NovelToon NovelToon

Menanti Bahagia Yang Hilang

BAB 1~ BAHAGIA YANG HILANG

Assalamualaikum, selamat datang di karya baru author. Mohon untuk konsisten baca ya, terima kasih.

Happy reading...

...📖📖📖...

"Jihan, cepat kesini!"

Teriakan ibu Neny yang berasal dari ruang tengah, mengagetkan Jihan yang sedang membalik ikan goreng. Hampir saja ia terkena cipratan minyak panas karena spatulanya terlempar efek terkejut.

"Iya Bu, sebentar." Balas Jihan. Ia menunduk mengambil spatula di lantai, menaruh di wastafel lalu mengambil spatula yang baru. Setelah mengangkat ikan goreng dan mematikan kompor, lekas ia menghampiri sang ibu mertua.

Jihan sampai berlarian menuju ruang tengah. Dari kejauhan ia melihat ibu mertuanya itu berkacak pinggang, dan kedatangannya disambut dengan tatapan tajam penuh amarah. Jihan langsung menunduk, sekarang ia pasti akan mendapat ceramah pedas lagi dari ibu mertuanya itu. Setiap dipanggil seperti ini, pasti ia ada salah, dan entah apalagi kesalahannya kali ini.

"Ada apa ya, Bu?" Tanya Jihan dengan tergagap.

"Pakai nanya lagi ada apa. Kalau Ibu panggil kamu, ya sudah pasti kamu itu punya kesalahan. Dan apa kamu tahu, apa kesalahan kamu kali ini?" Tanya ibu Neny dengan suara membentak.

"Tidak tahu, Bu." Jawab Jihan sembari menggeleng. Jari jemarinya saling bertaut dan tak berani menatap ibu mertuanya.

"Lihat itu, meja, lemari, sofa, semuanya berdebu. Mulai malas kamu sekarang ya?" Tangan ibu Neny menunjuk benda-benda yang ia sebut, namun tatapannya tak lepas menatap Jihan dengan tajam.

"Maaf Bu, aku gak sempat mengerjakan bagian itu. Dari pagi kan, kerjaan aku banyak, Bu." Jawab Jihan.

"Halah, banyak apanya? Cuma ke pasar, ngepel terus cuci baju dan nyetrika kamu bilang banyak? Bilang aja kamu malas. Pokoknya Ibu gak mau tau, kamu harus bersihin itu semua sekarang juga. Ibu mau keluar sebentar, awas aja kalau Ibu udah pulang dan itu semua belum bersih!" Ibu Neny memperingati dengan keras, kemudian melenggang pergi dengan meninggalkan pekerjaan baru untuk menantunya, sementara pekerjaan Jihan saja di dapur belum selesai dalam urusan memasak.

Jihan menghela nafas berat sembari menatap kepergian ibu mertuanya. Ibu Neny, ibu mertua yang dulu sangat menyayanginya, kini berubah kasar dan selalu mencari kesalahannya.

Padahal dulu, ibu Neny selalu membantunya mengerjakan pekerjaan rumah dengan senang hati. Di waktu luang, mereka akan menghabiskan waktu dengan bercerita banyak hal, penuh kehangatan dan senyum bahagia. Namun, sekarang semua pekerjaan rumah dilimpahkan padanya seorang diri dengan peringatan keras ia harus menyelesaikan tepat waktu. Tutur kata ibu Neny yang dulunya lemah lembut pun kini berubah sarkas dan selalu berkata pedas.

Sikap ibu mertuanya itu berubah semenjak Fahmi, suaminya naik jabatan dari karyawan biasa menjadi manager di perusahaan ternama.

Dimanjakan uang dan kemewahan hasil kerja keras putranya, membuat ibu Neny lupa diri. Lupa tentang siapa dirinya dahulu, lupa bahwa ia juga dulunya hanya orang biasa yang hidup dengan segala kesederhanaan.

