Pagi itu di tepi sungai besar, terdengar suara keras dari pecahan botol. Seorang pria, sekitar 25 tahun, berdiri limbung di atas kerikil dengan botol kosong di tangannya. Setelah menghabiskan dua botol minuman keras, matanya sayu dan ucapannya tidak jelas, tetapi pikirannya malah jadi tajam, seperti ada yang membara di dalam dadanya.
"Persetan dengan semua orang! Aku nggak akan tunduk sama aturan mereka! Kalau ada yang bisa bikin aku kaya, siapapun itu, aku bakal ngikutin mereka seumur hidup!" Pria itu, Demian Mahendra, berteriak ke arah sungai yang bergemuruh, mencoba berdiri tegak.
“Kau yakin?” Suara yang dingin dan misterius terdengar di dalam benaknya.
“Siapa itu?” Demian tertegun, menoleh ke kanan dan kiri, mencari sumber suara.
“Aku adalah kehidupan super canggih dari peradaban luar angkasa. Apa kau benar-benar bersedia menyerahkan hidupmu untuk siapapun yang bisa memberimu kekayaan?” Suara itu mengulang, dengan nada tak tergoyahkan.
“Kehidupan super canggih? Alien?” Demian tertawa meremehkan, lalu mengangkat botol minumannya. “Beraninya kau bilang begitu hanya karena kau alien! Coba deh, kalau beneran hebat, bisakah kau bikin aku kaya?”
“Aku bisa.”
"Kalau gitu tunjukkan uangnya.”
“Berapa yang kau inginkan?”
Demian menyeringai sambil meracau, “Seratus miliar. Bisa nggak? Kalau nggak bisa, mending enyah saja.” Ia tertawa keras, merasa bodoh berbicara pada makhluk yang mungkin hanya khayalan akibat alkohol.
Tiba-tiba, suara notifikasi SMS terdengar. Demian mengeluarkan ponselnya dengan tangan gemetar dan melihat pesan itu.
“Bank XX: Pada tanggal 29, 05:33; $100.000.000.000 telah dikirimkan ke akun Anda yang berakhir dengan 7575 (transfer antar bank). Saldo Anda saat ini adalah $100.000.001.123,323.”
Dia terpaku, matanya mendelik, napasnya tercekat. Setelah beberapa detik terdiam, ia hanya bisa berkata, “Astaga!”
“Uangnya sudah dikirim.” Suara itu muncul lagi di benaknya, dingin dan tenang.
“Jadi... kau alien?” Demian bertanya, lebih serius kali ini.
“Benar, aku makhluk dari luar angkasa yang maha kuat,” jawab suara itu datar, seakan menyatakan hal yang paling biasa.
“Biar aku sadar dulu,” kata Demian yang masih linglung, menepuk kepalanya. Semua ini terasa seperti mimpi yang terlalu nyata.
Kilatan cahaya biru tiba-tiba muncul dan mengenai perutnya, membuatnya merasa mual. Dengan cepat, ia berlari ke tepi sungai dan muntah sekuat tenaga. Setelah beberapa menit, perasaan mual itu perlahan mereda. Suara itu muncul lagi.
“Alkohol belum sepenuhnya meresap ke dalam darahmu, jadi membuatmu muntah adalah cara paling efektif untuk menyadarkanmu. Cuci muka dengan air sungai, dan kau akan benar-benar jernih.”
Setelah membasuh wajahnya dengan air yang dingin, Demian merasakan kejernihan yang hampir belum pernah ia rasakan. Ia meraih ponselnya lagi, memastikan pesan itu masih ada, dan kemudian, ia tertawa terbahak-bahak, tertawa yang penuh rasa tak percaya dan kegilaan.
Beberapa menit kemudian, Demian memanggil taksi dan memerintah, “Ke Universitas F.”
Sopir taksi melihatnya dari kaca spion, dengan ekspresi heran karena Demian terlihat kotor dan berbau alkohol. Tapi sebelum sopir sempat protes, Demian mengeluarkan tiga lembar uang merah dan melemparkannya ke dasbor.
Taksi melaju cepat menuju kota, membelah jalanan pagi yang masih sepi. Satu jam kemudian, mereka tiba di depan gerbang Universitas F. Tapi Demian, yang sudah berada di ujung kegelisahan, berubah pikiran. “Antarkan aku ke Bank Industri Kota, cabang utama.”
Sopir, yang sudah puas dengan uang tip yang diterimanya, langsung memutar arah tanpa banyak bertanya.
Sampai di bank, Demian segera masuk. Seorang manajer lobi dengan setelan rapi mendekatinya. “Selamat pagi, ada yang bisa kami bantu?”
“Saya mau tarik tunai,” jawab Demian tegas sambil melempar kartu banknya.
