Di tengah kesibukannya sebagai CEO perusahaan teknologi ternama, Rachel Ardiwinata menekan rasa lelah yang menghantuinya. Sebagai wanita yang sukses di dunia bisnis, dia terbiasa menghadapi tekanan besar. Namun, hari ini berbeda—seluruh tubuhnya terasa berat, dan pikirannya bercampur aduk. Tak seorang pun tahu bahwa Rachel menyimpan rahasia yang selama ini ia jaga rapat-rapat. Rahasia yang terkait dengan pria dari masa lalunya.
Malam itu, Rachel diundang ke acara gala yang diadakan oleh asosiasi bisnis nasional. Mengenakan gaun hitam sederhana, namun elegan, dia berjalan memasuki ruangan dengan penuh percaya diri. Namun, ketenangannya goyah begitu dia melihat sosok pria dengan postur gagah, mengenakan setelan formal, berdiri di ujung ruangan dengan senyum menawan.
"David?" bisik Rachel, seakan tak percaya. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali mereka bertemu. Pria itu adalah David Wijaya, mantan kekasihnya sekaligus ayah dari anak yang selama ini ia sembunyikan dari dunia.
David menyadari keberadaan Rachel. Pandangan mereka bertemu, dan dalam sekejap, Rachel merasa seluruh dunianya seakan membeku. Dia merasa terperangkap—seperti seekor rusa yang terjebak di antara cahaya lampu mobil yang mendekat.
"Rachel Ardiwinata?" David tersenyum lebar sambil melangkah mendekatinya. "Sudah lama kita tidak bertemu. Kau terlihat... luar biasa."
Rachel mencoba tersenyum, meskipun hatinya bergemuruh. "David... ya, sudah lama sekali," jawabnya, suaranya sedikit bergetar. "Aku tak menyangka akan bertemu denganmu di sini."
"Aku juga tidak. Namun, sepertinya takdir punya rencana lain," balas David, nadanya penuh misteri.
Rachel menyadari bahwa dia tak bisa lama di sini. Namun, sebelum dia bisa berkata lebih banyak, David telah memulai percakapan.
"Aku dengar, kau kini menjadi CEO di perusahaan besar. Hebat sekali," ucap David. "Aku bangga padamu, Rachel. Selalu tahu kau akan berhasil."
"Apa yang kau inginkan, David?" Rachel memutuskan untuk langsung ke inti pembicaraan. Dia tak ingin larut dalam percakapan basa-basi ini, karena terlalu banyak hal yang dapat terbongkar jika ia lengah.
David tersenyum tipis, seperti telah memperkirakan respons Rachel. "Aku? Tidak ada. Hanya ingin berbicara, mengenang masa lalu, dan... mungkin sedikit bertanya-tanya."
Rachel mengerutkan kening. "Bertanya-tanya tentang apa?"
"Kita dulu berpisah dengan... sedikit terburu-buru, bukan?" David menatap Rachel dengan pandangan yang dalam, membuatnya tak nyaman. "Aku hanya penasaran, apakah ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku?"
Rachel menelan ludah. Dia merasakan dadanya berdebar kencang. Pertanyaan itu terlalu dekat dengan kebenaran. "Tidak ada yang perlu dibicarakan, David. Kita sudah memilih jalan kita masing-masing."
David mengangguk, namun sorot matanya tak lepas dari wajah Rachel. "Kau benar, mungkin aku terlalu banyak berpikir. Namun, terkadang... masa lalu itu punya cara untuk kembali, bukan?"
Rachel berusaha tetap tenang, tetapi hatinya gelisah. Dia tidak tahu seberapa banyak yang David ketahui, namun dia tak ingin memberinya kesempatan untuk bertanya lebih jauh. "Aku perlu kembali ke meja tamu. Ada beberapa kolega yang menunggu," ucapnya, mencoba mengakhiri percakapan.
Namun, sebelum dia bisa melangkah pergi, David menahan lengannya, cukup lembut namun terasa seperti belenggu yang menjerat. "Rachel, tunggu. Aku hanya ingin memastikan sesuatu," ucapnya pelan, tatapannya kini lebih intens. "Apa kau bahagia dengan pilihanmu?"