Seiring derap langkah kaki ibu Neny yang semakin menjauh, Jihan mulai mengerjakan tugas yang diberikan oleh ibu mertuanya. Tak hanya meja, sofa dan lemari yang Jihan bersihkan. Kaca jendela juga ia bersihkan, bahkan lantai yang tadi pagi sudah ia pel, kini ia pel kembali.

Setelah selesai dengan pekerjaannya itu, Jihan kembali ke dapur untuk melanjutkan memasak. Hari sudah beranjak sore, sebentar lagi suaminya akan pulang kerja. Dengan penuh antusias, Jihan memasakkan menu kesukaan suaminya.

Usai memasak, Jihan lalu menata masakannya itu di atas meja makan. Bertepatan dengan itu terdengar suara klakson mobil memasuki pekarangan rumah. Dengan penuh semangat Jihan berlarian keluar rumah untuk menyambut kepulangan suaminya. Meski lelah, ia tetap tersenyum menyambut suaminya yang baru saja pulang sedari mencari nafkah.

"Mas," Jihan mengulur tangannya untuk mencium tangan sang suami. Tapi suaminya itu justru hanya menatapnya dengan tatapan aneh tanpa menyambut tangannya yang terulur.

"Kamu ngapain aja sih seharian di rumah? Suami pulang bukannya disambut dengan penampilan yang enak dipandang mata, malah kelihatan seperti pembantu. Lihat itu, tangan kamu berminyak. Bau badan kamu juga gak enak, bau bawang. Sudah sore begini kok belum mandi?" Ucap Fahmi, kemudian berlalu begitu saja meninggalkan istrinya.

Jihan hanya dapat mengelus dada dan beristighfar dalam hati. Ini bukan pertama kalinya Fahmi melontarkan kata-kata yang begitu menyakiti hatinya. Sudah enam bulan belakangan suaminya itupun berubah. Tak ada lagi senyum hangat yang terpancar dari wajah sang suami ketika bersamanya. Tak ada lagi binar cinta dimata suaminya itu ketika menatapnya. Yang ada, hanya tatapan jijik melihat penampilannya yang lusuh. Padahal itu karena semua pekerjaan rumah ia yang mengerjakan seorang diri. Tak ada waktu untuk memanjakan diri, waktu istirahatnya ia habiskan hanya untuk menemani putranya bermain.

Jihan pun mengikuti langkah suaminya masuk ke rumah dengan perasaan sedih yang mendalam. Melihat Dafa, putranya yang berlarian menghampiri ayahnya, kesedihan itu semakin terpancar di wajah Jihan karena ia tahu apa yang akan terjadi.

"Ayah, ayo temani Dafa main." Bocah laki-laki berusia lima tahun itu memeluk kaki sang ayah, mendongak menatap ayahnya dengan senyum keceriaan.

"Dafa, Ayah capek. Sana main sama Bunda saja." Fahmi melepas pelukan putranya itu dikakinya, kemudian melenggang pergi menuju kamar.

Kedua mata dafa tampak berkaca-kaca menatap kepergian ayahnya. Sudah beberapa bulan ini, sang ayah sudah tak pernah lagi menemaninya bermain. Selalu kata capek yang dijadikan alasan oleh ayahnya itu.

Jihan mendekati putranya, memeluk sang buah hati dengan begitu eratnya. Tak hanya ia yang merasakan dampak perubahan ibu mertua dan suaminya, tapi putranya juga.

Dulu, sepulang kerja, yang pertama kali dicari Fahmi adalah putranya. Katanya ketika melihat Dafa, rasa lelahnya setelah seharian bekerja akan sirna seketika. Namun, itu semua berbanding terbalik dengan sekarang. Justru rasa lelahnya itulah yang dijadikan Fahmi sebagai alasan tak bisa menemani putranya bermain.

