rasa khawatir yang belum hilang dari wajahnya.
Satrio bangkit dari kursinya, memandangi teman-temannya satu per satu, membuat mereka semua ikut berdiri. Mereka paham jika akan ada tugas yang hendak diberikan kepada mereka dari kapten Tim ini. "Gilang, aku minta kamu siap sedia. Aku bakal kirim laporan langsung dari lapangan, jadi tolong pastiin kamu terus siaga. Kalau ada apa-apa, kamu orang pertama yang bakal aku hubungi."
Gilang mengangguk tegas. "Tenang aja, aku bakal mantau terus. Kalau ada info baru dari prasasti atau teks lain yang bisa bantu, langsung aku kabarin."
Satrio lalu menoleh ke Bayu. "Bay, kamu yang paling ngerti soal obat-obatan. Aku butuh persiapan khusus. Antisipasi gigitan ular, penyakit tropis, atau cedera lain yang mungkin aku alami di sana."
Bayu mengangguk sambil berpikir. "Aku bakal siapin kit lengkap. Anti-bisa, salep luka, dan vitamin buat jaga kondisi tubuhmu agar tetap prima. Jangan khawatir."
Akhirnya, pandangan Satrio beralih ke Rio. "Rio, aku butuh kamu untuk pelajari lebih lanjut tentang Gunung Niuts. Peta, rute aman, dan apa aja yang bisa kita temuin di hutan. Semakin banyak informasi, semakin kecil kemungkinan gue nyasar atau kena bahaya."
Rio tersenyum tipis, meski jelas masih khawatir. "Siap, aku bakal cari data secepat mungkin. Aku pastikan kamu ngga akan nyasar, Tri. Kalau masih sanyar juga, aku ngga akan memaafkanmu."
Satrio tertawa kecil, berusaha meredakan ketegangan. "Santai aja, aku nggak kemana-mana."
Mereka semua berdiri, bersiap untuk berpisah. Sebelum benar-benar pergi, Satrio mengulurkan tangan dengan gestur yang sudah menjadi ciri khas tim mereka. Sebuah salam khusus yang mereka ciptakan setelah bertahun-tahun bekerja bersama.
Gilang, Rio, dan Bayu menyambut salam itu, tangan mereka bertemu dalam ikatan persahabatan yang kuat. "Tetap kompak, apapun yang terjadi," Satrio berkata dengan nada serius.
"Selalu," jawab Rio, diikuti senyuman setuju dari Gilang dan Bayu.
Setelah itu, mereka saling berpamitan, dan satu per satu meninggalkan kafe. Satrio menatap mereka pergi, merasa bersyukur punya tim yang begitu solid. Meski dia akan pergi sendiri, dia tahu dukungan mereka selalu ada di belakangnya.
Di dalam sebuah rumah sederhana, suasana begitu hening. Udara di dalam terasa berat, seolah duka yang menyelimuti seisi ruangan tak bisa diusir. Lisa, yang baru saja menjadi korban kutukan, duduk membeku di pojok kamar. Tatapannya kosong, wajahnya pucat. Kehormatan yang hilang bukan hanya merenggut rasa aman, tetapi juga menghancurkan semangat hidupnya.
Bu Alezza, ibunya. Duduk di sampingnya, mengelus pundak Lisa perlahan. "Lisa, ibu di sini. Kamu harus kuat Nak." Suaranya lembut, namun terdengar getir, menyiratkan kepedihan yang tak bisa ditutupi. Lisa tetap tak merespon, matanya lurus ke depan, seolah terputus dari kenyataan yang ada di sekelilingnya.
Ketukan pintu memecah keheningan. Pak Janjan, yang sejak tadi duduk termenung di kursi di dekat pintu, segera bangkit. Dengan wajah lelah, ia membuka pintu dan mendapati Ekot, ketua pemuda desa, berdiri di ambang pintu sambil membawa keranjang buah.
"Pak Janjan, Bu Alezza, kami datang untuk menjenguk Lisa." ujar Ekot dengan suara rendah, penuh empati. "Ini ada beberapa buah dari warga, sebagai tanda simpati kami."
Pak Janjan mengangguk pelan, wajahnya masih dirundung kesedihan mendalam. "Terima kasih Ekot. Kebaikan kalian sangat berarti bagi kami."
Ekot melangkah masuk dan menghampiri Lisa, menunduk dengan hormat. "Lisa... kamu tidak sendiri. Kami semua ada di sini untukmu. Semoga kamu bisa menemukan kekuatan dalam dirimu."
