Aluna mematut dirinya di depan cermin, mencoba menenangkan detak jantungnya yang seakan berlomba melampaui waktu. Hari ini adalah momen besar: acara temu penggemar pertamanya sebagai seorang penulis. Buku terbarunya, Rahasia Sang Selir, telah berhasil menyihir para pembaca, dan dalam waktu singkat, novel ini menjadi buku terlaris di berbagai toko buku di seluruh negeri.
“Semuanya akan baik-baik saja,” gumam Aluna sambil meluruskan rambutnya yang jatuh lembut di bahu. Wajahnya, yang dihiasi riasan tipis, tampak memantulkan sedikit kekhawatiran di cermin.
Aluna tak pernah membayangkan dirinya bisa berdiri di titik ini. Ia hanyalah seorang wanita biasa yang hobi menulis, menghabiskan berjam-jam di kafe untuk menyusun kisah-kisah romansa klasik yang ia sukai. Namun, seiring berjalannya waktu, ketertarikannya beralih ke kisah-kisah berlatar kolosal Korea, dan entah bagaimana, ide tentang seorang selir istana yang membawa rahasia kelam menggelitik imajinasinya.
“Aluna, ayo cepat, mobilnya sudah menunggu di bawah!” teriak sahabatnya, Mira, yang setia menemaninya ke mana pun.
“Ya, aku tahu! Aku hanya ... sedikit gugup.” Aluna menghela napas panjang, menenangkan dirinya. Tidak setiap hari ia dihadapkan pada kesempatan untuk bertemu langsung dengan para pembaca yang mencintai karyanya.
Dengan langkah ringan, Aluna mengambil tasnya dan melangkah keluar dari apartemennya. Saat ia masuk ke dalam mobil, Mira menyambutnya dengan senyuman jahil.
“Gimana, siap jadi bintang hari ini?”
“Bintang? Lebih tepatnya, aku hanya ingin tidak tersandung di depan mereka,” jawab Aluna sambil tertawa kecil, berusaha mengusir rasa gugupnya.
Sepanjang perjalanan, Mira terus berbicara tentang betapa besar antusiasme para penggemar yang ingin bertemu dengan “ibu dari Rahasia Sang Selir,” sebuah julukan yang kini menjadi lekat dengan namanya. Aluna tersenyum mendengarnya, meskipun dalam hati ia merasa gugup.
"Ini semua terasa seperti mimpi," bisik Aluna pada dirinya sendiri. Dalam benaknya, ia mengingat kembali momen-momen di mana ia berjuang menyelesaikan naskah Rahasia Sang Selir. Setiap karakter, setiap plot twist, semuanya ia bangun dengan hati-hati. Kisah cinta segitiga antara Putri Kang-Ji, Pangeran Ji-Woon, dan Hae-Ri, sosok selir ambisius yang penuh intrik. Dunia itu, seolah hidup dalam kepalanya, seakan menarik dirinya ke dalam kisah yang ia tulis.
Namun di saat yang sama, sebuah perasaan aneh mulai menyelimutinya. Ada bisikan kecil dalam benaknya, seperti perasaan tak tenang yang sulit dijelaskan. Seolah ... ada sesuatu yang menunggu untuk muncul, mengintai di balik batas imajinasi yang selama ini ia ciptakan. Aluna menepis pikiran itu dengan cepat, menyalahkannya pada rasa gugup menjelang acara.
Tiba di lokasi acara, Aluna disambut oleh kerumunan para penggemar. Beberapa memegang novel Rahasia Sang Selir di tangan mereka, bersiap untuk mendapatkan tanda tangan dan mungkin mendengar beberapa kata dari sang penulis. Senyum Aluna mulai mengembang, menyadari bahwa cerita yang ia ciptakan ternyata telah menyentuh hati banyak orang.
Saat sesi tanda tangan dimulai, Aluna mendengar beragam komentar dari para penggemarnya. Beberapa bertanya tentang kelanjutan kisah Hae-Ri, yang lain penasaran tentang inspirasi di balik karakter Pangeran Ji-Woon yang dingin namun memikat. Aluna menjawab dengan senyum dan antusiasme, menikmati momen-momen kecil yang membuatnya merasa bahwa semua kerja kerasnya terbayarkan.
Namun, ketika acara memasuki pertengahan, sebuah suara kecil bergema dalam kepalanya, samar dan mengganggu. Seperti bisikan lembut yang memanggil namanya ... “Aluna … ”
Keringat dingin mulai muncul di belakang lehernya, dan sejenak ia terdiam, merasa ada sesuatu yang ganjil. “Apa ini?” gumamnya tanpa sadar.