Tak hanya diwaktu pulang kerja Fahmi menolak permintaan putranya, saat weekend pun Fahmi mempunyai banyak alasan untuk menolak ajakan putranya yang ingin pergi ke taman bermain. Alasan yang paling menonjol adalah, ia tetap harus bekerja meski libur agar pimpinannya kagum atas kinerjanya, dengan begitu ada kemungkinan dari manager bisa naik jabatan ke posisi yang lebih tinggi lagi. Maka itu, meski akhir pekan, Fahmi tetap jarang berada di rumah. Jihan yang hanya lulusan sekolah dasar, tidak mengerti dengan dunia perkantoran percaya saja dengan perkataan suaminya.

"Bunda, Dafa kan enggak nakal. Tapi kenapa Ayah gak mau lagi temani Dafa main?" Bocah tampan itu mengadukan pada sang ibu apa yang ada dalam pikirannya.

"Iya Sayang, Dafa enggak nakal kok. Ayah kan lagi capek, baru pulang kerja jadi gak bisa temani Dafa main. Nanti biar Dafa main sama Bunda saja ya?" Jihan mengusap pucuk kepala putranya dengan penuh kasih sayang. Bibirnya menyunggingkan senyum, namun hatinya menangis pilu melihat kesedihan di wajah putranya.

Jihan menggenggam jemari Dafa, kemudian mengajak putranya itu menuju kamarnya sendiri. Sepanjang langkah, netranya berkeliling menatap ke seluruh penjuru rumah yang megah itu. Rumah yang diberikan oleh perusahaan tempat suaminya bekerja, sebagai fasilitas atas kinerja suaminya yang sangat membanggakan perusahaan.

Seharusnya ia semakin dilimpahkan kebahagiaan atas kerja keras suaminya yang telah mengangkat derajat keluarga mereka. Namun, yang terjadi justru dirinya dirundung kesedihan dan kepedihan atas perubahan sikap suami dan ibu mertuanya. Jihan berharap suatu saat nanti bahagia yang hilang akan kembali, menghalau duka lara di hatinya.

BAB 2~ KAMU DIMANA, MAS?

Setelah menenangkan putranya seperti biasa, Jihan kembali ke kamarnya. Saat dia masuk, suaminya baru saja selesai berpakaian. Fahmi sudah tampak segar sehabis mandi.

"Mas, kapan sih kamu punya waktu untuk Dafa? Aku gak tega lihat dia sedih terus." Tanya Jihan sembari mengambil handuk yang dipakai suaminya mengeringkan badan sehabis mandi, yang diletakkan begitu saja di atas tempat tidur.

Kebiasaan Fahmi selama enam bulan terakhir, suka menaruh handuk basah sembarang tempat. Padahal, dulu suaminya itu selalu menjemur sendiri handuk yang habis dipakainya mandi. Tapi sekarang, bukan hanya sikap Fahmi yang berubah, tapi kebiasaannya juga.

"Harus berapa kali sih aku bilang? Aku capek Jihan, kamu kan tahu kalau sekarang pekerjaanku lebih banyak dari sebelum menjadi Manager. Seharusnya kamu ngertiin aku dong. Kalau Dafa mau ke Taman bermain, ya kamu bawa aja, gak usah nunggu aku." Kata Fahmi dengan nada kesal.

Fahmi lalu berjalan keluar kamar. Jihan gegas menyusul suaminya dan mensejajarkan langkah mereka.

"Aku ngerti, Mas. Tapi Dafa juga butuh kamu Ayahnya, masa gak bisa minta izin sebentar saja demi anak." Ucap Jihan.

Fahmi menghentikan langkahnya, ia menatap Jihan dengan tajam. "Kamu pikir, kantor itu punya Bapakku yang seenaknya saja aku bisa minta izin hanya demi untuk memenuhi permintaan Dafa. Kamu mau kalau jabatan ku diambil lagi, atau kamu mau suamimu ini dipecat dan hidup kita kembali susah seperti dulu. Itu yang kamu mau, huh?" Ucapnya dengan berteriak di depan wajah Jihan.

