Gemericik air di kamar mandi menandakan jika penghuni kamar sudah bangun. Seorang gadis mengguyur tubuhnya dengan air shower sambil memainkan busa sabun di lengan mulusnya. Tidak lupa bibir ranum kemerahan itu bersenandung senang. Setelah sekian purnama akhirnya merasakan air tanah kelahiran. Bertahun lamanya tinggal di negara orang tetap saja rasa rindu ingin kembali itu ada. Semuanya terkabul sudah dua minggu ini. Selesai dengan ritual kamar mandi, gadis itu keluar meraih seragam untuk di pakai hari ini. Semua tampak sempurna di tubuh sintalnya, rambut lurus sepinggang hitam cantik dan lembut. Meraih sunscreen, mengaplikasikan ke wajah lalu mengoles lip balm di bibir agar tidak kering. Sebotol parfum non alkohol menambah kepercayaan dirinya sebelum keluar kamar. Dari jarak beberapa langkah wanginya sudah tercium dan tinggal di belakang apabila dia berlalu.
“Mama.” Gadis itu terlonjak kaget ketika menarik pintu.
“Shiza, mama kira kamu belum bangun sudah ditungguin sarapan loh.”
“Hari pertama masa terlambat sih Ma.” Gadis bernama lengkap Shiza Hafla Elshanum itu menarik gagang pintu menutup kembali kamarnya.
“Seragam baru kamu cocok.” Mama Adina Zahra meneliti penampilan putri semata wayangnya.
“Sejak kapan putri mama yang cantik ini tidak bagus memakai sesuatu.” Shiza membalas sambil melangkah menuruni anak tangga.
Mama Adina merotasikan mata mendengar kepercayaan diri putrinya. “Buruan, Papa sudah menunggu dari tadi.”
Shiza berlari kecil menghampiri sang ayah. “Pagi, Pa.” Satu kecupan mendarat di pipi pria itu.
“Pagi, sayang. Bagaimana sudah siap di sekolah baru?” Papa Rajendra Alvarazka tersenyum hangat menatap penuh kasih pada gadis cantiknya.
“Siap dong.” Shiza penuh semangat memakan sarapannya. Gadis itu berwajah mungil mewarisi wajah Mama Adina tapi mengambil bagian anggota wajah Papa Rajendra.
Hari ini Shiza turun ke sekolah barunya, ia menduduki kelas sebelas semester dua. Mengikuti orang tua itu lah alasan Shiza ada disini. Sudah dua minggu ia menetap di tanah air dan mengurus kepindahan keluarganya. Shiza diantar Papa Rajendra karena belum hafal jalan menuju ke sekolahnya. Roda empat itu melaju membelah jalan, Shiza sengaja membuka kaca jendela membiarkan wajahnya di terpa udara pagi.
“Apa perlu papa antar ke dalam langsung laporan ke ruang guru.”
“Nggak usah Pa, aku sendiri aja. Papa hati-hati di jalan.” Shiza mencium punggung tangan Papa Rajendra.
“Belajar yang bener.” Senyum hangat tercetak sebelum melaju kendaraan.
Shiza melambaikan tangan lalu memutar tumit untuk masuk. Baru selangkah melewati gerbang. Gadis itu jadi pusat perhatian beberapa orang yang masih di parkiran. Kecantikan seorang Shiza langsung jadi magnet untuk mata memandang.
Anak baru
Cantik banget
Bodinya cuy
Spek bidadari ini sih
Dia real kan bukan bayangan ?
Jodoh masa depan aku sudah kelihatan hilalnya.
Ngarep banget si upik abu
Kenapa, kamu nggak suka aku muji cewek lain ?
Iiih apaan !
Celetukan-celetukan itu menggiring langkah Shiza sepanjang koridor. Namun ia tergolong orang yang cuek dengan segala hal. Shiza membaca papan nama yang tergantung di tiap ruangan. Bel berbunyi menandakan sebentar lagi akan masuk kelas. Anak-anak berkumpul di tengah lapangan. Guru piket memberi pengarahan sebentar lalu meminta mereka masuk ke kelas.
