Disebuah Rumah Sakit, Dina dengan perut membesar, mengerang kesakitan. Dari sela-sela kakinya yang telah memerah akibat darah yang merembes keluar.
"Siapkan ruang operasi, pasien harus segera dioperasi" Teriak dokter yang berjaga kepada para perawat yang ikut mendorong brankar menuju ke ruang operasi. "Panggil dokter Ester dari obgyn" teriaknya lagi.
"Dokter Fina, saya sudah menghubungi bagian obgyn untuk segera menuju ruang operasi" teriak salah seorang suster.
"Pertama-tama, kita harus menghentikan pendarahannya terlebih dulu. Kalau tidak ibu dan bayi yang dikandung tidak akan selamat" seruan dokter Fina terdengar oleh Ronny yang mengikuti mereka dibelakang.
Sontak, pria itu langsung meraih tangan dokter wanita itu, "Lakukan apapun untuk menyelamatkan anak saya. Saya tidak peduli kalaupun saya harus kehilangan istri saya" ucapan Ronny membuat kening dokter Fina berkerut, tapi dia tidak mengatakan apapun untuk membalas ucapan Ronny, karena prioritas utamanya adalah menyelamatkan pasien yang ada dihadapannya sekarang.
"Silahkan anda tunggu diluar" ucap seorang suster, setelah mendapat isyarat untuk menyingkirkan Ronny dari hadapan dokter Fina.
Diluar ruang operasi, Ronny duduk dengan kalut. Apa yang terjadi hari ini, merupakan kesalahannya. "Bagaimana kalau dia tidak selamat?" tanya wanita yang duduk disampingnya takut - takut.
Ronny menoleh, seketika tatapan matanya berubah melunak, "Jangan khawatir" ucapnya.
"Justru akan jauh lebih baik bagi kita, jika wanita itu mati. Dengan begitu, tidak akan ada yang tahu tentang kejadian hari ini" ucap Ronny lagi.
Wanita itu menjadi sedikit lebih tenang setelah mendengar ucapan Ronny kepada dirinya. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya ketika dirinya menyandarkan kepalanya di bahu pria yang telah menjadi kekasihnya selama 2 tahun terakhir.
"Ya, Ronny memilihku daripada perempuan rendahan seperti Dina. Tidak mungkin perempuan seperti Dina bisa mengalahkanku" seringainya lagi.
"Sebaiknya kau sekarang pulang, tidak ada yang bisa kau lakukan disini. Selain itu, aku juga harus menghubungi keluargaku. Kita tidak mau kalau sampai papa mengetahui hubungan diantara kita berdua, bukan?" bujuk Ronny.
"Tapi, aku masih ingin bersama denganmu" rengek Tari manja.
"Tolong mengerti posisiku sekarang. Tidak akan terlihat baik bagiku, jika kita terlihat bersama disaat Dina sedang berjuang antara hidup dan mati. Setelah semuanya selesai aku akan menemuimu, ini untukmu kau belilah tas yang sudah lama kau inginkan" kata Ronny.
Tari menurut dan segera meninggalkan Ronny sendirian setelah menerima kartu ditangannya.
***
Lampu ruang operasi bersinar tajam, memantul di atas alat-alat bedah yang tertata rapi. Suara monitor detak jantung terdengar teratur, tapi aura tegang menyelimuti seisi ruangan. Dina terbaring di meja operasi, matanya setengah terpejam karena pengaruh anestesi, rasa cemas diwajahnya tak bisa disembunyikan lagi dari kerut di dahinya. Di sisi tubuhnya yang terbuka, dokter dan perawat bergerak cepat. Wajah mereka diselimuti keseriusan yang mencekam.
"Tekanannya turun!" suara dokter anestesi memecah keheningan, menandai awal dari krisis yang tak terduga. Mesin yang sebelumnya berdetak stabil, mulai berbunyi cepat—sebuah peringatan. Aliran darah begitu deras, lebih banyak dari yang diperkirakan, menggenangi kain steril dan membasahi lantai.