Nafas pria itu nampak naik turun karena amarah yang menguasi dirinya. Sudah berulang kali ia mengatakan hal yang sama pada Jihan, tapi sepertinya istrinya itu susah sekali diberi pengertian.

Jihan mengelus dada. Ia bukannya tidak mengerti, hanya saja ia tidak kuasa melihat putranya selalu bersedih. Maka itu, ia selalu berusaha membujuk suaminya agar meluangkan sedikit saja waktunya untuk Dafa. Tapi sepertinya, tidak ada celah untuk itu. Setiap kali ia memohon pada suaminya demi putra mereka, hanya keributan yang terjadi.

Jika hanya dirinya yang merasakan, mungkin ia masih terima. Tapi putranya juga turut merasakan kesedihan akan sikap suaminya itu, sungguh membuat hatinya kian sakit.

"Mas, kalau saja aku tahu, apa yang kita miliki saat ini membuatmu jauh dari putramu sendiri, aku lebih memilih kita hidup seperti dulu. Biar sederhana tapi aku bahagia atas kasih sayangmu untukku dan untuk putra kita." Ucap Jihan. Dia menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca.

Tersirat kerinduan dalam netranya. Rindu dengan kelembutan suaminya, rindu kasih sayang yang selalu tercurah meski hidup pas-pasan. Apalah artinya kemewahan jika hidupnya tak bahagia.

Kedua tangan Fahmi terkepal erat, rahangnya tampak mengeras seiring tatapannya yang semakin menajam bagai belati yang siap menghujam Jihan. Selama tiga tahun menjadi karyawan biasa, dengan kerja kerasnya hingga akhirnya ia berhasil mencapai posisi sebagai manager. Namun, setelah semua usahanya itu yang memberikan semua apa yang mereka tidak punya, Jihan justru menginginkan hidup seperti dulu, rumah yang kecil, motor butut dan gaji pun pas-pasan.

"Dasar istri yang gak tahu diuntung, sudah enak punya semuanya tapi malah pengen hidup miskin. Dimana otak kamu!?" Ibu Neny yang baru saja pulang, ikut tersulut emosi mendengar ucapan Jihan. Wanita paruh baya itu melangkah cepat menghampiri sang menantu.

Kini Jihan bagai berada diantara dua tombak yang runcing, ditatap tajam oleh suami dan ibu mertuanya membuatnya diam tak berkutik.

"Kamu bilang apa tadi, huh? Memilih hidup sederhana tapi bahagia, bahagia apanya? Makan tahu tempe tiap hari itu yang kamu bilang bahagia, pake otak kamu Jihan!" Ibu Neny berkata sarkas sambil menoyor kepala Jihan.

Fahmi hanya diam melihat perlakuan ibunya, sama sekali tak ada niat untuk membela istrinya. Menurutnya apa yang dilakukan oleh ibunya itu sudah benar, Jihan memang harus diberi pengertian agar paham bahwa hidup mereka sekarang jauh lebih baik daripada dulu.

"Sudahlah, Bu. Percuma ngomong sama dia, gak bakal ngerti juga. Aku pamit," Fahmi mencium punggung tangan ibunya kemudian mengayun langkah menuju pintu utama.

"Mas, mau kemana?" Jihan gegas menyusul suaminya. Ia sudah memasak makanan kesukaan sang suami, tapi pria itu malah ingin pergi.

"Mas, tunggu." Panggil Jihan sembari berlari pelan, tapi Fahmi tak menghiraukan panggilannya. Suaminya itu malah semakin mempercepat langkahnya menuju pelataran. Setelah berada dalam mobil, Fahmi gegas melajukan mobilnya.

Jihan mematung dengan nafas yang tersengal-sengal, kedua matanya berkaca-kaca menatap mobil suaminya yang melaju cepat. Katanya capek, tapi kenapa sekarang malah pergi lagi.