Tak ada jawaban. Lisa tetap diam, matanya tak bergerak sedikit pun. Ekot menghela napas pelan, menyadari betapa dalam trauma yang dialami gadis itu. Setelah beberapa saat, ia menoleh kepada orang tua Lisa.
"Kami semua turut prihatin, Pak Janjan, Bu Alezza. Jika ada yang bisa kami bantu, jangan sungkan untuk menghubungi kami."
Bu Alezza tersenyum tipis, lemah, dan menjawab pelan. "Terima kasih Ekot. Kehadiran kalian sudah sangat membantu."
Ekot pamit, dan dengan penuh kesedihan meninggalkan rumah itu. Langkahnya perlahan menjauh, membawa beban pikiran tentang kutukan yang masih menghantui desa.
Setelah keluar dari rumah Lisa, Ekot berjalan perlahan menyusuri jalan setapak desa. Pikirannya masih tertuju pada Lisa dan keluarganya, serta beban tanggung jawab sebagai ketua pemuda yang semakin hari semakin berat. Langkahnya terhenti ketika dari kejauhan, ia melihat dua pemuda desa, Rumbun dan Mantir, berjalan dengan senyum lebar, masing-masing membawa hasil buruan di punggung mereka.
"Ekot!" panggil Rumbun ketika melihat ketua pemudanya. "Kami baru saja dari hutan. Berhasil dapat beberapa ekor buruan."
Mantir mengangkat hasil buruannya dengan bangga, "Hari ini lumayan banyak. Desa akan makan besar!"
Ekot tersenyum tipis, lalu mendekat. "Bagus sekali. Hasilnya kelihatan melimpah," katanya sambil mengamati hasil buruan itu. Namun, nadanya berubah serius. "Tapi, aku punya permintaan untuk kalian."
Rumbun dan Mantir saling pandang, penasaran. "Apa itu Ekot?" tanya Mantir.
Ekot menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Aku ingin kalian bagikan hasil buruan ini kepada keluarga-keluarga yang anaknya telah menjadi korban kutukan."
Kedua pemuda itu terdiam sejenak. Wajah mereka berubah serius, menyadari betapa beratnya kondisi desa akhir-akhir ini. Mereka tahu betul rasa kehilangan yang dialami keluarga korban.
"Kau benar," jawab Rumbun akhirnya. "Kami paham, keluarga-keluarga itu butuh lebih dari sekadar kata-kata. Kita harus menunjukkan dukungan nyata."
Mantir menambahkan, sambil menepuk bahu Ekot. "Betul. Kami akan langsung ke rumah-rumah mereka setelah ini,"
Ekot tersenyum lega mendengar kesediaan teman-temannya. "Terima kasih. Kalian luar biasa. Aku tahu ini bukan tugas mudah, tapi kita semua harus bersama-sama menghadapi kondisi ini."
Dengan hati ringan, ketiga pemuda itu pun melanjutkan perjalanan, membawa hasil buruan mereka untuk dibagikan kepada keluarga yang membutuhkan. Di balik derita yang menyelimuti desa, rasa kebersamaan dan solidaritas mereka semakin kuat.
Beberapa saat berlalu. Di depan rumah sederhana yang terbuat dari kayu, Ekot duduk di atas bangku kayu tua sambil dengan tekun mengasah tombaknya. Matahari mulai terbenam, mewarnai langit dengan cahaya jingga yang lembut, sementara angin sore berhembus lembut menggetarkan dedaunan. Suara gesekan besi pada batu asah mengisi keheningan desa yang terasa semakin sunyi dengan kutukan yang menghantui.
Tiba-tiba, langkah tergesa-gesa terdengar mendekat. Pak Labih, ayah Rina, muncul di depan gerbang. Wajahnya terlihat cemas dan lelah, seperti telah menanggung beban yang terlalu berat. Nafasnya memburu seakan dia berlari tanpa henti.
"Ekot," panggilnya dengan suara gemetar, “Tolong... Aku butuh bantuanmu malam ini. Aku tak sanggup berjaga sendiri. Rina... Aku takut kutukan itu menimpa anakku.”
Ekot menghentikan gerakannya, menatap Pak Labih dengan tatapan serius. Tombak di tangannya ia letakkan di pangkuannya. Wajah Ekot menunjukkan rasa simpati yang mendalam, namun ia tahu bahwa dirinya sudah tak bisa memenuhi permintaan itu.
