Di parkiran perusahan tekstilnya, Juhandono menatap acuh pada seorang perempuan muda yang sedang menggendong seorang bayi. Sepertinya sudah cukup lama dia menunggu kedatangannya.
Wajahnya nampak layu, dia terlihat belum cukup sehat. Tapi wajahnya masih nampak cantik
"Ambil bayi ini atau lebih baik kamu buang saja. Aku ngga mau mengurusnya. Aku harus nyari uang untuk hidupku." Perenpuan muda itu langsung menempelkan bayi perempuan yang sepertinya baru hitungan hari itu ke dada Juhandono yang reflek meraihnya.
Dua orang pengawalnya bergerak bermaksud mengamankan perempuan muda yang berpakain cukup terbuka itu ketika mendekati bos mereka.
Tapi Bos mereka mengangkat tangan dan menggoyangkannya, membuat langkah keduanya terhenti.
"Setelah malam itu, aku tidak bekerja lagi sampai aku tau kalo aku hamil. Sembilan bulan aku off agar bayi itu tidak tercemar oleh sp e rma yang lainnya. Jadi aku minta kompensasi padamu karena sudah melahirkan anak itu dengan selamat," ucap perempuan muda itu dengan wajah datarnya.
Juhandono memberi isyarat pada pengawalnya untuk segera mendekat.
"Berapa yang kamu minta."
"Tentukan saja sendiri nominalnya. Ingat, aku menjaga be n ih mu dengan sangat hati hati. Aku sampai off, tidak menerima pelanggan lain."
"Ambilkan buku cekku."
Salah seorang pengawalnya mengambil buku cek dan pulpen mahalnya.
"Satu milyar cukup?" Juhandono menatap wanita yang menjadi kesalahannya ini dengan tajam.
"Ya."
"Tapi kamu juga harus berjanji tidak akan pernah muncul di hadapanku lagi, juga di hadapan anak ini. Selamanya."
"Tentu. Aku akan melupakannya," tandasnya.
"Buatkan sekarang surat perjanjiannya," titahnya pada pengawalnya.
Pengawalnya segera mengambil tablet di dalam mobil dan segera mengetikkannya isi klausul perjanjiannya.
"Mana kartu identitasmu. Pengawalku membutuhkan data data dirimu."
Perempuan muda itu pun memberikan kartunya yang segera diterima sang pengawal yang langsung mengolah datanya.
"Silakan tanda tangan tuan," ucap pengawalnya sambil memberikan tablet dan stylus pennya.
"Kamu baca dulu sebelum tanda tangan." Juhandono menatap perempuan yang ngga sengaja dia tiduri.
Perempuan itu sepertinya ngga butuh waktu lama membacanya. Karenanya dia segera mengambil stylus pennya dan segera menandatanganinya.
Setelahnya Juhandono pun menandatangani di sebelahnya.
"Pergilah jauh jauh. Jangan pernah mendekat atau coba coba mengancam."
Perempuan itu tidak menjawab, dengan tenang memeriksa m-bankingnya.
Tanpa melihat bayinya lagi, perempuan itu langsung berbalik pergi.
Setelah perempuan muda itu pergi, Juhandono menatap bingung pada wajah bayi yang kemerahan dan masih pulas tertidur.
Seolah olah gangguan tadi tidak bisa mengusik kenyamanan tidurnya.
"Apa yang harus aku lakukan padamu," gumamnya. Satu tangannya pun membelai pipi gembul itu.
Awalnya dia berniat menitipkan bayi ini ke panti asuhan saat perempuan itu menghubunginya.
Tapi setelah melihatnya, ada keterikatan yang kuat dalam hatinya terhadap bayi ini.
Baiklah, dia akan menanggung apa pun resikonya.
*
*
*
Istrinya yang baru melahirkan tentu saja seperti mendengar ledakan petir yang sangat keras di telinganya ketika mendengar pengakuannya.
Bahkan kedua orang tua mereka pun meradang.
