NovelToon NovelToon

Diabaikan Setelah Malam Pertama

Bab. 1 Diabaikan Di Malam Pertama

"Mas, kamu mau ke mana?" Tatapan Naima begitu nanar ke arah Faris—pria yang siang tadi mengucapkan akad untuk menghalalkan dirinya.

Tak ada jawaban dari Faris. Pria itu sibuk memakai celana dan kemeja yang sebelumnya ia lepas. Lalu pergi meninggalkan Naima begitu saja. Naima hanya bisa tergugu melihat kepergian Faris.

Setelah melakukan hubungan suami istri, Faris terlihat kecewa. Ia pun menanyakan tentang kesucian Naima.

"Ternyata kamu sudah ...?" Faris bahkan tak mampu menyebut jika istrinya tak lagi perawan.

Naima tidak bisa mengelak. Ia hanya bisa menunduk dengan bulir bening yang tiba-tiba membasahi pipi. Bukan Naima tak mau jujur dari awal, Ia hanya berusaha menjaga aib yang selama ini tersembunyi.

Namun, sebelum Faris memutuskan untuk melamar dan menikahinya dulu, Naima pernah mengatakan sesuatu sebagai isyarat; Jika dulunya ia besar dan tinggal di luar negeri. Naima pun bercerita bagaimana dulu dirinya yang belum memeluk islam melakukan banyak hal yang di negara barat dianggap wajar dan biasa, tapi menjadi dosa dalam agama islam. Ia pikir saat itu Faris sudah paham akan isyarat yang ia sampaikan.

Memang, Naima tak menyebutkan detail apa lagi dengan kata vulgar tentang apa saja yang pernah ia lakukan di masa ia belum memeluk islam. Semua sengaja ia katakan dengan bahasa sehalus mungkin untuk menjaga marwahnya sebagai perempuan.

Kenyataannya, Faris tak menangkap maksud dari isyarat yang Naima sampaikan. Faris nekad menikahi Naima. Dan, malam pengantin mereka menjadi saksi akan masa lalu Naima yang bodoh.

Tak ada yang bisa Naima perbuat untuk menghentikan langkah Faris. Ia hanya bisa menangis memeluk selimut yang ia tarik sekuat mungkin untuk menutupi tubuh yang masih polos. Bahkan mengigit kuat kain itu untuk meredam tangis yang pecah agar tak terdengar sampai keluar.

Sakit!

Iya, Naima merasakan sakit yang bertubi. Ia pikir ia telah menemukan pria sejatinya. Jodoh yang tepat, yang mau menerima dirinya apa adanya. Tidak disangka sang suami justru meninggalkannya di malam pertama dengan cara yang menyakitkan.

"Naima!" Sebuah bentakan membuat Naima tersadar akan malam pertama setahun lalu. Gegas ia mengusap air mata yang masih saja terus mengalir jika mengingat kejadian malam pengantin dulu.

"Diajak bicara malah bengong! Ibu heran sama Faris, kok bisa-bisanya dulu milih kamu jadi istri. Sudah mandul, sekarang malah jadi budeg."

"Kenapa sih, nggak diceraikan saja istri kayak kamu itu. Udah _____"

Yuni—ibu mertua Naima— terus saja mengomel dan memaki Naima. Wanita itu sering kali mengatai Naima mandul karena sudah setahun menikah tapi belum juga hamil. Bagaimana Naima akan hamil jika Faris saja tak pernah menyentuhnya sama sekali.

Faris bilang; Ia merasa telah dibohongi oleh Naima, hingga tak mau lagi menyentuh wanita yang ternyata sudah bekas dijamah pria lain. Sejak malam pertama itu Faris mengabaikan Naima.

Sakit hati Naima tak hanya sampai diabaikan suami saja. Ibu mertuanya pun ikut menambah luka hati wanita itu. Setiap hari sebutan wanita mandul untuk Naima selalu keluar dari lidahnya yang tajam.

Semua Naima terima dengan berusaha sesabar mungkin. Mau bagaimana lagi, kalau Yuni tahu apa yang sebenarnya terjadi pasti ia akan semakin dicela dan dihina sebagai wanita murahan. Karenanya Naima memilih untuk diam saja. Entah sampai kapan ia akan sanggup bertahan dengan sikap suami dan mertuanya. Yang pasti untuk saat ini Naima akan menerima saja nasibnya.