“Aluna? Kamu baik-baik saja?” tanya Mira yang menangkap keanehan di wajahnya.
“Ah, iya, tidak apa-apa.” Aluna memaksakan senyum, mencoba mengalihkan perasaannya yang tak nyaman. Namun, ketika ia kembali fokus pada novel yang ia pegang, mata Aluna tertumbuk pada satu bagian, kalimat yang tertulis di halaman terbuka itu:
“Seo-Rin terbangun dalam kegelapan, mendengar panggilan yang datang dari tempat yang tak bisa dijangkau oleh siapa pun ... ”
Bulu kuduknya meremang. Mengapa kalimat itu terasa begitu ... nyata? Seo-Rin, adalah salah satu karakter yang Aluna ciptakan untuk membawa konflik dalam novel itu, pembawa bencana yang akhirnya menghancurkan dirinya sendiri.
Acara terus berlanjut, namun rasa tak nyaman itu tidak juga mereda. Saat ia menutup sesi tanda tangan dan melangkah menuju mobilnya, perasaan aneh itu semakin kuat. Aluna tak menyadari, inilah titik awal dari petualangan yang akan mengubah hidupnya.
Di perjalanan pulang, hujan mulai turun. Jalanan licin dan suasana menjadi semakin gelap. Aluna menyandarkan kepala di kursi, mencoba memejamkan mata untuk meredakan pening yang terasa sejak tadi.
Namun tiba-tiba—Braaak!
Sebuah kilatan cahaya, benturan keras, lalu segalanya menjadi gelap.
*
Dan saat ia membuka mata, Aluna tidak lagi berada di dunia yang ia kenal. Di depannya, terbentang sebuah ruang dengan dinding-dinding berhiaskan ukiran megah. Pakaiannya berubah menjadi hanbok anggun, dan saat melihat ke cermin di depannya, sosok yang menatap balik bukanlah dirinya—melainkan ... Seo-Rin, karakter antagonis di dalam Rahasia Sang Selir.
Aluna terhenyak, matanya tak berkedip menatap sosok yang kembali menatapnya dari cermin besar di depannya. Rambut panjang dan hitam yang diikat rapi dalam gaya khas istana, hiasan kepala berkilauan, serta hanbok berwarna gelap dengan corak bunga emas yang membalut tubuhnya dengan anggun namun misterius—semua terasa begitu nyata dan aneh dalam waktu yang sama.
"Ini ... tidak mungkin," gumamnya pelan, mencoba meraba wajahnya sendiri, memastikan ini bukan mimpi.
Tapi sentuhan di pipinya terasa nyata. Kuku yang terlihat di ujung jari tangannya pun berbeda, panjang dan runcing, sama sekali bukan seperti milik Aluna.
“Seo-Rin!” Sebuah suara perempuan memanggil dari balik pintu yang tertutup. “Apakah Anda sudah siap? Sebentar lagi kita harus pergi ke balairung.”
Nama itu ... Seo-Rin. Itu adalah nama karakter antagonis yang ia tulis sendiri, seorang wanita penuh ambisi yang dibenci hampir oleh semua tokoh dalam novel Rahasia Sang Selir. Jantung Aluna berdebar keras, mencoba mengingat kembali karakteristik Seo-Rin. Dalam cerita, Seo-Rin adalah sosok manipulatif yang rela melakukan apa saja demi kekuasaan dan cinta sang pangeran—seorang wanita yang siap mengorbankan siapa saja untuk mendapatkan tempatnya di istana.
Tetapi sekarang, Aluna yang berada di tubuh Seo-Rin. Mengapa dia berada di sini, dan apa yang harus ia lakukan selanjutnya?
Ketukan keras kembali terdengar di pintu. "Nona Seo-Rin? Anda harus cepat bersiap, semua gadis telah menunggu di balairung. Ini adalah hari pemilihan untuk permaisuri!"
Pemilihan permaisuri! Aluna ingat betul bagian ini dalam novelnya. Di sinilah semua gadis bangsawan dikumpulkan untuk pemilihan calon permaisuri bagi Pangeran Ji-Woon. Dalam novelnya, ini adalah babak penting di mana intrik dan drama mulai terbentuk. Putri Kang-Ji, gadis yang sempurna dalam segala hal, akan memenangkan hati pangeran dan dipilih sebagai permaisuri.