Ruang guru
Shiza mengetuk pintu sebelum masuk. “Permisi.”
“Silahkan masuk.” Seorang guru menyahut. “Kamu murid pindahan itu?” Tanyanya sambil melihat dokumen diatas meja.
“Iya Bu, saya Shiza Hafla Elshanum.”
“Baiklah tunggu disini nanti ketua osis yang antar kamu ke kelas.”
Shiza mengangguk lalu duduk di kursi. Tidak lama dari pengeras suara terdengar panggilan untuk ketua osis. Menunggu beberapa menit seorang anak laki-laki masuk. Wajahnya tampan berkulit putih, bibir mungil mirip bibir perempuan. Andai dia wanita mungkin paling cantik.
“Selamat pagi.” Suaranya lembut menenangkan. Iris matanya melirik ke samping dimana tempat Shiza duduk. Cantik ia berdehem menetralkan diri.
“Chio, antar dia ke ruangan mu. Ah, kalian kenalan dulu.”
“Iya, bu.” Pemuda itu langsung mengulurkan tangannya ke arah Shiza yang berdiri. “Hai kenalin aku Archio Davion Geovano. Aku ketua osis sekolah ini. Kalau kamu perlu sesuatu bisa tanya ke aku.” Chio tersenyum manis.
“Aku, Shiza.”
“Ayo ke kelas. Kayanya Bu Emma sudah masuk.” Chio menoleh ke meja guru matematika itu.
“Iya.” Shiza masih canggung lalu mengekori langkah ketua osisnya.
Chio sesekali melirik, benar berita yang didengarnya pagi tadi. Anak baru ini sangat cantik. Hari pertama masuk saja bisa langsung famous. Wajar sih, siapa coba yang gak terpesona selain cantik, putih, tinggi tubuhnya juga ideal. Chio tersenyum tipis setelah bersuara di dalam hati. “Selamat pagi Bu, maaf saya terlambat.”
“Silahkan masuk Chio.”
“Terima kasih, saya bawa murid Bu.” Chio menoleh ke samping di mana Shiza berdiri. “Ayo masuk.” Pintanya tersenyum tipis.
“Perkenalkan diri kamu.” Ujar Ibu Emma
Shiza mengayunkan kaki masuk. Tatapan kagum, serta decakan kaum adam paling mendominasi. “Hai, perkenalkan nama saya. Shiza Hafla Elshanum. Kalian bisa panggil Shiza. Semoga kita bisa berteman dengan baik. Senyum gadis itu tertarik lebar ketika mendapati teman SMP nya ada di kelas yang sama.
“Ada yang mau ditanyakan?” Ibu Emma memberi waktu.
“Nomor hp berapa, Shiza?”
“Ngarep banget.” Ledek yang lain.
“Kenapa sih, aku lagi usaha.” Pemuda bername tag Dimas mendelik kesal.
“Kelas punya grup kan, nanti lihat disana aja.” Shiza tersenyum manis.
“Jangan tersenyum Neng Shiza.” Celetuk seorang pemuda lagi.
“Kenapa?” Dimas melempar tanya pada kawan sekelasnya itu.
“Karena terlalu manis, aku nggak rela berbagi dengan yang lain. Apa lagi sama kamu rambut sarang tawon !” Pemuda bername tag Candra itu melirik sengit ke arah Dimas.
Uuuuuu
Sorakan sekelas membuat Shiza terkekeh. Dimas mencibir tidak bersuara, namun senyum nya kembali berkembang saat melihat ke depan. Sungguh objek di depan sana sangat menarik.
“Chio, kamu boleh duduk.” Sela ibu guru dalam riuhnya sorakan untuk Dimas dan juga Candra.
“Iya Bu, Shiza aku duluan ya.” Si ketua osis melangkah menuju bangku nya.
“Shiza kamu duduk sama Aysela.”
“Iya bu terimakasih.” Shiza dengan riang melangkahkan kaki nya menuju kursi yang dimaksud. Disana gadis teman sebangkunya sudah merentangkan tangan. “Akhirnya kita satu sekolah, satu meja juga.”