"Maaf, Buk, Naima beneran nggak denger. Tadi kan lagi nyuci piring. Ibu mau dibuatkan teh?" tawar Naima pada Yuni yang masih berdiri menatapnya sinis.

"Nggak, aku lagi nggak mau minum teh. Nih, daging, kamu masak rendang sekarang!" Yuni meletakkan kantong kresek berisi daging sapi yang baru saja diberikan oleh Farida—putrinya.

"Tapi, Buk, ini udah jam tujuh lebih. Kalau masak rendang nanti saya telat ngajar." Hari ini memang Naima sedikit telat bangun, kemarin ada pekerjaan di sekolah tempat ia mengajar. Badannya terasa lelah sampai-sampai bangunnya sedikit terlambat.

"Halah, alasan aja kamu itu. Bilang saja nggak mau!"

"Ada apa sih, Buk. Masih pagi kok udah ribut?" Faris yang baru keluar kamar dan mendengar suara ibunya tengah mengomel, langsung menghampiri ke dapur.

"Ini, istri mandul kamu ini, cuma disuruh masak aja alasan telat." Bibir Yuni mencebik kesal pada menantunya.

Faris menatap Naima. "Bener, Naima?"

Naima hanya bisa menunduk. Takut jika suaminya ikut mengomel seperti ibu mertuanya.

"Kenapa, Mas?" Farida—adik dari Faris—tiba-tiba muncul juga di dapur.

"Nggak ada apa-apa," jawab Faris menutupi.

Farida yang tahu persis perangai ibu dan kakaknya menatap kakak iparnya yang tengah menunduk seakan takut. Lalu melihat kantong keresek berisi daging yang tadi ia bawa dan serahkan pada Yuni. Pasti benda ini yang jadi masalah.

"Mbak Ima kok belum berangkat jam segini?" tanya Farida.

Naima mendongak. "Itu, Mbak mau masak dulu."

"Nggak usah, biar nanti Ida yang masak. Soalnya Ibuk mau dimasakin rendang, kalau Mbak Ima yang masak nanti bisa telat. Masak rendang kan lama. Lagian Ida di sini masih sampai nanti sore kok, nunggu dijemput Mas Dimas."

Farida seolah tahu benar posisi Naima. Adik iparnya itu bukan kali ini saja menyelamatkannya dari situasi yang menyudutkan dirinya.

"Terima kasih, ya, Da. Aku udah mau berangkat soalnya," ujar Naima.

Farida mengangguk. Dugaannya benar. Sebab saat tadi ia mengulurkan daging pada Yuni, ibunya itu bilang ingin makan rendang. Dan akan meminta Naima mengolahnya, tapi Farida tahu jika waktu untuk memasak rendang tidak akan cukup sebab Naima harus pergi mengajar.

"Permisi, Buk ... Mas," ujar Naima saat melewati ibu mertua dan suaminya. Gegas ia pergi ke kamar untuk bersiap.

Sementara Yuni menatap tidak suka pada menantunya. "Liat tuh, istri kamu. Makin kurang ajar saja. Disuruh masak malah banyak alasan," ujar Yuni mengadu. Ia paling tidak suka jika melihat Faris diam saja membiarkan Naima begitu saja.

Usai bersiap, Naima segera keluar mencari suaminya. "Ayo Mas, kita berangkat, aku sudah siap."

Naima baru saja melangkahkan kakinya keluar pintu, tapi Faris justru pergi begitu saja meninggalkan dirinya. Seakan sengaja tak menunggunya.

"Lho, Mas, kok aku ditinggal?" teriak Naima. Sedang mobil Faris terus saja melaju tak mengindahkan teriakan Naima.

Wanita itu terpaku di teras melihat mobil Faris yang makin menjauh.

"Makanya jangan sok-sokan bilang telat. Baru disuruh masak saja alesan telat. Sekarang jadi telat beneran, kan? Lagian, nunggu kok istri yang nggak cekatan. Cih ... mending berangkat sendiri," ujar Yuni yang muncul dari dalam.

Puas sekali hati wanita itu karena telah mengolok-olok menantunya. Yuni seakan sengaja ingin membuat Naima tidak betah berada di rumahnya. Ia ingin Naima bercerai dan pergi dari hidup putranya.

