Caroline Blythe menatap kosong pada tumpukan piring kotor yang berserakan di dapur kecilnya. Jam di atas lemari menunjukkan pukul tiga pagi, tapi rasa kantuk seolah jauh darinya. Dia baru saja pulang dari shift malam di bar, menghabiskan waktu di antara tawa mabuk dan wajah-wajah asing yang tak lagi dikenalnya. Bukan ini hidup yang dia bayangkan lima tahun lalu.
Ponselnya berdering, menggetarkan meja kayu yang reyot. Mata Caroline menyipit, siapa yang menghubunginya di tengah malam seperti ini? Nomor tak dikenal muncul di layar, tapi entah kenapa ia tergerak untuk menjawab.
“Selamat malam, saya bicara dengan Caroline Blythe?” Suara laki-laki itu terdengar tenang namun penuh otoritas.
“Ya, ini Caroline,” jawabnya, mencoba mengendalikan rasa curiga.
“Perkenalkan, saya Richard Hastings, seorang pengacara. Saya ingin menyampaikan berita mengenai warisan dari mendiang kakek Anda, Reginald Ashbourne.”
Caroline terdiam. Nama itu seperti membawa angin dingin yang menyelinap ke dalam pikirannya. Kakeknya, Reginald, adalah sosok misterius yang hampir tak pernah ia dengar cerita tentangnya. Bahkan, ibunya, dalam keadaan mabuk sekalipun, jarang membahas keluarga besar mereka.
“Maaf, apakah ini semacam penipuan?” Caroline bertanya, lebih karena tak percaya daripada curiga.
“Tidak, Nona Blythe. Ini resmi. Kakek Anda meninggalkan rumah tua di pedesaan Inggris beserta tanah pertanian untuk Anda. Jika Anda bisa meluangkan waktu, saya akan menjelaskan lebih lanjut.”
Sepasang mata Caroline membulat. Di tengah krisis keuangan yang menjeratnya seperti jerat yang semakin mengencang, berita ini terdengar seperti cahaya samar di ujung lorong gelap. Sementara pikirannya masih sibuk mencerna, suara Richard melanjutkan, “Saya mengerti mungkin ini mengejutkan. Anda bisa datang ke kantor saya atau jika lebih nyaman, kita bisa bertemu di rumah warisan tersebut.”
Caroline tak butuh waktu lama untuk membuat keputusan. Dengan tabungan yang semakin menipis dan kenyataan pahit bahwa dia mungkin harus segera angkat kaki dari apartemen kecilnya, tawaran ini seperti secercah harapan.
---
Dua hari kemudian, Caroline menatap rumah tua di hadapannya. Rumah itu terletak di ujung pedesaan yang sepi, dikelilingi kabut yang seolah menutupinya dari dunia luar. Dinding batu abu-abu dan jendela besar yang sedikit retak membuat rumah itu terlihat angker, namun ada sesuatu yang membuat Caroline merasa tertarik untuk masuk.
Pintu besar berderit saat ia mendorongnya perlahan. Aroma lembap dan debu memenuhi udara di dalam rumah, seperti kenangan lama yang terbengkalai dan terlupakan. Di ruang tamu, perapian batu yang besar tampak gelap, tanpa nyala api yang memanaskan ruangan.
“Selamat datang, Nona Blythe,” suara Richard terdengar dari sudut ruangan. Caroline tersentak, sedikit terkejut dengan kehadiran pria itu yang sudah menunggu di dalam rumah.
“Mr. Hastings,” Caroline menyapa, mencoba menguasai kegugupan yang terasa menyelimutinya.
Richard tersenyum tipis. “Rumah ini sudah berdiri lebih dari dari 50 tahun lalu, penuh sejarah. Banyak yang bilang tempat ini memiliki ‘jiwa’ sendiri,” katanya sambil menatap sekeliling ruangan. “Kakek Anda tinggal di sini selama hampir seluruh hidupnya.”
Caroline mengangguk pelan. Dia tidak tahu apa yang harus dia katakan. Memori tentang kakeknya samar; yang ia tahu hanya bahwa pria itu hidup sendiri, jauh dari keluarga.
