Mentari pagi bersinar cerah di atas desa kecil Eldoria. Embun masih menetes dari dedaunan pohon, dan angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga liar. Desa itu tenang, damai, dan penuh dengan keindahan alam, tetapi bagi tiga sahabat yang tumbuh di sini, ketenangan ini hanya awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Mereka bertiga—Kael, Aric, dan Lyria—bercita-cita untuk melampaui batas desa mereka, menjelajahi dunia yang penuh misteri dan bahaya.
"Kael, cepatlah! Kau seperti kura-kura tua yang lamban!" Aric berteriak, melemparkan batu kecil ke arah Kael yang berjalan pelan di belakang mereka. Aric, dengan rambut pirangnya yang acak-acakan dan senyum lebarnya, selalu penuh energi. Ia adalah sosok yang selalu memimpin mereka ke dalam segala macam masalah—dan petualangan.
Kael menghindari batu itu dengan anggukan lelah, mengusap rambut hitamnya yang sedikit berantakan. "Kura-kura mungkin lamban, tapi mereka hidup lebih lama, Aric. Ingat itu," jawabnya dengan nada datar, tetapi matanya memancarkan kehangatan. Kael, dengan kepribadian yang tenang dan penuh pertimbangan, sering menjadi penyeimbang bagi Aric yang impulsif.
Lyria tertawa kecil, berjalan di antara mereka. Gadis dengan rambut cokelat bergelombang dan mata hijau cerah itu selalu membawa keceriaan. "Kalian berdua seperti air dan api. Kapan kalian akan benar-benar akur?" tanyanya sambil melipat tangan di depan dadanya.
"Kami akur, Lyria. Itulah cara kami saling menunjukkan rasa sayang," Aric menyeringai, melompat ke atas batu besar di tepi jalan setapak. "Kau tahu, tanpa aku, hidup kalian akan membosankan!"
Kael mengangkat alis, tatapannya setengah jengkel dan setengah geli. "Tentu saja, Aric. Karena siapa lagi yang bisa membawa kita ke dalam masalah setiap saat?"
Aric berpura-pura tersinggung. "Hei! Aku tidak selalu membuat masalah," bantahnya. "Aku hanya... memberi bumbu dalam hidup kita."
Lyria tidak bisa menahan tawa. "Kau memang bumbu yang membuat kita tetap waspada, Aric," katanya, menepuk bahu Aric dengan lembut. "Tapi aku tidak bisa membayangkan petualangan tanpa kalian berdua."
Kael merasa hatinya hangat setiap kali Lyria tersenyum seperti itu. Senyum yang membuatnya merasa bahwa segalanya mungkin. Namun, perasaan itu juga membawa rasa sakit yang tak terucapkan. Sudah bertahun-tahun ia memendam perasaan untuk Lyria, takut bahwa jika ia mengungkapkannya, persahabatan mereka akan berubah selamanya. Ia lebih memilih diam, menjaga rahasia hatinya sendiri.
"Hei, lihat!" Aric menunjuk ke arah cakrawala. Di kejauhan, mereka bisa melihat puncak menara Akademi Petualang, tujuan impian mereka sejak kecil. Menara itu menjulang tinggi, seperti mercusuar yang memanggil mereka ke kehidupan yang penuh tantangan.
Lyria melompat kegirangan. "Kita hampir sampai! Aku masih tidak percaya bahwa kita benar-benar akan menjadi petualang!" katanya, matanya berbinar penuh semangat.
Kael tersenyum tipis, menyembunyikan kecemasannya. Akademi adalah tempat di mana mimpi mereka akan diuji. Banyak yang tidak bertahan di sana, banyak yang gagal dan kembali ke desa-desa mereka dengan hati hancur. Tapi ia tahu bahwa Lyria dan Aric tidak akan mundur, dan demi mereka, ia juga harus kuat.
