Aku terbangun dengan perasaan aneh. Dinginnya pagi terasa menusuk, namun bukan itu yang membuatku merasa tak nyaman. Ketika mataku terbuka, aku mendapati diriku berada di tempat yang sama sekali tidak kukenali. Seprai di bawahku terasa asing—tidak lembut seperti biasanya, melainkan kasar dan kaku. Aku menggigit bibir, mencoba menenangkan diri dari kegelisahan yang semakin kuat.
Kubuka mataku lebar-lebar, berharap menemukan sesuatu yang akrab. Namun, seluruh kamar ini begitu asing, dari meja rias yang berada di sudut ruangan hingga lemari kayu yang tampak usang di sisi lain. Aku perlahan-lahan duduk di atas ranjang, merasa jantungku berdegup semakin kencang. Suara detak jam yang berirama menjadi semakin jelas di telingaku, seperti menghitung detik-detik ketakutanku.
Aku meraih kepalaku yang terasa berat, mengedip beberapa kali. Ada sesuatu yang salah. Perlahan, aku berdiri dan menghampiri cermin di meja rias. Begitu aku melihat ke sana, tubuhku menegang. Sosok di cermin itu… bukan aku. Wajah yang menatap balik padaku adalah wajah seorang pria muda, mungkin seusia denganku, tapi dengan rambut yang sedikit acak-acakan dan mata yang tajam. Wajah yang sama sekali asing.
Aku mengangkat tangan ke wajah, mencoba memastikan bahwa ini bukan hanya ilusi. Jemariku menyentuh kulit yang terasa berbeda—kulit yang bukan milikku. Bentuk rahang ini, bentuk hidung ini, semua terasa asing. Aku mencoba bernapas perlahan, berusaha menenangkan diri, namun ketakutan semakin kuat menghantui.
“Ini… siapa?” gumamku dengan suara bergetar. Aku meraba-raba ingatanku, mencoba mengingat apa yang terjadi malam sebelumnya. Aku ingat berjalan pulang dari kafe setelah bertemu teman-temanku, menikmati langit malam yang penuh bintang. Namun setelah itu, semuanya gelap. Tidak ada ingatan tentang bagaimana aku bisa berakhir di tubuh ini.
Mataku kembali menatap cermin, mencoba mencari jejak diriku yang sesungguhnya di balik wajah ini. Tapi setiap kali aku menatap, sosok asing itu yang kembali kulihat. Dia bergerak bersamaku, meniru setiap gerakanku, tapi aku tahu ini bukan aku. Ini tubuh orang lain. Aku seperti menjadi penonton dalam tubuh ini, terperangkap tanpa bisa berbuat apa-apa.
Kubuka pintu kamar, dan aroma masakan segera menyergap hidungku. Suara dari arah dapur terdengar akrab tapi juga asing. Aku mengikuti suara itu, mencoba mencari tahu lebih banyak. Di dapur, seorang wanita paruh baya sedang sibuk memasak. Begitu melihatku, ia tersenyum dan berkata, “Kamu bangun terlambat hari ini. Cepat makan sarapan sebelum kerja.”
Aku tidak tahu siapa wanita ini, tapi dari tatapan matanya, seolah dia sangat mengenalku. Aku hanya bisa berdiri kaku, mencoba memproses setiap kata yang ia ucapkan. Kerja? Siapa aku sekarang? Tanpa sadar, aku mengangguk, berharap gestur itu cukup untuk menghindari pertanyaan lebih lanjut. Aku merasa seperti seorang aktor yang tiba-tiba dilempar ke atas panggung tanpa naskah, dipaksa untuk memainkan peran yang tidak kukenal.
Setelah sarapan, aku mencoba menggali lebih banyak informasi tentang "diri" ini. Di meja makan, ada sebuah dompet tergeletak. Aku membuka dompet itu dan menemukan kartu identitas dengan nama yang tidak kukenali: "Arya Pradipta." Jadi, aku sekarang adalah Arya? Nama ini terasa asing, namun aku tak punya pilihan selain mencoba meresapi identitas ini untuk sementara.