“Aku kangen banget, Shiza.” Aysela memeluk erat sahabatnya itu.
Semua mata mengarah ke mereka. Rupanya kedua perempuan itu adalah teman dekat yang baru mereka ketahui. Pelukan terlerai ketika ibu guru memberi instruksi melanjutkan pelajaran. Shiza mengikuti dengan baik saat pemindahan sekolah papa Rajendra sudah membeli buku yang diperlukan untuk belajar hari ini. Gadis berparas cantik itu masih jadi objek pembicaraan di kelas. Selain cantik ia juga cerdas. Chio mencuri pandang lagi pada gadis itu. Haruskah ia mengabari teman-temannya tentang Shiza ? Chio menggeleng pelan mengenyahkan pikirannya, biarkan saja dulu nanti mereka juga tahu ada gadis cantik di sekolah.
Bel menggema di penjuru sekolah, istirahat pertama sudah tiba. Shiza dan Aysela merapikan buku-buku. Belajar matematika selama tiga jam cukup menguras tenaga. Shiza merapikan seragamnya sambil berdiri. Meraih cermin kecil untuk melihat tampilan wajahnya tidak dipungkiri, ia juga sama dengan gadis lainnya tidak lepas kaca cermin dan perintilannya meskipun sudah cantik.
“Nggak usah ngaca Neng Shiza, tetap cantik.” Celetuk Candra dari kursinya. “Hati abang berdebar-debar nih.” Lanjutnya membuka kotak bekal. Pemuda berkulit sawo matang itu tidak tampan tapi manis dipandang.
Shiza tersenyum. “Awas loh bang hati nya melompat jadi lauk makan.”
Dimas terbahak nyaring mendengar balasan Shiza untuk Candra. “ Lauk makan nggak tuh !”
Candra mendelik sinis. “Seneng bener !” Cibirnya sambil makan. “Neng Shiza, mau ?” Candra mengarahkan sendok pada si pemilik nama.
“Terimakasih, buat abang aja. Aku ke kantin dulu ya “ Shiza mengimbangi candaan Cakra. “Ayo Sel.” Ajaknya mengapit lengah pada Aysela. Sebelum melangkah Shiza melempar senyum tipis saat beradu tatap dengan si ketua osis.
“Kita ke kelas sebelah dulu jemput Adel.” Ujar Aysela. Mereka sebelumnya sudah bertemu saat tahu Shiza pindah kesini.“ Gadis berambut sebahu itu lebih pendek dari Shiza. Aysela Yasmin Izora. Nama lengkapnya, mereka berpisah setelah lulus dari bangku SMP. “Adel.”
Liliana Adellya menoleh ke arah pintu. “Shiza ! Pekiknya heboh. “Sebentar ya.” Sambungnya menyemprotkan parfum sebelum melangkah. “Aku kangen.” Adel menabrak tubuhnya pada dua sahabatnya. “Ayo ke kantin.”
Tiga gadis itu memiliki sifat berbeda tapi punya beberapa hobi yang sama. Shiza, senang tersenyum dengan pembawaan tenang. Aysela, agak pendiam dan dewasa. Adel, banyak bicara dan manja. Lagi-lagi Shiza jadi pusat perhatian, kini bukan hanya laki-laki tapi para perempuan juga mengakui kecantikan gadis itu. Ketiganya tiba di kantin. Beberapa meja panjang sudah terisi. Bahkan sudah ada yang menikmati makanannya.
“Kita duduk dimana?” Shiza masih mencari tempat yang nyaman untuk duduk.
“Ambil makanan dulu baru cari tempat duduk nanti keburu kantin nya penuh jadi ngantri.” Aysela memberi solusi.
“Menunya banyak loh, ada bakso juga. Kamu lama kan nggak makan bakso.” Adel menyebutkan menu yang digemari saat cuaca dingin itu.
“Kemarin, aku makan bakso.” Dengan polosnya Shiza berkata.
“Itu bakso di dekat rumah kamu, bakso disini belum.” Gemas Adel sambil menerima bakso miliknya.
“Ya udah aku coba itu aja.”