Pertanyaan itu menusuk ke dalam hati Rachel. Kebahagiaan? Dia tak pernah benar-benar memikirkan itu sejak Leo lahir. Setiap keputusan yang ia ambil bukan lagi tentang kebahagiaan pribadi, melainkan demi masa depan putranya.
"Aku melakukan apa yang perlu dilakukan," jawabnya, nadanya datar namun tegas.
David mengangguk perlahan, seakan memahami jawabannya namun tidak benar-benar puas. "Kau selalu seperti itu, ya, Rachel? Begitu tangguh, begitu tak tersentuh. Tetapi aku tahu kau tidak sekeras yang kau tunjukkan."
Rachel menggigit bibirnya. Pertahanan dirinya terasa rapuh di hadapan pria ini, yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya. "Aku tidak perlu membuktikan apa pun kepadamu, David. Masa lalu kita sudah berlalu, dan aku baik-baik saja tanpamu."
David terdiam, menatapnya dalam-dalam, seakan mencari sesuatu di balik kata-kata Rachel. "Jika kau yakin begitu..." Suaranya melembut, lalu dia melepaskan genggamannya dari lengan Rachel. "Aku hanya berharap kau benar-benar baik-baik saja."
Rachel tak menjawab, hanya menatap David sejenak sebelum membalikkan tubuhnya dan berjalan menjauh. Namun, di dalam benaknya, pertemuan ini seperti membuka luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh. Dia merasa seperti berlari dalam kegelapan, berusaha melupakan masa lalu yang kini datang menghantuinya.
Saat malam berakhir dan Rachel kembali ke rumah, pikirannya dipenuhi oleh kekhawatiran. Bayangan David dan tatapan curiganya terus menghantui. Bagaimana jika David mengetahui tentang Leo? Bagaimana jika dia menuntut untuk terlibat dalam hidup anak mereka? Pikiran-pikiran itu mengguncang dirinya hingga dia tak mampu memejamkan mata sepanjang malam.
Keesokan harinya, Rachel berusaha menjalani harinya seperti biasa, namun bayang-bayang pertemuannya dengan David masih menghantui. Di sela kesibukannya di kantor, pikirannya kembali pada sosok anak laki-lakinya yang berusia lima tahun—Leo. Leo adalah anak yang cerdas, mungkin terlalu cerdas untuk usianya. Dia sering bertanya-tanya tentang ayahnya, dan Rachel selalu merasa sulit untuk memberikan jawaban.
Sore itu, Rachel pulang lebih awal. Saat masuk ke rumah, dia disambut oleh Leo yang langsung berlari menghampirinya.
"Ibu!" seru Leo sambil memeluknya. "Aku tadi membuat robot dari balok mainan! Kau mau lihat?"
Rachel tersenyum, mengelus kepala Leo dengan penuh kasih. "Tentu, sayang. Ibu ingin melihat karya hebatmu."
Leo membawa Rachel ke ruang tamu dan menunjukkan robot yang dia rakit dengan susah payah. Rachel tertawa kecil, merasa sedikit tenang di tengah kekacauan pikirannya. Anak ini adalah dunianya, alasan mengapa dia bertahan dan berusaha keras selama ini.
Namun, di balik senyum itu, Rachel tak bisa sepenuhnya mengabaikan kecemasan yang menyelimutinya. Leo semakin besar dan semakin pintar, dan dia tahu, suatu hari nanti anaknya akan mulai mengajukan pertanyaan yang lebih sulit tentang ayahnya.
"Ibu, apakah aku punya ayah?" Pertanyaan Leo tiba-tiba menggema, memecahkan keheningan di antara mereka.
Rachel terdiam, wajahnya sedikit pucat. Dia telah berusaha menghindari pertanyaan ini selama bertahun-tahun, namun kini ia terpojok. "Leo, kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?"
Leo menatapnya dengan mata polos namun tajam. "Karena teman-temanku punya ayah, dan aku ingin tahu apakah aku juga punya."
Rachel merasa sulit untuk menahan emosi. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha keras menyembunyikan rasa bersalah yang membebani hatinya. "Leo... Ibu selalu ada untukmu. Apapun yang kau butuhkan, Ibu akan berusaha untuk memberikannya."
