Rahang seorang pria mengeras ketika dia melihat seseorang yang sangan familiar baginya. Tepatnya wanita yang ia lihat itu adalah orang yang sangat ia kenal. Dimana wanita itu saat ini sedang tertawa bersama teman-temannya yang notabene adalah pria.
Jaket hijau menjadi identitas mereka yang tersebar seantero negri termasuk Jakarta. Tanpa pikir panjang, pria itu langsung menghampiri si wanita dan menarik tangannya dengan sedikit kasar.
" Si~ aaah Pak Lean. Ada apa sih?"
" Apa yang kamu lakukan di sini? Bukannya seharusnya kamu udah ada di rumah."
Wanita berusia 22 tahun itu berdecak kesal. Ia selalu tidak suka jika pria itu memperlakukan dirinya demikian.
" Aku tahu kamu nggak suka, tapi Jea gimanapun kamu istriku. Aku bertanggungjawab penuh sama kamu."
Wanita yang memiliki nama Jea pun terdiam. Apa yang dikatakan oleh pria yang berstatus sebagai suaminya itu memang benar adanya. Saat ini dia merupakan istri dari pria yang bernama Lean. Jika Lean tidak menyukai apa yang ia lakukan sekarang, seharusnya dia juga berhenti melakukannya.
" Maaf Pak, saya hanya ingin melakukan apa yang sudah saya lakukan sebelumnya."
" Haah, aku tahu itu. Sebenernya aku nggak nglarang kamu ngelakuin pekerjaan ini. Ojek online, memang nggak masalah. Hanya saja aku ngerasa itu bahaya. Coba kamu cari kegiatan sampingan lain."
" Baik Pak."
Hanya itu yang Jea katakan. Kehidupannya berubah drastis setelah menikah dengan Lean. Pun sama, Lean juga merasa seperti itu. Pernikahan yang terjadi bukan atas cinta itu terjadi beberapa bulan yang lalu.
Sebuah takdir membawa Jeanica Anisffa Reswoyo dan Leandra Ranza Dwilaga menjadi pasangan suami istri
... ******************...
" Dek, mau kemana malam-malam gini bawa tas gede gitu?"
" Ini Mbak Za, besok aku ngisi seminar di Semarang. Tapi tadi aku ada jadwal bimbingan skripsi yang lumayan full. Jadi aku berangkat agak malem. Acaranya sih jam 8 pagi. Aman lah ."
Zara membuang nafasnya kasar, adiknya itu selalu meremehkan apa yang dikerjakan. Sebenarnya bukan meremehkan tapi dia menganggap semuanya bisa dikerjakan dengan cepat.
Zara merupakan kakak perempuan dari Lean. Mereka dua bersaudara dari keturunan Dwilaga.
Jika Zara berprofesi sebagai seorang dokter mengikuti jejak pamannya yang kedua, maka Lean mengikuti jejak pamannya yang pertama menjadi seorang dosen. Diusianya yang baru 27 tahun, Lean sudah menyelesaikan gelar profesornya. Dan saat ini dia telah menjadi salah seorang dosen yang diperhitungkan di Universitas Nusantara, dimana Universitas itu didirikan oleh kakek nya dari pihak ayah.
Bukan hanya itu, Leandra Ranza Dwilaga juga sering dipanggil untuk mengisi seminar di berbagai universitas dan sekolah tinggi lainnya.
Seperti halnya sekarang ini. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, Lean yang baru kembali dari luar sudah harus berangkat lagi. Dan kali ini tujuannya lumayan jauh yakni semarang.
Karena saking sibuknya Lean, sehingga membuatnya bahkan lupa memesan tiket pesawat. Mau tidak mau Lean harus mengemudikan mobil untuk menuju ke Semarang.
" Mbak, Papa sama Mama udah tidur kan, aku tolong dipamitin aja ya. Nggak enak ganggu kalau udah pada tidur."
" Oke, hati-hati. Tapi besok telpon Papa atau Mama, biar nggak khawatir sama kamu."
" Siip."
Lean memeluk Zara, dan berpamitan untuk segera berangkat. Sebenarnya kedua orang tuanya sudah tahu tentang jadwal Lean, tapi mereka tidak tahu kapan waktu tepatnya Lean berangkat.
" Pasti besok Mama ngomel abis-abisan ini. Tapi mau gimana lagi, haaaah."