Jihan baru beranjak dari tempatnya berdiri ketika mendengar teriakkan ibu mertuanya memanggil. Ia pun gegas masuk ke dalam rumah.

"Ada apa, Bu?" Tanyanya.

"Kalau Fahmi pulang telat, kamu makan saja bareng Dafa dan sisa makanannya simpan saja, bisa dipanaskan untuk sarapan besok. Ibu juga mau keluar, ada janji makan malam sama teman-teman arisan Ibu." Setelah mengatakan itu, bu Neny pun pergi ke kamarnya untuk bersiap-siap.

Jihan melangkah dengan gontai menuju ruang makan, menarik kursi lalu duduk diiringi dengan helaan nafas berat. Menatap nanar makanan yang terhidang di atas meja makan. Ia sudah susah payah memasaknya, namun suami dan ibu mertuanya justru meninggalkan rumah.

Ketika mendekati waktu Maghrib, Jihan bergegas membersihkan diri. Setelah itu mengajak putranya untuk sholat bersama.

"Bunda, kok Ayah sama Nenek udah gak pernah sholat bareng kita lagi?" Tanya Dafa.

Jihan yang baru saja memasangkan kopiah putranya, tersenyum sembari memegang kedua pundak putranya. "Ayah sama Nenek ada urusan di luar, Nak. Tapi Ayah sama Nenek pasti sholat kok walau gak bareng kita."

"Gitu, ya Bunda?"

Jihan mengangguk, senyum masih menghiasi wajahnya. Padahal dalam hati tengah menahan sesak.

Setelah selesai sholat Maghrib, Jihan kemudian mengajak putranya makan berdua. Hening dan terasa hampa tanpa kehadiran suami dan ibu mertuanya, entah di mana mereka sekarang.

Bahkan usai Jihan menunaikan sholat Isya, masih belum ada tanda-tanda Fahmi dan ibu Neny akan pulang. Ia masih menunggu sampai waktu menunjukkan pukul sembilan malam, merasa cemas ia akhirnya memutuskan untuk menghubungi suaminya. Berdering, namun tak kunjung ada jawaban.

Ketika mendengar suara bel berbunyi, ia bergegas keluar kamar. Berjalan cepat menuju pintu utama, yang pulang pasti suaminya.

"Kamu ngapain aja sih, lama banget buka pintunya!" Tukas bu Neny.

Jihan tersentak, senyumnya seketika surut. Ia kira suaminya yang pulang, tapi ternyata ibu mertuanya. "Bu, apa Ibu tahu Mas Fahmi pergi kemana?" Ia memberanikan diri untuk bertanya.

"Ya mana Ibu tahu, kamu kan istrinya seharusnya kamu lebih tahu kemana suami kamu pergi." Ucap bu Neny lalu melangkah masuk.

Setelah menutup pintu, Jihan kembali menghubungi suaminya. Namun, hasilnya sama saja, masih tak ada jawaban.

"Kamu di mana sih, Mas?" Ia menatap nanar layar ponselnya.

BAB 3~ HAL YANG SUDAH JARANG IA SAKSIKAN

"Makasih ya, Mas. Akhirnya kamu menepati janji untuk menikahi aku, walaupun pernikahan kita cuma sirih tapi aku senang banget." Ucap Windi dengan nada manjanya sembari bergelayut mesra di lengan Fahmi.

"Aku juga senang banget, aku sudah cukup lama menahan diri. Tapi maaf ya, kita masih harus sembunyi-sembunyi dulu. Jangan sampai orang-orang Kantor tahu." Kata Fahmi sambil membelai wajah Windi. Wanita itu hanya menjawabnya dengan anggukan pelan serta senyum nakalnya.

Akad baru selesai digelar beberapa jam lalu di rumah Windi, dengan sederhana dan dihadiri oleh ibunya Fahmi serta dua orang saksi yang merupakan tetangga Windi. Sedangkan Windi sendiri diwalikan oleh wali hakim karena telah menjadi yatim-piatu dan merupakan anak tunggal, ia hanya memiliki bibi di kampung yang sudah lama tak berkabar.

