Dinda saat ini berada di rumah salah satu tante-nya yang saat ini tengah menggelar acara pengajian karena besok anak dari tante Dinda ini akan melangsungkan pernikahan. Awalnya tak ada yang aneh, acara pengajian berlangsung dengan lancar tanpa ada gangguan sedikit pun hingga akhirnya selepas acara pengajian selesai, Dinda yang tengah duduk seorang diri menikmati hidangan yang tersaji dihampiri oleh salah seorang tante-nya yang bernama Widuri.
"Dinda, Tante pikir kamu gak akan datang ke acara pengajian ini."
"Sebenarnya aku malas datang Tante tapi dari tadi mama maksa aku supaya datang. Jadinya aku pulang dari kantor langsung ke sini."
"Ngomong-ngomong apalah kamu juga sudah ada calon? Maksud Tante, ya apakah kamu udah punya pacar?"
"Saat ini aku masih fokus sama karir Tante."
"Bener cuma karena karir? Bukan karena kamu ini suka sesama jenis?"
Sontak saja Dinda melotot tak percaya dengan apa yang Widuri katakan barusan, bagaimana bisa tante-nya ini sembarangan dalam menuduh seseorang penyuka sesama jenis?
"Apa maksud Tante menuduh aku sebagai penyuka sesama jenis?!"
"Iya abisnya kamu selama ini Tante perhatikan gak pernah bawa pasangan, wajar dong kalau Tante pikir kamu ini lesbi?"
Belum sempat Dinda membalas ucapan Widuri, nampak putri Widuri yang bernama Salsa datang dengan menggandeng suaminya yang berwajah bule karena memang suami Salsa adalah duda kaya raya asal Jerman dan Salsa selama ini tinggal bersama suaminya di Jerman dan baru kali ini pulang ke Indonesia.
"Mama kenapa di sini?"
"Oh Mama hanya mengobrol dengan Dinda. Udah lama Mama gak ngobrol sama Dinda karena selama ini Dinda kan gak pernah mau datang ke acara keluarga besar."
"Bilangin mama kamu ini jangan suka untuk mengatakan hal yang bukan-bukan," adu Dinda pada Salsa.
"Memangnya apa yang sudah mama katakan padamu?" tanya Salsa penasaran.
"Mama kamu bilang kalau aku ini adalah seorang penyuka sesama jenis padahal aku sudah mengatakan bahwa aku ini normal suka lawan jenis namun mama kamu tetap saja menuduhku begitu."
****
Salsa tersenyum miring pada Dinda, alih-alih membela Dinda dari ucapan jahat sang mama justru Salsa malah ikut-ikutan menghina Dinda.
"Apa yang mamaku katakan juga gak sepenuhnya salah Dinda. Wajar dong kalau orang berpikiran kamu ini penyuka sesama jenis, habisnya selama ini kamu gak pernah memperkenalkan laki-laki pada keluarga kita."
Seketika mood Dinda sudah hancur akibat hinaan demi hinaan yang dilakukan oleh Salsa dan Widuri. Keduanya memang sangat membenci Dinda padahal Dinda merasa tak pernah membuat masalah dengan mereka namun entah kenapa mereka selalu cari masalah dengan dia.
"Mbak Widuri, apa yang Mbak lakukan pada anakku?" tanya Herlin pada sang kakak saat melihat Widuri dan Salsa kompak mengerubungi Dinda.
"Kami hanya sedang berbincang santai Lin, kamu kenapa panik begitu wajahnya?"
"Dinda mau pulang sekarang."
Dinda sudah siap untuk pulang namun tangannya langsung dicekal oleh Herlin, bundanya itu tahu bahwa saat ini Dinda sedang tidak baik-baik saja.
"Lepaskan aku Bunda."
Herlin membawa Dinda ke tempat yang agak sepi untuk mereka bisa bicara.
"Apa yang sudah mereka katakan padamu?" tanya Herlin saat mereka sudah sampai di tempat yang sepi.
"Mereka mengatakan aku seorang penyuka sesama jenis."
****
Akibat ucapan Widuri dan Salsa membuat Dinda enggan hadir di acara akad dan resepsi pernikahan sang sepupu yang sebenarnya Dinda sudah mendapatkan seragam khusus untuk keluarga besar namun Dinda enggan memakainya apalagi datang ke acara itu. Kemarin sebenarnya bukan hanya Widuri saja yang mengatainya sebagai seorang penyuka sesama jenis namun kala istirahat di kantor, ia sempat mendengar bisik-bisik tak mengenakan dari beberapa bawahannya di kantor yang menggunjingnya sebagai perawan tua.