Dalam semua olok-olok sang mertua, Naima kembali harus menguatkan sabar. Ya Allah, sampai kapan Naima harus bertahan dengan kelakukan ibu mertuanya ini. Bukan hanya sang suami, tapi ibu mertua pun seakan menjadi ujian tersendiri dalam rumah tangganya. Suara yang menyakitkan setiap hari, seakan menjadi makanan buat Naima.

Tanpa ia sadari air mata kembali menetes begitu saja. Mengingat akan suami yang semakin hari semakin mengabaikannya.

Haruskah Naima yang meminta cerai untuk bisa lepas dari suami dan mertua jahat ini?

Bab. 2 Jatuh

Dengan menggunakan kendaraan umum Naima berhasil sampai di sekolah tempatnya mengajar meskipun telat. Sebelumnya ia menghubungi salah satu rekan guru untuk menggantikannya mengajar sementara ia dalam perjalanan. Untunglah, di lingkungan sekolah tempat ia mengajar ia mendapatkan teman-teman yang saling mensupport satu sama lain. Pun banyak yang memahami kondisi Naima.

Semua tahu bagaimana hubungan antara Naima dan ibu mertuanya. Tentu bukan dari Naima sendiri yang bercerita, tapi beberapa teman yang pernah berkunjung ke rumah Naima melihat dengan kepala sendiri betapa sinis dan judesnya ibu mertua Naima.

"Terima kasih ya, Yuk, udah bantuin aku," ujar Naima di jam istirahat.

"Anak-anak nggak ada yang rewel, kan?" tanya Naima kemudian.

Naima memang mengajar di sekolah Taman Kanak-kanak, jadi wajar jika pertanyaannya demikian. Meski tidak semua tapi pasti ada beberapa dari anak didiknya yang terkadang rewel. Entah berebut mainan lantas menangis, atau kadang mereka bercanda dan kebablasan dengan saling pukul atau cubit, atau bahkan ada yang menangis karena berebut perhatian guru mereka.

"Alhamdulillah, semua manis hari ini, tapi mereka terus nanyain kamu," jawab Ayu.

"Ya udah abis ini mereka full sama aku sampai pulang, biar mereka seneng," ujar Naima sembari tersenyum.

"Ngomong-ngomong ada masalah apa kamu bisa telat? Mertua kamu rewel lagi?" tanya Ayu.

"Hush ... sama orang tua nggak boleh gitu," jawan Naima. Masih bisa bercanda.

"Abisnya, mertuamu itu kayak bayi tua. Dikit-dikit rewel ... dikit-dikit rewel." Ayu tertawa saat menyindir mertua temennya.

"Udah-udah, aku telat cuma karena telat bangun. Nggak ada yang rewel di rumahku." Naima selalu menutupi kondisi rumah tangganya. Baik dari teman ataupun kakaknya sendiri.

Ia tidak mau membuka hal yang menjadi aib dalam rumahnya pada orang lain. Baginya menjaga keburukan yang terjadi dalam rumah tangganya adalah tanggung jawabnya juga. Meski untuk semua itu ia harus menahan sakit hatinya sendiri.

Naima melanjutkan pekerjaannya mengajar usai istirahat selesai. Jam pulang anak-anak di sekolahnya adalah jam empat sore karena memang full day school. Naima beruntung kegiatan mengajarnya bisa sampai setengah hari lebih, setidaknya ia bisa istirahat dari segala omelan dan kata-kata menyakitkan ibu mertuanya.

"Pulang bareng aku aja, entar aku antar sampai rumah, bonusnya aku jajanin bakso, deh," ajak Ayu.

Setelah menimang-nimang akhirnya Naima ikut pulang bersama Ayu. Seperti rencana semula, Ayu mengajak Naima berhenti sebentar di sebuah warung bakso.

Naima tak lantas masuk mengikuti Ayu. Ia justru bergeming di samping motor yang terparkir.

"Eh ... kok malah diem." Ayu yang sudah berjalan beberapa langkah kembali menghampiri Naima. Menggandeng tangan wanita itu. "Ayo masuk. Aku yang traktir."

Sebenarnya bukan masalah ditraktir atau tidak, Naima hanya memikirkan nanti kalau dia makan bakso dulu dan di rumah tidak makan, pasti ibu mertuanya ngomel dan menuduh Naima yang tidak-tidak seperti sebelum-sebelumnya.