Meskipun aku ingin menanyakan banyak hal pada wanita itu, aku menahan diri. Aku tidak ingin membuatnya curiga, jadi aku berpura-pura seperti biasa. Setelah sarapan, aku berpamitan dan berjalan keluar rumah, mencoba memahami apa yang harus kulakukan selanjutnya. Jalanan yang kulewati juga terasa asing, namun samar-samar, tubuh ini seolah tahu ke mana harus pergi. Seolah-olah naluri dari Arya membimbing langkahku.
Aku akhirnya sampai di sebuah gedung kantor sederhana. Semua orang menyapaku dengan ramah, menyebut namaku—atau nama "Arya," lebih tepatnya. Aku membalas senyuman mereka sambil mencoba mengingat wajah-wajah yang kukenal dalam tubuh ini. Namun, tak satu pun yang terasa familiar. Di dalam kantor, aku duduk di meja yang penuh dengan dokumen, dan di layar komputer tertera jadwal yang padat untuk hari ini.
Aku mencoba berpikir jernih di tengah kebingungan ini. Mungkin ini hanya mimpi aneh yang akan segera berakhir. Tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai merasakan beratnya kenyataan. Ini bukan mimpi, ini benar-benar terjadi. Aku terperangkap di tubuh Arya, seorang pria yang tidak pernah kukenal, di dunia yang asing bagiku.
Di tengah kegelisahan itu, ponsel Arya berdering. Nama yang muncul di layar adalah "Nina." Aku merasa terpecah antara menjawab panggilan itu atau mengabaikannya. Tapi pada akhirnya, aku memutuskan untuk menjawab, berharap ini bisa memberiku petunjuk lebih lanjut.
“Halo?” ucapku, mencoba meniru suara yang kukira milik Arya.
“Kamu di mana? Aku sudah tunggu di kafe biasa,” kata suara di seberang telepon dengan nada manis.
Aku terdiam sejenak, mencoba menebak siapa Nina ini. “Oh, maaf. Aku… agak terlambat,” jawabku ragu-ragu.
“Tidak apa-apa. Cepat ya, aku punya sesuatu untukmu.”
Aku menutup telepon dan menarik napas dalam-dalam. Siapakah Nina ini? Dari nada suaranya, sepertinya dia punya hubungan dekat dengan Arya. Mungkin seorang kekasih, atau teman dekat. Aku merasa terjebak dalam permainan yang tidak kumengerti aturannya. Setiap langkah yang kuambil terasa seperti risiko besar, takut-takut membuat satu kesalahan yang bisa membongkar penyamaranku.
Setibanya di kafe yang disebutkan, aku melihat seorang gadis muda dengan senyum lebar melambai ke arahku. Aku mengira inilah Nina. Dia tampak begitu bahagia saat melihatku—atau tepatnya, melihat Arya. Aku berusaha membalas senyumnya meski dengan perasaan kikuk. Setiap kali dia berbicara, aku mencoba merespons seolah aku benar-benar Arya, mengandalkan insting dan naluri yang samar-samar muncul.
“Kamu kelihatan capek,” katanya sambil menatapku penuh perhatian. “Malam ini tidak tidur, ya?”
Aku hanya tertawa kecil, berpura-pura. “Mungkin,” jawabku pendek. Aku tak tahu harus mengatakan apa, takut jika terlalu banyak bicara justru akan membuatku ketahuan. Aku menyimak setiap ceritanya, berusaha mengenal Arya lebih baik dari sudut pandang Nina. Setiap kata yang dia ucapkan memberi sedikit gambaran tentang siapa Arya sebenarnya.
Namun, semakin lama, aku semakin merasa terjebak dalam kebohongan ini. Aku tak tahu sampai kapan aku bisa bertahan dalam tubuh ini, berpura-pura menjadi seseorang yang bukan diriku. Di satu sisi, aku ingin jujur pada Nina dan orang-orang di sekitar Arya, memberitahu mereka apa yang sebenarnya terjadi. Tapi aku tahu, siapa pun tak akan percaya pada cerita gila ini.