"Tapi Ibu, ayah itu berbeda, kan?" Leo menatap Rachel dengan penuh harap, seakan mencari jawaban yang selama ini disembunyikan darinya.
Rachel terdiam, tak mampu berkata-kata. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa suatu hari ia harus menghadapi pertanyaan ini dengan jujur. Namun, malam ini, ia hanya ingin menunda, sekali lagi.
"Ibu mencintaimu, Leo. Sangat mencintaimu," bisik Rachel, mencoba menenangkan Leo dan dirinya sendiri.
Namun, jauh di lubuk hatinya, dia tahu rahasia yang dia sembunyikan selama ini mulai retak. Dia menyadari bahwa kedatangan David tidak hanya mengguncang hidupnya, tetapi juga akan mempengaruhi masa depan anaknya. Dan itu membuatnya takut—takut akan apa yang akan terjadi jika kebenaran akhirnya terungkap.
Di akhir malam, setelah Leo tidur, Rachel duduk sendirian di kamar, merenung. Ponselnya bergetar, dan saat dia membuka pesan yang masuk, hatinya terasa tenggelam. Itu pesan dari David:
"Aku tidak akan menyerah untuk mengetahui yang sebenarnya, Rachel. Aku berhak tahu."
Rachel terdiam, tangannya bergetar. Ia tahu, ini baru awal dari konfrontasi yang akan membongkar seluruh rahasia yang ia jaga.
Malam berlalu, dan Rachel tak dapat tidur nyenyak. Pesan terakhir dari David membuat pikirannya tak henti-hentinya berputar. Pagi harinya, dia berusaha mengalihkan perasaannya dengan menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Namun, ingatan akan tatapan intens David dan ancaman halus yang tersirat dalam pesannya terus menghantui. Tidak hanya itu, rasa takut akan rahasianya terbongkar mulai menggerogoti ketenangannya.
Ketika hari menjelang siang, telepon Rachel berdering. Dia mengangkatnya tanpa melihat siapa yang menelepon, berharap itu adalah asisten pribadinya. Namun, suara yang terdengar justru membuat jantungnya berdetak lebih kencang.
"Rachel," suara David terdengar di seberang telepon, rendah dan dingin.
Rachel menarik napas dalam, berusaha agar suaranya tetap tenang. "David, ada apa lagi? Aku sedang sibuk."
"Sepertinya kau selalu sibuk, bahkan untuk berbicara dengan orang yang pernah menjadi bagian dari hidupmu," ucap David dengan nada tajam. "Aku hanya ingin satu hal darimu."
Rachel menggenggam telepon lebih erat. "David, tolong... jangan buat ini lebih sulit."
"Lebih sulit? Rachel, aku tidak meminta banyak. Aku hanya ingin tahu... apa yang sebenarnya kau sembunyikan dariku?"
Rachel terdiam, seakan kata-kata itu mengunci dirinya. Dia menyadari bahwa David tidak akan berhenti hingga mendapatkan jawaban. Namun, rasa takutnya semakin besar—bagaimana jika Leo mengetahui semua ini?
"Aku tak punya waktu untuk permainan ini, David," katanya akhirnya, mencoba terdengar tenang. "Biarkan saja masa lalu berlalu."
David mendengus, suaranya terdengar sinis. "Baiklah, Rachel. Kalau kau tak mau bicara sekarang, aku akan mencarimu. Jangan menantang kesabaranku."
Sambungan telepon terputus. Rachel merasa tubuhnya lemas, dan pikirannya semakin kacau. Namun, dia tahu dia tak bisa membiarkan David mengetahui lebih jauh.
---
Sore itu, Rachel pulang lebih awal, berharap bisa meluangkan waktu bersama Leo untuk menenangkan pikirannya. Begitu dia masuk ke rumah, Leo berlari menghampirinya, membawa sebuah buku besar.
"Ibu! Lihat ini! Aku baru saja menyelesaikan soal matematika ini!" seru Leo dengan wajah penuh antusias.
Rachel tersenyum, menepuk kepala Leo dengan sayang. "Anak pintar! Apa Ibu boleh lihat hasilnya?"