Bruuuum
Mobil pajero hitam melaju meninggalkan kediaman Lean. Sebenarnya Lean juga memiliki apartemen sendiri, dimana kadang dia tinggal di sana kalau sedang sangat lelah atau butuh waktu bekerja lebih dari waktu normal.
Tapi Lean lebih senang berada di rumah bersama dengan kakak dan kedua orangtuanya.
Perjalanan ke Semarang menjadi lebih lama dari waktu normal karena Lean sering berhenti di rest area. Tidak bisa dipungkiri, matanya menjadi berat ketika mengemudi sendiri. Apalagi dia sejak dini hari tadi sudah bangun dan sama sekali belum tidur.
Di rest area, Lean mengambil kesempatan untuk tidur setidaknya satu sampai dua jam. Hal ini akan sedikit membantu matanya sedikit lebih segar ketika perjalanan. Apalagi dia mengemudi lewat jalan bebas hambatan, yang mana memiiki laju kendaraan yang cepat dan berbagai macam kendaraan di sana. Lean harus ekstra hati-hati ketika berkendara.
" Semoga sampai dengan aman dan tepat waktu." Doa Lean ketika dia kembali melajukan mobilnya menuju lokasi tujuan.
Sedangkan itu di kediaman orang tua Lean, pasangan suami istri yang terbangun di tengah malam dan melihat putri sulungnya masih terjaga langsung menanyakan keberadaan anak kedua mereka.
Hembusan nafas kasar keluar dari mulut keduanya ketika Zara mengatakan dimana keberadaan sang adik.
" Maaf Pa, Ma, aku nggak bangunin Papa dan Mama. Soalnya Lean bilang nggak usah bangunin Papa dan Mama."
" Nggak apa-apa sayang. Adik mu tuh kadang kebangeten kok. Tahu sih dia tuh kayak lagi sibuk-sibuknya, tapi kadang suka nggak kontrol diri gitu," ucap Zanita. Ibu dua anak itu nampak sedikit kesal.
" Udah, besok biar aku yang coba ngomong ke dia. Perasaan dia anak kita ya Za, tapi kadang gila kerjanya kayak Kak Yasa."
Andra berkelakar, tapi apa yang dikatakan Andra itu memang benar. Dalam keluarga Dwilaga dulu, Andra yang merupakan anak ketiga memang lebih santai. Bahkan saking kelewat santainya, Andra lebih banyak bermain. Dia baru mulai serius bekerja setelah menikah dengan istrinya.
Rafandra Suma Dwilaga, anak ketiga dari keturunan Dwilaga sangat jauh berbeda dengan kedua kakak lelakinya yang serius. Mungkin dia bisa dikatakan 11-12 sama sang adik perempuan yakni anak keempat Dwilaga. ( Cerita klan Dwilaga udah ada semua ya guys, kalian bisa baca.)
Kakak pertama yang seroang profesor muda, dan kakak kedua yang merupakan dokter terbaik pada masanya, memang begitu sangat sibuk. Dan Andra adalah bagian yang membuat keributan. Termasuk pernikahannya dengan Zanita Yuffarani yang tidak diketahui oleh keluarganya.
" Papa bener, Lean beneran kayak Paman Radi. Kerjaaa mulu. Za aja yang dokter nggak segitunya. Ya kecuali kalau ada pasien darurat."
" Haish apaan, kamu mah sama kayak Uncle mu. Uncle Dika, sama-sama gila kerja. Yang beneran santai tuh cuma Papa tahu. Huh anak-anakku kenapa nggak ada yang mirip sama aku ya?"
Zanita hanya menggelengkan kepalanya. Sikap absurd suaminya sama sekali tidak berkurang meskipun usianya sudah lebih dari setengah abad. Bahkan malah semakin menjadi. Bagaimana bisa ada orang membanggakan dirinya yang paling santai dalam bekerja selain sang suami.
" Ya udah sekarang kamu tidur ya sayang, udah malem ini."
" Iya Ma."
Zanita juga mendorong suaminya untuk kembali ke kamar. Tapi sebenarnya ada perasaan yang tidak nyaman di hatinya. Padahal bukan pertama kali ini Lean pergi, tapi entah mengapa Zanita memiliki kekhawatiran yang berlebih.
" Tenang sayang, Lean akan baik-baik aja."
" Iya Bang, semoga nggak terjadi apa-apa."
TBC
" Alhamdulillah akhirnya sampe juga, euuughhh."