“Berapa yang ingin Anda tarik, Tuan?” tanya petugas teller dengan sopan.
“Dua juta,” kata Demian santai.
Manajer lobi dan teller terkejut, menatap Demian yang berpakaian kusut dan berantakan. Setelah berdiskusi singkat, mereka meminta Demian untuk menunggu. Dengan sigap, manajer itu menelepon direktur cabang.
Direktur cabang bergegas datang dari lantai atas dan langsung menginstruksikan manajer lobi, “Pastikan semua kebutuhan Tuan Mahendra terpenuhi! Jangan membuat pelanggan VIP menunggu.”
Satu jam kemudian, Demian keluar dari bank dengan tas berisi uang tunai. Ia menaiki taksi yang masih menunggu dan memberikan alamat tujuan yang sama, “Universitas F.”
Saat sampai di sana, Demian menarik ponselnya dan menghubungi seseorang. Telepon itu dijawab dengan suara yang dingin, “Demian Mahendra, apa lagi? Sudah kubilang, kita sudah putus!”
“Temui aku di depan kampus. Ini terakhir kalinya aku mengganggumu.” Demian menutup telepon tanpa menunggu jawaban.
Setengah jam kemudian, seorang wanita cantik bernama Sarah muncul di depan kampus. Dia menatap Demian dengan tatapan sinis. “Apa yang ingin kau bicarakan?”
“Aku cuma punya satu pertanyaan,” ujar Demian dingin. “Kau meninggalkanku hanya karena dia lebih kaya, kan?”
Sarah tertawa mengejek. “Demian, semua itu karena kepribadian kita tidak cocok. Kau pikir aku hanya mengejar uang?”
Tanpa berkata apa-apa, Demian mengeluarkan setumpuk uang dari tasnya dan melemparkannya ke wajah Sarah. Uang kertas itu berhamburan, dan Sarah tertegun.
“Dua juta. Untuk semua malam yang kau habiskan denganku. Jangan pernah katakan aku tidak berharga,” katanya dingin.
Uang bertebaran di udara, dan para mahasiswa yang menonton di sekitar hanya bisa terpana. Sarah duduk di tanah, memandangi uang yang jatuh di sekelilingnya, dan Demian berjalan pergi tanpa menoleh lagi.
"Udah selesai ngamuk?" Suara dingin menyambut Demian Mahendra saat kembali ke asrama, seperti biasa.
"Udah." Demian mengangguk pendek.
"Menurutmu melampiaskan marahmu dengan ngeluarin dua juta ke orang yang kau benci itu nggak bodoh?" Suara dingin itu bergumam, bernada sarkastik.
Demian mematikan puntung rokok di tangannya dan terkekeh pelan. "Dengerin, kawan. Aku cuma cowok biasa. Aku bukan anak suci yang gak pernah salah atau pendeta yang udah ngelewatin kekacauan dunia terus mutusin jadi biksu. Uang hasil kerja keras, ya nikmatin. Urusan gimana aku nikmatin, itu bukan urusanmu. Kalau kau mau ambil nyawaku sekarang, monggo."
"Membeli hidupmu lalu mengambilnya kembali itu investasi paling mubazir."
"Oh, jadi kamu nggak bakal bunuh aku?" Ada kilatan iseng di mata Demian.
"Terus terang, hidupmu nggak ada artinya," jawabnya dingin, tanpa ekspresi.
Namun, Demian malah tertawa kecil. "Kalau begitu, jangan cuma ngoceh. Aku mau seneng-seneng."
Saat Demian hendak pergi, pintu asrama tiba-tiba terbuka dengan suara gedebuk, dan tiga atau empat sosok menyerbu masuk. Melihat Demian duduk santai, mereka langsung berseru, "Demi Tuhan, Demian! Jangan bilang, yang bikin keributan tadi depan gedung sekolah itu kamu?"
Soni, yang berbadan kekar dan dikenal sebagai “Pangeran,” menepuk pundak Demian, "Beneran gak nyangka kamu nyembunyiin semua ini, bro. Tapi gak usah dipikirin, toh sebagian orang cuma bisa ngelihat uang. Syukur deh, kamu tau sekarang daripada nyesel di belakang."
Demian tertawa kecil, tapi ada rasa hangat di hatinya. Mereka jelas datang karena khawatir dia bakal kesal setelah putus dengan Sarah. Tapi Demian sudah lama selesai dengan urusan itu. Bahkan, saat dua juta itu dia lempar ke perempuan itu, dia sadar semua ini gak lagi penting.
"Baiklah, kalian datang buat ngibur aku. Yuk, kita bersenang-senang di Nine Heavens Pool," ujar Demian mantap.