Leo mengangguk bersemangat dan membuka bukunya, menunjukkan soal-soal matematika tingkat lanjut yang biasanya tidak diajarkan pada anak seusianya. Rachel terpana, menyadari betapa cerdasnya Leo, namun sekaligus merasa khawatir. Apakah Leo juga akan mulai mempertanyakan hal-hal yang lebih rumit tentang dirinya dan masa lalunya?
"Luar biasa, Leo! Kau benar-benar jenius, sayang," puji Rachel, menahan diri agar tidak terlihat cemas.
Leo tersenyum bangga, namun tiba-tiba matanya berbinar penasaran. "Ibu, kapan aku bisa bertemu ayahku?"
Pertanyaan itu memukul Rachel seperti pukulan keras. Dia menelan ludah, merasa kebingungan. Bagaimana dia bisa menjawab pertanyaan ini tanpa melukai hati anaknya?
"Leo, Ibu sudah bilang, kan? Ayahmu... jauh sekali. Tapi Ibu selalu ada di sini untukmu," jawabnya, berusaha agar suaranya tetap tenang.
Leo menatap Rachel dengan tatapan polos namun penuh kekecewaan. "Tapi semua temanku punya ayah, dan mereka sering bercerita tentang ayah mereka. Aku ingin tahu siapa ayahku, Bu."
Rachel merasa hatinya hancur melihat Leo yang kecewa. Namun, sebelum dia bisa menjawab lebih lanjut, pintu rumah mereka diketuk. Rachel menoleh, merasa cemas siapa yang datang malam-malam begini.
"Ibu akan lihat siapa yang datang. Kau tunggu di sini ya, Leo," ujar Rachel, berusaha menyembunyikan kecemasan dari suaranya.
---
Rachel berjalan ke pintu depan dan membukanya. Tubuhnya menegang saat melihat siapa yang berdiri di ambang pintu—David.
Rachel tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "David? Apa yang kau lakukan di sini?"
David tersenyum tipis, lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. "Aku bilang padamu, aku tidak akan berhenti sampai kau bicara."
Rachel menggigit bibir, berusaha menahan kemarahan dan ketakutannya. "David, kau tidak boleh di sini. Ini rumahku, dan aku tidak ingin membicarakan apa pun denganmu."
David mengangkat alis, tatapannya tajam. "Rachel, kau bisa mencoba mengusirku. Tapi aku tidak akan pergi tanpa jawaban."
Rachel merasa terpojok. Namun, sebelum dia bisa membalas, suara kecil memecah ketegangan di antara mereka.
"Ibu, siapa itu?" Leo berjalan mendekat, matanya mengamati David dengan penasaran.
Rachel merasakan darahnya berdesir, seluruh tubuhnya kaku. David menatap Leo, matanya melembut, tetapi ada kilatan tajam yang menunjukkan kebingungannya.
"Ini... teman Ibu," jawab Rachel terbata-bata, mencoba menahan perasaannya.
Leo mendekati David dan tersenyum polos. "Halo, Om. Nama saya Leo. Ibu jarang sekali punya teman yang datang ke sini."
David berlutut, menatap Leo lebih dekat, tampak terpesona oleh sosok kecil itu. "Halo, Leo," ucapnya, suaranya tiba-tiba lembut. "Kau... anak yang cerdas, ya?"
Leo mengangguk bangga. "Iya, aku suka belajar! Ibu bilang aku jenius."
David melirik ke arah Rachel, dan untuk sesaat Rachel merasa seperti seluruh dunianya akan runtuh. Tatapan David seolah mengatakan dia mulai memahami sesuatu, sesuatu yang selama ini ia sembunyikan.
"Rachel, bisakah kita bicara sebentar?" David berusaha tetap tenang, tetapi Rachel bisa melihat betapa terkejutnya dia.
Rachel menggigit bibirnya, merasa tidak punya pilihan lain. "Leo, Ibu perlu bicara sebentar dengan Om ini. Kau bisa menunggu di kamar, ya?"
Leo mengangguk, meskipun tampak sedikit kebingungan. "Baik, Bu." Dia pun berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Rachel dan David di ruang tamu.
Begitu Leo tidak terlihat, David langsung menatap Rachel dengan sorot mata yang penuh amarah dan kekecewaan. "Jadi... itu anak kita?"