"Papa tidak sudi memelihara bayi dari perempuan rendah!" semprot papanya setelah terlebih dulu menempelengnya.
"Aku ngga sengaja melakukannya, Pa. Aku dijebak," jelasnya cepat. Pipinya masih terasa panas. Tamparan papanya sangat keras.
"Apa pun alasannya, aku tidak mau cucuku dekat dekat dengannya," seru mamanya nggak kalah marahnya.
Apalagi melihat menantu kesayangannya sedang ditenangkan oleh orang tuanya.
"Dia cucu mama juga," bantah Juhandono membuat yang lainnya tercekat.
"Jaga bicaramu, anak kurang ajar!" sentak mamanya sangat emosional.
"Buang bayi itu ke panti," semprot papanya lagi
"Tidak, papa. Aku akan mengasuhnya bersama Nagita."
"Kamu bicara apa?!" Maminya jadi histeris mendengarnya.
Papanya dan mertuanya menatap Juhandono dengan sorot mata nanar.
"Sayang, aku mohon. Kasihani anak ini. Dia anakku juga." Juhandono bersimpuh di depan istrinya yang masih bersimbah air mata.
"Juhandono! Kamu menyakiti hati putriku," geram papa mertuanya.
"Maafkam aku, Pa. Tapi aku ngga bisa membiarkan dia sendirian di panti. Dia masih punya aku."
"Baiklah. Aku ijinkan bayi itu tinggal.di sini. Tapi dia akan diasuh pengawal yang ikut bersamamu." Mamanya memberikan solusi.
"Ma.....," isak istri Juhandono terkejut dengan solusi yang diambil mama suaminya.
"Kita terpaksa, sayang," bujuknya lembut.
"Aku tidak setuju Okelah kalo kamu tidak mau mengurusnya, aku tidak marah. Biarkan Bik Tina yang mengurusnya. Dia putriku juga.," ngeyel Juhandono sambil bangkit.
"Juhandono!" bentakan papanya sangat menggelegar. Emosinya sudah naek ke ubun ubunnya.
"Aku tetap dengan keputusanku, Papa."
Semuanya melengak kaget dengan kekeraskepalaan Juhandono.
"Terserahlah! Tapi cucu papa hanya Nagita. Ngga ada yang lain," tandas papanya dengan mada suara penuh tekanan.
Kemudian beliau berjalan pergi meninggalkan ruangan yang terasa pengap. Mama dan mertuanya juga ikut melangkah pergi.
Setelah hanya tinggal berdua saja, Juhandono mendekati istrinya.
"Sayang, aku hanya mencintaimu. Tolong jangan jauhkan bayi ini dariku," mohon Juhandono dengan suara bergetar.
Istrinya ngga menjawab, hanya isakannya saja yang terdengar.
"Apa pun permintaanmu, katakan saja. Asal kamu mau membiarkan bayi ini di dekat kita."
Istrinya tau suaminya ngga seratus persen bersalah. Tapi dengan melihat wajah bayi itu yang akan tumbuh besar bersama putrinya, hatinya merasa tercabik cabik. Terbayang pengkhianatan yang dilakukan suaminya bersama dengan seorang perempuan malam.
*
*
*
21 Tahun Kemudian
"Nona Emily, papa tuan sedang menunggu nona."
Emiliy yang masih mematut dirinya di cermin menghela nafas kasar.
Dia ngga betah berada di sana. Ngga ada yang menginginkan keberadaannya. Kecuali papanya.
"Ayo, nona," bujuk Bik Tina dengan sabar.
Terpaksa Emily menuruti permintaan Bik Tina.
Suasana ruang makan yang penuh canda tawa berubah kaku. saat dia mendekat.
"Hai, Emily," senyum Nagita membuat Emily juga membalas senyumnya.
"Ayo, sekarang kita sarapan dulu," ucap Juhandono dengan tatapan lembut pada putrinya.
Emily ngga membantah.
"Jangan lupa malam ini ada pernikahan yang harus kamu datangi, Juhan," tegas kakeknya.