Pun kalau ia menolak ajakan Ayu, pasti temannya itu juga akan tersinggung. Meski berat langkahnya untuk masuk, akhirnya Naima memilih untuk menyenangkan hati temannya yang berniat baik padanya.

Usai memilih tempat duduk, Ayu memesan dua mangkok bakso juga minuman. Obrolan mengiringi keduanya dalam menikmati hidangan sejuta umat itu.

Tak lama, karena selesai makan bakso Ayu langsung mengantar Naima pulang. Jalanan sore memang agak ramai. Maklum, bertepatan dengan jam pulang kantor atau pabrik. Naima memang tidak tinggal di Jakarta, melainkan di Karawang. Di mana di kota itu banyak sekali pabrik.

Selama perjalanan pun, Ayu terus mengajak bicara Naima. Tentu agar tak jenuh di perjalanan. Namun, hal itu justru membuat Ayu yang mengemudi jadi tidak waspada. Ia tidak melihat ketika ada kucing lewat di tengah jalan secara tiba-tiba.

"Ayu, awas!" seru Naima yang melihat seekor kucing melintas memotong jalan mereka.

Karena kurang fokus, Ayu pun hilang keseimbangan. Di saat yang sama ketika ia hendak membanting setir untuk menghindari kucing , sebuah mobil melintas dan menyenggol stang motor Ayu.

Bruk!

Jadilah motor Ayu oleng dan terjatuh. Keduanya jatuh dengan posisi tertimpa motor.

Untung saja pengemudi mobil yang kaget segera berhenti. Tak lama kerumunan orang mengelilingi mereka berdua. Berusaha membantu Ayu dan Naima.

"Gimana, Mbak. Ada yang luka, nggak?" tanya seseorang yang membantu mengangkat motor Ayu yang menimpa keduanya.

Ayu dan Naima menggeleng bersamaan. Keduanya memang tertimpa motor, tapi nasib baik masih berpihak. Luka yang mereka alami tidak terlalu serius. Hanya lecet di kaki dan pantat yang sakit karena harus menumpu berat badan saat jatuh.

"Bener, nggak apa-apa?" tanya si bapak meyakinkan.

"Iya, Pak, nggak apa," jawab Ayu.

Meski tidak apa-apa, tapi saat ini jantungnya berdetak sangat cepat. Kaget dan takut menjadi satu. Membuat tubuhnya gemetar.

"Ya sudah, ayo minggir dulu." Bapak yang menolong mereka mengarahkan Ayu dan Naima ke pinggir jalan. Keduanya pun duduk di trotoar berselonjor kaki.

"Yakin nggak apa-apa. Kalau sakit mending langsung ke rumah sakit aja. Dari pada kenapa-napa, kan?" Si bapak terlihat kasihan pada keduanya.

"Bener kok, Pak, nggak apa-apa," jawab Ayu. "Kamu ada yang luka, nggak?" Ayu menoleh pada temannya, Naima.

Naima menggeleng meski merasakan sakit di betis dan pergelangan kakinya. Naima yakin ada yang lecet di bagian itu, tapi malu untuk melihat ketika ada di depan kerumunan banyak orang.

"Maaf, Mbak, gimana lukanya? Ada yang serius, nggak?" tanya seseorang yang tiba-tiba muncul. "Maaf, tadi saya juga kaget waktu motor Mbak mendadak belok, jadi saya pun nggak sempat ngerem," ujar pria itu.

"Saya juga salah kok, Mas. Niat mau ngindari kucing dengan banting setir malah terjatuh sendiri." Ayu mendongak menatap siapa yang bicara. Sedang Naima masih menunduk merasakan sakit di kakinya.

"Kalau ada yang sakit bilang, Mbak. Saya mau tanggung jawab, saya antar ke rumah sakit," ujar seseorang tadi.

Ayu menyenggol lengan Naima. Meminta pendapat apa harus mereka periksa ke rumah sakit.

"Bener, Mbak kata Masnya, kalau sakit mending priksa aja." Si bapak yang menolong ikut berpendapat.

"Gimana?" ujar Ayu lirih pada Naima.

Barulah Naima mendongak melihat pria yang mau bertanggung jawab atas kejadian yang sepenuhnya bukan kesalahan pria itu. Mata Naima membulat, saat melihat pria yang berdiri di depannya.

"Mas ... Devon?" ujar Naima lirih. Ragu-ragu menyebut nama itu.