Aric melompat turun dari batu besar dan berdiri di depan mereka. "Dengar, kita bertiga akan menjadi tim terhebat yang pernah dilihat Akademi," katanya dengan penuh keyakinan. "Tidak ada yang bisa mengalahkan kita!"
Lyria mengangguk dengan semangat. "Kita akan selalu bersama, kan?" katanya, suara lembutnya penuh harapan. "Apa pun yang terjadi, kita akan tetap bersama."
Kael merasakan ada beban di dadanya. Ia tahu janji semacam itu mudah diucapkan, tetapi dunia tidak selalu adil atau baik. "Ya," ia akhirnya berkata, meski ada keraguan yang menggerogoti hatinya. "Kita akan selalu bersama."
Mereka bertiga melanjutkan perjalanan, langkah mereka penuh semangat dan hati mereka dipenuhi mimpi. Tetapi, bahkan saat mereka berjalan menuju masa depan yang tidak pasti, Kael merasakan firasat aneh. Sesuatu yang gelap dan tak dikenal seolah mengintai dari balik bayang-bayang, menunggu saat yang tepat untuk
Menyerang.
Langit Eldoria mulai beranjak dari biru cerah menjadi jingga keemasan saat senja menghampiri. Perjalanan menuju Akademi Petualang membawa mereka melintasi padang rumput hijau, menyeberangi sungai kecil yang gemericiknya menenangkan, dan menyusuri hutan yang seolah menyimpan misteri yang belum terungkap. Ketiganya masih penuh semangat, meskipun perjalanan ini lebih melelahkan daripada yang mereka bayangkan.
"Berapa jauh lagi, Aric?" tanya Lyria, berhenti sejenak untuk mengatur napas. Rambut cokelatnya yang bergelombang berkibar tertiup angin, dan ia menyeka peluh di dahinya.
Aric, yang berjalan di depan mereka dengan langkah ringan, menoleh dan memberikan senyum lebar. "Menurut petanya, kita tinggal menyeberangi lembah itu, lalu berjalan sedikit ke arah utara," jawabnya sambil menunjuk ke arah yang dimaksud. "Tidak jauh lagi, aku janji."
Kael yang berjalan di belakang, membawa tas yang lebih berat, hanya bisa menggelengkan kepala. "Kau selalu mengatakan itu, Aric. Tapi kenyataannya kita masih terus berjalan tanpa akhir," gumamnya. Suara Kael terdengar lelah, tetapi ia menyembunyikan rasa penatnya dengan senyum samar.
Aric tertawa keras, seolah lelah adalah hal yang tidak pernah menyentuhnya. "Yah, petualangan tidak akan seru tanpa sedikit rasa lelah, bukan?" katanya, memutar-mutar peta di tangannya. "Kalian harus berpikir seperti petualang sejati! Tidak ada yang bisa menghentikan kita!"
Lyria mendekati Kael dan mengangguk. "Aku tahu kau lelah, Kael, tapi coba lihat sisi baiknya. Kita akan tiba di Akademi dan memulai mimpi kita bersama. Itu membuat semua ini sepadan, bukan?"
Kael menatap mata Lyria, dan untuk sesaat, rasa lelahnya menghilang. Ia tahu betapa pentingnya ini bagi Lyria, betapa berartinya mimpi ini bagi mereka bertiga. Ia mengangguk. "Kau benar. Aku hanya berharap aku punya semangat tak terbatas seperti Aric," balasnya, menciptakan senyum kecil di wajahnya.
Mereka melanjutkan perjalanan, melintasi lembah yang mulai diselimuti bayangan malam. Hutan di sekeliling mereka mulai terasa lebih gelap, dan suara burung hantu sesekali terdengar, menciptakan suasana yang mencekam. Aric berhenti tiba-tiba dan mengangkat tangan, memberi isyarat agar mereka diam.
"Apa itu?" bisik Aric, menajamkan pendengarannya.
Kael dan Lyria berhenti, menahan napas. Kael bisa merasakan udara menjadi lebih dingin, dan keheningan yang tiba-tiba membuat bulu kuduknya meremang. "Apa yang kau dengar?" tanya Kael, suaranya pelan.