Di akhir pertemuan, Nina mengeluarkan sebuah buku kecil dan menyelipkan sesuatu di halaman terakhir. “Aku tahu kamu sering lupa, jadi aku tulis semuanya di sini,” katanya sambil tersenyum.
Aku menerima buku itu dengan bingung, namun mencoba untuk tidak menunjukkan ketidaknyamananku. Begitu Nina pergi, aku membuka buku itu dan mendapati catatan-catatan kecil tentang berbagai hal yang mungkin dianggap sepele. Hal-hal kecil yang biasa dilakukan Arya, makanan favoritnya, hingga jadwal penting. Rasanya, buku ini adalah kunci untuk memahami hidup Arya lebih dalam, atau setidaknya, untuk menjalani hari-hari berikutnya tanpa terlalu banyak kesalahan.
Malam itu, aku merenung di kamar Arya. Semua petunjuk yang kukumpulkan sepanjang hari terasa seperti potongan puzzle yang belum tersusun. Aku terjebak di dunia yang salah, menjalani hidup orang lain, dan aku tidak tahu bagaimana cara kembali.
Namun, satu hal yang jelas: hidupku telah berubah, dan aku harus menemukan jawaban.
Saat matahari mulai tinggi, aku terbangun kembali dengan harapan samar bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan berakhir begitu aku membuka mata. Tapi begitu aku melihat sekeliling, ruangan yang sama sekali tidak kukenali menyambutku kembali. Perasaan cemas kembali melingkupiku. Aku masih berada di sini, di dalam tubuh orang lain.
Aku melangkah ke arah cermin, berharap menemukan bayangan diriku yang sesungguhnya. Namun, wajah asing itu tetap menatap balik padaku. Ada sorot mata tajam dengan garis rahang tegas yang terasa begitu berbeda dengan apa yang biasanya kulihat. Dengan perasaan takut, aku menyentuh wajah ini lagi, mencoba merasakan apakah kulit ini benar-benar milikku atau hanya khayalan.
“Siapa aku?” gumamku pelan, suaraku bergetar di udara kosong. Suara itu, bahkan suaraku sendiri terdengar berbeda. Lebih berat, lebih dalam. Aku menunduk, merasa panik dan tak berdaya. Sejak kecil, aku tidak pernah berpikir bahwa suatu saat aku akan merasa asing dengan tubuhku sendiri. Ini lebih dari sekadar mimpi buruk—ini adalah kenyataan yang tak pernah kubayangkan.
Dengan pikiran kalut, aku menelusuri setiap sudut kamar, berharap ada sesuatu yang bisa memberiku petunjuk tentang identitas ini. Di meja terdapat tumpukan buku, kertas-kertas berserakan, dan beberapa foto yang memperlihatkan seorang pria bersama sekelompok teman-temannya. Saat aku melihat lebih dekat, aku menyadari bahwa pria di foto itu… adalah tubuh yang sekarang kumiliki.
Namanya, jika kulihat dari beberapa kertas yang tergeletak di meja, adalah Arya Pradipta. Nama itu terdengar asing, tetapi sekarang, ini adalah nama yang harus kujalani. Siapa sebenarnya Arya? Dan mengapa aku terjebak dalam tubuhnya? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku tanpa jawaban.
Aku kembali menatap sosok di cermin. Bayangan Arya berdiri tegap di sana, meniru setiap gerakanku. Tiba-tiba, aku merasa aneh; seperti ada sesuatu di balik tatapan itu, seolah sosok Arya di cermin sedang memperhatikanku dengan penuh perhatian, seolah dia tahu aku bukan dirinya.
“Siapa kamu?” tanyaku pelan, meski sadar tak akan ada jawaban.
Seiring waktu, aku mulai merasa tenggelam dalam pikiran-pikiran yang penuh kebingungan. Hari ini adalah hari pertamaku di dunia yang sama sekali asing. Apakah aku harus menjalani kehidupan Arya untuk sementara waktu? Tapi bagaimana caranya aku bisa berpura-pura menjadi orang lain?