Para perawat saling bertukar pandang, sementara dokter bedah mengerahkan seluruh fokusnya untuk menemukan sumber perdarahan. "Cepat, lebih banyak klem," ujarnya tegas, tetapi di balik nadanya tersimpan kekhawatiran. Waktu seakan melambat, setiap detik terasa begitu lama.
Dina berjuang di antara kesadaran yang mulai kabur, napasnya pendek dan berat. "Ini bukan perdarahan biasa. Kita harus bertindak cepat atau kita akan kehilangannya," bisik Fina, yang bertanggung jawab sebagai dokter utama dengan tegas, sambil mengisyaratkan perawat lainnya untuk menyiapkan transfusi darah darurat.
Tim medis bekerja keras berusaha mengejar waktu. Suara alat medis dari logam mulai berdenting, napas mereka terdengar berat di balik masker bedah. Setiap gerakan dilakukan dengan penuh kehati-hatian, tujuan mereka hanya satu, menyelamatkan nyawa ibu dan juga bayi yang sedang dikandung.
"Ayo, kita pasti bisa selamatkan dia. Fokus!!!" bisik Fina pada dirinya sendiri, saat tangannya bergerak terampil membedah tubuh Dina, dibantu pleh rekan sejawatnya, namun tak dapat dipungkiri jika saat ini detak jantungnya berpacu kencang.
Waktu terus bergulir, seakan berpacu dengan takdir yang mulai samar. Mereka tahu, detik-detik itu bisa berarti perbedaan antara hidup dan mati. Suasana di ruang operasi semakin tegang. Perawat dengan cekatan mengganti kantong darah yang mulai kosong, menggantinya dengan kantong darah lain yang perlahan mengisi tubuh Dina di meja operasi. Warna merah yang pekat mengalir melalui selang, memberikan harapan baru di tengah situasi yang begitu genting. Monitor detak jantung masih berbunyi, namun iramanya kini semakin tak menentu. Para dokter tetap tenang di luar, namun di dalam hati mereka, waktu terasa seperti musuh yang bergerak cepat.
“Tekanan darahnya mulai naik, tapi kita belum keluar dari masalah,” gumam Fina sambil memegang erat alat medis di tangannya. Di sebelahnya, seorang perawat menyeka keringat yang mengalir di dahi sang dokter. Tangan Fina berusaha tetap stabil, meskipun ketegangan jelas terlihat di wajahnya. Mereka semua tahu bahwa satu kesalahan kecil bisa mengakhiri segalanya.
“Sedikit lagi... Kumohon sedikit lagi.....” kata Fina, suaranya teredam oleh masker bedah yang dikenakannya. Jari-jarinya menari dengan cekatan di atas luka operasi, seperti seorang maestro yang mengarahkan orkestra di ambang klimaks simfoni. Darah yang mengalir mulai bisa dikendalikan, tetapi mereka masih harus berhati-hati.
Detik-detik berlalu begitu cepat terasa sangat lama. Tiba-tiba, suara mesin berubah lagi—kali ini lebih stabil, lebih tenang. Monitor detak jantung kembali berdetak dengan irama yang teratur. Para dokter saling menatap, ada harapan di mata mereka. “Kita berhasil mengendalikan perdarahannya,” kata Fina dengan nada lega yang tak bisa dia sembunyikan.
Seorang perawat mengambil langkah maju, mendekati monitor dan mencatat hasil vital yang kini mulai membaik. Dia melirik Dina yang terbaring lemah namun mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Di sudut ruangan, suara tangisan kecil terdengar—bayi yang baru lahir. Tangisnya menggema di seluruh ruang operasi, memecahkan keheningan yang selama ini terasa begitu menekan.
“Bayinya selamat!” seorang suster berseru, membawa si kecil yang terbungkus kain steril mendekati inkubator yang sudah dipersiapkan. Bayi itu menangis keras, suaranya seperti sebuah kemenangan setelah perjuangan panjang. Dina masih tak sadarkan diri, tetapi tubuhnya kini stabil, perlahan berjuang untuk pulih dari pergulatan hidup dan mati.