Richard kemudian mengeluarkan sebuah kunci kuno dari kantongnya. “Ini adalah kunci untuk seluruh rumah dan pertanian di sekitar sini. Anda adalah satu-satunya ahli waris yang sah, dan rumah ini beserta tanah pertaniannya sekarang menjadi milik Anda.”
Caroline memegang kunci itu dengan tangan gemetar. Ada perasaan aneh yang merayap di hatinya, antara rasa penasaran dan ketakutan yang tidak bisa dijelaskan.
“Saya harus menandatangani sesuatu?” tanyanya, mencoba menenangkan pikirannya.
Richard mengangguk, membuka dokumen yang sudah ia siapkan dan menyerahkannya pada Caroline. Setelah tanda tangan selesai, Richard mengamati Caroline dengan tatapan penuh perhatian.
“Jika saya boleh memberi saran,” katanya hati-hati, “jangan biarkan rumah ini kosong terlalu lama. Rumah ini... tempat ini, butuh perawatan dan kehadiran seseorang. Dan... beberapa warga desa mengatakan bahwa Reginald selalu berpesan agar rumah ini tidak dibiarkan sendirian.”
Caroline mengerutkan kening, merasa ada sesuatu di balik kata-kata Richard. Tapi ia hanya mengangguk dan menelan pertanyaannya.
---
Malam pertama di rumah itu tidak berjalan dengan mulus. Caroline tak bisa tidur. Angin malam menyelinap dari celah jendela yang retak, membuat tirai bergoyang pelan seolah ada seseorang yang sedang mengintip dari luar. Suara gemerisik dari lantai atas terdengar samar, membuatnya berkali-kali berpikir ada yang berjalan di lantai kayu yang tua.
Caroline mencoba menenangkan diri. Ini hanya rumah tua, ia meyakinkan dirinya. Tapi rasa dingin yang melingkupinya terasa semakin nyata. Ia pun berjalan menuju dapur, mencari sesuatu untuk diminum agar tubuhnya lebih rileks.
Saat ia menyalakan lampu dapur, pandangannya tertuju pada sebuah bingkai foto tua yang tergantung di dinding. Foto hitam putih itu menampilkan seorang pria tua dengan wajah keras, berdiri di depan rumah yang sekarang dimilikinya. Pria itu tampak angkuh, dengan tatapan yang menembus dan seolah menilai siapapun yang berani menatap balik.
“Jadi ini kakekku,” bisiknya, merasa ada rasa nyeri aneh yang menyelinap di dadanya. Seolah bayangan pria di foto itu masih hidup dan menatapnya dari jauh.
Caroline kembali ke ruang tamu dengan secangkir teh hangat, berharap ini akan menenangkannya. Namun, saat dia duduk di kursi, sebuah suara lembut bergema di telinganya. Bukan suara angin atau desiran dedaunan, tapi lebih seperti bisikan samar yang datang dari sudut ruangan.
“Caroline...”
Cangkir teh di tangannya hampir jatuh ketika ia mendengar namanya disebut. Ia menoleh cepat, namun ruangan itu kosong. Ia mengedarkan pandangannya, berharap ini hanya imajinasinya. Namun, semakin lama, bisikan itu semakin jelas, menggema dalam pikirannya.
“Caroline... selamat datang di rumah.”
Nafasnya tertahan, tubuhnya menggigil. Dia mencoba bangkit dari kursinya, namun tubuhnya terasa berat. Seolah ada sesuatu yang menahannya, mengikatnya di tempat itu.
Sebuah bayangan samar terlihat di ujung ruangan, sesosok siluet yang tinggi dan kurus, dengan mata yang berkilat di antara kegelapan. Caroline menatapnya dengan perasaan takut dan takjub. Sosok itu hanya berdiri, menatapnya dengan mata yang dingin.
Saat dia mengedipkan mata, bayangan itu menghilang, menyatu dengan kegelapan. Caroline menelan ludah, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdebar kencang. Mungkin ini hanya kelelahan, pikirnya, meskipun dia tahu jauh di dalam hati bahwa ada sesuatu di rumah ini. Sesuatu yang sudah lama menunggu kehadirannya.
Keesokan paginya, dia menemukan jejak-jejak langkah berdebu di lantai kayu menuju pintu belakang. Dia tahu jejak itu bukan miliknya, karena dia bahkan belum menyentuh bagian belakang rumah.