Di tengah kebingungan itu, ponsel Arya kembali berdering. Kali ini, nama yang muncul adalah "Ibu." Aku terdiam sejenak, lalu meraih ponsel dan menjawab panggilan itu dengan perasaan ragu.
“Halo?” sapaku, mencoba mengontrol nada suaraku agar terdengar setenang mungkin.
“Sayang, kamu sudah sampai di kantor?” tanya suara lembut dari seberang telepon. Itu adalah suara wanita paruh baya yang mungkin adalah ibu Arya. Aku tidak tahu harus berkata apa atau bagaimana merespons, tapi aku merasa tak punya pilihan selain berpura-pura.
“Iya, Bu. Maaf aku agak terlambat hari ini,” jawabku singkat.
“Tidak apa-apa. Jaga kesehatanmu, ya. Jangan terlalu lelah.”
Aku hanya bisa bergumam pelan sebagai tanda setuju sebelum menutup telepon. Saat aku mendengar suaranya, ada perasaan hangat yang menyelimuti hatiku. Wanita itu berbicara dengan nada lembut yang penuh perhatian, dan entah bagaimana, aku merasa sedikit tenang.
Setelah panggilan berakhir, aku memutuskan untuk mencoba menjalani hari sebagai Arya. Di dalam lemari, aku menemukan beberapa pakaian kerja yang rapi dan segera bersiap untuk pergi ke kantor. Aku mengenakan kemeja dan dasi, berusaha terlihat seperti diriku sudah terbiasa dengan rutinitas ini. Meskipun aku sama sekali tidak tahu apa yang harus kulakukan, aku yakin harus mencoba yang terbaik.
Ketika aku tiba di kantor, suasana di sana terasa hangat. Rekan-rekan kerja Arya menyambutku dengan senyum, meski aku sama sekali tidak mengenali mereka. Salah satu rekan menghampiri dan menepuk bahuku.
“Bro, kamu kelihatan lelah. Begadang lagi ya?” tanyanya sambil tertawa kecil.
Aku hanya tertawa samar, berharap respon itu cukup untuk menutupi kegugupanku. Sepanjang hari, aku berusaha mengikuti alur pekerjaan yang tampaknya sudah akrab bagi tubuh ini, tapi sangat asing bagiku. Aku memperhatikan bagaimana Arya bekerja, apa yang dia lakukan, dan bagaimana dia berinteraksi dengan rekan kerjanya.
Namun, di setiap kesempatan, aku menyempatkan diri untuk mencari informasi lebih lanjut tentang Arya. Aku membaca email, melihat kalendernya, dan mempelajari dokumen-dokumen di meja. Aku ingin memahami kehidupannya, mencoba menemukan alasan mengapa aku terjebak di sini.
Di sela-sela waktu itu, aku menemukan sebuah foto kecil yang diselipkan di antara dokumen-dokumen di mejanya. Di foto itu, ada seorang gadis dengan senyum cerah yang menatap kamera dengan penuh kehangatan. Sepertinya gadis itu sangat berarti bagi Arya. Aku merasa penasaran, tetapi juga merasa bersalah telah menyelami kehidupannya tanpa izin.
Ketika hari berakhir, aku merasa benar-benar lelah, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional. Aku berusaha menjalani kehidupan yang bukan milikku, mencoba menutupi kebohongan ini, dan di saat yang sama mencari jawaban. Aku berjalan pulang dengan kepala penuh pertanyaan.
Saat sampai di rumah, aku langsung mengunci diri di kamar, duduk di depan cermin, menatap sosok yang bukan diriku. Hari ini adalah hari kedua aku menjalani hidup sebagai Arya, dan aku masih belum menemukan petunjuk mengapa ini terjadi.
“Bagaimana aku bisa kembali?” gumamku pada bayangan Arya di cermin. Namun, cermin itu tetap diam, memberikan kesunyian yang hanya membuatku semakin merasa terasing.