Namun, Seo-Rin—atau dirinya yang sekarang—seharusnya tidak terlalu terlibat dalam pemilihan ini. Sebagai karakter antagonis, Seo-Rin hanya diperkenalkan untuk membuat konflik dengan Kang-Ji setelah pemilihan, bukan sebagai kandidat yang serius.
“Bagaimana ini bisa terjadi?” gumam Aluna pelan, cemas dan bingung.
Suara ketukan yang keras dan tegas kembali terdengar. "Nona Seo-Rin! Pangeran Ji-Woon tidak suka menunggu."
Aluna menghela napas panjang. “Baiklah,” katanya pelan. Ia menyadari bahwa mau tidak mau, ia harus menghadapi situasi ini. Jika memang benar ia berada di dunia yang ia ciptakan, mungkin satu-satunya cara untuk kembali adalah dengan mengikuti alur cerita yang sudah ia tulis. Tetapi, apa yang terjadi jika ia mengubah alurnya sendiri?
Dengan langkah ragu, Aluna membuka pintu dan dihadapkan pada seorang pelayan muda yang tampak terkejut dengan ekspresi kebingungannya. “Apakah Anda baik-baik saja, Nona Seo-Rin?”
Aluna mengangguk kaku. “Ya ... Aku hanya sedikit lelah.” Ucapannya terdengar kaku, bahkan di telinganya sendiri. Pelayan itu tampak ragu sejenak, namun tak berani bertanya lebih lanjut.
Dengan arahan pelayan itu, Aluna melangkah menuju balairung. Semakin dekat, suara obrolan para gadis mulai terdengar, tawa dan percakapan yang penuh semangat memenuhi aula besar istana. Ia bisa merasakan tatapan mereka ketika ia memasuki ruangan. Wajah-wajah itu memandangnya dengan campuran rasa ingin tahu dan waspada—terutama Kang-Ji, gadis dengan senyum lembut namun penuh keyakinan yang berdiri di depan.
Sesuai dengan karakternya di novel, Seo-Rin tidak disukai oleh gadis-gadis lain, terutama Kang-Ji, yang melihatnya sebagai ancaman. Aluna mendapati dirinya terjebak di dalam kerumitan intrik karakter yang ia ciptakan sendiri, sesuatu yang seharusnya hanya ada di atas kertas, namun kini menjadi kenyataan.
Aluna menyadari, di sinilah segalanya menjadi nyata.
Bersambung >>>
...Hai, teman-teman! 👋...
...Selamat datang di novel pertama Author yang bertemakan kolosal dan penuh dengan intrik istana serta kejutan tak terduga. Novel ini lahir dari semangat dan cinta Author terhadap cerita-cerita penuh warna yang akan membawa kalian ke dunia lain. ✨...
...Author benar-benar membutuhkan dukungan kalian semua agar novel ini bisa terus berkembang dan mencapai retensi yang ditentukan oleh platform. Jangan lupa untuk like, komentar, dan membagikan setiap bab yang kalian baca. Setiap dukungan kecil dari kalian sangat berarti untuk kelangsungan cerita ini! 💖...
...Terima kasih banyak atas cinta dan perhatian kalian. Semoga kalian menikmati petualangan yang penuh misteri dan ketegangan di dalam dunia yang Author ciptakan ini. 💫🙏...
...Happy reading, dan jangan lupa untuk terus mendukung ya! 🚀📚...
Aluna berdiri di sudut aula besar istana, memandang penuh kebingungan dan rasa was-was. Balairung istana yang megah kini disulap menjadi tempat kompetisi—setiap sudutnya dihiasi kain sutra merah dan emas, sementara para dayang sibuk mengarahkan para gadis ke tempat yang sudah ditentukan. Di panggung utama, duduk seorang wanita dengan mahkota emas berkilau di kepalanya: Ratu Kim, ibu Pangeran Ji-Woon, yang memegang kuasa penuh atas jalannya pemilihan.
Aluna berusaha menyusun pikirannya yang kalut. Ini bukan adegan yang ia tulis. Di novelnya, para gadis hanya diperkenalkan sekilas, dan pangeran memilih permaisuri tanpa banyak ritual atau kompetisi. Tapi kali ini, tampaknya kompetisi itu sangat serius. Para gadis bangsawan, termasuk dirinya—atau lebih tepatnya Seo-Rin—diuji dalam serangkaian tantangan untuk membuktikan siapa yang layak menjadi permaisuri berikutnya.