Lyria mendekat ke mereka, matanya memindai hutan di sekitar. "Mungkin itu hanya hewan malam," katanya, mencoba meyakinkan diri sendiri.
Namun, suara gemerisik dari balik semak-semak di depan mereka membuat mereka semua waspada. Aric meraih pedangnya yang terikat di punggungnya, sementara Kael mengangkat tongkat kayu yang dibawanya untuk berjaga-jaga. Lyria, meski tanpa senjata, mengambil posisi di belakang mereka, siap membantu jika diperlukan.
Dari balik semak-semak, seekor makhluk muncul. Itu adalah serigala besar dengan bulu abu-abu gelap dan mata kuning menyala yang menatap mereka dengan lapar. Makhluk itu menggeram, memperlihatkan deretan gigi tajamnya. Aric melangkah maju, memegang pedangnya dengan erat.
"Jangan panik," katanya, berusaha terdengar tenang. "Kita bisa mengatasi ini bersama."
Kael menelan ludah. Ia tahu Aric selalu percaya diri dalam situasi seperti ini, tetapi ia tidak bisa menghilangkan rasa takut yang mencekamnya. "Lyria, tetap di belakang kami," perintah Kael, meskipun ia tahu Lyria tidak akan lari begitu saja.
Serigala itu melangkah maju, otot-ototnya menegang. Aric tidak menunggu lebih lama; ia melompat maju dengan serangan cepat, mencoba menakut-nakuti makhluk itu. Tetapi serigala itu lebih cepat dari yang ia kira. Dengan gerakan yang cekatan, serigala itu menghindari serangan Aric dan menerkam ke arahnya.
Kael berlari untuk membantu, mengayunkan tongkat kayunya dengan sekuat tenaga ke sisi serigala. Tongkat itu mengenai makhluk itu, tetapi tidak cukup kuat untuk melukainya. Serigala itu mengalihkan perhatiannya ke Kael, dan Kael merasakan ketakutan membeku di dadanya.
"Aric, cepat!" teriak Kael, mencoba menjaga jarak dari makhluk itu.
Aric kembali berdiri, meski terpincang-pincang, dan mengayunkan pedangnya sekali lagi. Kali ini, pedangnya mengenai kaki serigala, membuat makhluk itu mundur dengan geraman marah. Lyria bergegas ke sisi Kael, matanya dipenuhi kekhawatiran.
"Kael, kau baik-baik saja?" tanya Lyria, memeriksa temannya.
Kael mengangguk, meskipun tangannya gemetar. "Aku baik-baik saja. Kita harus keluar dari sini sebelum makhluk itu memanggil kawanan lainnya," jawabnya.
Serigala itu menatap mereka dengan mata penuh kebencian, tetapi akhirnya mundur ke dalam kegelapan hutan, suaranya menghilang di antara pepohonan. Ketiganya berdiri di sana, napas mereka memburu, tetapi mereka selamat.
Aric tertawa, meskipun wajahnya masih pucat. "Nah, itu adalah petualangan yang mendebarkan," katanya, mencoba terdengar riang. "Aku pikir kita melakukannya dengan baik."
Kael menatap Aric dengan setengah marah. "Kau nyaris membuat kita semua celaka," balasnya, tetapi akhirnya ia tersenyum. Rasa lega mengalir ke dalam dirinya, meskipun rasa takut tadi masih terasa di ujung hatinya.
Lyria meletakkan tangannya di bahu mereka berdua. "Yang penting kita masih bersama dan selamat," katanya, matanya penuh dengan rasa syukur.
Kael mengangguk. "Ya, kita selamat," katanya. Tapi dalam hati, ia merasakan firasat bahwa ini baru permulaan. Dunia di luar Eldoria penuh dengan bahaya, dan mereka harus selalu siap menghadapi apa pun.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, dengan keheningan yang kini terasa lebih mencekam. Namun, semangat mereka untuk mencapai Akademi tetap tak tergoyahkan. Mereka tahu bahwa mimpi mereka mungkin membawa mereka ke jalur yang penuh bahaya, tetapi itulah harga yang harus dibayar untuk menjadi petualang.