“Akhirnya,” kata Fina dengan napas lega, melepaskan sarung tangan bedahnya. Seluruh ruangan terasa seolah mengembuskan napas yang telah ditahan selama berjam-jam. Mereka berhasil. Sang ibu, yang hampir terenggut oleh maut, kini berada di ambang pemulihan.
Para perawat mulai merapikan alat-alat, suara gemerisik kain steril menggantikan ketegangan yang sebelumnya menggantung di udara. Dokter obgyn menoleh sejenak ke arah bayi yang kini terbungkus rapi dalam inkubator kecil. Tangisnya telah mereda, tetapi suaranya tadi menjadi bukti nyata bahwa hidup baru telah hadir, bahkan di tengah bayang-bayang krisis.
Ruang operasi yang tadi terasa mencekam kini dipenuhi oleh keheningan damai. Para petugas medis, meski letih, berbagi tatapan yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang telah melewati batas tipis antara kehidupan dan kematian, dan kembali dari sana dengan kemenangan.
Di luar ruang operasi, Ronny yang telah menunggu dengan cemas, melihat pintu terbuka. Fina, dokter yang memimpin operasi keluar dengan wajah yang masih lelah tapi penuh harapan. "Istri Anda selamat, dan bayi Anda baik-baik saja."
Wajah Ronny menegang, raut wajahnya menunjukkan rasa tidak suka dengan kabar yang baru saja dia dengar, "Jadi istri saya selamat? Dia tidak meninggal?" tanya Ronny.
"Ya, istri anda selamat, dan putra anda juga lahir dengan sehat" kata Fina dingin.
Ronny memukul tembok kosong disampingnya, wajahnya tampak frustasi.
"Baiklah, terima kasih atas informasinya, saya permisi, saya harus memberi tahu keluarga yang lain" kata Ronny seraya berlalu meninggalkan Fina sendirian.
"Bajingan!!!" bisiknya lirih, manakala dia mengingat bekas memar yang memudar disekujur tubuh Dina. Sebagai seorang profesional, dia bisa menebak bahwa pasien yang ada didepannya mengalami tindak kekerasan sebelumnya.
"Dokter Ester, sepertinya pasien merupakan korban kekerasan. Ditubuhnya terdapat banyak bekas memar dan lebam yang sudah memudar. Menurutmu, apa yang harus kita lakukan?" tanya Fina pada Ester, dokter obgyn yang membantunya dalam operasi.
"Sebaiknya kau tidak melakukan apapun, kau tahu kan siapa pasien ini? Dia adalah menantu dari orang yang memiliki pengaruh tinggi. Kalau kau masih ingin mempertahankan pekerjaanmu, lebih baik kau menutup mata soal ini" saran Ester.
"Tapi aku seorang dokter, bagaimana aku bisa mengabaikan hal ini?" seru Fina.
"Fina, aku paham bagaimana perasaanmu. Tapi ada beberapa hal yang tidak bisa kau atasi, dan tidak semua pasien yang membutuhkan bantuan harus kau tolong. Kau sudah melakukan kewajibanmu menyelamatkan nyawanya, selebihnya sebaiknya kau tidak ikut campur. Tidak akan ada hal yang baik, kalau terlibat dengan keluarga mereka" Ester berlalu setelah mengatakan hal itu pada Fina.
****
Masih terekam jelas di benak Fina, seorang dokter bedah dengan jam terbang tinggi, saat dirinya memimpin operasi salah satu pasiennya bernama Dina, yang harus melahirkan dengan operasi caesar. Saat Dina tiba dirumah sakit, tubuhnya tampak lemah dan tak berdaya.
Saat dia memulai, dan bagian tubuh Dina terbuka untuk operasi, mata Fina membelalak. Di balik gaun operasi, kulit Dina penuh lebam, memar berwarna ungu pekat, seperti bekas kekerasan yang lama disembunyikan.