Rachel merasakan dadanya sesak, suaranya gemetar saat menjawab. "David, aku tidak... aku tidak bisa membiarkanmu tahu. Aku punya alasan."
David mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosinya. "Alasan? Rachel, bagaimana mungkin kau bisa menyembunyikan sesuatu sebesar ini dariku? Aku punya hak untuk tahu!"
Rachel menunduk, matanya mulai basah. "David, aku tidak punya pilihan lain. Hidupku... hidup kita terlalu rumit. Aku tidak ingin Leo terjebak di tengah."
"Aku tak peduli seberapa rumitnya hidup kita!" David menaikkan suaranya, namun kemudian merendahkannya saat menyadari mereka masih di dalam rumah. "Rachel, kau tidak bisa membuat keputusan sebesar ini sendirian. Aku ayahnya, dan aku punya hak untuk menjadi bagian dari hidupnya."
Rachel menggigit bibirnya, merasa hatinya sakit. "David, aku hanya ingin melindungi Leo. Aku... aku takut kau akan menginginkannya dan membawanya pergi."
David terdiam sejenak, sorot matanya melembut. "Aku tak akan pernah membawanya pergi darimu, Rachel. Aku hanya ingin menjadi bagian dari hidupnya, membantu dan melihatnya tumbuh."
Rachel menatap David dengan mata yang penuh kebingungan dan emosi. Untuk pertama kalinya, dia merasakan rasa bersalah yang begitu dalam. "David, aku takut. Aku takut jika dia tahu, itu akan menghancurkan semuanya. Dia masih kecil, dan aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskan semua ini padanya."
David mendekati Rachel, menaruh tangan di pundaknya dengan lembut. "Rachel, kita bisa melakukannya bersama. Kita bisa menjelaskan pada Leo pelan-pelan. Aku tak ingin membuatnya bingung, tapi aku juga tak ingin menjadi asing baginya."
Rachel merasakan tubuhnya melemas. Di satu sisi, dia merasakan ketakutan yang luar biasa, namun di sisi lain, ada kelegaan yang samar karena David ingin bertanggung jawab. "Aku butuh waktu, David. Aku perlu mempersiapkan diri... dan Leo."
David mengangguk. "Baik. Aku akan memberimu waktu. Tapi aku ingin melihat Leo. Aku ingin mengenalnya, meskipun dia tidak tahu siapa aku sekarang."
Rachel menarik napas panjang, akhirnya mengangguk dengan berat hati. "Baik, tapi jangan beritahu siapa dirimu sebenarnya."
David tersenyum samar, meskipun sorot matanya tetap menyiratkan rasa sakit dan kecewa. "Aku janji."
Namun, di balik janji itu, Rachel tahu bahwa ini hanyalah permulaan. Rahasia yang ia sembunyikan selama ini kini terbongkar, dan ia tak tahu bagaimana melindungi Leo dari kenyataan yang akan segera menghampirinya.
Rachel masih terguncang oleh pertemuan dengan David di depan pintu rumahnya. Sementara ia berusaha menyusun strategi untuk menjaga Leo tetap aman, perasaan cemas dan ketakutan menghantui pikirannya. Hari itu, Rachel mencoba menenangkan diri dan mengalihkan perhatiannya pada pekerjaan. Namun, bayangan tentang David yang ingin mendekati Leo tak henti-hentinya membebani hatinya.
Di kantor, Rachel tengah tenggelam dalam rapat ketika ia mendapat pesan dari asistennya.
> “Bu Rachel, ada seseorang yang ingin bertemu di lobi. Dia bilang ini sangat penting dan tidak akan pergi sebelum bertemu dengan Anda.”
Rachel mendesah, sudah menduga siapa yang akan ia temui. Ia menundukkan kepala sejenak, mencoba menenangkan pikirannya sebelum memutuskan untuk menghentikan rapat lebih awal. Setelah membereskan dokumen-dokumen, ia bergegas menuju lobi.
---
Saat tiba di lobi, Rachel melihat David berdiri di sana dengan penampilan tegas dan tatapan tajam yang tidak bisa ia sembunyikan. Ia menarik napas panjang, berusaha bersikap tenang.