Adzan subuh berkumandang saling bersahut-sahutan, Lean sampai juga di kota yang memiliki salah satu tempat wisata Lawang Sewu. Dia tidak langsung menuju ke universitas dimana dirinya akan mengisi seminar. Lean memilih untuk mencari masjid demi menjalankan kewajibannya sekaligus numpang mandi dan bersiap. Lumayan, masih ada beberapa jam untuk beristirahat juga sebelum acara dimulai.
Ia keluar dari mobil, menghirup udara dalam-dalam dan membuangnya secara perlahan. Lean juga menggerakkan tubuhnya yang kaku karena berkendara berjam-jam.
Namun seketika Lean berhenti saat dia teringat sesuatu. Apalagi kalau bukan soal kedua orangtuanya. Dirinya yang tidak berpamitan pasti akan mendapat omelan yang tiada henti.
" Assalamu'alaikum, Ma ... ."
" Waalikumsalam, Lean kamu bener-bener ya, bisaaaa banget buat Mama selalu kepikiran. Kenapa sih Nak kalau mau pergi itu harus dadakan kayak begitu. Mana malem-malem lagi perginya, please kurangin jadwal. Kamu tuh dah kayak pejabat aja yang jumping ke tempat yang satu ke tempat yang lain nggak ingat waktu. Leandra anaknya Pak Rafandra, denger Mama nggak sih."
" Iya Mama ku sayang, denger kok, maaf ya Ma. Besok nggak lagi-lagi deh."
Serentetan omelan benar-benar diterima oleh Lean. Tapi dia terima-terima saja karena memang dirinya yang salah.
Tidak cukup dengan Zanita yang mengomelinya, kini Andra pun juga. Hanya saja kalau ayahnya itu, lebih kalem saat menasehatinya. Ya karena cara Andra menasehati kadang dibarengi dengan candaan.
Meskipun demikian Lean sangat senang, pasalnya kedua orangtuanya adalah orang tua yang peduli dengan putra-putrinya meskipun mereka berdua sudah dewasa. Zara yang usianya hanya terpaut satu tahun degan Lean pun juga diperlakukan sama. Tidak ada yang berubah atau berbeda dari dulu untuk keduanya.
Zanita yang banyak seriusnya dan Andra yang penuh dengan tingkah absurd nya, membuat suasana rumah menjadi ramai. Itulah mengapa Lean lebih suka tinggal di rumah ketimbang di apartemen.
" Ya udah, sekarang sana istirahat dulu, jangan lupa sarapan lho ya. Terus balik lagi kapan?"
" Iya Mama ku. Ehmm, abis acara kelar aku langung balik kok."
Terdengar helaan nafas panjang dari sebarang sana. Meskipun sedang bicara menggunakan telepon tapi Lean bisa melihat bagaimana saat ini ekspresi sang ibu.
" Ma, i'm oke. Jangan khawatir ya. Semua bakalan baik-baik aja. Nanti aku pulang dengan keadaan baaaikkk sekali. Ya udah ya Ma, aku mau subuhan dulu sekalian bersihin badan."
" Ya sayang, hati-hati pokoknya."
Zanita benar-benar merasa ada yang tidak nyaman dalam hatinya saat ini. Ia menjadi sedikit khawatir dengan kepergian luar kota Lean. Nalurinya sebagai seorang ibu berkata bahwa akan ada sesuatu.
Tapi dia berharap bahwa itu hanyalah perasaanya saja. Padahal selama ini Lean sering sekali berpindah kota hanya dalam waktu yang singkat, dan Zanita biasa saja. Namun kali ini sangat lain.
Greeb
Dua tangan membelit perut Zanita, sebuah ciuman lembut pada bahunya yang dilakukan sang suami lumayan menenangkan hatinya yang gundah. Andra tahu saat ini istrinya itu sedang memiliki banyak perasaan cemas yang tidak menentu terhadap si bungsu.
" Sayang, udah jangan mikir yang aneh-aneh terus. Dari semalem lho kamu itu nggak tenang. Kan bukannya sekali Lean begitu."
" Iya Bang aku tahu kok. Tapi aku beneran ngrasa nggak nyaman aja. Kayak ada ayang ngaganjel gitu lho bang di dada tuh."
Andra sebenarnya tidak bisa memungkiri bahwa perasaan tidak nyaman yang dirasakan oleh seorang ibu itu begitu kuat. Ia teringat oleh ibunya dulu Bunda Sekar, setiap ada kejadian yang tidak mengenakkan selalu ibunya yang lebih peka.