Dan dari sinilah kisah seram perjalanan caroline dimulai.
Dreet…
Dreeet..
Dreeet…
Caroline mangambil Ponselnya dengan malas, ternyata Harry Langley yang melakukan panggilan.
“Halo” ujar Caroline malas
“Caroline, mengapa kau tidak bilang jika kau pindah ke rumah kakekmu,” tanya Harry Langley sedikit Emosi.
“Maafkan aku Harry, aku tidak sempat. Kemarin pengacara itu, Tuan Richard yang mengantarku ke Ravenmoore,”
“Baiklah aku segera meluncur kesana sebentar lagi. Aku sudah menyiapkan makanan untukmu dan beberapa bekal. Tunggu aku disana,” KLEK
Belum juga Caroline sempat menjawab, Harry sudah mematikan ponselnya.
Dengan rasa malas Caroline bangkit dari tidurnya di karpet yang dia gelar di lantai rumah tua itu.Teringat dia akan peristiwa kemarin, belum apa apa dia sudah mendapatkan suara dan penampakan di rumah itu
“Mungkin aku waktunya minum Obat,” gumam Caroline dalam hati.
Maklumlah Caroline memang sedang mendapatkan terapi untuk Kondisi PTSD yang dia derita. Memang saat ada di London, Jika Stress nya kambuh, dia juga pernah mengalami halusinasi, apakah itu berwujud penampakan atau suara. Sehingga saat dia melihat penampakan kemarin, dengan enteng dia menduga waktunya minum obat.
Sebetulnya tinggal di rumah yang hampir roboh ini mirip sekali dengan gelandangan yang ada di pinggiran kota London. Namun setidaknya di dalam rumah ini hangat, dan terkunci. Jika dia memilih tinggal sebagai gelandangan di London, maka banyak sekali ancaman Kriminal yang mengintai, belum lagi jika terciduk dinas sosial.
Kata orang, lebih baik bertemu hantu dari pada Manusia Jahat. Kalau hantu tidak bisa menyakiti raga, Kalau orang jahat, dia bisa melakukan tindakan kekerasan dan pembunuhan yang kejam.
Caroline mencari tas kecilnya dan mengambil bungkus rokok yang didalamnya tinggal dua batang. Dinyalakannya satu dan dihisapnya dalam dalam. Dia teringat peristiwa seminggu lalu saat ibunya di ciduk petugas dinas sosial karena ketahuan mabuk di jalanan depan rumah dan mengganggu ketenangan tetangga.
“Pergilah kalian dari sini keluarga Brengsek. Kalian sungguh tidak pantas tinggal di sini. Dasar manusia tikus jalanan, sampah masyarakat,” umpat beberapa tetangganya.
Saat itu dia setengah bersyukur karena pada akhirnya ibunya diangkut ke pusar Rehab alkohol. Namun persoalan baru muncul ketika Pemilik rumah sewa yang ditinggalinya mengusir dan memberi Deadline untuk membayar tunggakan sewa yang sudah menggunung.
Untungnya tak berapa lama, entah keajaiban dari mana, tuan Richard menghubunginya dan memberi tahu soal warisan rumah ini. Segera Caroline mengiyakan untuk menerima warisan itu dengan syarat tuan Richard mau memberinya hutang untuk membayar tunggakan sewa unit apartemen murah yang selama dua tahun ini ditempatinya bersama ibu.
Dan, disinilah dia, di desa yang asing baginya, Ravenmoore. Tanpa uang, tanpa air minum, tanpa makan, mungkin juga tanpa bisa mandi. Rumah ini lebih mirip penjara dari pada rumah. Penjara yang kotor dan jorok.
TOK…TOK..TOK
Dilihatnya Harry sudah ada di depan pintu rumah, Segera dibukanya dan menyambut Harry.
“Hai harry, kau tidak kesulitan mencari rumah reot ini bukan?” tanya Caroline
“Hemm tentu tidak, rumah ini paling jelek dan nampak tak terurus. Orang sekitar bahkan menamainya rumah hantu penasaran. Kabarnya pada malam malam tertentu rumah ini, ramai dengan suara suara tidak jelas.” ujar Harry sambil meringis.