“Jangan pake sambel yang banyak, lambung kamu nanti kumat.” Aysela memperingati sambil membuka kulkas pendingin. “Kamu minum apa Za ?”
“Air putih biasa, soalnya mau makan pedes.” Shiza menunggu sambil membawa baksonya.
“Aku, juga.” Adel yang memilih bakso juga ingin air putih biasa.
Setelah mengamati situasi, ada di bagian pojok meja panjang yang kosong. Mereka menempati meja itu. Shiza menambahkan sedikit sambal ke dalam mangkok, ia tidak mau ambil resiko di hari pertama sekolah. Benar kata Adel, baksonya enak. Sepertinya akan jadi menu pertama yang akan dimakan bila ke kantin oleh Shiza. Disaat asik makan, pekik tertahan dari para siswi masuk ke dalam ruang rungu Shiza. Ia cukup tertarik apa yang menjadi pekikan para gadis itu.
“Oh ya ampun kenapa dia ganteng sekali.” Adel melepaskan sendok menatap arah pintu masuk kantin. Tatapan memuja begitu jelas di dalam netranya.
“Kaya gitu tampan, gimana jeleknya.” Seru Aysela yang merupakan anti cowok. Ia tetap menunduk memakan baksonya.
“Emang siapa sih?” Shiza penasaran lalu mengangkat wajahnya ikut melihat yang menjadi objek perhatian. Disana tiga orang pemuda memperhatikan menu hari ini. Salah satu si ketua osis. “Siapa mereka ?” Shiza melanjutkan makan.
“Itu yang rapi, putih ganteng. Kamu udah pasti tahu satu kelas sama kalian. Chio ketua osis, dia ramah trus suka senyum. Cantik dan tampan bersamaan.” Adel menjelaskan penuh semangat. “Yang agak pendek dari Chio, itu namanya Dariel Keenan Virendra, dia orangnya soft banget kalau senyum matanya hilang. Peletnya nggak main-main loh. Nah kalau yang tinggi itu namanya Ryuga Kai Malverick, anak pemilik sekolah ini. Tampannya di atas rata-rata Shiza. Kulitnya emang nggak seputih Chio sama Dariel tapi lihat anggota tubuhnya, yang mana tidak dikagumi. Jari-jarinya indah benget Shiza.”
“Emang kenyang kamu muji dia?” Celetuk Aysela telah selesai makan.
“Anti cowok mana tahu hal indah kaya gitu?” Cibir Adel kembali makan.
“Terus kenapa cewek-cewek kaya tadi ?”
“Hampir sembilan puluh lima persen cewek sekolah disini fans garis keras mereka. Udah banyak adik-adik kelas jadi korban bully karena berani confess sama mereka.” Jelas Adel kembali tentang para most wanted itu.
“Jadi mereka tukang bully dong.” Ujar Shiza salah paham.
“Nggak gitu Shiza, yang bully itu kakak kelas kita. Jadi intinya kita hanya bisa mengagumi tanpa memiliki.” Adel dramatis.
Ryuga Kai Malverick. Putra pemilik sekolah. Dari pasangan Kai Malik Alastair dan Deanda Zaylin. Wajah tampan itu terwaris dari sang Papa. Karena itu kerap kali banyak anak gadis yang terang-terangan untuk mengungkapkan cinta. Meskipun tidak mendapat balasan. Ryuga memiliki standar tinggi untuk pasangan. Sejauh ini hanya ada beberapa gadis yang berstatus mantan. Jika banyak pemuda berwajah tampan sepertinya sangat dingin dan anti perempuan maka Ryuga kebalikannya.
“Aku dengar ada anak baru.”
Chio meletakkan sendoknya lebih dulu sebelum menjawab. “Iya, ada di kelas ku. Cantik banget, namanya Shiza.”
“Ada disini nggak?” Ryuga langsung menoleh kesana kemari yang membuat gadis-gadis disana meanggunkan diri untuk dilirik.
“Sebentar tadi katanya mau ke kantin sama Aysela.”
“Aysela.” Deriel tertarik dengan pembahasan itu. “Mereka berteman?”