“David, kau tidak bisa terus datang ke sini dan mengganggu pekerjaanku,” ucap Rachel, suaranya penuh ketegasan meski hatinya terasa goyah.
David hanya tersenyum tipis, menatap Rachel dengan pandangan yang sulit diartikan. “Rachel, aku hanya ingin memastikan satu hal. Aku ingin Leo tahu bahwa aku adalah ayahnya. Bukankah ini hal yang wajar?”
Rachel menggigit bibirnya, menahan amarah dan kekhawatirannya. “David, kita sudah membicarakan ini. Aku butuh waktu. Leo masih kecil dan belum siap menerima kenyataan ini.”
David menghela napas, tatapannya tetap tajam. “Rachel, setiap hari aku merasa bahwa waktuku dengan Leo semakin habis. Aku ingin berada di sisinya, melihatnya tumbuh, memberikan bimbingan yang ia butuhkan. Apa kau tidak melihat betapa pentingnya ini?”
Rachel terdiam, matanya berkaca-kaca. “David, aku paham keinginanmu. Tapi, kau harus mengerti, Leo sudah punya kehidupan yang ia kenal dan ia cintai. Aku tidak ingin membuatnya bingung dengan perubahan besar ini.”
David melangkah mendekat, suaranya melembut. “Aku tahu kau ingin melindunginya, Rachel. Tapi, aku juga berhak mengenal anakku.”
Rachel merasa dadanya sesak. Satu sisi dirinya ingin menerima bantuan David dan melihatnya sebagai sosok ayah bagi Leo. Namun, ia tidak bisa mengabaikan ketakutannya bahwa Leo akan terluka jika mengetahui kenyataan yang sesungguhnya.
“Aku akan memikirkan caranya,” akhirnya Rachel berkata, mencoba menahan gejolak emosinya. “Tapi, beri aku waktu. Jangan terlalu memaksa.”
David menatap Rachel dengan pandangan penuh harapan. “Baiklah, aku akan menunggu, Rachel. Tapi aku tidak akan mundur.”
---
Beberapa hari kemudian, Rachel berusaha menjaga semuanya tetap normal di rumah. Namun, Leo mulai menunjukkan tanda-tanda penasaran yang semakin besar. Suatu malam, saat mereka sedang makan malam, Leo tiba-tiba membuka pembicaraan yang membuat Rachel terpaku.
“Ibu, kenapa Om David sering datang menemui kita?” tanya Leo polos.
Rachel tersedak mendengar pertanyaan itu. Ia meletakkan sendoknya perlahan dan menatap Leo dengan senyum yang berusaha ia paksakan.
“Om David adalah teman lama Ibu, Leo. Dia hanya ingin memastikan bahwa kita baik-baik saja,” jawab Rachel sambil berusaha terdengar santai.
Leo mengangguk, tetapi masih terlihat penasaran. “Tapi kenapa Om David selalu melihatku dengan tatapan yang aneh? Seperti... seperti dia ingin mengatakan sesuatu padaku.”
Rachel merasa jantungnya berdegup kencang. Ia tahu bahwa Leo semakin cerdas dan peka, bahkan mungkin lebih dari anak-anak seusianya.
“Leo, mungkin Om David hanya terkesan dengan betapa pintarnya kau,” ujar Rachel sambil mengusap rambut anaknya dengan penuh sayang.
Namun, Leo tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya bertanya, “Ibu... apakah Om David adalah ayahku?”
Pertanyaan itu bagaikan petir di siang bolong bagi Rachel. Ia terdiam, merasakan seluruh tubuhnya kaku dan tidak tahu harus merespons bagaimana. Bagaimana mungkin Leo bisa menebak dengan tepat?
“Kenapa kau berpikir begitu, Leo?” Rachel berusaha mengulur waktu, meskipun ia tahu Leo mungkin tidak akan berhenti sampai mendapat jawaban yang memuaskan.
Leo menunduk, memainkan ujung kausnya. “Aku... aku hanya merasa berbeda, Bu. Semua temanku punya ayah, dan mereka selalu bercerita tentang ayah mereka. Aku ingin tahu kenapa aku tidak punya ayah seperti mereka.”