Ketika kakak keduanya ternyata menikah diam-diam, lalu dirinya menikah juga tanpa diketahui oleh Ayah Aryo dan Bunda Sekar, sang bunda juga merasa gelisah.
Andra lalu menggelengkan kepalanya erat. Dia mengusir pikirannya itu. Tidak mungkin Lean akan begitu, mengingat anak itu jarang melakukan hal yang mencurigakan atau pun pergi yang tiba-tiba tanpa keterangan.
" Udah ya, jangan begitu. Nanti Lean malah nggak tenang lho ngelakuin kegiatannya."
" Iya Bang, ya udah Abang kalau mau mandi. Aku siapin sarapan dulu. Zara katanya mau berangkat lebih awal karena ada jadwal operasi pagi ini."
Sebuah lengkungan senyum terbit di bibir Andra. Ia tahu istrinya akan cepat memutar perasaanya dan kembali beraktifitas normal. Tanpa Andra tahu, kali ini tidak seperti itu. Zanita masih kepikiran dengan anak bungsunya. Dia bahkan sampai tidak sadar bahwa Zara sudah ada di dapur.
" Ma?"
" Astaghfirullah, kaget Mama."
Rupanya selepas ibadah sholat subuh tadi Zara sudah sibuk dengan bahan-bahan makanan yang ia siapkan untuk dimasak. Ini adalah rutinitas yang ia lakukan jika berada di rumah. Zara memang seorang dokter, tapi dia memiliki hobi memasak.
( Guys jika ada yang komplen kok orang kaya nggak punya art. Jika teman-teman udah baca sebagian besar karyaku, memang kebanyakan mereka orang kaya tapi gaya hidupnya sederhana. Jarang sekali ada yang punya art, karena aku lebih suka konsep begitu. Semoga dimengerti).
" Mama pasti mikirin Lean kan? Ma, udah biasa juga Lean begitu, jangan dibikin pusing."
" Iya sayang, Papa mu juga bilang kayak gitu. Haah nggak tahu aja, kali ini Mama beneran ngerasa nggak nyaman Za. Semoga ini cuma kekhawatiran berlebih Mama. Nah sekarang kamu mau masak apa sayang?"
Apa yang dikatakan oleh suami dan anak pertamanya itu memang benar. Zanita merasa mungkin ini cuma rasa khawatir yang berlebih. Ia lalu mencoba meyakinkan diri bahwa tidak akan terjadi apa-apa dengan sang putra. Ia pun juga berdoa dalam hati agar putranya itu dilindungi dimanapun dia berada.
Beberapa saat kemudian, Zara sudah bersiap dan segera untuk berangkat. Dia tidak sarapan di rumah dan memilih untuk membawa bekal saja. Sedangkan Andra dan Zanita sarapan sebentar lalu berangkat ke kampus.
Andra bukan seorang dosen, dia merupakan seorang pengelola Universitas Nusantara. Andra melanjutkan kepemimpinan Ayah Aryo dalam memimpin Universitas Nusantara dibantu oleh sang istri.
Di klan Dwilaga, Kaka kedua Andra yang bernama Radika lebih fokus menjadi dokter, sedangkan anak pertama yang bernama Radian juga lebih fokus menjadi profesor dan enggan terlibat kepengurusan. Alhasil Andra lah sebagai putra ketiga yang mengambil tampuk kepemimpinan.
" Ndra, kenapa kok mukanya Zanita asem gitu?"
" Kak Radi, iya gara-gara si Lean tuh. Dia pergi ke Semarang malem-malem tanpa pamitan lagi."
Andra bertemu sang kakak, jika dihadapkan dengan saudaranya begini maka Andra akan bersikap seperti seorang adik yang manja. Sikap kepemimpinannya luntur seketika.
" Biarin aja, selagi itu kegiatan positif. Ku lihat Lean nggak yang aneh-aneh kok."
" Iya Kak, aku juga mikirnya gitu. Haaah, ternyata anak semakin gede bukannya semakin nambah tenang ya. Mungkin kayak gini juga ya dulu Ayah sama Bunda pas kita beranjak gede."
" Ohoo, Kakak mah enggak ya, kamu tuh yang selalu bikin Bunda sama Ayah pusing."
Tawa Radi meledak seketika. Itu memang fakta, dulu Andra lah yang paling usil dan si paling tidak bisa diam. Dia hobi mendaki jadi setiap akhir pekan selalu keluar dari rumah, dan tak jarang membuat Bunda Sekar pusing dibuatnya.