Chio mengangguk. “Iya, teman SMP. Kalau nggak salah di kelas sebelah ada juga teman mereka Adel namanya.” Manik mata si ketua osis tertuju pada salah satu meja berisi tiga orang. “Nah, itu dia.” Ucapnya menunjuk dengan sorot mata.
Ryuga menghentikan kunyahan lalu menuntun pandang pada siswi baru. Sayang hanya terlihat bagian belakangnya saja. “Nggak keliatan muka nya.”
“Itu mereka berdiri kayaknya udahan.” Chio melanjutkan makannya. “Nanti juga lewat sini.”
Benar saja Shiza dan kedua sahabatnya berbalik. Sejenak iris mata Ryuga terpaku. Cantik, gadis itu benar-benar cantik. Bodinya ideal tinggi dan juga berambut panjang. Matanya tidak berkedip saat Shiza semakin dekat. Kulit putih bersih itu rasanya ingin Ryuga menyentuhnya. Shiza melewati begitu saja tanpa menoleh ataupun melirik. Aroma parfum yang tertinggal membuat kelopak mata Ryuga tertutup.
“Cantikkan?” Suara Chio menyadarkan Ryuga.
“Dia nggak noleh sama sekali ?” Pemuda tampan itu tidak percaya.
“Emang kamu berharap apa?” Celetuk Dariel terkekeh.
“Hati mungilku nggak terima, masa orang setampan aku gini nggak dilirik. Apa mungkin dia rabun ?” Ryuga menoleh dimana bayangan Shiza dan teman-temannya sudah menghilang.
“Mungkin standar tampan di matanya nggak kaya kamu.” Ejek Chio tajam.
“Mau taruhan ?” Ryuga menegakkan duduknya serius.
Shiza menghempaskan tubuh lelah di atas kasur, manik matanya tertuju di atas langit-langit kamar. Dibenaknya teringat pada Cakra teman sekelasnya. Pemuda itu sederhana, ceria dan menyenangkan. Shiza mengingat kembali seseorang di masa kecilnya. Petakilan tapi baik hati, kebersamaan mereka tidak lama hanya dua minggu saat libur sekolah. Melihat Candra tadi membuat Shiza tiba-tiba merindukannya.
“Za.”
Lamunan Shiza terpecah, ia menarik nafas panjang dengan malas membangunkan daksa lelahnya. Terayun lambat kedua kaki Shiza ke arah pintu. “Kenapa Ma?”
“Makan dulu, kamu belum ganti baju?”
“Sebentar, aku ganti dulu baru makan.” Shiza masuk kembali dan menanggalkan satu persatu pakaiannya. Shiza memilih pakaian santai daster rumahan. Rambut panjangnya di cepol ke atas tidak lupa wajahnya dibersihkan lebih dulu agar lebih segar. Meraih ponsel dari atas kasur Shiza gegas keluar.
“Capek banget ya.” Mama Adina meletakan satu gelas air putih di atas meja.
“Capek banget, sekolahnya jauh ternyata.” Keluh Shiza menghabiskan setengah dari isi gelas yang disodorkan sang mama.
“Makan dulu, nanti ngobrol sama mama.”
Shiza mengangguk langsung melahap makanannya, tiap kunyahan ia nikmati perlahan sambil mengucap syukur atas butiran nasi dan perintilannya yang masuk ke dalam perut. Banyak diluar sana orang kelaparan atau makan seadanya, sebab itu Shiza sangat menghargai makanan. Shiza cukup mandiri untuk membereskan bekas makan.
“Ma.” Shiza mendaratkan tubuh disofa tepat di samping mama nya.
“Bagaimana hari ini?” Mama Adina tersenyum lembut mengecilkan volume televisi.
“Seperti di sekolah lama, tapi ada yang buat aku penasaran.” Shiza merubah posisi duduknya berhadapan. “Tadi di kelas aku ada cowok namanya Candra. Orangnya lucu terus dia juga bawa bekal dari rumah.” Wajah gadis itu begitu antusias bercerita. “Aku jadi ingat anak yang dulu berteman sama aku waktu kita liburan semester dua di kelas lima SD.”