"Iiiih sebal!"
Dinda meninju bantal yang sedang ia peluk saat ini untuk melampiaskan kekesalannya saat ini. Setelah dirasa sudah cukup melampiaskan kekesalannya maka Dinda langsung pegi ke dapur untuk mengambil minum. Ketika di dapur itulah, ia mendengar suara pintu apartemennya terbuka dan tak lama kemudian ia bisa melihat adiknya datang ke sini.
"Sudah aku duga kamu ada di sini."
Dinda menatap tajam sosok Melvin yang berdiri tak jauh darinya.
"Mau apa kamu datang ke sini?"
"Aku disuruh bunda mengecek keadaan kamu. Bunda takutnya kamu depresi dan bunuh diri setelah mendengar ucapan tante Widuri dan Salsa kemarin."
Dinda tertawa sumbang mendengar ucapan Melvin barusan.
"Kamu pikir aku selemah itu sampai-sampai memutuskan untuk bunuh diri setelah mendengar ucapan mereka? Kamu salah Melvin."
"Apa yang kamu rasakan saat ini?"
****
Dinda tak pernah bercerita panjang lebar dengan seseorang mengenai masalah pribadinya namun entah kenapa saat ini ia melakukan semua utu dengan Melvin. Melvin sendiri mendengarkan semua keluh kesah kakaknya yang nampak sudah tak bisa menahan diri dari kekesalan akibat tumpukan masalah yang selama ini dipendam.
"Ditambah tidak lama lagi kamu akan menikah juga. Pasti aku akan dibanding-bandingkan dengan kamu. Aku sebenarnya bisa saja menutup telinga namun kalau orang-orang toxic itu selalu mendatangiku dan tetap memberikan racun maka apakah aku harus diam saja?"
Melvin menganggukan kepalanya, ia mengatakan pada sang kakak bahwa ia akan membicarakan ini dengan bunda mereka.
"Apakah sebelumnya kamu pernah bercerita pada bunda mengenai hal ini?"
Dinda menggelengkan kepalanya, Dinda mengatakan bahwa ia tak mau membebani sang bunda dengan ucapannya karena masalah yang bundanya alami juga pasti tidak mudah. Ia tak mau membebani dengan ceritanya yang mungkin saja bisa membuat bundanya kepikiran dan jatuh sakit.
"Namun kalau menurutku bunda juga harus tahu isi hatimu, Kak. Aku yakin bunda akan memahaminya."
Setelah berbincang panjang lebar akhirnya Melvin pamit dari apartemen Dinda. Selepas Melvin pamit maka Dinda menghela napasnya panjang, ia merasa sedikit lega setelah berbincang dengan Melvin barusan. Ponsel yang Dinda letakan di atas meja berdering menandakan ada panggilan masuk, ia melihat ada sebuah nomor asing yang menghubunginya saat ini dan Dinda langsung saja menjawab telepon itu.
****
Keesokan harinya, Dinda tiba mendapatkan kabar bahwa dirinya harus pergi ke Bintan sebagai wakil perusahaan mereka dalam upaya perusahaan menggandeng kerja sama dengan perusahaan asal Singapura untuk memperbesar dan memperluas jaringan mitra. Dinda yang pagi ini dikirimi tiket pesawat secara online dari kantor mau tak mau harus pergi. Ia tiba di bandara pukul 10 pagi dan sudah duduk di ruang tunggu setelah tadi ia pikir ia bakal ketinggalan pesawat namun kenyataannya justru pesawatnya mengalami delayed selama 2 jam.
"Pesawatnya delayed Mbak, gimana ini?" tanya rekan Dinda yang saat ini ditugaskan ikut bersamanya.
"Saya sudah mengirim pesan pada pak Widodo soal ini. Semoga saja mereka bisa paham."
Dinda tiba-tiba saja mau buang air kecil, ia pun gegas menuju toilet namun karena saking buru-burunya ia secara tak sengaja menabrak seseorang yang melintas dari arah yang berlawanan.
"Sorry."
Dinda merasa sudah sangat lega karena baru saja buang air di toilet. Ia melangkahkan kaki keluar dari toilet di ruang tunggu bandara itu namun alangkah terkejutnya ia mendapati seseorang yang mencekal lengannya saat hendak berjalan.