Caroline hanya tersenyum kecut lalu mempersilahkan Harry masuk.
“Caroline, bagaimana kau akan tinggal di rumah kotor dan berdebu macam ini? Bahkan rumah ini sepertinya tidak punya supply listrik, penghangat ruangan dan juga air bersih? Kau sudah gila?” tanya Harry.
“Aku tidak punya pilihan Harry, aku diusir dari kontrakan apartemenku. Aku tidak tahu harus kemana. Dari pada aku menggelandang di jalanan London, lebih baik aku memilih tinggal disini. Setidaknya ada pintu, tertutup dan terkunci. Aku bisa cuci muka di pomp bensin atau sejenisnya,” ujar Caroline tek berdaya.
“Tadi ketika masuk ke desa ini, aku melihat motel di pinggir jalan. Aku kira kau lebih baik tinggal disana kalau malam, sehingga kau bisa tidur dengan nyaman, dan pagi harinya kesini membersihkan rumah ini dan membenahi apa apa yang perlu dibenahi.”
“Aku tidak punya uang Harry, dan aku tidak mau merepotkanmu.” ujar Caroline, wajahnya menunduk menghindari tatapan mata Harry.
“Jangan tolol, ayo ikut aku,” ujar Harry
Diseretnya Caroline naik ke dalam mobil yang dibawanya. Dan segera mereka menuju Motel yang tadi Harry lihat.
*****
Caroline’s POV
Air hangat mengguyur tubuhku yang kotor dan lusuh. Dua hari aku tidak tersentuh air. Sejak peristiwa penangkapan ibu oleh Petugas dinas sosial, PTSD ku kambuh lagi. Aku tidak sadar kalau aku sudah tidak mandi selama dua hari. Baru hari ini kulitku terguyur air lagi.
Rasanya tak pernah terbayang, bahwa aku akan menerima pertolongan Harry seperti ini. Sejak aku menolak cintanya dua bulan lalu, aku tidak pernah terpikir, bahwa dia masih akan peduli padaku. Bahkan dia membelikan aku baju, makan, minum dan membayar tukang untuk membenahi rumah kakek. Oh Tuhan, hidupku benar benar berantakan.
Motel ini cukup bagus, Harry menyewa dua kamar, satu untukku dan satu untuknya. Dia tahu betul, aku tidak suka dan tidak akan mau menerima jika dia hanya menyewa satu kamar untuk kami tempati bersama. Namun kali ini, Harry tidak segera pergi ke kamar nya. Dia sepertinya sengaja menungguku selesai mandi.
“Kau kelihatan lebih segar sekarang Caroline,” Kata Harry padaku sambil tersenyum.
Aku hanya tertunduk malu. Untung sekarang menjelang musim dingin, sehingga aku tidak banyak berkeringat. Bisa dibayangkan jika ini musim panas dan aku tidak mandi selama dua hari. Wow seperti apa bau badanku.
Perlahan aku duduk di sebelahnya, lalu aku berkata,” Terimakasih Harry untuk semuanya. Aku tidak akan pernah bisa membalasnya,”
“You are Welcome. Aku tidak meminta balasan apapun darimu,” ujar Harry.
Harry lalu menatapku tajam dan bertanya,” Apakah kau kenal dengan kakekmu yang mewariskan rumah ini?”
“Tidak Harry, aku tidak mengenalnya. Hanya saja, pengacara kakek tuan Hastings, memintaku menerima surat menyurat terkait rumah itu beserta dokumennya.
“Siapa nama kakekmu,” tanya Harry
“Reginald Ashbourne”, jawabku
Harry kemudia bertanya lagi, “ Bagaimana ceritanya kau bisa tidak mengenalnya selama ini?”
Aku jelaskan pada Harry bahwa Kakekku itu pergi meninggalkan nenekku begitu saja setelah anak mereka lahir, yaitu ibuku. Dan sejak saat itu kami tidak pernah lagi melihat kakek.