Andra hanya memberengut, pasalnya apa yang dikatakan sang kakak itu benar adanya. Ternyata sekarang dia merasakan apa yang dulunya ayah dan bundanya rasakan. Meksipun konteksnya berbeda.
" Lean, Papa harap kamu nggak aneh-aneh."
TBC
" Mari kita sambut, Profesor muda yang sudah banyak menerbitkan buku dan begitu digemari para wanita, Profesor Leandra Ranza Dwilaga."
Plok plok plok
Gemuruh tepuk tangan memenuhi auditorium sebuah universitas di Semarang. Lean dengan gayanya yang santai berjalan masuk dan duduk di depan. Semua mata melihatnya dengan tatapan takjub. Lean, menjadi sosok yang dikenal melalui prestasi dan juga ketampanannya tentunya.
Jika dulu papanya terkenal karena setengah artis, berbeda dengan Lean yang terkenal karena dia merupakan dosen yang cerdas dan berbakat. Lean tersenyum, mengawali kalimat dengan salam dan melakukan kegiatan bincang-bincang sebelum memberikan kuliah umum.
Semua memerhatikan dengan seksama. Tidak ada yang bicara sendiri, dan juga sibuk sendiri. Namun suasana menjadi riuh saat tiba di sesi tanya jawab.
Semuanya terjadi karena pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan tidak sesuai dengan tema yang saat ini sedang dibicarakan. Tema kali ini adalah ' Mengoptimalkan Kemampuan Generasi Muda Demi Membangun Bangsa'. Tapi dari semua pertanyaan tidak ada yang membahas tentang itu.
" Pak, apa Bapak sudah menikah?"
" Bapak berapa bersaudara?"
" Pak, kriteria calon istrinya seperti apa?"
Khas anak muda sekali pertanyaan mereka. Tapi Lean menanggapi dengan baik, dan menjawab semua pertanyaan mereka.
Mereka juga takjub saat mengetahui bahwa kakak Lean adalah seorang dokter. Sungguh sesuatu yang sulit ditembus, begitu lah celetukan-celetukan dari para peserta seminar.
Meskipun begitu juga tidak jarang yang melontarkan pernyataan yang lebih berbobot. Tentang menempuh pendidikan, tentang bagaimana memupuk rasa kepercayaan diri, tentang menggali potensi diri, dan lain sejenisnya.
Lean cukup puas dengan hari ini. Rasa lelahnya seolah terbayar dengan antusiasme peserta yang mengikuti acaranya. Ia benar-benar bersyukur.
" Terimakasih ya Pak Leandra atas waktunya. Wah saya benar-benar tidak menyangka Anda akan mengosongkan jadwal Anda ditengah kesibukan yang luar biasa."
" Waduh, tidak Pak. Saya malah sangat berterimakasih sudah diundang begini, karena saya juga bisa menambah wawasan dan pengalaman. Kalau begitu saya permisi ya Pak, terimakasih atas kesempatannya."
Lean segera pamit, ini sudah mendekati waktu luhur. Dia harus secepatnya kembai ke Jakarta agar tidak kemalaman di jalan.
Sebuah pujian terlontar dari orang-orang pihak universitas yang mengundangnya. Mereka tidak menyangka bahwa Lean ternyata sangat humble. Meskipun cerdas dan memiliki banyak prestasi, pria itu tetap rendah hati dan gaya bicaranya pun sopan.
" Orang pinter memang gitu, dia nggak merasa pinter dan malah selalu menganggap dirinya masih jauh dari kata pinter."
Begitulah ucapan salah satu dari mereka. Jaman yang sangat berkembang sekarang ini, sangat jarang ditemui orang yang cerdas dan berkedudukan tinggi tapi masih memiliki sikap yang humble. Meskipun tidak semua tapi kebanyakan mereka yang memiliki kedudukan bersikap congkak dan tak jarang merendahkan lawan bicaranya.
Brummmm
Lean melajukan kendaraannya. Tujuan utamanya adalah masjid, karena sudah masuk waktunya sholat, dan tujuan keduanya adalah mencari oleh-oleh untuk orang rumah beserta keluarga besarnya.
Setiap melakukan perjalan keluar kota, Lean pasti pulang membawa buah tangan. Dan itu ia bagikan ke tempat paman serta bibi nya. Hubungan persaudaraan diantara mereka sangat dekat sehingga sudah jadi kebiasaan begitu. Bukan hanya Lean, tapi semua anak-anak dari paman dan bibinya pun melakukan hal yang sama. Bahkan yang sudah menikah seperti anak pertama Paman Radi, Uncle Dika dan Bibi Rinjani, semua melakukan hal yang sama.