Perlahan-lahan, aku mulai merasa bahwa mungkin ini bukanlah suatu kebetulan. Ada sesuatu di balik semua ini, sebuah alasan yang belum kutemukan. Tapi untuk sekarang, aku hanya bisa berharap bahwa jawabannya akan segera datang.
Ketika aku terbangun pada pagi itu, perasaan asing yang menghantui sejak pertama kali menemukan diriku di tubuh Arya kembali menyergap. Meski sekarang aku mulai terbiasa melihat wajah asing di cermin, rasa canggung dan kebingungan tetap menyelimuti pikiranku. Aku mengenakan pakaian kerja Arya, merapikan dasi, dan mencoba membiasakan diri dengan rutinitas yang tidak pernah terpikir akan kulakukan.
Sepanjang perjalanan menuju kantor, aku berusaha menyusun strategi untuk menjalani hari ini tanpa menimbulkan kecurigaan. Arya mungkin memiliki rutinitas, pekerjaan, dan interaksi yang harus kutiru. Setiap langkah yang kutempuh terasa seperti melangkah di atas garis tipis antara kenyataan dan mimpi buruk. Aku tidak tahu siapa yang mungkin memperhatikanku atau berapa lama aku bisa berpura-pura sebagai Arya sebelum seseorang menyadari bahwa ada yang berbeda.
Setibanya di kantor, suasana hangat yang sama menyambutku seperti kemarin. Rekan-rekan kerja Arya tersenyum ramah saat aku lewat, meskipun aku hanya bisa membalas senyuman mereka dengan canggung. Aku menyadari bahwa aku harus lebih mengenal kehidupan Arya jika ingin terus berperan sebagai dirinya. Dengan hati-hati, aku membuka dokumen yang tersebar di mejanya dan mulai membaca satu per satu, mencoba mempelajari segala hal tentang pekerjaan ini.
Tak lama kemudian, seseorang yang tampaknya adalah atasan Arya menghampiriku dengan tumpukan berkas di tangannya. Ia berbicara dengan cepat tentang berbagai hal yang, jujur saja, sulit kupahami sepenuhnya. Aku berusaha mengangguk dan tersenyum seolah-olah paham, tetapi hatiku berdebar kencang.
"Jangan lupa, Arya, hasil laporan ini harus selesai sore ini juga," ujarnya sambil meletakkan tumpukan berkas di mejaku. Aku menatap berkas-berkas itu dengan sedikit cemas. Membuat laporan? Pekerjaan ini mungkin lebih sulit daripada yang kubayangkan.
Setelah kepergiannya, aku membuka dokumen di laptop dan mulai mempelajari beberapa data yang ada. Sambil mencoba memahami angka-angka dan istilah asing di layar, aku menyadari bahwa kehidupan Arya penuh dengan tanggung jawab yang tidak main-main. Rasa hormat mulai muncul dalam diriku terhadap sosok Arya—seseorang yang menjalani hidup yang cukup menantang dan penuh tekanan.
Di sela-sela bekerja, rekan kerja Arya yang bernama Fira datang dan menyapa dengan ceria. Ia duduk di sebelahku, menyodorkan secangkir kopi sambil tersenyum.
"Arya, kamu kelihatan lebih pendiam dari biasanya. Ada masalah?" tanyanya dengan nada penuh perhatian.
Aku terdiam sejenak, mencoba merangkai kalimat yang tepat. "Ah, tidak apa-apa. Mungkin cuma kurang tidur," jawabku singkat, berharap penjelasan itu cukup.
Fira mengangguk mengerti dan tersenyum. "Kalau butuh teman curhat, aku selalu ada di sini, ya." Katanya dengan nada lembut, lalu ia berlalu pergi meninggalkanku.
Aku menghela napas lega setelah Fira pergi. Berpura-pura menjadi Arya di depan rekan kerja ternyata lebih sulit daripada yang kupikirkan. Setiap kata, gerakan, dan ekspresi harus kuhitung dengan cermat agar tidak ada yang curiga. Meskipun sedikit melelahkan, aku tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk bertahan di dunia yang kini menjadi hidupku.