"Iya, pa."
"Kalian datang bertiga. Jangan lupa. Bertiga!" pungkas kakeknya dengan suara beratnya.
Ketiganya ngga menjawab. Memfokuskan pada sarapan masing masing
Emily merasakan sakit yang amat sangat di dalam hatinya. Biarpun sudah sering latihan agar mentalnya tetap bisa sekokoh karang, tapi hal hal ngga penting itu selalu membuatnya insecure.
Ngga ada yang membantah perkataan kakeknya.
Sudahlah. Dia juga ngga berminat datang, batinnya gusar.
Jangankan acara pernikahan relasi papanya yang ngga pernah dia hadiri.
Acara acara kumpul keluarga besar pun, dia selalu ditolak Kedatangannya.
Setelah melewati usia tujuh belas tahun, Emily baru tau kenapa kedua kakek san neneknya ngga menyukainya.
Ternyata dia hanya anak dari kupu kupu malam yang mana ibu kandungnya pun membencinya.
Emily berusaha tetap kuat sampai acara sarapan yang malah membuat perutnya mulas berakhir.
"Bubar bubar! Pengantin mau tidur," usir Quin saat sepupu sepupu dan sahabatnya masih saja berkumpul di dekatnya, padahal acara sudah lama selesai.
Memang ngga disalahkan karena masih banyak juga kerabat dan sahabat sahabat orang tua dan kakek nenek mereka masih ada di sana.
"Sabar Quin. Ngga sabar amat. Masih ada besok juga. Dan besok besoknya," tawa Deva bergelak yang juga diikuti Sean dan para jomblo yang lain.
Quin hanya mendengus.
Pasangan pengantin yang lainnya hanya tertawa pelan. Sedangkan wajah Sheren tampak merona. Dia hanya bisa menunduk malu.
"Jangan dipaksa, Quin. Sheren juga butuh istirahat seperti Ziza dan Ruby," sulut Sean tambah membuat tawa mereka semakin keras.
Sheren tambah semakin menundukkan kepalanya.
Mungkin bagi mereka canda seperti ini hal yang biasa. Tapi bagi Sheren, candaan itu terlalu frontal.
Dia pun ngga akrab dengan sepupu sepupu dajalnya. Mana pernah becanda hangat begini. Terakhirnya dia dianiaya sampai mereka harus merasakan dinginnya lantai penjara.
Hubungan yang sangat sangat tidak menyenangkan jika diingat.
"Sudahlah. Lebih baik kalian pulang," usir Theo juga membela Quin. Karena dia melihat Ruby, Ziza dan Sheren tampak sudah mengantuk.
"Udah ngantuk, ya, By?" senyum Sean mulai dengan wajah jahilnya. Teringat dulu Theo pernah cemburu dengannya dan Ruby.
"Jangan mulai lagi Sean," kekeh Ziyan yang akhirnya mengeluarkan suaranya. Dia sangat tau maksud Sean.
"Ya," sahut Ruby dengan senyum lebarnya.
"Tadi Endru datang, nggak?" pancing Deva.
Mulai, batin Theo kesal.
"Datang." Theo menjawab tenang. Ngga kepancing. Lagi pula kenapa harus marah. Ruby sudah jadi miliknya.
Laki laki itu hanya bisa gigit jari.
"Ya, ya, yang sudah menyadari kesalahannya," kekeh Dewa ikut mengomentari dengan wajah meledek.
"Yang penting, siapa pemenangnya. Theo," timpal Quin semangat membela kembarannya.
"Ya, ya......" Tawa kembali meledak lagi.
"Kalian belum ke kamar?" tanya Jeff yang darang bersama Kaysar.
"Kamu ini...., cepat cari istri." Shaka langsung menjewer telinga adik usilnya.
"Aauuww....," ringis Eriel.
Nih, salah satu bujang tua yang belum nikah nikah karena belum juga sadar sadar, batin Sean mengomel.