Harry termangu mendengar penjelasanku. Lalu dia berkata,” Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu sampai kapan pun”
Tatapannya lurus ke mataku dan menusuk. Aku hanya diam seribu bahasa. Lalu perlahan aku berjalan meninggalkan dia duduk sendiri di kamar motel. Aku pergi keluar dan menghirup udara segar. Siang itu terasa terik. Namun hatiku gelap. Aku tidak tahu kemana mau melangkah setelah ini.
****
Malam itu sesuai rencana Caroline tidur di Motel. Dia nampak sangat lelah. Tidurnya sangat nyenyak. Tiba tiba dia dikejutkan oleh lemparan kerikil ke arah kamar motelnya.
Kletal …Kletak…
Caroline terbangun, dan berjalan mendekati jendela. Terlihat sepi dan tidak ada siapa siapa. Segera dia berbalik dan hendak kembali tidur. Tetapi sesuatu yang aneh terjadi. Di pojok kamar motel tempat dia menginap, nampak bayangan gelap yang tidak jelas bentuknya. Makin lama makin tinggi dan makin tinggi menembus genteng motel. Caroline sangat terkejut dan mulai ketakutan, apa lagi tak berapa lama terdengar bisikan sayup sayup…
“Suuust…suust..Caroline,”
Caroline menutup telinganya dan memejamkan matanya. Dalam hati dia bergumam,”Ini pasti Halusinasi, ini pasti karena aku lupa minum obat, please stop,”
Namun begitu dia membuka matanya, tepat didepan wajahnya nampak seraut wajah yang keriput seperti lama terendam air, dengan pola retak retak biru seperti lebam mayat. Bau anyir menyeruak ke segenap penjuru ruangan dan suasana tiba tiba dingin mencekam.
Lalu wajah wanita itu membuka mulutnya dan mengeluarkan suara teriakan yang nyaring melengking memekakkan telinga. Spontan Caroline menjerit tanpa henti sambil menutup kembali mata dan telinganya.
Tiba tiba,,,tok tok tok…”Caroline buka pintunya.”
Suara Harry terdengar dari luar ruangan. Sontak Caroline berdiri dan membuka pintu kamarnya dan memeluk Harry.
“Harry aku takut..”
Harry balas memeluknya dan berkata, “Easy…easy Caroline tenanglah. Ceritakan pelan pelan apa yang terjadi?”
“Aku…aku,” Caroline tidak sanggup bercerita, dia takut Harry tahu halusinasi nya kambuh. Sampai detik ini dia berpikir bahwa dia mengalami halusinasi.
“Tenanglah Caroline, aku ada disini,” jawab Harry
“Maukah kau menemaniku tidur malam ini Harry?” jawab Caroline dengan wajah pucat dan kata terbata bata.
“Oke Oke. Kau pindah ke kamarku saja,” jawab Harry.
Akhirnya berdua mereka memasuki Kamar Harry dengan Caroline yang masih memeluk Harry kuat kuat. Lama kelamaan Caroline sadar, bahwa dia sedang memeluk Harry. Dia segera melepas pelukannya.
Tetapi Harry justru menahannya dan malah mendorong kepala Caroline dari belakang ke arah bibirnya dan melumat bibir gadis itu dengan mesra. Sebuah ciuman yang sangat dalam dan mesra. Caroline tidak bisa mengelak dan melawan. Dia hanya mengikuti apa yang menjadi kemauan Harry malam itu. Menciumnya dengan Mesra.
...Ilustrasi Hantu yang menakuti Caroline ...
Tiba tiba Caroline menarik diri dari pelukan Harry sehingga ciuman mesra itu pun berakhir.
“Maafkan aku Harry, aku tidak bisa. Aku tidak mau menjalin hubungan cinta dengan siapapun. Aku juga tidak ingin kau menemui kesulitan, karena menjalin hubungan denganku.” ujar Caroline
“Caroline, maaf kan aku, aku paham. Namun setidaknya ijin kan aku membantumu sekali ini. Aku janji tidak akan memaksakan hubungan kita. Aku hanya tidak ingin kau ketakutan dan tersakiti,”
Caroline mengangguk. Malam itu di kamar Motel Harry, Caroline tidur di tempat tidur, sedangkan Harry di sofa. Harry menepati kata katanya,dia tidak mengambil kesempatan dalam kesempitan. Mereka berdua istirahat dengan tenang sampai pagi menjelang.