Saat waktu makan siang tiba, aku mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial Arya. Aku duduk di kantin bersama beberapa rekan kerja yang tampaknya adalah teman dekatnya. Mereka bercanda dan tertawa, sementara aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum. Ada perasaan hangat dan kebersamaan yang kurasakan di sana, meskipun aku belum benar-benar mengenal mereka.
Di tengah obrolan mereka, salah satu dari mereka bertanya, "Eh, Arya, kamu jadi pergi sama Nina akhir pekan ini?"
Pertanyaan itu membuatku terkejut. Nina? Siapa Nina? Aku berusaha tetap tenang dan mengangguk pelan sambil tersenyum samar, berharap respons itu cukup untuk menjawab pertanyaannya tanpa menimbulkan kecurigaan.
Namun, setelah itu aku semakin penasaran. Siapa sebenarnya Nina, dan bagaimana hubungan Arya dengannya? Nama itu mulai terngiang-ngiang dalam pikiranku. Apakah Nina adalah sosok yang spesial bagi Arya? Ataukah dia hanya teman biasa? Pertanyaan demi pertanyaan terus menghantuiku sepanjang sisa hari itu.
Setelah jam kerja berakhir, aku pulang ke rumah dengan perasaan lelah. Menjalani hari sebagai Arya ternyata jauh lebih sulit daripada yang kukira. Setiap detik aku harus waspada, setiap gerakan harus kuperhatikan. Rasanya seperti hidup di bawah bayang-bayang yang terus mengancam untuk membongkar identitas asliku.
Setibanya di rumah, aku duduk di meja kerja Arya dan mulai membuka beberapa berkas pribadinya, berharap menemukan petunjuk tentang siapa Nina dan peran apa yang ia miliki dalam hidup Arya. Di sudut meja, aku menemukan sebuah foto yang tersembunyi di balik buku-buku. Foto itu menampilkan Arya dan seorang gadis yang tampak bahagia. Senyuman mereka tulus, penuh kehangatan.
Aku menatap foto itu dengan perasaan aneh. Gadis dalam foto itu adalah sosok yang cantik, dengan mata yang bersinar penuh kehidupan. Apakah dia Nina? Melihat senyum mereka membuatku merasa ada ikatan kuat di antara mereka, seolah-olah gadis itu adalah seseorang yang sangat berarti bagi Arya. Aku merasa bersalah, seolah-olah aku mengintip sesuatu yang seharusnya tidak kulihat.
Semakin dalam aku menyelami hidup Arya, semakin aku merasa tersesat. Tidak hanya aku tidak mengenal sosok Arya sepenuhnya, tetapi aku juga merasa mulai kehilangan diriku sendiri. Dunia ini, kehidupan ini, bukanlah milikku. Namun, entah bagaimana, aku terjebak di sini dan harus menjalani setiap detiknya seakan itu adalah hidupku.
Malam itu, aku duduk sendirian di kamar, merenungkan apa yang sebenarnya terjadi padaku. Apakah ini hukuman? Ataukah ini adalah ujian yang harus kulalui? Aku mencoba mencari jawaban di dalam diriku, tetapi hanya kekosongan yang kutemukan. Tidak ada petunjuk, tidak ada jalan keluar.
Aku menatap bayanganku di cermin untuk kesekian kalinya. Sosok Arya menatap balik dengan tatapan kosong. Di dalam cermin itu, aku melihat diriku yang terjebak di tubuh orang lain, mencoba menjalani hidup yang bukan milikku.
Sebelum tidur, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku harus menemukan jalan keluar dari semua ini. Aku harus mencari tahu mengapa aku berada di sini, dan bagaimana caranya aku bisa kembali menjadi diriku yang sebenarnya. Tidak peduli seberapa sulit atau lama prosesnya, aku akan terus mencari kebenaran.
Dengan hati yang dipenuhi tekad dan kegelisahan, aku mencoba untuk tidur, berharap bahwa mungkin saja, esok hari aku akan menemukan petunjuk yang bisa membawaku keluar dari dunia yang salah ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!