Di dekat kakak kembarnya ada kembarannya juga dan seorang perempuan yang masih betah digantung keduanya.
"Belum, dad. Tuh, diusir dulu mereka," sarkas Quin sambil menunjuk empat jomblo yang ada di sana.
Dalam hati bersyukur karena bang Shaka sudah turun tangan.
"Ayo, kita biarkan mereka istirahat," ucap Kaysar menengahi sambil mengedipkan sebelah matanya.
Eriel, Fazza dan Zayn pun mendekat.
"Di maana Nathan?" tanya Eriel karena ngga melihat keberadaan sahabatnya
"Lagi ngobrol sama orang DPR, tuh," sahut Zyan.
"Masalah perjodohan?" tebak Kaysar asal. Karena pejabat legislatif itu membawa anak perempuannya.
"Mungkin. Oh iya, dia juga punya dua anak perempuan, kan," timpal Jeff menyahuti.
"Wah, Dewa Deva bentar lagi menyusul," kekeh Eriel.
Dewa dan Deva yang mendengarkan obrolan itu melirik gadis muda yang ada ditengah tengah empat pasangan paruh baya itu.
"Buat lo aja," ujar Dewa ngga minat.
"Tapi dia cocok sama kamu. Kalem," ejek Deva.
"Berarti kamu mau sama yang satu lagi?" timbrung Quin
Kini tatap mereka mengarah pada gadis muda itu seolah menilai.
"Yang jarang ke ekspos, ya," sambung Ziyan menyahut.
"Yaa.... Tapi kalo yang ini, Deva benar. Dia cocok sama kamu, Wa," timpal Sean yang kupingnya sudah dilepas jewerannya.
"Om rasa juga begitu. Gadis itu cocok buat kamu," ucap Jeff. Kalem dan anggun, serasi dengan Dewa yang dingin dan tenang.
"Ngga bisa. Kalo jadi pasangan malah ntar akan diem dieman aja," protes Eriel.
"Tapi Fazza yang kalem, cocok aja dengan Vanda yang juga kalem," bantah Jeff.
Fazza hanya nyengir saat namanya dikait kaitkan.
"Anakku Ziza juga happy happy aja sama Khalid. Padahal sama sama kalem." Kaysar setuju dengan pendapat Jeff.
"Tapi lebih heboh kalo seperti pasangan Quin dan Theo. Walau pun Ruby ngga heboh heboh banget," tawa Eriel berderai.
Deva dan Dewa saling pandang
"Kamu mau sama.yang itu?" tanya Deva pada kembarannya.
"Yakin kita mau dijodohkan?" Dewa menaikkan satu alisnya.
"Pasti, om yakin banget. Tuh, papa kalian udah manggil," ujar Kaysar sambil meletakkan kedua tangannya di saku celananya.
Deva dan Dewa saling pandang lagi sebelum mendekat.
"Sebaiknya kamu Sean dan juga Ziyan ikut juga. Biar gadis itu punya banyak pilihan," usul Quin membuat tawa dua generasi itu berderai.
"Boleh juga," sahut Eriel setuju.
"Aku setuju. Sana pergi," usir Zayn dalam ngakaknya.
"Urus dulu, Riel, Shaka dan Shakti," tukas Fazza membuat kedua kembaran yang lebih tua dari empat jomblo itu hanya cengengesan.
Gadis muda yang berada di dekat mereka cuma tersenyum simpul. Mereka berteman sejak kecil dan terbiasa bersama.
Terperangkap dalam friendzone memang suka menimbulkan salah paham.
Nathan sempat mengerutkan keningnya melihat Sean dan Ziyan juga ikut bersama Dewa dan Deva.
"Yang kembar ini putraku. Yang dua ini anaknya Eriel dan Zayn," kata Nathan mengenalkan.
Anggota legislatif yang ternyata adalah Juhandono tersenyum bersama istrinya. Dia sudah mendengar persahaban anak anak ini yang udah turunan dari kakek buyutnya.