Hari mulai gelap saat mereka akhirnya mendekati gerbang besar Akademi Petualang. Menara yang menjulang tinggi di atas mereka bersinar dalam cahaya bulan yang lembut, seolah menyambut mereka dengan keagungan yang penuh rahasia. Lampu-lampu magis yang berwarna keemasan tergantung di sepanjang tembok batu hitam, menyinari jalan setapak menuju gerbang utama. Hati ketiganya berdebar, dipenuhi dengan rasa antusias dan kekhawatiran.
"Kita benar-benar sampai," bisik Lyria, suaranya penuh kekaguman. Matanya yang hijau cerah memandang menara yang tinggi dengan penuh rasa takjub. "Akademi... tempat impian kita dimulai."
Aric menyeringai, meskipun tubuhnya lelah dari perjalanan panjang. "Ya, dan aku yakin kita akan mencetak sejarah di sini," katanya, memompa semangat dirinya sendiri. "Kita akan menjadi petualang yang paling hebat, dan mereka semua akan mengenal nama kita."
Kael berdiri di samping Lyria, diam-diam mengamati kedua sahabatnya. Di dalam dirinya, ia merasakan kebanggaan bercampur dengan kecemasan. Akademi bukanlah tempat yang mudah. Setiap tahunnya, hanya sedikit yang berhasil lulus, dan banyak dari mereka yang gagal tidak hanya kehilangan mimpi mereka tetapi juga semangat mereka. Namun, Kael tahu ia tidak bisa mundur sekarang. Untuk Lyria dan Aric, ia harus terus maju.
"Baiklah," Kael berkata dengan nada datar namun penuh tekad. "Kita di sini untuk membuat mimpi kita menjadi kenyataan. Tapi pertama-tama, kita harus melewati gerbang itu." Ia melangkah ke depan, diikuti oleh Lyria dan Aric, menuju pintu kayu besar yang terukir dengan lambang naga berkepala dua—simbol kekuatan dan kebijaksanaan Akademi.
Di depan gerbang berdiri seorang penjaga tinggi dengan baju zirah hitam dan jubah merah tua. Helm yang ia kenakan menutupi wajahnya sepenuhnya, hanya menyisakan mata berkilauan seperti bara api yang mengintip dari celah sempit. Ia mengangkat tombaknya dan menatap mereka bertiga dengan penuh kewaspadaan.
"Nama dan tujuan kalian?" suaranya bergema rendah dan dalam, seperti guntur yang merayap di kejauhan.
Aric dengan percaya diri melangkah maju. "Kami adalah calon petualang," katanya, suaranya tidak menunjukkan sedikit pun rasa takut. "Kami datang untuk mendaftar di Akademi, seperti yang tertulis dalam surat undangan kami."
Lyria merogoh tasnya dan mengeluarkan gulungan surat yang telah mereka terima dari Akademi beberapa bulan yang lalu. Ia menyerahkannya dengan tangan gemetar, tetapi matanya tetap memancarkan semangat.
Penjaga itu mengambil surat itu dan membacanya dengan cermat. Mata merahnya bergerak-gerak, memeriksa setiap huruf dan segel yang ada. Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, ia mengangguk dan mengembalikan surat itu. "Kalian diterima," katanya dengan suara dingin. "Masuklah, dan bersiaplah untuk menghadapi ujian yang akan menentukan nasib kalian."
Pintu besar itu berderit saat terbuka perlahan, memperlihatkan halaman luas Akademi yang penuh dengan lampu-lampu yang bersinar terang. Ketiganya melangkah masuk, rasa kagum melingkupi mereka saat mereka melihat sekeliling. Di sekeliling halaman, bangunan-bangunan batu berdiri megah, masing-masing dihiasi dengan ukiran-ukiran yang menceritakan kisah para petualang legendaris.