Keesokan harinya, mereka sudah di tunggu beberapa tukang di rumah tua kakek Caroline.
“Rumah ini memang masih Kokoh tuan Harry, tapi banyak atap yang bocor, sistem pemanas rusak, dan demikian juga pipa untuk aliran listrik dan air,” ujar Hans Mandor para tukang.
“Aku rasa aku tidak perlu memperbaiki seluruhnya Harry, cukup satu kamar saja. Sisanya nanti akan aku perbaiki jika aku punya uang,” kata Caroline
Hemmm Harry mengangguk angguk sambil berkeliling rumah bersama Caroline dan Mandor Hans.
“Aku ingin seluruh Atap diganti dan tidak bocor. Utamakan rumah bagian depan agar temanku bisa segera menempati kamarnya. Lalu perbaiki semua pipa , baik itu pipa pemanas maupun air. Lalu cat semua rumah. Aku akan mengusahakan besok listrik mengalir lagi ke rumah ini,” kata Harry pada Hans
“Baik Tuan, akan kami usahakan secepatnya,”
“Oya aku ingin paling tidak 50 persen pekerjaan selesai di minggu pertama. Sehingga temanku bisa segera pindah ke rumah ini. Oya kerahkan juga anak buahmu untuk membersihkan dinding rumah serta lantainya yang sudah banyak ditumbuhi tanaman dan jamur.”
Hans mencatat semua instruksi Harry sambil sesekali memberi perintah pada anak buahnya.
“Caroline, sementara kau tinggal di Motel itu, aku sudah bayar untuk 2 minggu. Untuk semua tukang dan segala kebutuhan pembangunannya aku akan penuhi. Hans adalah anak buahku di kantor konstruksi. Dia sudah aku kontrak untuk mengerjakan rumah ini secara borongan. Kamu tidak perlu cemas. Oya untuk makan mu aku sudah minta pihak motel untuk menyiapkan dua kali makan dan satu kali snack untukmu.”
Caroline berkaca kaca mendengar semua penjelasan Harry. Dia merasa sangat berhutang budi. Harry sangat baik dalam mengurus dirinya.
“Aku tidak tahu harus berkata apa padamu Harry, kau sangat dermawan dan baik hati,” ujar Caroline.
Harry tersenyum sambil memegang tangan Caroline.
“Jangan lupa minum obatmu dari Psikiater. Kalau obatmu habis, bilang saja padaku. Nanti aku belikan. Kamu jangan banyak pikir, ok?”
Caroline hanya bisa mengangguk dan mengusap air matanya.
“Aku harus kembali ke London, dua minggu dari sekarang, aku akan menjengukmu. Semoga saat itu kau sudah tinggal di rumah ini,” kata Harry berharap.
Setelah berbasa basi sebentar, Harry lalu meninggalkan Caroline dan para tukang. Dia melaju Mobilnya kembali ke London.
*****
Malam itu hari ke tiga Caroline berada berada di desa Ravenmoore. Dia masih tidur di Motel. Sesuai pesan Harry, pemilik Motel selalu mengantarkan makan siang dan makan malam untuk Caroline, sementara pagi hari dia mendapatkan Snack dan susu hangat.
Caroline merasa sangat beruntung. Apa lagi Mr dan Mrs Jenkin pemilik Motel juga sangat baik padanya. Pernah suatu ketika Mrs Jenkin bertanya padanya tentang hubungannya dengan Harry.
“Apakah dia kakakmu atau pacarmu?” tanya Mrs Jenkin
“Dia bukan keduanya, Harry hanyalah teman baik bagiku nyonya. Kami berteman sejak kecil. Kami pernah tinggal di wilayah yang sama sebelum akhirnya ibu Harry menikah lagi dengan pengusaha kaya raya dan pindah ke lingkungan Elit di London,”
“Owh begitu. Dia baik sekali pada mu nona. Kau sungguh beruntung,”
Sejak saat itu setiap kali Caroline merenung, dia ingat semua kebaikan Harry. Hubungannya dengan Harry memang rumit dan sulit. Mereka sempat berpacaran sampai hampir menikah. Namun sayang, ketika ibu Harry tahu bahwa anaknya berpacaran dengan bekas tetangganya di perkampungan kumuh dulu, dia keberatan. Apa lagi ibu Harry tahu riwayat ibu Caroline yang menikah tanpa suami dan seorang Alkoholic. Dia merasa anaknya lebih pantas mendapat wanita kelas atas dari kalangan pengusaha atau bahkan Aristokrat.