Pria di depan Naima nampak bingung. Wajah gadis berhijab ini tidak asing, tapi siapa? Otaknya langsung bekerja mencari memori tentang wajah wanita ini.

"Kamu ...?"

"Kamu kenal dia?" Ayu kembali menyenggol lengan Naima.

Hanya anggukan yang menjadi jawaban Naima. Sejujurnya ia juga ragu, apa benar ini pria yang dulu menyelamatkannya. Kalau benar, apa mungkin Devon sudah lupa padanya?

Bab. 3 Dituduh

Naima berjalan pincang menuju rumahnya. Menahan sakit yang entah lecet dibagian mana sebab tadi baik Ayu maupun Naima tak mau diantar periksa oleh pria yang menyenggol motor Ayu.

Akan tetapi pria itu memberikan nomor ponselnya jika ada sesuatu yang terjadi pada kedua wanita itu dan membutuhkan perawatan, pria itu sanggup bertanggung jawab. Pun ia mau mengantar Naima dan Ayu sampai ke rumah, karena khawatir kondisi Ayu yang lemas untuk naik motor sendiri. Sementara motor Ayu dititipkan di rumah warga sekitar untuk diambil nanti.

"Jam segini baru pulang ke mana, aja?" todong Yuni begitu Naima masuk ke rumah. "Terus itu tadi siapa yang antar, laki-laki, kan?"

Yuni yang tadi sempat melihat Naima turun dari mobil Devon pun mulai melontarkan kalimat-kalimat bernada tuduhan.

"Apa sekarang udah mulai berani terang-terangan dekati pria lain?" Yuni terus saja bicara tanpa memberi kesempatan Naima menjelaskan.

"Ada apa sih, Buk. Tiap hari kok ngomel aja bawaannya?" Farida yang mendengar ibunya terus bicara pun ikut keluar.

"Loh, baru pulang, Mbak?" sapa Farida melihat Naima.

Hanya anggukan yang menjadi jawaban Naima.

Farida menatap ibunya, dan langsung paham kepada siapa ibunya tadi terus mengomel.

"Iya jelas baru pulang, orang diajak jalan sama laki-laki," tuduh Yuni seenaknya.

Farida pun langsung menatap Naima, seolah mencari pembenaran.

"Buk, itu tadi bukan siapa-siapa. Dia hanya nolong Ima karena tadi Ima ...."

Yuni memotong cepat ucapan Naima. "Halah, itu pasti cuma alasan aja. Nanti aku bilang ke Faris kalau kamu udah mulai macam-macam. Bener-bener wanita nggak tahu diri, udah mandul, malah sekarang banyak tingkah!" Yuni seakan tak berhenti bicara meski ia sudah meninggalkan Naima.

"Maafin Ibu ya, Mbak." Justru Farida yang merasa bersalah akan semua ucapan menyakitkan Yuni. Farida tahu benar jika kakak iparnya itu orang baik, hanya karena belum bisa memberikan keturunan saja Naima jadi sering jadi bulan-bulanan ibunya.

Naima mengangguk. Ia selalu memaklumi semua kata-kata kasar mertuanya. "Aku masuk dulu, ya," pamit Naima.

"Itu kakinya kenapa, Mbak?" tanya Farida melihat Naima yang berjalan pincang.

"Oh, ini tadi jatuh dari motor waktu pulang."

"Apa?" pekik Farida. Kaget saat tahu kakak iparnya rupanya habis mengalami kecelakaan. Harusnya ibunya tadi mendengar dulu penjelasan Naima, bukan langsung menuduh yang bukan-bukan.

"Kok bisa?" Farida jadi ingin tahu penyebabnya.

"Tadi aku pulang dibonceng Ayu, terus karena kurang waspada saat menghindari kucing lewat, kami jadi terjatuh. Dan orang yang bawa mobil tadi itu bantu kami karena Ayu nggak bisa bawa motor buat pulang."

Nampak wajah prihatin Farida. Ibunya benar-benar salah telah menuduh kakak iparnya.

"Terus, udah diperiksain belum?"

Naima menggeleng, sembari memaksakan senyum. "Cuma luka lecet, nanti aku kompres air hangat aja. Udah ya, aku mau masuk dulu."

Farida hanya bisa mengiyakan. Dalam hati merasa iba dengan kakak iparnya.