Rachel merasakan matanya mulai berkaca-kaca. Ia tahu ini adalah saat yang paling ia takuti. Menyimpan rahasia dari Leo mungkin lebih sulit daripada yang ia bayangkan.
“Ibu... maafkan Ibu. Ibu belum siap memberitahumu,” ujar Rachel dengan suara pelan.
Leo menatap Rachel dengan mata yang besar dan penuh harap. “Jadi, Om David benar-benar ayahku?”
Rachel menutup mata sejenak, mencoba menahan air matanya. “Ya, Leo... dia ayahmu. Tapi, ada alasan kenapa Ibu belum bisa memberitahumu sebelumnya.”
Leo terdiam, seakan mencoba mencerna informasi yang baru ia terima. “Kenapa, Bu? Kenapa kau tidak memberitahuku?”
Rachel menghela napas panjang. “Ibu hanya ingin melindungimu, Leo. Ibu tidak ingin kau bingung atau merasa kehilangan sesuatu yang tidak pernah kau miliki sebelumnya.”
Leo tampak berpikir keras, lalu memandang Rachel dengan tatapan yang penuh ketegasan, seolah-olah ada kebijaksanaan dalam dirinya yang lebih dari usianya. “Ibu, aku tidak akan marah. Aku hanya ingin tahu siapa aku dan dari mana asalku.”
Rachel tersenyum lemah, mengelus pipi Leo. “Kau anak yang luar biasa, Leo. Ibu sangat bangga padamu.”
Namun, di balik percakapan ini, Rachel tahu bahwa konflik baru telah terbuka. David yang ingin hadir dalam hidup Leo, dan Leo yang mulai memahami jati dirinya, adalah dinamika yang akan sulit untuk ia kendalikan.
---
Beberapa hari kemudian, David datang untuk menjemput Leo setelah sekolah. Leo tampak senang saat melihat David, dan keduanya segera akrab dalam perbincangan. Rachel merasa hatinya kacau melihat kedekatan mereka, tetapi ia tahu bahwa ini adalah pilihan terbaik.
Di akhir pertemuan, saat Rachel hendak mengantar Leo ke kamar, David mendekati Rachel dengan ekspresi penuh kesungguhan.
“Rachel, aku akan melakukan apa pun untuk Leo. Jika kau mengizinkan, aku ingin terlibat lebih dalam,” kata David, tatapan matanya penuh harap.
Rachel menggigit bibirnya, merasa terjebak dalam dilema. Ia tidak ingin Leo kehilangan kebahagiaan barunya, tetapi ia juga takut David akan membawa Leo lebih jauh dari dirinya.
“David, aku butuh waktu. Aku tidak ingin terburu-buru,” ujar Rachel, suaranya terdengar lembut namun tegas.
David menatap Rachel lama sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Aku akan memberikan waktu, Rachel. Tapi tolong, jangan terlalu lama. Leo layak tahu siapa ayahnya yang sebenarnya.”
Rachel hanya bisa mengangguk, meski hatinya masih diliputi kecemasan. Di balik semua ini, ia tahu bahwa keputusan besar harus segera dibuat, dan ia tidak bisa menghindarinya selamanya.
---
Saat malam menjelang, Leo yang sudah tertidur nyenyak meninggalkan Rachel dalam keheningan rumah yang terasa hampa. Rachel menyadari bahwa kehidupannya telah berubah, bahwa rahasia yang selama ini ia jaga telah terbuka.
Namun, di saat yang sama, Rachel tahu bahwa masalah ini baru permulaan. Perjalanan panjang menantinya, dengan cinta, rahasia, dan luka yang terus menghantui mereka bertiga. Bagaimanapun juga, ia harus menghadapi masa lalu yang kembali datang, demi anaknya yang kini menjadi pusat hidupnya.
---
Cliffhanger: Di tengah malam, ponsel Rachel berdering. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:
> “Rahasiamu terbongkar, Rachel. Bersiaplah kehilangan lebih dari yang kau bayangkan.”
Rachel terkejut, tangannya bergetar saat membaca pesan itu. Siapa yang tahu rahasia ini? Dan apa yang sebenarnya diinginkan orang ini?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!