Masih terngiang jelas dalam ingatan Caroline, “ Kau seharusnya tahu diri. Okelah dulu kau dan Harry teman main saat kami masih tinggal di apartemen kumuh itu. Tetapi sekarang kami harus menjaga nama baik Ayah tiri Harry. Kau tahu bukan apartemen kumuh itu terkenal sebagai kawasan miskin dan banyak kriminalitas. Apa kata kolega ayahnya jika tahu bahwa anak tirinya menikah dengan gadis sepertimu yang ibunya saja Alkoholik dan ayahnya tidak jelas.”
Pernyataan ibu Harry itu bagai sebuah jarum yang menusuk balon warna warni impiannya bersama Harry. Seketika itu juga Nyonya Steel melarang dia menemui Harry.
“Jangan lagi temui anakku, kau cari sajalah teman atau pacar dari kalangan mu yang sepadan denganmu. Jangan coba coba lagi kau dan ibumu yang sinting itu mendekati anakku”
Pernyataan itu memicu pertengkaran hebat antara Caroline dan Harry. Sehingga akhirnya Caroline memutuskan untuk menjauhi Harry. Tapi Rupanya Caroline adalah First Love bagi Harry sehingga dia tidak mudah dan begitu saja meninggalkan Caroline.
Walau pun bukan lagi berstatus pacar, Harry masih sering membantu Caroline. Apa lagi sejak dia meraih gelar arsitekturnya dan bekerja di perusahaan milik ayah tirinya, Dia jadi makin leluasa memberi Caroline uang dan mensupportnya.
Jadilah seperti sekarang, Caroline dan Harry berteman tapi kadang kadang mesra. Namun yang jelas Harry tahu, bahwa kehidupan Caroline tidak seberuntung dirinya. Dia tahu beban Caroline yang harus hidup sebatang kara sejak ibunya ditangkap oleh dinas sosial dan masuk ke panti Rehab alkohol setelah bikin onar dalam keadan mabuk di jalan.
Caroline tidak bisa tidur jika mengingat semua itu. Salah satu pemicu PTSD yang diidapnya adalah juga masalah dengan Harry. Itu pun Harry yang membawanya ke Psikiater, setelah beberapa kali Caroline melamun di jalan dan hampir ditabrak Truk.
Tak berapa lama Caroline mendengar ketukan lembut di pintu kamar motelnya.
Tok….Tok…..Tok
Dia terkesiap, siapa malam malam begini mengetuk pintu kamarnya. Perlahan dibukanya dengan terlebih dahulu memasang grendel pintu, untuk melihat siapa yang ada diluar. Sepi..tidak ada siapa siapa, Caroline segera menutup kembali pintu kamarnya dan bergegas kembali menyelinap ke dalam selimut.
Dia bergumam dalam hati,”Siapa yang mengetuk pintu kamarku? Apakah ini halusinasi karena aku tidak minum obat? Oh Tuhan, aku harus segera memperoleh pekerjaan untuk mendapat penghasilan sehingga bisa beli obat.”
Belum juga pikiran itu pergi kembali didengarnya ketukan halus di pintu kamar Motelnya.
Tok…Tok…Tok…..(selalu hanya 3 ketukan)
Penasaran Caroline bangkit lagi. Siapa tahu itu bukan Halusinasi putus obatnya. Digrendel lagi pintu itu dan dibukanya dari dalam, dan ….Oh My God..Caroline terngaga dengan mata membelalak lebar. Persis di depan pintu kamarnya dia melihat Sosok putih tinggi besar seperti berkerudung dengan wajah hanya tengkorak saja dan memandangnya dengan penuh amarah.
Caroline berusaha berteriak tapi tidak ada suara, sosok itu masih tetap menatapnya di depan pintu sambil berkata, “Pergi kau dari sini,”
Tak kuat melihat sosok mengerikan itu , tidak berapa lama Caroline pun pingsan, didepan pintu kamarnya.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!