"Dinda."
Suara itu sungguh sangat familiar di telinga Dinda dan mau tak mau ia pun menoleh ke arah sumber suara dan di sana ia bisa mendapati dengan jelas sosok yang tengah mencengkram lengannya ini. Ekspresi Dinda sontak berubah menjadi dingin dan tidak ramah, bahkan Dinda langsung melepaskan tangan pria itu.
"Sungguh tidak disangka kita bisa bertemu di sini."
"Maaf tapi aku buru-buru."
Dinda jelas berusaha sekali untuk menghindari pria ini namun entah kenapa pria ini sepertinya malah ingin sekali menahan Dinda berlama-lama dengannya.
"Apakah kamu tidak rindu padaku?"
Dinda reflek melepaskan cekalan tangannya dengan menatap geram pada sosok yang berasal dari masa lalunya.
"Untuk apa aku merindukan pria yang sudah menjadi milik orang?! Aku bukan pelakor!" seru Dinda yang membuat beberapa orang menoleh ke arahnya akibat intonasi bicaranya yang tinggi.
Dinda langsung berlari meninggalkan pria itu dan gegas kembali menuju tempat duduknya yang ada di ruang tunggu terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta itu dengan napas yang memburu.
"Mbak Dinda kenapa? Ini tadi pihak maskapai bagiin snack sama biskuit sebagai kompensasi atas delayed."
"Buat kamu aja, saya lagi gak mood."
Dinda menatap ke luar jendela yang mana menampakan deretan burung besi yang terparkir rapih menunggu waktu keberangkatan tiba. Akhirnya setelah lelah menunggu, Dinda bisa bernapas lega karena panggilan boarding pun terdengar dan penumpang sudah berbaris rapih untuk melakukan scan barcode boarding pass mereka pada petugas di pintu sebelum masuk ke pesawat. Dinda tiba juga di kursinya dan ia tak mau membicarakan apa pun hingga pesawat mulai mengudara dan ia kembali teringat pertemuannya dengan sosok dari masa lalunya yang tak pernah ia sangka sebelumnya.
*****
Pesawat baru saja mendarat di Bandara Raji Haji Fisabilillah, Tanjungpinang dan semua penumpang turun dari pesawat untuk mengambil bagasi mereka. Ini merupakan kali pertama bagi Dinda menginjakan kaki di pulau Bintan, gerimis menyambut Dinda ketika pertama kali tiba di bandara ini. Saat ini untungnya Dinda tak membawa koper pun dengan asistennya yang ditugaskan ikut dengannya dalam pembicaraan bisnis mewakili perusahaan.
"Bu Dinda?"
"Iya saya Dinda."
"Mari silakan."
Seorang pria berusia sekitar 40 tahunan yang merupakan sopir jemputan kantor yang ditugaskan menjemput Dinda dan asistennya menyapa di pintu keluar dan kini mereka langsung menuju lokasi pertemuan.
"Maaf ya Pak pesawatnya delayed."
"Nggak apa Bu. Saya sudah diinformasikan kok tadi kalau pesawatnya delayed dari Jakarta jadi bisa ngepasin buat tiba di sini."
Dinda dan sopir itu terlibat dalam beberapa obrolan dan asistennya pun juga ikut dalam pembicaraan hingga tak terasa mereka tiba di sebuah hotel yang menjadi tempat di mana pertemuan akan dilangsungkan.
"Silakan, Bu."
"Terima kasih. Tapi mereka nggak akan marah kan?"
"Saya kurang tahu, Bu. Saya cuma ditugaskan untuk menjemput Bu Dinda saja."
Dinda menghela napasnya panjang, ia kemudian berterima kasih pada sopir sebelum melangkahkan kaki masuk ke dalam hotel mewah tersebut.
"Saya Dinda Anggraeni," ujar Dinda memperlihatkan tanda pengenalnya pada staff hotel dan membuat staff hotel itu mengantarkan Dinda ke ruang pertemuan.
****
Dinda dengan lugas mempresentasikan dengan baik proposal kerja sama perusahaannya dengan perusahaan asal Singapura ini. Dunn Miracle Company Group adalah perusahaan multi bidang yang sudah lama beroperasi di Singapura walau awalnya bermarkas di London namun sejak beberapa waktu belakangan mereka mengubah strategi untuk lebih menjangkau pasar asia tenggara yang menguntungkan.