Windi sudah cukup lama berada di kota, bekerja sambil kuliah. Sampai akhirnya ia diterima bekerja di perusahaan yang sama dengan Fahmi.

Mulanya mereka sama-sama karyawan biasa, tetapi karena prestasi dan kinerja Fahmi yang memuaskan akhirnya diangkat menjadi manager. Hubungan mereka pun terjalin setelah 3 bulan Fahmi menduduki posisi manager. Seringnya bertemu dan perhatian yang selalu diberikan Windi, Fahmi mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Ia mulai membanding-bandingkan antara Jihan dan Windi, hingga akhirnya terjalinlah hubungan gelap itu.

Pernikahannya malam ini pun sudah ia rencanakan sejak beberapa hari lalu, dan didukung penuh oleh ibunya. Bahkan mereka bertiga sempat makan malam bersama sebelum ibu Neny memutuskan pulang agar tidak membuat Jihan curiga.

"Malam ini, Mas Fahmi menginap di sini, kan?" Tanya Windi, tatapannya begitu menggoda membuat Fahmi pun menatapnya penuh gairah.

"Kamu ini gimana sih, ini malam pertama kita. Masa aku akan pulang." Ujar Fahmi, jari jemarinya semakin bergerak nakal, yang semula membelai wajah kini turun bergerilya di ceruk leher Windi.

"Tapi bagaimana kalau Mas dicariin sama yang di rumah?" Ucap Windi dengan nada sensual, nyaris terdengar seperti lenguhan.

"Biarkan saja, malam ini aku tidak ingin ada gangguan." Fahmi lalu menarik pinggang Windi dan merapatkan ke tubuhnya."

.

.

.

Jihan terbangun saat terdengar suara adzan subuh. Ia menghela nafas panjang kala tak mendapat Fahmi di sampingnya, termenung sejenak memikirkan dimana keberadaan suaminya sekarang, kemudian akhirnya turun dari tempat tidur dan menuju kamar mandi.

Usai melaksanakan sholat wajib dua rakaat itu, ia menengadahkan kedua tangannya dengan mata berkaca-kaca. Mengadukan semua keluh kesah di hatinya pada sang pencipta.

"Ya Allah, maafkanlah hambamu ini. Aku bukannya tidak bersyukur atas apa yang kami miliki saat ini. Hanya saja, aku justru merasakan kehampaan atas ini semua. Sejak derajat keluarga kami terangkat, aku kehilangan kasih sayang suami dan ibu mertuaku. Ya Allah, aku mohon kesudihan Engkau melembutkan kembali hati suami dan ibu mertuaku. Aku merindukan kasih sayang mereka. Sesungguhnya bukan hanya aku yang merasakan kesedihan atas sikap mereka, tapi putraku juga."

Air mata Jihan menetes seiring setiap bait doa yang dipanjatkan nya, bibirnya bergetar pun dengan kedua tangannya. Ia mengakhiri doa dengan menyapukan kedua telapak tangannya ke wajah, diiringi pengharapan penuh dalam hati semoga Allah memperkenankan doanya.

Setelah menyimpan mukenah dan sajadah, Jihan meraih ponselnya yang berada di atas nakas dan kembali menghubungi suaminya. Beberapa kali mencoba, namun tak kunjung ada jawaban ia akhirnya memutuskan untuk menemui ibu mertuanya.

"Astaghfirullah, apa Ibu gak sholat ya?" Gumam Jihan setelah beberapa kali mengetuk pintu kamar ibu mertuanya, namun tak ada sahutan dari dalam.

Jihan beralih ke kamar putranya, membuka pintu dengan sangat pelan agar tidak menimbulkan suara. Bibirnya menyunggingkan senyum, namun sorot matanya nampak sendu melihat Dafa yang tertidur pulas.