"Sial, serius nih?" Mata Rino, si jangkung berkacamata, langsung berbinar-binar.
"Serius." Demian memastikan dengan nada santai. Tentu saja, klub malam tidak buka siang hari.
Malam itu, mereka tiba di Nine Heavens Pool, klub malam paling mewah di dekat kampus. Begitu masuk, Demian langsung memesan bilik VIP dan berseru, "Teman-teman, pesan apa aja. Malam ini kita bersenang-senang."
Setelah memesan, Demian melangkah menuju bilik DJ. Di tengah panggung, dia mengulurkan tangannya merebut mikrofon dari DJ dan berseru, "Hei, hei, DJ, matiin musiknya. Ada yang pengen gue sampaikan!"
Biasanya, klub malam menghormati pelanggan besar. DJ langsung mematikan musiknya. Demian mengetuk mikrofon, kemudian berkata lantang, "Kawan-kawan semua, buat ngerayain kisah cinta yang baru aja hancur hari ini, seluruh ruangan KTV gue traktir! Pesan apa pun yang kalian mau sampai tempat ini tutup hari ini! Cuma tips tanggung sendiri ya!"
Kerumunan sejenak terdiam, lalu disusul teriakan dan siulan yang pecah dari berbagai sudut klub. Suara sorak-sorai semakin keras, membuat suasana jadi hiruk pikuk. Siapa yang rela ngabisin uang segitu banyak hanya karena putus cinta? Ini baru gaya!
Demian tertawa puas mendengar sorak-sorai itu. Gila, ternyata ngabisin uang itu bikin seneng juga. Gak heran orang kaya suka boros.
Soni, Rino, dan kawan-kawannya terdiam, tercengang. Bos mereka, yang biasanya hemat dan bahkan kerja paruh waktu, sekarang seenaknya boros? Mereka hampir gak percaya.
Namun, suasana tiba-tiba berubah saat seorang pria bertato muncul dari kerumunan, memandang Demian dengan tatapan penuh ejekan. Pria itu dikelilingi oleh tujuh atau delapan pria lain. Dia mencibir dan berkata, "Nak, siapa kau? Sok-sokan pamer disini, kayak kau yang paling berduit. Tau gak ini tempat apa?"
Demian hanya tertawa sinis, tanpa gentar, "Kalau gak tahan nonton, pesan aja sendiri. Kalau gak punya duit, ngapain repot-repot nyolot?"
"Bocah sialan, beraninya meremehkan aku?" Pria itu bangkit dari tempat duduknya, dan tujuh atau delapan orang di sampingnya, mungkin bawahannya, juga ikut berdiri.
"Persetan! Ayo, hancurkan kaki anak ini" seru pria bertato itu kepada anak buahnya.
"Kawan, apa yang harus kita lakukan?" bisik Rino yang mulai cemas melihat situasi makin panas.
Soni tersenyum tenang, "Ini cuma perkelahian. Kita di sini buat ngebelain bos."
Tiba-tiba, sepuluh sosok lain muncul dari arah pintu, melangkah cepat ke tengah kerumunan yang memanas. Beberapa petugas keamanan mencoba menghadang mereka, tapi gagal. Sepuluh orang itu akhirnya berdiri di samping Demian, dan klub itu pun mendadak sunyi. Namun, Demian hanya tersenyum, penasaran dengan akhir cerita ini.
Semua orang di bar terdiam ketika sepuluh pria berdiri tegak di depan Demian Mahendra. Mereka tidak berotot besar, tapi garis otot di lengan mereka terlihat tegas. Ekspresi wajah mereka datar dan dingin, cukup untuk membuat suasana mencekam.
Pria-pria ini tidak mengenakan pakaian seragam. Sebagian besar memakai celana jeans dan kaus, dengan gaya rambut pendek yang rapi. Meski tidak ada tato atau perhiasan mencolok seperti para pria lain di bar, keberadaan mereka cukup membuat semua orang di sana tunduk. Tidak ada satu pun yang berani bersuara keras.
Yang paling mencolok, lima dari mereka memasukkan tangan ke dalam saku, entah apa yang mereka sembunyikan di dalamnya. Para pria bertato yang tadinya bertingkah angkuh, kini bungkam, menyadari bahwa sepuluh pria di depan mereka bukanlah orang biasa. Mereka lebih mirip pengawal elit, sedangkan musuh mereka hanyalah penjahat kelas teri.
“Masih mau ngancurin kakiku?” Demian melangkah turun dari panggung sambil tersenyum mengejek. Saat dia mendekat, sepuluh pria itu memberi jalan dan segera kembali ke posisinya saat dia lewat. Mereka mengawal Demian menuju pria-pria lainnya di bar itu.