Dayang Istana berdiri di depan para gadis dengan ekspresi serius, mengumumkan aturan kontes. “Atas perintah Ratu Kim, kalian akan melalui tiga tahapan untuk menguji keberanian, kecerdasan, dan kecantikan sejati seorang calon permaisuri. Hanya yang terbaik dari kalian yang akan maju sebagai calon pendamping Pangeran Ji-Woon.”
Para gadis mulai berbisik satu sama lain, tampak bersemangat sekaligus tegang. Kang-Ji, gadis yang selama ini terkenal karena kecantikannya, berdiri anggun di barisan depan, sesekali melirik ke arah Aluna dengan senyum meremehkan. Aluna membalas dengan anggukan tipis, mencoba mengingat karakter Kang-Ji seperti yang ia tulis: seorang gadis cerdas, tenang, namun memiliki sisi ambisius yang kuat.
Tahap Pertama: Kecakapan Menari
Pada tahap pertama, para gadis diminta untuk menampilkan tarian tradisional di depan Ratu Kim dan Pangeran Ji-Woon, yang duduk tenang memperhatikan dari kursinya. Satu per satu, mereka tampil dengan anggun di hadapan para tamu istana, mencoba menunjukkan kecantikan dan kepiawaian mereka dalam seni tari.
Saat giliran Aluna tiba, ia menarik napas dalam, mencoba mengingat gerakan tarian klasik yang pernah ia lihat. Hanbok berat yang ia kenakan, meski menambah kesulitan, memberinya penampilan yang anggun saat ia melangkah dengan gemulai. Ia bergerak perlahan, mencoba menyesuaikan irama meskipun rasa gugup tak kunjung hilang. Matanya tak sengaja menangkap tatapan Pangeran Ji-Woon, yang terlihat menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Saat Aluna menyelesaikan tarian dan membungkuk, ia mendengar bisikan-bisikan kekaguman dari para dayang. Tetapi pandangan sinis dari Kang-Ji dan beberapa gadis lainnya tak bisa ia abaikan. Meskipun Aluna tahu Seo-Rin tidak ditulis sebagai tokoh yang pandai menari, dia berusaha melakukan yang terbaik—sebuah keputusan yang membuatnya semakin waspada akan perubahan yang ia alami di dunia ini.
Tahap Kedua: Ujian Kecerdasan
Di tahap berikutnya, para gadis diuji kecerdasannya. Dayang Istana memberi mereka serangkaian pertanyaan mengenai kebijakan kerajaan, sejarah, dan etika yang diharapkan dimiliki oleh seorang permaisuri. Kang-Ji menjawab setiap pertanyaan dengan ketenangan yang membuatnya semakin menonjol di mata dewan istana.
Namun, ketika giliran Aluna tiba, ia terjebak di tengah kerumitan soal-soal yang asing. Sebagian besar yang ia pelajari hanyalah sedikit mengenai budaya dan sejarah Korea. Ia mencoba menjawab dengan diplomatis, memutar otak untuk memberikan jawaban yang sesuai. Meskipun tidak sempurna, beberapa jawaban Aluna justru memberikan perspektif yang segar, membuat Pangeran Ji-Woon sesekali tersenyum tipis.
Di balik tirai, Ratu Kim memperhatikan dengan seksama setiap gadis yang berkompetisi. Di sisinya, Ji-Woon duduk memperhatikan tanpa banyak berbicara, namun matanya mengikuti Aluna dengan penuh perhatian. Ratu Kim, yang menyadari ketertarikan putranya, sesekali melirik Ji-Woon dan memperhatikan reaksinya.
Tahap Ketiga: Ujian Keberanian
Tahap terakhir adalah ujian keberanian, sebuah tradisi yang dibuat oleh Ratu Kim untuk melihat bagaimana seorang calon permaisuri menghadapi tantangan yang mungkin mengancam keselamatan atau reputasinya di masa depan. Dalam ujian ini, setiap gadis diminta untuk berjalan di taman rahasia kerajaan pada malam hari, sendirian, dengan hanya ditemani satu lentera kecil. Ada kisah tentang taman itu yang katanya berhantu, dan banyak pelayan istana yang enggan melewati jalan tersebut di malam hari.