Fina tak bisa menahan detak jantungnya yang mendadak berdebar kencang. Ada luka yang lebih dalam di balik kulit Dina—luka yang tak hanya bisa diobati dengan obat-obatan. Pikirannya berkecamuk, haruskan ia diam? Namun, insting keadilannya lebih kuat dari rasa takutnya.
Setelah operasi selesai dan Dina dibawa ke ruang pemulihan, Fina tahu apa yang harus dilakukan. Di balik diamnya, ia menyalakan telepon genggamnya dan menghubungi pihak berwenang. Ia melaporkan apa yang dilihatnya, tak peduli risikonya. Namun, ia tidak tahu bahwa tindakan berani ini akan mengubah hidupnya dalam hitungan hari.
Ronny, suami Dina, berasal dari keluarga yang cukup terpandang dan berpengaruh. Namanya dikenal di banyak kalangan, dan kekuasaan yang dimilikinya cukup untuk menutupi segala kebenaran. Begitu laporan itu sampai ke polisi, kabar tersebut dengan cepat kembali ke telinga Ronny. Dalam hitungan jam, Ronny menghubungi direktur rumah sakit. Sebuah percakapan yang hanya berlangsung beberapa menit itu cukup untuk mengubah nasib Fina.
“Kau sudah melewati batas,” ucap direktur itu dingin, tatapan matanya tajam menusuk, seolah tak ada ruang untuk penjelasan. “Kamu dipecat, efektif per hari ini.”
Fina terpaku. Kata-kata itu menggema di kepalanya, lebih keras dari sirene ambulans yang biasa ia dengar setiap hari. "Apa maksudnya, Dok?" suaranya pecah, tak percaya.
"Kau sudah tahu alasannya. Pak Ronny mengetahui seseorang telah melaporkan sesuatu ke polisi. Dan itu menyangkut nama baiknya dan juga keluarganya. Kau tahu kan kalau keluarganya memiliki pengaruh yang cukup besar. Aku tidak punya pilihan selain memecatmu" ujar direktur itu, suaranya terdengar berat namun tak ada tanda belas kasihan di matanya.
Fina berontak. “Tapi ini tidak adil! Aku melaporkan karena ini masalah kemanusiaan. Dina—dia—dia dianiaya! Apa kalian akan menutup mata dengan kejadian ini? Aku yakin jika pelakunya adalah suaminya sendiri!!!”
"Tuduhanmu itu tidak memiliki bukti. Bagaimana kau bisa begitu yakin pelakunya adalah suaminya, kau tidak berpikir jika kau bisa saja dituduh melakukan pencemaran nama baik!!!" teriak direktur rumah sakit.
Direktur rumah sakit itu menggeleng, tanpa sedikitpun menunjukkan empati. Keputusan sudah bulat, tak bisa diubah. Fina resmi dipecat dari rumah sakit tempatnya bekerja.
Fina keluar dari ruangan direktur, menahan getar di lututnya yang lemah. Matanya berkaca-kaca, bukan karena takut, melainkan karena marah. Langkah kakinya gemetar saat dirinya melangkah menuju ruangannya sendiri. Dengan tangis tertahan, Fina mengemas barang-barangnya. Ia tahu, meski kebenaran ada di pihaknya, kekuasaan sering kali lebih besar dari kebenaran itu sendiri. Tapi dalam hatinya, meski kalah, ia tak menyesal. Ia memilih untuk melindungi seorang wanita yang mungkin tak bisa melindungi dirinya sendiri, meski harus kehilangan segalanya.