" Yaa lupa, duit chas habis. Tinggal gocap doang."
Selepas sholat Lean memeriksa uang di dompetnya. Dan ternyata tidak ada uang tunai lebih di sana. Mau tidak mau Lean harus mencari ATM terlebih dulu untuk mengisi dompetnya. Sebenarnya dia bisa saja langsung menggunakan kartu, tapi bagaimanapun dia butuh memiliki uang tunai untuk keadaan darurat.
Lean menghabiskan banyak waktu lebih dari yang ia duga. Awalnya dia hanya ingin segera membeli oleh-oleh, mengambilnya dengan cepat dan segera kembali ke Jakarta. Tapi siapa duga, karena keasyikan memilih, waktu berlalu tanpa ia sadari.
" Laah dah Ashar," gumamnya lirih.
Lean menepuk keningnya sendiri setelah menyadari apa yang dilakukannya. Lebih cepat lagi Lean mengakhiri kegiatannya hunting oleh-oleh. Lalu ia kembali mencari masjid untuk menjalankan kewajiban sebagai umat muslim.
Tepat pukul 4 sore, Lean memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Ia melakukan mobilnya dengan kecepatan rata-rata, tidak cepat juga tidak lambat. Dan perjalanan pulangnya kali ini, Lean tidak melewati jalan tol melainkan lewat jalan Pantura.
Meskipun waktu tempuhnya akan sedikit lebih lama namun Lean ingin berkendara dengan sedikit santai dan tidak terburu-buru. Mengingat dirinya yang kurang istirahat itu makanya keputusan untuk tidak melewati jalan bebas hambatan pun diambilnya.
Setelah berjalan sekitar 2 jam, mata Lean terasa berat. Ia membuang nafasnya kasar terlebih ketika semakin sering dirinya menguap. Rasa lelah bercampur dengan kantuk memenuhi tubuh Lean saat ini. Tapi dia tidak bisa untuk berhenti untuk sekedar menginap barang semalam. Besok pagi dirinya sudah harus berada di kampus untuk melakukan bimbingan skripsi dan disertasi para mahasiswanya.
" Ughhh ya Allah, ini ngantuk banget sumpah," ucapnya lirih. Ia melirik jam ditangan. Langit sudah mulai gelap, dan adzan magrib tadi juga sudah berkumandang. Lean pun menepi, melihat sebuah masjid yang ada di samping jalan. Ia akhirnya memutuskan untuk istirahat sejenak.
Tapi tetap saja Lean tidak bisa tidur, padahal matanya terasa berat. Satu-satunya jalan yakni dia mencari kopi sekalian makan. Kafein pasti bisa sedikit membantunya untuk terjaga.
Dia tahu apa yang dilakukannya itu tidak benar. Seharusnya dia membawa satu orang, atau seharusnya hari sebelum pergi ke Semarang dia tidak menerima bimbingan. Namun semuanya itu tidak berguna sekarang, karena yang namanya menyesal pasti datang belakangan.
" Yok bisa yok, bismillah. Pelan-pelan aja lah ya."
Merasa dirinya cukup segar, Lean kembali melanjutkan perjalanan. Ia bersyukur matanya tidak lagi terasa berat, dan ia juga bisa menatap ke depan dengan benar.
Semuanya amat sangat lancar, bisa dibilang secara ajaib mata Lean benar-benar jernih dan ia bahkan tidak menguap sama sekali. Lean tersenyum, ia yakin ia bisa sampai di Jakarta sesuai waktu yang sudah ia perkirakan.
Namun yang namanya rencana manusia pasti tidak akan selalu berjalan mulus, karena Tuhan punya pengaturan-Nya sendiri. Apa yang diinginkan terkadang tidak sesuai dengan apa yang terjadi.
Ckiiiiit
Buruk
" Astaghfirullah," pekik Lean kuat ketika mobil besarnya menabrak sebuah mobil di depannya. Kecepatan mobil yang Lean kemudikan memang lebih cepat dari sebelumnya karena dia merasa dirinya sudah tidak mengantuk.
Namun siapa sangka di depannya ada mobil yang tiba-tiba muncul dari dari arah pertigaan. Lean yang tidak siap mengerem dan terkejut sehingga ia tidak bisa membuang kemudinya ke arah lain akhirnya menabrak mobil tersebut.
" Pak, Bapak!!!!"
TBC
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!