"Ini putri, Om, Nagita," ucap Juhandono mengenalkan gadis cantik yang nampak lembut itu.
"Dewa."
"Deva."
"Sean."
"Ziyan."
Nagita menyambuti tangan mereka satu per satu.
"Nagita." Senyumnya terukir manis.
"Kalian masih kuliah?" tanya Juhandono ramah.
"Masih, Om. Tinggal sidang," jawab Deva.
"Kalo putri baru semester empat," jelas Juhandono.
"Di kampus mana?" tanya Ziyan.
"Kampus Harapan Negara," sahut Nagita.
Ziyan tersenyum tipis membalas senyum gadis itu.
"Lawan kampus kita voli besok," ucap Sean fast respon.
"Dari kampus Pelita, ya?" tanya Nagita.
"Iya, kampus aku dan Ziyan. Kalo Deva Dewa kampusnya di luar," jelas Sean lagi menyahut
"Oooh....." senyumnya hangat.
Deva menyenggolkan lengannya ke lengan Sean pelan.
Keempat laki laki itu sudah punya tujuan hingga mau mendekat barengan.
"Om, tante, kita bisa bawa Dewa Deva? Mau ada acara para jomblo," ucap Sean berusaha sesopan mungkin.
Nathan dan Zoya tersenyum mengangguk.
"Oh iya, baiklah," senyum Nathan.
Ngga apa, yang penting sudah dikenalkan, batin keduanya.
"Mungkin nanti kalo pertandingan, kita bisa ketemu di kampus kamu. Dewa sama Deva ikut juga, kok," pamit Ziyan dengan senyum tipisnya.
Nagita hanya mengangguk sopan.
"Tapi Nagita sulit mau dukung kalian terang terangan," kekeh Juhandono. Istrinya, Nathan dan Zoya pun tertawa juga
"Tenang, Om. Kita hargai dukungan dalam hati," tawa Deva menanggapi. Sean, Ziyan dan Dewa pun tertawa berderai.
Sekilas dia bertatapan dengan Nagita.
"Boleh juga, Dev. Buat kamu pantas, tuh," cetus Sean setelah mereka cukup jauh meninggalkan Om Nathan dan relasinya.
"Terlalu kalem," tolak Deva. Dia bakalan bingung harus ngomong apa aja kalo hanya berdua saja. Tadi pun cuma senyum, mengangguk dan mengiyakan saja.
Beda dengan Vina yang kerap memprotesnya dan ngga tanggung tanggung saat mengomelinya.
Gadis itu sudah kembali ke Inggris lagi menyelesaikan kuliahnya. Skripsinya belum di acc.
Dia dan Dewa hanya tunggu jadwal sidang saja.
"Rumah tanggamu bakal aman dan damai," komen Ziyan menanggapi.
"Malah terlalu tenang. Aku malah bosan," bantah Deva lagi.
"Oooh.... Jadi kamu lebih suka kalo rumah tanggamu ribut terus tiap detik?" selidik Ziyan.
"Jangan jangan kamu suka sama Vina," tebak Dewa setelah mengamati kembarannya.
"Enak aja. Dengan dia malah darah tinggiku bakalan naek terus," omel Deva menyangkal.
Mungkin dia cukup terbiasa saja dengan kebawelan Vina.
"Cepat stroke, dong," gelak Dewa diikuti yang lainnya.
"Ya, ya. Theo juga sempat bete karena Vina protes terus dan mengomelinya tiap bertemu," kekeh Sean.
Mereka pun tergelak. Teringat masalah Theo dan Ruby dulu. Vina jadi alat Theo agar Ruby cemburu dengannya.
"Theo ternyata lebih kekanakan dibandingkan Quin," cela Sean.
"Mereka berdua sama aja. Hanya saja Theo kelewat pintar menyembunyikan sifat aslinya," gelak Deva.
Tawa pun meledak lagi.
"Aku ngga ikut kalian, ya," pamit Dewa ketika mereka sudah tiba di lobi hotel.