****
Selang beberapa hari kemudian,
Dina duduk di sudut kamar, memeluk putranya yang baru lahir dengan kehangatan yang hanya bisa diberikan oleh seorang ibu. Bau harum bayi yang lembut dan suara napas kecil di dadanya sejenak menenangkan kegelisahan hatinya. Namun, semua ketenangan itu seolah hancur berantakan ketika Ronny, suaminya, tanpa perasaan menyerahkan selembar surat di depannya. Surat cerai. Surat itu bagai pukulan keras yang tak terduga, menghantam hati Dina lebih keras dari apa pun yang pernah ia bayangkan.
Wajah Dina pucat. Matanya menelusuri tulisan kaku yang ada di kertas tersebut, dan lebih parah lagi, di sana tertera bahwa hak asuh putra mereka diberikan sepenuhnya kepada Ronny. Hatinya mencelos, seperti ada jurang yang tiba-tiba terbuka di bawah kakinya.
“Ini... apa maksudmu, Ronny?” suaranya bergetar, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
Ronny hanya memandangnya datar. Wajah pria yang dulu pernah ia cintai itu kini berubah begitu dingin, hampir asing. "Tandatangani saja. Semakin cepat selesai, semakin baik," katanya tanpa sedikit pun keraguan.
Dina menggelengkan kepalanya, matanya mulai memerah, tapi bukan karena kelemahan—melainkan kemarahan yang perlahan menyala. "Aku tidak akan menyerahkan anakku padamu. Apalagi setelah semua yang kau lakukan!" katanya dengan suara yang mulai meninggi.
Ronny menyeringai kecil, sinis. "Ini bukan soal dirimu, Dina. Hak asuh sudah aku atur. Anak kita akan lebih baik bersamaku."
Dan di saat itulah, luka itu terbuka lebih dalam. Dina baru saja melahirkan, tubuhnya masih lemah, emosinya rapuh, namun pengkhianatan itu tak terelakkan. Tari—sahabatnya, seseorang yang selama ini ia percaya seperti saudara—ternyata berselingkuh dengan Ronny di belakangnya. Seketika rasa sakit itu berubah menjadi dendam yang tak terbendung.
“Aku tahu tentang kau dan Tari,” bisik Dina, suaranya sarat dengan kekecewaan yang tajam. "Kau pikir aku akan menyerah begitu saja setelah kau menghancurkan semuanya?"
Ronny tertawa kecil, seolah apa yang baru saja dikatakan Dina hanyalah lelucon murahan. “Kau anak yatim piatu, Dina. Kau tidak punya siapa-siapa. Siapa yang akan membelamu? Siapa yang akan memihak padamu?” katanya dengan ejekan yang menusuk.
Tapi Dina tak gentar. Matanya menatap Ronny dengan api yang baru menyala. “Aku memang tidak punya keluarga kandung, tapi aku tahu papa mertuaku mencintaiku seperti anaknya sendiri. Beritahu dia tentang ini, Ronny. Aku ingin melihat bagaimana dia bereaksi setelah tahu apa yang sudah kamu lakukan.”
Wajah Ronny yang tadinya tenang berubah seketika. Matanya menyipit, dan dia mendekatkan wajahnya ke Dina. “Papa tidak akan peduli soal ini,” katanya dengan suara rendah dan dingin. Tapi ada sedikit keraguan di sana, sedikit kilatan di matanya yang menandakan bahwa Dina mungkin telah menyentuh titik lemahnya.
Dina menggenggam putranya lebih erat, perlahan berdiri meski tubuhnya masih terasa lemah. “Kita lihat saja nanti,” ujarnya tegas. “Aku tidak akan menyerah. Bukan padamu, bukan pada Tari, dan bukan pada siapa pun.”
Dina berdiri di tengah ruangan, wajahnya berapi-api ketika melihat Tari yang tersenyum sinis yang jelas-jelas menantang. "Tari," suaranya tajam, "apa kau sudah merasa cukup bangga merebut suamiku? Wanita murahan sepertimu hanya tahu menghancurkan kebahagiaan orang lain!"
Tari terkejut sejenak, lalu tersenyum lebar, seolah mendapat hiburan dari kemarahan Dina. “Kau seharusnya berterima kasih, Dina. Kini Ronny bisa mendapatkan kebahagiaan yang tidak bisa kau berikan. Toh, kau hanya seorang perempuan yang tak berharga.”