"Maafin Bunda ya, Nak. Bunda sengaja gak bangun Dafa sholat, Bunda gak tahu harus jawab apa lagi kalau Dafa tanya Ayah dimana dan kenapa gak sholat bareng kita. Bunda juga gak tahu dimana Ayah sekarang." Ia menghela nafas berat seraya menutup kembali pintu kamar putranya.

Demi menghalau kerisauan di hatinya, ia mulai menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah yang biasanya ia kerjakan saat pagi.

Sementara itu di rumah Windi.

Fahmi baru saja selesai membersihkan diri, sedang Windi masih tertidur karena kelelahan melayani suaminya. Fahmi benar-benar merasa terpuaskan, semalam ia melakukannya sampai berulang kali.

Setelah selesai berpakaian, ia duduk di tepi tempat tidur. Tersenyum menatap tanda merah di leher Windi, bekas percintaan mereka semalam.

"Sayang, hei ayo bangun." Ia mengusap-usap pelan pipi istri keduanya itu.

"Mas, aku masih ngantuk." Keluh Windi dengan suara seraknya, tanpa membuka mata.

"Aku cuma mau pamitan pulang, aku harus tetap masuh kerja hari ini."

"Ya udah, Mas hati-hati di jalan ya. Tapi, hari ini aku gak masuk kerja dulu gak apa-apa, kan? Aku masih ngantuk banget, badan aku juga rasanya sakit semua." Keluh Windi.

Fahmi tersenyum, bak merasa bangga telah membuat istri sirihnya itu kelelahan karena keperkasaannya.

"Ya udah gak apa-apa, tapi jangan sampai siang tidurnya. Kamu harus mandi air hangat biar badannya terasa enakan lagi. Dan nanti aku akan kirim makanan ke sini." Ujarnya.

"Makasih ya, Mas. Kamu perhatian banget sama aku." Windi membuka mata, lalu merentangkan kedua tangannya pada sang suami.

Fahmi menyambutnya dan melabuhkan kecupan mesra di kening, kemudian bergegas pergi setelahnya. Ia akan pulang terlebih dahulu untuk berganti pakaian sebelum berangkat ke kantor, ia jadi berpikir membeli pakaian baru untuk ia taruh di rumah Windi agar tidak kerepotan seperti sekarang.

Jihan baru saja selesai menghidangkan makanan di meja makan saat terdengar suara klakson mobil yang memasuki pelataran. Ia seketika tersenyum sebab yakin suaminya yang datang, bergegas ia keluar untuk menyambut.

"Akhirnya Mas Fahmi pulang juga, semalaman aku cemas nunggui Mas pulang. Mas Fahmi kemana dan kenapa telepon aku gak di angkat?"

Fahmi membuang nafas kasar, kedua matanya mendelik kesal. "Jihan, please ini masih pagi dan gak usah ngajak ribut."

Ekspresi wajah Jihan seketika terperangah, "Mas aku cuma nanya, apa itu salah?"

"Salah, sangat salah. Kamu pikir aku kemana semalaman gak pulang, huh? Aku kerja Jihan, aku lembur dan sampai ketiduran di kantor!" Tukas Fahmi kemudian berlalu meninggalkan istrinya itu.

Jihan dengan cepat menyusul, "Mas aku minta maaf, aku gak tahu kalau Mas lagi lembur semalam. Ya sudah, sekarang Mas sarapan ya, aku sudah siapkan."

Tanpa kata Fahmi langsung menuju ruang makan, ia memang merasa sangat lapar sekarang. Tak dapat dipungkiri, semalam tenaganya benar-benar terkuras habis.

Jihan tersenyum melihat suaminya makan dengan sangat lahap, hal yang sudah sangat jarang ia saksikan. Bahkan ia tidak ingat lagi kapan terakhir kali Fahmi menikmati makanan buatannya dengan lahap seperti ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!