Ketika Aluna melangkah di jalanan taman yang gelap, rasa takut menyelimutinya. Pohon-pohon tua menjulang di sekelilingnya, membuatnya merasa seolah berada di tengah mimpi buruk yang sunyi. Bayangan cabang pohon bergerak seperti tangan yang siap meraih dan menariknya masuk. Sesekali, ia mendengar suara gemerisik di semak-semak, membuat bulu kuduknya meremang.
Namun, ia tahu bahwa untuk bertahan hidup di dunia ini, dia harus menunjukkan keberanian. Aluna terus melangkah, menahan napas ketika merasakan tatapan dari kegelapan. Ia tahu bahwa sang Pangeran mungkin sedang memperhatikannya dari kejauhan, menilai setiap gerakannya. Setelah beberapa waktu, ia berhasil menyelesaikan jalan penuh kegelapan itu dan tiba kembali di depan para dewan istana dengan tenang, meskipun di dalam hatinya ia masih diliputi ketegangan.
Ketika ujian ketiga selesai, para gadis dikumpulkan kembali di aula utama. Ratu Kim berdiri di depan mereka, tersenyum anggun, dan memberikan kata-kata pujian kepada mereka yang berhasil menunjukkan kualitas terbaik mereka.
“Aku terkesan dengan keberanian, kecerdasan, dan keanggunan yang ditunjukkan oleh kalian semua. Namun, ada satu yang menunjukkan keberanian dan ketangguhan lebih dari yang lain. Seseorang yang tampak siap menghadapi tantangan apa pun, terlepas dari posisinya di mata para dayang.”
Aluna menahan napas saat suara Ratu Kim bergema di balairung istana, mengumumkan hasil akhir dari seleksi. Di sampingnya, Kang-Ji berdiri dengan senyum penuh percaya diri. Aluna tahu, sesuai dengan yang ia tulis, Kang-Ji memanglah sosok permaisuri yang pantas—ambisius, cerdas, dan tegas. Ratu Kim menatap para gadis dengan tatapan anggun yang menuntut kesetiaan mereka.
“Kang-Ji, kau telah menunjukkan kualitas terbaik sebagai seorang permaisuri,” ujar Ratu Kim dengan suara lantang namun lembut. “Dengan ini, aku menetapkanmu sebagai calon pendamping untuk Pangeran Ji-Woon.”
Riuh tepuk tangan mengiringi keputusan itu, dan Kang-Ji melangkah maju, menerima mahkota kecil tanda kehormatan dari Ratu. Namun, Aluna yang berdiri sedikit di belakang, menyadari bahwa tatapan Ratu tak sesaat pun lepas dari dirinya. Di antara semua orang di ruangan itu, hanya Ratu Kim yang tampaknya menyadari ketertarikan Ji-Woon pada Aluna.
Pangeran Ji-Woon yang duduk di sisi Ratu tampak diam, namun matanya mencuri pandang ke arah Aluna—atau tepatnya, Seo-Rin—seolah mencari tahu lebih banyak tentang gadis yang mulai menarik perhatiannya. Aluna membalas tatapannya sekejap, namun cepat-cepat mengalihkan pandangan, merasa dirinya seperti karakter yang terjebak dalam dunia yang ia sendiri bangun.
Setelah acara usai, semua gadis kembali ke kediaman mereka masing-masing. Aluna mengikuti rombongan kembali ke paviliun tempat tinggalnya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Kang-Ji memang telah menjadi Permaisuri, sesuai dengan apa yang ia tulis dalam novelnya. Namun, ketertarikan Ji-Woon padanya—padahal dalam cerita, Seo-Rin adalah antagonis yang harusnya berakhir tragis—membuat Aluna merasa seolah ia telah membuka sebuah jalan cerita yang tak pernah ia rencanakan.
Di kamarnya yang sepi, Aluna memandang ke luar jendela, menatap istana yang megah namun terasa seperti kurungan baginya. Di dalam novel, Seo-Rin memang merasa tidak puas dengan hasil seleksi dan mencoba menyusup masuk ke dalam istana secara diam-diam untuk mendekati Ji-Woon. Seo-Rin ingin merebut kekuasaan, menggunakan segala cara untuk mendapatkannya. Namun kini, Aluna tak merasakan ambisi yang sama.
"Apa aku benar-benar harus melakukan itu?" Aluna bergumam pada dirinya sendiri. Seluruh pikirannya terasa kacau. Ia bukannya ingin mendekati Pangeran atau merebut kekuasaan; ia hanya ingin pulang, kembali ke kehidupannya sebagai penulis di dunia nyata.