"Mau kemana? Atau mau balik lagi ketemu si Nagita?" ejek Deva.
"Ngawur. Aku mau memeriksa file kerja sama daddy yang baru," jelasnya sambil memberi kode pada valet parkingnya agar segera membawakan mobilnya.
"Kenapa kamu harus kerja sekeras ini, sih. Hari ini kita libur. Lebih baik kita clubbing," tukas Deva mencegah niat kembarannya.
Dewa hanya tertawa.
"Harusnya kamu bersyukur karena Dewa menangani pekerjaanmu," nasehat Ziyan.
"Kamu juga mau pulang?" dengus Deva, karena Ziyan dan Dewa setali tiga uang, sama saja, ngga ada bedanya.
Ziyan tertawa lepas.
"Aku mau tidur. Capek seharian berdiri terus."
"Iya juga, sih. Eh, tapi bukannya besok libur, jadi kita bisa tidur lama," sahut Sean meralat ucapan awalnya.
"Ya, ya. Tapi besok pagi aku mau nemeni daddy mancing."
"Oh iya, ya. Ngomong ngomong kita udah lama ngga mancing lagi," tukas Deva.
"Minggu depan boleh juga, setelah yang bulan madu pulang,' usul Dewa.
"Ya, setuju," sahut Ziyan.
"Oke, kalo gitu," putus Sean.
"Sayangnya kita akan disuguhi keromantisan suami istri," keluh Deva. Dia semakin yakin, kalo Quin akan memanas manasi mereka yang masih jomblo.
"Kalo ada Vina mendingan," sahut Sean. Gadis itu selalu bisa meramekan suasana.
"Skripsinya ditolak terus," tukas Dewa memberitau.
"Ya sudah, Wa. Dikasih tau biar bener. Kamu juga, Va, malah dibiarkan aja," omel Ziyan.
"Bukannya aku atau Dewa ngga mau ngasih tau. Vina tuh ngga mau dibantuin. Quin sama Theo aja yang satu kampus suka ditolak kalo mau bantu," keluh Deva.
"Betul. Katanya dia lebih bangga dengan hasil kerja sendiri," senyum Dewa.
"Cewe mandiri memang. Ngga butuh laki dia," tawa Sean.
Setelah Dewa dan Ziyan pulang, Deva dan Sean saling bertatapan.
"Jadi clubbing?" tanya Sean memastikan. Jangan sampai dia pergi sendirian. Mending tidur seperti Ziyan kalo Deva menolak.
"Jadi, dong."
Wajah Sean langsung sunringah.
"Wokeh...."
*
*
*
Malam ini Emily memilih pergi clubbing bersama kedua temannya dari pada berdiam diri di dalam kamarnya.
Dia beralasan akan mengerjakan tugas kelompok.
Emily mulai berani pergi ke tempat tempat yang dilarang papanya setelah mengenal Carmen dan Nani. Dua orang temannya yang dia kenal sejak dia masuk kuliah.
Hanya mereka yang mau berteman dengannya setelah identitasnya diketahui publik.
Awalnya hanya sekadar untuk menghibur dirinya saja. Dia hanya ingin membuang segala penolakan yang selalu diterimanya tentang keberadaannya selama ini.
Tapi dia keterusan karena ternyata Carnen dan Nani juga paling sering clubbing. Mungkin hampir tiap malam. Hanya saja Emily ngga separah mereka. Dia nggak mau ketahuan papanya dan makin dimarahi kakek neneknya karema sudah mencoreng arang lagi di wajah papanya yang merupakan anggota dewan yang terhormat
"Belum mau pulang nona muda yang terbuang?" kekeh Nani sambil menggoyang goyangkan gelas alkoholnya yang tinggal seperempatnya. Tapi hebatnya dia belum terlalu mabok. Mereka sudah dua jam di sini.
Emily hanya tersenyum. Dia juga sudah meneguk sedikit alkoholnya. Lumayan bisa sedikit meringankan beban berat di kepalanya.