Dina merasa darahnya mendidih. Kata-kata Tari itu seperti sembilu yang menghujam tepat di jantungnya. Tapi sebelum ia sempat melanjutkan serangannya, Ronny menginterupsi dengan tindakan yang lebih brutal. Dalam sekejap, telapak tangan Ronny menghantam pipi Dina, suara tamparan itu menggema di ruangan, menandai seolah dunia terhenti sejenak.
“Cukup, Dina!” teriak Ronny, suaranya dipenuhi kemarahan. “Tandatangani surat ini, atau aku tidak segan-segan melakukan lebih jauh!”
Dina terhuyung, merasakan panas dan perih di wajahnya, namun semangatnya tidak padam. Dia tidak akan menyerah. “Aku tidak akan menyerahkan Gio!” teriaknya, suaranya penuh ketegasan. “Dia adalah anakku! Lebih berharga daripada apapun bagiku!”
Ronny maju, tidak mau kalah. Dia mengarahkan pandangannya ke ajudannya, dan dalam sekejap, dua pria berjas rapi mendekat. “Ambil Gio!” perintahnya tegas, matanya membara dengan ancaman. “Bawa dia kemari. Jangan biarkan wanita busuk ini membawa anakku.”
Dina melihat ke arah baby sitter yang berdiri cemas di sudut ruangan, dan saat itu juga dia merasakan ketakutan yang mendalam. “Tidak!” teriaknya, melangkah maju dengan berani. “Jangan berani mendekat! Gio adalah anakku!”
Dina meronta, berjuang melawan pegangan dua pria itu yang berusaha merebut Gio darinya. Jeritan penuh emosi memenuhi ruangan, saat Dina berusaha menggenggam putranya yang baru berusia beberapa hari itu. “Gio, sayang! Mama di sini! Mama tidak akan membiarkan mereka membawamu pergi!”
Kepanikan menyelimuti Dina. Meskipun tubuhnya lemah dan bergetar, Dina tidak akan menyerah. Rasa sayangnya kepada Gio melampaui rasa sakit dan rasa takut yang menyerang jiwanya. Baginya, bercerai itu tidak masalah—tapi menyerahkan anaknya? Itu adalah batas yang tidak akan pernah ia lewati.
Menggunakan Gio sebagai ancaman, Ronny akhirnya berhasil memaksa Dina untuk menandatangani surat cerai mereka. Kekuatan ancaman di balik suara dinginnya cukup untuk mengoyak hati Dina. Dengan Gio yang masih dalam gendongan baby sitter dibelakang Ronny, dia merasa terjepit dalam keadaan yang tak terbayangkan. “Tandatangani, atau aku akan memastikan kau tidak akan pernah melihat Gio lagi,” kata Ronny, suaranya serak menekan.
Dengan air mata mengalir, Dina terpaksa menggenggam pena dan mencoretkan namanya di surat itu. Seperti sebuah belati yang menusuk jantungnya sendiri, tanda tangan itu terasa seperti sebuah hukuman mati baginya. Setelah itu, Ronny segera mengusirnya keluar dari rumah dengan sikap angkuh.
“Keluar! Kamu tidak layak tinggal di sini!” teriaknya.
Dina melangkah mundur, wajahnya penuh kebingungan dan kepedihan saat dia melihat Gio, bayinya yang berharga, menatapnya dengan mata besar yang penuh air mata. Seolah merasakan kesedihan ibunya, Gio menangis keras, suaranya mengiris hati Dina. “Gio! Anak Mama!” teriaknya, suaranya menggema dalam kepanikan yang menyedihkan.
“Gio, sayang!” Dina berteriak, melangkah maju, ingin merengkuh anaknya. “Mama di sini! Mama tidak akan pergi!”