“Pak Labih," jawab Ekot lembut namun tegas, "aku ingin sekali membantumu, tapi malam ini aku sudah berjanji untuk berjaga di rumah Pak Purrok. Dia juga meminta bantuanku karena keluarganya sudah terlalu ketakutan."
Pak Labih menghela napas dalam, terlihat sangat kecewa. Mata tuanya berkaca-kaca, namun ia mencoba menahan diri agar tidak terlihat rapuh di depan Ekot. “Rina satu-satunya yang kumiliki... Aku tak tahu harus bagaimana jika kutukan itu datang ke rumahku.”
Ekot memejamkan matanya sejenak, menimbang-nimbang. “Begini saja. Meskipun aku tidak bisa berjaga di rumahmu malam ini, aku akan meminta tiga warga lainnya untuk menemanimu berjaga. Aku pastikan mereka adalah orang-orang yang bisa diandalkan.”
Pak Labih tampak lega. Walau tak langsung dari Ekot, bantuan yang ditawarkan membuat hatinya sedikit lebih tenang. “Terima kasih Ekot... Terima kasih banyak. Aku tak tahu harus bagaimana jika tak ada yang membantuku.”
Ekot mengangguk, tersenyum tipis. “Jangan khawatir. Kita semua di desa ini sedang berjuang bersama. Aku akan segera mengirimkan mereka sebelum malam tiba.”
Pak Labih mengucapkan terima kasih berkali-kali sebelum akhirnya berpamitan. Setelah Pak Labih pergi, Ekot kembali mengasah tombaknya, namun kali ini pikirannya tak tenang. Kutukan yang terus meneror desa ini semakin menambah beban di pundaknya. Namun dia bertekad, walau dengan cara apa pun, dia akan melindungi warganya.
Ekot menatap punggung Pak Labih yang perlahan menjauh. Bayangannya semakin kecil di bawah cahaya temaram matahari yang mulai menghilang di balik bukit. Namun, dalam dada Ekot, rasa marah bergemuruh.
Wajahnya yang tadinya tenang kini berubah kaku, matanya menyipit penuh kemarahan. Ia menggenggam tombak di tangannya lebih erat, jari-jarinya bergetar seiring emosinya yang tak bisa ia tahan lagi.
"Setiap malam." Gumamnya dengan nada rendah, hampir seperti berbisik pada dirinya sendiri. "Ini selalu terjadi. Tak ada yang berubah. Mereka terus hidup dalam ketakutan." Suaranya semakin serak, penuh amarah yang terpendam.
Ekot kembali mengasah ujung tombaknya dengan gerakan cepat, hampir kasar. Bunyi gesekan besi yang cumiakkan telinga terdengar lebih keras dari biasanya, seolah mengimbangi gejolak di dalam hatinya. Ujung tombak itu sudah sangat tajam, lebih dari cukup untuk memotong apa pun yang mencoba mendekati, tapi Ekot terus mengasahnya, seakan itu satu-satunya cara untuk menyalurkan kemarahannya.
Wajahnya menegang, otot-otot di leher dan lengan berkerut seolah siap meledak kapan saja. "Aku muak! Melihat mereka semua ketakutan!" pekiknya dalam hati. "Leluhur, arwah, kutukan... Apa pun itu! Aku tidak akan tinggal diam!"
Setiap kali ingatan tentang para korban, Lisa dan gadis-gadis lain melintas dalam pikirannya, kemarahannya semakin menjadi. Kutukan ini sudah terlalu lama membelenggu desanya, dan setiap kali malam menjelang, ketakutan yang sama datang, membuat setiap orang hanya bisa bersembunyi.
Ekot menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Namun, amarah itu tak sepenuhnya surut. Ia tahu bahwa sebagai Ketua Pemuda, ia tak bisa terus diam. Sesuatu harus dilakukan. Sesuatu yang lebih dari sekadar berjaga dan bersembunyi.
Dengan satu gerakan tajam, Ekot menghentikan asahannya. Tombak itu kini berkilauan di bawah sinar senja yang tersisa. Tatapannya mantap, dipenuhi tekad.
"Malam ini... Aku takan membiarkan satu Gadis pun menjadi korban!" katanya lirih, seolah membuat janji pada dirinya sendiri.
Ia tahu, malam ini akan panjang, dan mungkin ada bahaya yang lebih besar menunggu di luar sana. Tapi kali ini, Ekot tidak akan membiarkan ketakutan mengendalikan mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!