Perlahan, ingatan terakhir yang samar-samar sebelum ia terbangun di dunia ini kembali membayanginya. Sebuah acara temu penggemar ... ia duduk di dalam mobil ... dan lalu ada cahaya terang ... kecelakaan. Aluna terkejut, seakan potongan puzzle mulai menyatu.
“Apakah aku sudah mati?” gumamnya lirih, menatap kedua tangannya yang terasa nyata namun seakan memiliki batas yang tak bisa ia tembus. Kengerian merayapi dirinya, dan ia meringkuk di atas kasur sambil mencoba mencerna kemungkinan itu.
Aluna memejamkan mata, berharap ketika ia membukanya kembali, semua ini hanyalah mimpi buruk dan ia akan terbangun di rumah sakit, atau di rumahnya. Namun ketika ia kembali membuka mata, ruangan itu tetap gelap dan sepi, dinding-dinding kamar Seo-Rin di dalam istana ini tetap menyelimutinya.
"Kalau memang aku sudah mati," Aluna bergumam lemah, "kenapa aku harus terjebak di dalam cerita yang kubuat sendiri?"
Keesokan paginya, sebuah ketukan halus di pintu memecah keheningan. Seorang dayang masuk, membawa pesan dari istana. “Seo-Rin, Yang Mulia Ratu ingin bertemu denganmu,” katanya dengan hormat.
Aluna menggigit bibirnya, menenangkan degup jantung yang mulai berdetak lebih cepat. "Baiklah," jawabnya pelan, meskipun di dalam hati, ia bertanya-tanya apakah ini akan membawanya lebih dekat pada jawabannya ... atau semakin jauh dari jalan pulang yang ia inginkan.
Bersambung >>>
Langkah Aluna terasa berat saat ia melewati gerbang utama istana yang dihiasi ukiran emas dan lambang kerajaan. Hanbok yang indah dan elegan berwarna ungu lembut membalut tubuhnya, mengalir anggun mengikuti setiap gerakannya. Aluna tahu, tubuh yang kini ia tempati, tubuh Seo-Rin, adalah lambang dari kecantikan dan kemegahan yang mampu menarik perhatian siapa pun. Setiap orang yang berada di jalannya menatapnya dalam keheningan, seakan pesona dan anggunannya menghipnotis mereka.
Para pelayan yang biasanya menunduk, kali ini mengangkat kepala dan mencuri pandang ke arah Seo-Rin, terkejut oleh perubahan aura yang begitu kontras dari biasanya. Meski dikenal sebagai wanita yang cantik, Seo-Rin memiliki reputasi yang menakutkan. Ia terkenal sering bicara kasar, memperlakukan para pelayan dengan penuh cemooh dan penghinaan. Mereka terbiasa melayaninya dengan kepala tertunduk, hati-hati agar tidak memancing kemarahannya.
Namun hari ini, ada sesuatu yang berbeda. Ketika Aluna melewati lorong panjang menuju aula utama, seorang pelayan wanita yang tergesa-gesa berjalan membawa nampan penuh teko dan cangkir tersandung dan hampir saja jatuh. Refleks, Aluna segera bergerak, menangkap pelayan itu sebelum sempat terjatuh.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Aluna dengan lembut, matanya memandang pelayan itu dengan penuh perhatian.
Pelayan itu tergagap, wajahnya penuh keterkejutan. Matanya lebar tak percaya menatap wajah Aluna. "Saya … saya tidak apa-apa, Nona Seo-Rin," jawabnya dengan suara bergetar, seakan takut menerima perhatian dari sosok yang biasanya menakutkan ini.
Aluna tersenyum kecil, membantu pelayan itu menyeimbangkan kembali nampan yang ia bawa. “Hati-hati, ya,” katanya dengan suara ramah yang membuat pelayan itu membeku sejenak. Para pelayan lain yang menyaksikan kejadian tersebut dari jauh bertukar pandang dengan ekspresi bingung, bertanya-tanya tentang perubahan sikap Seo-Rin yang terasa hampir seperti mimpi.
Tak jauh dari tempat itu, Pangeran Ji-Woon berdiri di beranda yang menghadap lorong tersebut. Matanya mengamati setiap gerak-gerik Seo-Rin dengan tajam, memperhatikan keanggunan langkahnya dan caranya berbicara kepada para pelayan. Mata hitamnya yang tajam memancarkan sorot penuh penasaran dan sedikit ketidakpercayaan. Senyum tipis tersungging di bibirnya saat melihat Seo-Rin yang dengan lembut membantu seorang pelayan yang tersandung.