Di kamar, Naima langsung meletakkan tas di atas meja. Kemudian membuka sepatu dan kaos kaki untuk melihat luka yang ada di kakinya. Benar saja, tumitnya membiru lebam, dan jari kelingkingnya lecet. Pantas saja sangat sakit dipakai jalan.

Ia pun masuk ke kamar mandi dan menyalakan air panas, mengisinya pada ember untuk merendam kakinya yang lebam. Setelahnya ia oleskan krim pada kaki yang lebam juga lecet.

Kalau boleh sebenarnya Naima ingin istirahat dulu, tapi mengingat pekerjaan rumah yang biasa ia lakukan, diurungkannya niat untuk rebahan. Masih dengan jalannya yang pincang, Naima keluar menuju dapur. Di sana piring kotor sudah menumpuk.

Yuni memang sengaja tak pernah mencuci piring bekas makannya sendiri. Tadi bahkan ia juga melarang Farida untuk mencuci piring dan peralatan yang habis dipakai untuk masak rendang keinginannya. Semua ia sengaja agar Naima punya pekerjaan sepulang dari sekolah.

Tanpa pikir panjang Naima melakukan tugas yang sudah biasa ia kerjakan. Tanpa keluh kesah.

"Sini Mbak, aku bantuin," ujar Farida yang melihat pekerjaan Naima yang banyak.

"Nggak usah, kamu jagain Lyra aja." Naima melarang karena Farida memang memiliki bayi yang harus dijaga.

Kalau sedang ditinggal lama oleh suaminya Farida sering datang ke rumah ini agar punya teman sekaligus ada yang bantu jaga putrinya yang masih bayi. Seperti hari ini, Dimas—suami Farida—ada urusan sampai malam, jadi Farida minta diantar ke rumah ibunya.

"Bener, nggak apa-apa?" Farida seolah tak yakin membiarkan kakak iparnya bekerja sendiri.

"Bener ... udah sana jaga Lyra aja," usir Naima. Meski kakinya sakit tapi tangannya masih bisa digunakan untuk mencuci piring dan segala perabot masak yang tadi dipakai.

Naima bisa menyelesaikan cuci piringnya tepat saat adzan Magrib. Ia pun bergegas untuk bisa segera salat. Waktu setelah salat ia gunakan untuk istirahat sebentar sebelum ibu mertuanya memanggil untuk menyiapkan makan malam.

Faris sendiri belum pulang. Suaminya itu memang sering kali pulang agak malam.

Tiba waktu makan malam, Naima keluar untuk menyiapkan makan malam ibu mertuanya. Yuni yang seperti ibu suri akan dipanggil jika hidangan sudah tersaji semua di meja makan.

Yuni dan Farida datang ke meja makan bersamaan. Farida menggendong Lyra dan memangkunya.

Naima ingin mengambil alih Lyra supaya adik iparnya itu bisa leluasa makan, tapi baru akan mengambil Lyra, terdengar bel berbunyi.

"Buka sana!" titah Yuni pada Naima.

"Bentar, ya," pamit Naima yang tidak jadi menggendong Lyra.

Wanita itu berjalan ke depan demi membuka pintu untuk tamu. Sebenernya dalam hati Naima juga bertanya siapa tamunya, sebab tidak mungkin jika itu adalah suaminya sendiri.

"Sebentar!" seru Naima saat bel kembali berbunyi.

Yuni yang memperhatikan langkah pincang Naima seakan tak mau peduli. Ia pura-pura tak melihat jika menantunya tengah sakit.

"Hai ...." sapa pria di depan Naima begitu pintu terbuka.

"Waalaikumsalam," jawab Naima.

Pria itu tertawa dengan salam yang dijawab Naima. Tatapnya juga tak ramah pada Naima. Membuat Naima risih.

"Silakan masuk," ujar Naima.

Pria itu justru bergeming menatap Naima tidak sopan. Tahu akan tatapan tidak baik dari pria itu Naima memilih untuk segera pergi.

"Tunggu!" Pria itu meraih tangan Naima dan memegangnya.

Naima berhenti dan melihat tangannya ada dalam genggaman pria yang merupakan suami dari adik iparnya itu. Ia hempaskan dengan kasar tangan yang telah lancang memegangnya. Naima tak ingin banyak bicara, ia pergi begitu saja meninggalkan Dimas.

Dimas sendiri justru tersenyum menyeringai melihat kepergian Naima. Ia mengulas senyum licik di bibirnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!