Mama Adina terlihat berpikir sambil mengingat kenangan lama itu. “Anak laki-laki itu, mama ingat sekarang dia satu kelas sama kamu?”
“Aku nggak yakin Candra itu dia atau bukan. Wajahnya mirip sedikit. Kalau misalkan bener jauh banget pindahnya kesini.”
“Kita nggak tahu siklus hidup orang lain Shiza, bisa aja mereka sekeluarga pindah kesini.” Mama Adina tersenyum merapikan helaian rambut putrinya yang berjatuhan.
“Mama benar, ya udah aku mau ke kamar dulu.” Shiza bangkit dari sofa.
🌷🌷🌷
Jika Shiza sudah berbaring cantik di atas peraduan. Maka beda hal di tempat ini. Tiga anak laki-laki masih bersiap main game di ruang keluarga milik Chio. Ya, dia ketua osis di sekolah tapi Chio juga manusia normal menjalani hidup hariannya seperti anak lainnya. Sepulang sekolah, Dariel dan juga Ryuga memilih ikut ke rumah Chio.
“Kalian makan dulu.” Seorang wanita pembawaan lembut masuk ke ruang keluarga. Diana Mounira—mami dari Chio.
“Sebentar tante.” Sahut Ryuga masih fokus memasang perangkat game. Pemuda itu masih mengenakan seragam sekolah.
“Kalian nggak ingat makan kalau sudah main game.”
“Kita nunggu Chio dulu.” Dariel tersenyum melihat wajah ibu sahabatnya itu cemberut. “Nah, itu Chio.”
“Chio, makan dulu.”
“Iya Mi, ayo kita makan dulu. Nanti mami ngamuk.” Chio mengenakan baju kaos putih besar dipasangkan dengan celana pendek di atas lutut. Kulit yang putih membuatnya tampan dan cantik bersamaan.
“Ayo.” Ryuga meletakan ponselnya di atas meja. Pemuda itu melepaskan baju seragamnya hingga menyisakan kaos hitam sebagai lapisan.
Mereka mendaratkan tubuh di kursi. Meraih piring mengisi sendiri-sendiri. Sementara Mama Nira sudah masuk kamar untuk istirahat. Ibu dari Chio itu memilih jadi ibu rumah tangga setelah melahirkan anak pertamanya. Ia meninggalkan karir modelnya untuk merawat Chio.
Selesai makan tiga orang itu meninggalkan meja makan melanjutkan niat yang tertunda. Ryuga sudah terbiasa tidak langsung pulang ke rumah setelah pulang sekolah. Ia memilih menikmati hidupnya ketimbang menuntut kedua orang tuanya yang sibuk. Berbeda dari Dariel, orang tuanya begitu hangat penuh perhatian tanpa ia berulah mereka selalu memprioritaskannya.
“Siapa yang main duluan?” Dariel menyambar salah satu stik game.
“Kalian berdua aja, aku sedang memasukan nomor Shiza dalam grup kelas.” Chio baru saja dapat nomor Shiza dari Aysela. Selain ketua osis dia juga mengkoordinir grup kelasnya. “Nomornya cantik.”
“Coba liat.” Ryuga tertarik melepaskan stik game nya. “Kirim ke aku.”
“Jangan suka minta nomer orang tanpa izin, Ryuga.” Tegur Dariel lembut.
“Biasa gadis cantik memang jual mahal. Aku pasti bisa menjadikan Shiza pacar.” Ryuga percaya diri mengatakannya. “Kirim saja nomornya. “Karen, aja kepincut sama aku.”
“Shiza sama Karen beda, kamu bisa lihat tadi di kantin.” Seru Chio terkekeh. Selesai dengan tugasnya.
“Berani taruhan.” Tantang Ryuga angkuh. “Cewek itu memang cantik tapi bukan Ryuga namanya kalau nggak bisa dapetin dia”
“Ayo main.”
🌷🌷🌷
Di kaki langit timur matahari begitu cantik mempesona. Setetes air di penghujung daun jatuh lembut ke atas tanah menimbul khas aroma pagi. Jalanan masih agak senggang Shiza hari ini pergi ke sekolah sedikit pagi karena Papa Rajendra akan ke luar kota. Shiza menarik nafas panjang sebelum melangkah ke gerbang.