“Seo-Rin yang ramah pada pelayan?” gumam Ji-Woon pada dirinya sendiri. “Apakah ini taktik baru untuk menarik perhatianku?”
Dia mengenal Seo-Rin sebagai sosok yang angkuh, gadis yang tak akan ragu menggunakan lidah tajamnya untuk menghina siapa saja yang tak sepadan dengannya. Rasa angkuhnya begitu tinggi hingga dia biasa memandang rendah siapa pun yang bukan bangsawan. Namun kini, melihat Seo-Rin dengan cara yang berbeda, bersikap manis bahkan pada pelayan yang sebelumnya tak dianggapnya, Ji-Woon merasa ada intrik yang bersembunyi di balik sikap itu.
Di aula utama, para bangsawan dan pelayan tak mampu mengalihkan pandangan dari sosok Seo-Rin. Desas-desus mulai menyebar tentang sikap Seo-Rin yang terlihat berubah sejak seleksi. Ji-Woon hanya mengamati dari kejauhan, berusaha memahami motif di balik perubahan sikap Seo-Rin yang tiba-tiba. Baginya, Seo-Rin mungkin saja sedang mencoba memainkan permainan yang lebih halus, cara baru untuk menarik perhatiannya atau memenangkan simpati Ratu.
Ketika Ji-Woon akhirnya beranjak dari tempatnya, ia berjalan perlahan ke arah aula di mana Seo-Rin berdiri di tengah ruangan setelah pertemuan singkatnya dengan Ratu Kim. Melihatnya dari dekat, ia kembali terperangkap oleh kecantikan dan keanggunannya yang seakan bercahaya, namun tetap memasang ekspresi tenang. Aluna yang berada dalam tubuh Seo-Rin, merasa gugup di bawah tatapan sang pangeran yang begitu tajam.
Pangeran Ji-Woon berhenti beberapa langkah di depannya, menatapnya lekat-lekat. “Seo-Rin,” sapanya dengan nada suara yang rendah namun dalam, penuh dengan pengamatan. “Kau tampak … berbeda hari ini.”
Aluna menelan ludah, merasa harus menahan detak jantung yang berdebar lebih cepat dari biasanya. Berusaha menenangkan diri, ia tersenyum tipis dan membungkuk hormat. “Yang Mulia Pangeran,” balasnya, mencoba menyelaraskan dengan karakter Seo-Rin tanpa menampakkan keterkejutan yang sesungguhnya.
Ji-Woon mengamati wajahnya, senyum tipisnya menyiratkan ketertarikan yang enggan ia akui. “Entah kenapa,” lanjut Ji-Woon, “aku merasa ini semua adalah bagian dari strategimu.”
Aluna terdiam sejenak, bingung dan tak mengerti apa yang ia maksud. Namun, Ji-Woon tampaknya menikmati kebingungan di wajahnya. Pangeran itu menyipitkan matanya, memerhatikan setiap detail ekspresi yang tergambar di wajahnya, seolah mencari celah untuk menebak maksud tersembunyi di balik sikapnya.
“Strategi, Yang Mulia?” jawab Aluna dengan hati-hati, mencoba menjawab tanpa menimbulkan kecurigaan.
Ji-Woon hanya mengangkat alisnya sedikit, senyum samar masih terlukis di wajahnya. “Seo-Rin, kau selalu memiliki cara unik untuk mendapatkan apa yang kau inginkan. Jangan khawatir, aku hanya menikmati permainannya.”
Dengan kata-kata terakhir yang penuh teka-teki itu, Ji-Woon melangkah mundur, membiarkan Aluna kembali sendiri. Hatinya berdebar penuh tanda tanya—apakah dirinya benar-benar telah tertangkap oleh permainan yang tak pernah ia rencanakan, atau justru telah menarik perhatian sang pangeran tanpa sadar?
*
Aluna berdiri di tengah aula, memperhatikan punggung Pangeran Ji-Woon yang semakin menjauh. Kata-katanya masih menggema di kepalanya, membuat perasaan campur aduk berkecamuk dalam hatinya. Sebagai seorang penulis, ia seharusnya tahu setiap langkah dan jalan pikir karakter-karakter di novelnya. Namun, berada di dalam tubuh Seo-Rin ternyata membuat segalanya terasa tak terduga.