“Maaf, maaf. Tuan, mari kita damai saja. Nama saya Riki, manajer di sini. Maaf atas kelalaian kami sampai ada yang bikin keributan di tempat ini,” ucap pria berjas di usia tiga puluhan itu, mendekati Demian dengan nada menjilat.
“Kalian, keluarkan mereka! Kita nggak terima tamu yang bikin masalah.” Manajer itu menghardik petugas keamanan di sekitarnya tanpa menunggu reaksi dari Demian. Beberapa langsung membawa pria-pria pembuat onar keluar dari bar.
Demian menonton dengan tenang, membiarkan mereka mengusir orang-orang yang sebelumnya membuat masalah dengannya. Setelah semua musuhnya menghilang dari pandangan, dia menatap manajer dan berkata, “Malam ini, aku booking tempat ini. Ada masalah?”
“Oh, tentu tidak, Tuan! Silakan saja!” Manajer itu langsung mengumumkan dengan lantang. “Hadirin sekalian, dengar ya! Malam ini Tuan ini sudah memesan seluruh tempat, semua bisa santai dan menikmati! Dan selama tiga hari ke depan, siapa pun yang membawa struk dari hari ini dapat diskon 50%!”
Kerumunan orang yang sejak tadi terdiam kini mulai bersorak. Suasana kembali hidup berkat DJ yang mahir mencairkan suasana. Orang-orang malah mulai mengundang teman-temannya untuk datang, mumpung ada traktiran malam itu.
Setelah tawa-tawa kecil bersama teman-temannya yang sedikit bodoh seperti Samud, Demian akhirnya berbaur menikmati malam. Banyak wanita yang mendekatinya, berharap mendapat traktiran darinya. Dia sadar betul apa yang mereka incar. Dulu dia sering mencoba mendekati wanita di bar dan diabaikan, tapi malam ini cerita berbeda.
Hingga pukul tiga pagi, Demian dan rombongannya baru meninggalkan tempat itu. Mereka tidak kembali ke asrama malam itu, tapi mencari hotel terdekat dan menyewa beberapa kamar. Pengawalnya, yang tampak sudah hilang entah ke mana, tidak muncul lagi.
Setelah memastikan teman-temannya sudah tenang, Demian masuk ke kamarnya dan duduk menunggu.
“Kamu cukup cerdas,” terdengar suara dingin entah dari mana.
“Kayaknya perasaan kita sama, kamu juga sepertinya memandangku cukup penting,” jawab Demian dengan senyum tipis.
“Kayaknya kita harus bicara,” suara itu kembali bergema.
“Ngomongin apa?” Demian kini benar-benar sadar. Pai nggak jatuh begitu saja dari langit, kalau pun jatuh pasti ada yang nggak beres.
“Aku bisa menawarkan beberapa hal.” Tiba-tiba layar tiga dimensi muncul di depan Demian, dan saat dia menatapnya, matanya membulat terkejut.
“Kekuatan +1 Elixir, 100 Poin.”
“Kelincahan +1 Elixir, 100 Poin.”
“Kecerdasan +1 Elixir, 100 Poin.”
“Kemampuan Khusus +1 Elixir, 500 Poin.”
...
“Kapal Perang Antariksa, 1.000.000.000 Poin.”
Demian menelan ludah. Apa ini semua? Elixir untuk kemampuan khusus, kapal antariksa? Mata Demian hampir keluar dari kepala.
“Kenapa Elixir Kemampuan Khusus harganya 500 poin, sedangkan lainnya hanya 100? Dan gimana cara aku ngumpulin poin-poin ini?” tanya Demian penasaran.
“Kalau kamu punya 500 poin, apa yang kamu pilih?” tanya suara dingin itu.
“Jelas yang paling menarik!” kata Demian tanpa ragu.
“Karena itu harganya 500 poin. Untuk poin, kamu bisa mendapatkannya dari beberapa tugas, atau dengan menghasilkan uang. Setiap 10.000 rupiah bisa kamu tukar dengan 1 poin.” Suara itu menjelaskan.
“Segampang itu?” Demian penasaran soal tugas, tapi tidak mau bertanya. Soal uang, dia merasa punya cukup untuk mengumpulkan poin. Tapi kemudian suara itu menambahkan, “Tapi uang yang kamu hasilkan, bukan dari pemberianku, baru bisa ditukar.”
Perkataan itu memadamkan semangat Demian seketika. Lupakan kapal antariksa, Elixir yang ada pun hanya bisa dibeli kalau dia berhasil mengumpulkan ratusan miliar rupiah.
“Jadi, nggak ada poin dasar nih?” tanya Demian penuh harap.
“Tidak ada,” jawab suara itu tegas, memutuskan harapan terakhir Demian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!