"Ini... luar biasa," bisik Lyria, matanya tak berhenti berkeliling. "Kita benar-benar ada di sini."
Aric mengangguk penuh semangat, meskipun ia berusaha menyembunyikan kekagumannya. "Ayo, kita harus mencari tahu di mana kita seharusnya mendaftar untuk ujian pertama," katanya. "Aku tidak sabar untuk memulai."
Mereka mulai berjalan melintasi halaman, tetapi langkah Kael melambat. Ia merasa seolah-olah ada sesuatu yang mengawasi mereka, sesuatu yang bersembunyi di balik bayang-bayang bangunan besar itu. Sebuah perasaan yang sulit dijelaskan, seperti firasat yang aneh.
"Kael, kau baik-baik saja?" tanya Lyria, memperhatikan ekspresinya yang tegang. Ia berhenti dan menatapnya dengan khawatir.
Kael tersentak dari lamunannya dan tersenyum kaku. "Ya, aku hanya... sedikit gugup," katanya, berusaha terdengar meyakinkan. "Ini semua terasa sangat nyata, dan aku hanya ingin memastikan kita siap."
Lyria meraih tangannya, memberikan dorongan lembut yang membuat Kael merasakan kehangatan. "Kita akan melaluinya bersama," kata Lyria. "Apa pun yang terjadi, kita akan saling mendukung. Kau tahu itu, kan?"
Kael mengangguk, meskipun rasa takut di hatinya tidak benar-benar hilang. Ia tahu bahwa di dunia ini, segala sesuatu bisa berubah dengan cepat, dan janji yang diucapkan bisa saja hancur oleh kenyataan yang kejam. Tapi ia ingin percaya, setidaknya untuk sekarang.
"Ayo, kalian berdua," panggil Aric dari depan, yang sudah berlari mendekati salah satu bangunan besar di tengah halaman. "Aku menemukan aula pendaftaran. Cepat, sebelum kita terlambat!"
Lyria tertawa kecil, menarik Kael agar bergerak lebih cepat. Mereka berlari mengejar Aric, melewati patung-patung yang menjulang tinggi dan taman-taman yang dipenuhi bunga-bunga eksotis. Aula pendaftaran berada di tengah Akademi, sebuah bangunan besar dengan pintu kaca berwarna-warni yang memancarkan cahaya pelangi saat terkena sinar lampu magis.
Mereka melangkah masuk, dan di dalam aula, suasana ramai dan penuh semangat. Ratusan calon petualang dari berbagai penjuru berkumpul, mengenakan baju dari segala macam gaya dan warna. Mereka berbicara, tertawa, dan beberapa tampak sangat serius, mempersiapkan diri untuk ujian yang akan datang.
"Kita bukan satu-satunya yang ingin menjadi petualang hebat," bisik Aric, matanya menyipit saat ia melihat para pesaing mereka. "Tapi aku yakin, kita akan menonjol di antara mereka."
Kael menelan ludah, merasakan tekanan semakin kuat. Ia tahu bahwa mereka tidak hanya harus bersaing dengan orang-orang ini, tetapi mereka juga harus membuktikan diri di hadapan para instruktur Akademi yang terkenal keras. "Kita harus memberikan yang terbaik," katanya, meskipun kata-kata itu lebih seperti peringatan untuk dirinya sendiri.
Lyria meraih tangan mereka berdua, menggenggam erat. "Kita sudah sampai sejauh ini," katanya, senyum kecil menguatkan mereka. "Sekarang, mari kita hadapi ujian ini. Bersama."
Kael merasa semangatnya kembali bangkit, meskipun bayangan firasat buruk masih mengintai di sudut hatinya. Ia tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan panjang mereka—perjalanan yang akan menguji keberanian, kekuatan, dan persahabatan mereka. Tapi, untuk saat ini, ia memilih untuk percaya bahwa mereka bisa menghadapi apa pun yang datang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!