“Pagi, Shiza.”
“Uh.” Gadis itu terkejut. “Chio, kamu pagi sekali. Aku kaget.” Shiza tersenyum menghampiri.
“Aku harus pagi buat penertiban, oke kamu boleh masuk.” Chio meneliti kalau ada yang kurang dari Shiza.
“Iya, aku lengkap hari ini.”
“Pagi Neng Shiza.” Seseorang menyapa sambil mengayuh sepedanya. Dia Candra datang pagi hari ini karena ingin menyelesaikan tugas minggu lalu yang tidak dikerjakannya.
“Candra.” Shiza meninggalkan Chio yang berdiri di samping gerbang.
“Pagi amat Neng.” Candra menyeka keringat di keningnya. Lalu meraih botol air disisi tas. “Aku minum ya.”
“Minum aja.” Shiza tersenyum. “Kenapa pagi sekali?” Gadis itu masih menunggu Candra.
“Ada tugas minggu kemarin aku lupa mengerjakannya. Ayo ke kelas.”
“Tunggu.”
Shiza dan Candra menoleh. Mereka hanya diam sambil menunggu Chio yang melangkah mendekat. Chio meneliti tampilan Candra tidak ada yang berubah dari pemuda itu tetap sama seperti sebelumnya. Tapi kenapa bisa membuat seorang Shiza menunggunya untuk masuk bersama. Di keheningan itu suara dua buah motor masuk ke pekarangan sekolah. Mereka melewati Shiza, Candra dan Chio. Dua motor itu berhenti di parkiran berbeda. Shiza bisa menebak keistimewaan itu karena mereka bagian dari pemilik sekolah.
“Kenapa?” Ryuga mengurai kasar rambutnya yang lepek karena helm. “Mereka buat masalah?” Tanya nya pada Chio.
“Nggak, aman aja.”
“Hai, kamu siswi pindahan itu?” Dariel tersenyum mendekati Shiza.
“Iya.”
“Aku Dariel, teman Chio.”
“Shiza.” Gadis itu membalas uluran tangan Dariel. “Ayo Candra kita masuk katanya mau ngerjain tugas.” Shiza mengabaikan tatapan yang membuatnya tidak nyaman.
“Ayo.”
“Dia nggak liat aku sama sekali.” Ryuga merasa tersakiti. “Dasar cewek sombong ! Lihat saja nanti.”
“Ryuga, dia nggak nyaman sama tatapan kamu.” Dariel bersuara setelah memperhatikan dengan lamat.
“Maksudnya.”
“Kamu melihat dia kaya melihat mangsa, siapapun orangnya kalau di lihat kaya gitu ya takut.” Dariel menjelaskan dengan sabar.
“Dariel bener, Candra aja bisa buat Shiza menunggu untuk masuk sama-sama.”
“Apa ?!” Bola mata Ryuga membesar. “Apa standar ketampanan di mata nya kaya penunggang sepeda ontel itu.” Seketika keinginan lebih unggul membara di dada Ryuga. “Ayo taruhan.”
“Dari kemarin kamu tuh ngajak taruhan terus.” Kesal Chio melupakan tugasnya. “Kalian masuk sana, aku lanjut tugas dulu.”
“Pokoknya aku harus mengubah pandangan Shiza.” Ryuga berucap dengan tekad menggebu. “Cewek secantik dia, standar pacarnya kaya si Candra ? Ah, ketampanan ku merasa malu berkelahi dengan wajah itu.”
Dariel terkekeh. “Ayo masuk.”
Ryuga melanjutkan langkah. Mereka sepakat datang pagi karena menghindari kemacetan. Ryuga melangkah pelan saat melewati kelas Shiza. Ia tertarik mengintip dari kaca jendela. Disana Ryuga bisa melihat Shiza duduk di hadapan Candra yang entah mengerjakan apa. Tanpa sadar Ryuga sudah tenggelam dalam rasa penasarannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!