Namun, saat dia mencoba memasuki rumah, pihak keamanan menghalanginya, menjaganya agar tidak mendekat. “Maaf, Nona. Anda tidak bisa masuk,” kata salah satu petugas dengan wajah tanpa ekspresi.
Dina meronta, mencoba melewati mereka, namun sia-sia. Rasanya semua kekuatannya hilang, tergerus oleh rasa putus asa. Jeritannya membahana di udara, tetapi tidak ada yang peduli. Hatinya remuk melihat Gio yang terus menangis, bayi yang baru beberapa hari menikmati air susu darinya dipaksa untuk berpisah dengannya.
Ronny, berdiri di depan pintu, hanya menyaksikan drama itu dengan mata penuh kepuasan. Dia lalu memberi isyarat kepada para pengawalnya, yang segera menghampiri Dina. “Bawa dia pergi!” perintahnya, suaranya tegas dan penuh kuasa.
Dina dipaksa keluar dari rumah itu, setiap langkah terasa berat, Dina seperti berjalan di atas serpihan duri yang runcing. Mereka menyeretnya menjauh, membawanya ke jalanan sepi yang jarang dilalui kendaraan. Di sana, salah satu dari mereka melemparkan segepok uang ke arah Dina, uang itu berhamburan di tanah seolah sebuah lelucon konyol.
“Ini untukmu, Nona. Belanjakan dengan baik. Mungkin kau bisa membuat anak lagi dengan pria lain” ejeknya sambil tertawa, suaranya mengisi udara dengan kebencian.
Dina terjatuh di atas uang yang berserakan, hatinya hancur melihat bagaimana kehormatan dan cintanya diremehkan dengan begitu mudah. Air matanya jatuh, bercampur dengan debu dan rasa malu yang tak tertahankan. Seolah dunia ini tak lagi mengenalnya, semua harapan dan cinta yang pernah dia miliki sekarang terhempas jauh.
***
Dina berjalan tanpa tujuan di jalanan sepi, pikiran dan hatinya bergejolak. Setiap langkah kakinya terasa semakin berat, dan rasa sakit akibat kehilangan Gio menghimpit dadanya. Dalam keputusasaannya, dia mulai merasa seolah tidak ada lagi jalan yang bisa dilalui. Dalam keheningan itu, saat suara langkahnya hilang ditelan malam, dia mendongak melihat cahaya sinar mobil yang meluncur menuju arahnya.
Dengan keputusasaan yang mendorong, Dina melangkah ke tengah jalan. Hatinya berdebar, dan seolah mengharapkan kematian segera menjemputnya. “Lebih baik ini berakhir,” bisiknya pada diri sendiri, merasakan keinginan untuk mengakhiri semua penderitaan yang telah menimpanya.
Namun, mobil itu, meskipun melaju cepat, berhasil menghentikan lajunya tepat di depan Dina. Bunyi klakson menggema, diiringi suara rem yang menggerung keras. Sopir yang panik segera membelokkan setirnya, dan mobil itu berhenti hanya dalam jarak beberapa inci dari tubuh Dina yang terjatuh di aspal.
Di dalam mobil, seorang wanita yang baru saja kembali dari kunjungan ke makam putrinya yang meninggal tiga bulan lalu, terkejut. Dia menatap ke depan dengan penuh tanda tanya, “Apa yang terjadi?” tanyanya dengan suara lembut dengan wajah yang tampak tenang meskipun dia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
Segera, dia meminta sopir pribadinya, seorang pria yang setia menemaninya selama bertahun-tahun. “Coba kau periksa dulu” perintahnya tegas.
“Maaf, Bu. Ada seorang wanita terjatuh di tengah jalan,” jawab sopirnya, cepat-cepat membuka pintu dan keluar untuk memeriksa keadaan.
Rita merasakan hati nuraninya tergerak saat melihat DIna tergeletak tak berdaya di tengah jalan. “Bawa dia masuk ke dalam mobil!” perintahnya. “Kita tidak bisa membiarkannya seperti ini.”