"Ayo, kita ngedance lagi. Paling papa kamu pulangnya masih lama," ujar Carmen sambil menyeret tangan Emily agar melantai bersamanya.
Emily pun melakukannya. Dia meliuk liukkan tubuhnya dengan lincah. Seakan musik yang menghentak bisa membangkitkan semangat hidupnya lagi buat besok hari. Carmen pun mengimbanginya dengan gaya yang lebih sensual. Nani pun ngga kalah heboh ngedancenya.
Deva dan Sean yang baru saja memasuki club langganan mereka, cukup terkesima melihat kehebohan tiga gadis itu yang sedang menari.
Untungnya ini bukan club murahan, sehingga mereka masih belum dimangsa predator.
"Boleh juga," ucap Deva sambil menggerakkan dagunya memberikan petunjuk.
"Ya," senyum Sean agak melebar.
"Lihat cewe itu. Aku akan cium dia. Menurutmu aku bakalan ditampar, nggak?"
"Palingan balas dicium," kekeh Sean.
Deva pun mendekat.
Carmen dan Nani yang duluan sadar langsung melemparkan senyum manisnya
Ganteng banget, puji Carmen dalam hati.
Wow, dewa yunani turun ke.bumi, sorak Nani dalam hati.
Carmen dan Nani tanpa malu malu mengalungkan tangan mereka ke leher Deva.
Deva hanya tersenyum sambil melirik Emily yang tetap cuek dan masih asyik saja bergoyang seakan dia hanya sendirian saja.
Sementara itu Carmen dan Nani makin berani. Mungkin mereka juga sudah setengah mabuk.
Tapi Deva membiarkannnya saja sampai akhirnya dia mendapatkan perhatian targetnya.
"Carmen, Nani! Kalian ngapain?" Emily baru tersadar saat melihat teman temannya bermesraan dengan seorang laki laki yang tampak membiarkan saja dirinya dile-cehkan oleh kedua temannya.
Yang menjijiklan kedua tangan laki laki itu dengan entengnya memegang bagian bagian sensitif temannya. Dan keduanya malah kesenangan sepertinya.
Dia langsung menyeret kedua temannya agar menjauh. Dia yakin temannya ngga sadar karena sedang mabuk.
Tapi karena dia juga mulai sedikit mabuk, tubuhnya jadi agak limbung saat menarik kedua temannya dengan sekuat tenaga.
"Kamu ngga apa apa?" lembut suara Deva menyapa saat menahan tubuh Emily yang hampir jatuh. Sementara kedua temannya malah jatuh karena tarikan kerasnya.
CUP
Deva mencium pipi Emily sekilas membuat gadis itu terpaku.
"Hati hati pulangnya," ucap Deva sambil mengerling pada Sean yang tergelak.
Deva pun melangkah meninggalkan Emily yang linglung sesaat. Selain kaget, kepalanya juga terasa pengar.
"Eh, kalian ngga apa apa?" Dia baru tersadar setelah melihat kedua temannya menatap marah padanya, masih dengan posiisi keduanya yang jatuh terduduk di lantai.
"Pikir lo!" kesal Carmen.
"Sorry, aku ngga sengaja. Aku mau nyelamatin kalian." Emily bermaksud menolong tapi langsung ditepis tangannya oleh Carmen dan Nani.
"Emily....! Kamu nyebelin," seru Nani marah. Dengan agak kesusahan dia bangkit dari jatuhnya
"Sakit, ya?" Emily langsung merasa bersalah. Niat baiknya disalahartikan. Tapi juga memang salahnya juga.
"Sakit tau, Emily," sungut Carmen sambil menepuk nepuk bagian roknya yang berdebu.
Emily melayangkan netranya mencari laki laki kurang ajar yang tadi sempat mencium pipinya.
Yang memyebalkan tadi kenapa dia harus freeze saat dikecup pipinya tadi.
Gara gara alkohol si-alan. Awas aja kalo nanti ketemu lagi! ancamnya dalam hati yang dipenuhi kemarahan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!