Setelah beberapa saat, dayang istana mendekat untuk menuntunnya ke kamar pribadi yang telah disediakan untuknya di istana. Aluna mengikuti langkah dayang itu, masih merenungkan interaksinya dengan Pangeran Ji-Woon. Perubahan kecil dalam sikap Seo-Rin yang diambil alih oleh dirinya tampaknya sudah menarik perhatian sang pangeran—sesuatu yang tak pernah ia duga.
Saat tiba di kamar, dayang yang mendampinginya, seorang wanita muda bernama Yeon-Hee, membungkuk dengan hormat. Dayang itu tampak gugup, seolah khawatir akan sikap yang akan Aluna tunjukkan. Aluna tersenyum lembut, mencoba membuat Yeon-Hee merasa nyaman.
"Yeon-Hee, tidak perlu tegang begitu," ujar Aluna dengan nada lembut, sambil menepuk pelan punggung tangan dayang tersebut.
Yeon-Hee tampak terkejut, matanya terbuka lebar seperti tak percaya dengan kehangatan yang diberikan Seo-Rin. “Terima kasih, Nona,” jawabnya dengan suara bergetar. “Saya akan memastikan segala kebutuhan Nona terpenuhi.”
Saat Yeon-Hee pergi, Aluna menghela napas panjang. Ia menatap sekeliling ruangan mewah itu, dengan dinding berlapis kain sutra dan ukiran kayu halus yang menandakan kemegahan istana. Perasaan aneh memenuhi hatinya; betapa pun mewahnya kamar ini, semua itu tidak berarti apa-apa jika ia tetap terjebak di dalam dunia yang seharusnya hanya ada di imajinasinya.
Sambil duduk di tepi ranjang, Aluna merenungkan kejadian yang baru saja ia alami. Dunia di dalam novelnya, yang tadinya terasa seperti dongeng semata, kini menjadi realitas yang begitu nyata dan tak terduga. Interaksinya dengan para karakter, terutama Ji-Woon, membuatnya mulai mempertanyakan keputusannya di dalam cerita.
Di saat yang sama, di seberang aula istana, Pangeran Ji-Woon tampak tengah berbincang dengan penasihatnya, Joon-Ho . Penasihat itu mengenali ekspresi pangeran yang terlihat lebih bersemangat dari biasanya.
“Apa yang membuat Yang Mulia tampak begitu terpikat?” tanya Joon-Ho dengan nada penuh penasaran.
Ji-Woon menyipitkan matanya, menatap ke luar jendela dengan senyum kecil. “Aku tak yakin,” jawabnya pelan. “Seo-Rin. Dia terlihat berbeda. Tidak seperti biasanya … ada sesuatu yang menarik tentang dirinya, yang membuatku merasa seolah ada misteri yang ia sembunyikan.”
“Apakah Yang Mulia mencurigai ada sesuatu yang terjadi?” Joon-Ho mengernyit, sedikit khawatir. Sebagai penasihat setia, ia tahu bahwa Pangeran Ji-Woon selalu berhati-hati terhadap para sekutunya, terutama terhadap wanita-wanita yang dekat dengannya.
Ji-Woon hanya tersenyum samar. “Mungkin. Tapi, aku lebih tertarik untuk menelusuri misteri ini daripada menaruh curiga.”
Dengan sikap yang begitu tenang, Pangeran Ji-Woon memutuskan untuk memperhatikan Seo-Rin lebih dekat lagi. Ia ingin memastikan apakah perubahan sikap Seo-Rin hanyalah sebuah sandiwara, atau ada sesuatu yang lebih dalam di balik mata tajam dan senyum lembut yang ia tunjukkan.
Di kamar pribadinya, Aluna mendadak merasa seolah ada mata yang terus memantau gerak-geriknya. Ia menatap sekeliling, merasa gelisah dengan kesadaran bahwa kini, perannya sebagai Seo-Rin lebih besar dari sekadar antagonis. Pangeran Ji-Woon—sosok utama di dalam cerita yang seharusnya tak memedulikannya—kini tertarik padanya.
Aluna menyandarkan punggungnya di dinding, menyadari bahwa langkah selanjutnya akan menentukan banyak hal. Dengan setiap perubahan kecil yang ia buat, ia tidak hanya mengubah cerita, tapi mungkin juga takdir setiap karakter, termasuk dirinya sendiri. Apakah ia akan mengikuti takdir Seo-Rin, ataukah ia akan menulis ulang ceritanya sendiri?
Bersambung >>>
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!