Sopir itu segera kembali, membantu Dina yang terkulai lemah. Dengan hati-hati, mereka mengangkat tubuhnya dan membawanya masuk ke dalam mobil. Ketika tubuh Dina diletakkan di kursi belakang, Rita menatap wajahnya yang pucat, hatinya bergetar oleh rasa iba.
“Bagaimana bisa dia berada dijalanan dalam kondisi seperti ini?” tanyanya dalam hati, tetapi untuk saat ini, yang terpenting adalah memberikan pertolongan—mungkin, ada sesuatu yang bisa dia lakukan untuk membantu.
Sopirnya menyalakan mesin kembali, dan mobil melaju pelan, meninggalkan jalan sepi itu. Rita menatap ke arah jendela,sambil sesekali melirik ke arah kaca spion yang mengarah ke kursi belakang penumpang.
***
Mobil itu meluncur masuk ke dalam halaman sebuah rumah mewah, dikelilingi oleh taman yang terawat rapi dan pepohonan hijau yang menjulang tinggi. Begitu pintu mobil dibuka, Rita segera melangkah keluar, hatinya masih penuh rasa prihatin untuk wanita yang baru saja mereka bawa. Namun, langkahnya terhenti saat Ferdi, putranya yang berusia tiga puluh tahun, berlari menghampiri dengan wajah berkerut, jelas terlihat bahwa ia sedang dalam keadaan marah.
“Kenapa kau pergi ke makam Fifi tanpa memberitahuku, Mi?” komplainnya, nada suaranya mencerminkan ketidakpuasan yang mendalam. “Aku seharusnya bisa ikut!”
Rita menatap putranya, senyum lembut mengembang di wajahnya meski ia tahu Ferdi sangat khawatir. “Maaf, sayang. Mami hanya ingin sendiri sebentar,” jawabnya dengan tenang, mencoba menenangkan suasana. “Tapi itu tidak penting sekarang. Ada hal yang lebih mendesak.”
Ferdi mengerutkan kening, melihat ke dalam mobil dan mendapati sosok wanita yang tidak dikenal terbaring tak berdaya. “Mi, siapa dia?” tanya Ferdi, matanya penuh rasa curiga.
“Dia butuh bantuan, Ferdi. Panggil dokter keluarga kita,” pinta Rita dengan tegas, tidak ingin membuang waktu.
Kekhawatiran mendalam muncul di wajah Ferdi. “Tapi, Mi! Bagaimana jika dia adalah orang jahat? Atau hanya berpura-pura?” nada suaranya terdengar cemas, imajinasinya mulai berlari.
Rita menggelengkan kepala, berusaha menenangkan putranya. “Aku merasakan ada sesuatu yang baik dalam dirinya. Kita tidak bisa hanya menilai dari penampilan. Dia butuh kita sekarang, dan mami tidak bisa membiarkan dia terbaring di jalanan begitu saja.”
Ferdi menghela napas, antara rasa khawatir dan keinginan untuk patuh pada ibunya. Dia tahu betapa besar kasih sayang Rita terhadap orang lain, tetapi masih ada keraguan dalam dirinya. Namun, melihat keyakinan di mata ibunya, dia mengangguk perlahan. “Baiklah, aku akan memanggil dokter. Tapi jika dia berbahaya—”
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, sayang. Kita akan melakukan yang terbaik untuknya,” potong Rita dengan lembut, meyakinkan Ferdi. “Tolong, cepatlah.”
Ferdi mengangguk, meski dalam hatinya masih ada sedikit rasa cemas. Dia bergegas ke dalam rumah, meninggalkan Rita yang kini duduk di samping Dina, memeriksa pernapasannya. Dalam hatinya, Rita berharap bahwa keputusan ini adalah langkah tepat, bukan hanya untuk menyelamatkan wanita yang terbaring tak berdaya di hadapannya, tetapi juga untuk mengisi kekosongan yang dirasakannya setelah kepergian putrinya.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!