"Saya sangat terkesan dengan presentasi Bu Dinda, saya selaku wakil dari Dunn Miracle Company sudah mendapatkan jawaban dari Komisaris Utama kami barusan bahwa perusahaan kami setuju bekerja sama dengan PT Majasari Comestic untuk menjadi mitra lokal kami di bidang kecantikan."
Dinda sangat puas dan senang sekali karena tak sia-sia ia datang dari Jakarta ke sini untuk memaparkan kerja sama yang akan saling menguntungkan kedua belah pihak. Dinda selaku Manager Research and Development memang yang paling gigih untuk bisa menarik Dunn Miracle Company untuk bekerja sama dengan perusahaan tempat ia bekerja dan sekarang tujuannya bisa tercapai.
"Semoga ke depannya kerja sama ini akan awet."
"Terima kasih atas kepercayaan perusahaan anda pada kami. Kami janji akan bekerja keras membuktikan diri bahwa perusahaan kami layak menjadi mitra lokal Dunn Miracle Company."
Setelah acara penandatanganan kerja sama kedua belah pihak maka kini acara selanjutnya adalah makan siang bersama.
****
Baru saja Dinda tiba di kamar hotelnya ia langsung mendapatkan telepon dari Presiden Direktur Majasari Cosmetic yaitu Tanu Wardhana. Dinda tentu saja meras sangat terhormat mendapatkan telepon dari orang nomor satu di perusahaan.
"Terima kasih banyak, Pak."
"Sebagai hadiah karena kamu berhasil meyakinkan mereka bekerja sama dengan perusahaan kita maka saya akan memberikan kamu dan asisten kamu hadiah liburan gratis selama 3 hari di sana."
Dinda tercengang dengan apa yang dikatakan oleh pak Tanu barusan.
"Dinda, apakah kamu masih di sana?"
"Iya Pak, saya masih di sini. Bapak serius? Bukannya besok pagi kami harus kembali ke Jakarta?"
"Sudah saya bilang, nikmati saja waktu liburan kalian di sana."
"Baiklah Pak, saya sangat berterima kasih atas hal ini."
Pak Tanu memutuskan sambungan telepon setelahnya dan Dinda berteriak kegirangan karena ia bisa menikmati liburan di pulau ini. Dinda segera mengabari Ghea, sang asisten mengenai hal ini dan Ghea langsung saja menggedor pintu kamar Dinda setelah Dinda mengirim pesan pada asistennya barusan.
"Mbak serius?"
"Iyalah, buat apa saya gak serius. Ini barusan pak Tanu yang bilang secara langsung."
Ghea nampak bahagia sekali karena kapan lagi liburan gratis dadakan dari kantor. Maka kemudian keduanya pun mulai memikirkan akan pergi ke mana mereka selama 3 hari ke depan.
****
Pagi ini Dinda sudah bangun untuk sarapan ke restoran hotel yang ada di lantai 1, hotel ini memang bukanlah hotel mewah seperti tempat pertemuan kemarin namun setidaknya hotel ini layak untuk menjadi tempat istirahat. Dinda tiba juga di lantai 1 dan menuju restoran, Ghea masih tidur sepertinya karena sejak tadi Dinda menelpon Ghea tidak menjawabnya.
"Biarin ajalah, nanti juga dia bisa sendiri ke sini."
Dinda langsung mengambil piring dan beberapa roti serta buah sebagai menu sarapannya, ia tak terbiasa makan nasi untuk sarapan. Setelah mengambil sarapannya, ia duduk di salah satu spot yang agak tersembunyi di restoran itu seraya menikmati sarapannya hingga saat ia melemparkan pandangan ke arah luar jendela restoran, ada seorang pria asing yang tengah berenang seorang diri di kolam renang hotel. Dinda terlalu fokus menatap pria itu hingga tak menyadari kehadiran Ghea yang sudah berada di sebelahnya ikut menatap ke arah di mana fokus Dinda saat ini.
"Mbak Dinda ternyata seleranya bule, ya?"
"AAAA!"
Dinda sama sekali tidak menyangka bahwa tiba-tiba saja Ghea sudah ada di sebelahnya dan sontak saja ia berteriak karena saking terkejutnya. Akibat dari teriakan Dinda itu sontak membuat beberapa pengunjung yang tengah makan menoleh ke arah Dinda pun dengan petugas hotel yang juga berjaga di sana.
"Mbak Dinda apaan sih teriak-teriak begitu?" ujar Ghea.
"Kamu yang apa-apaan. Kenapa tiba-tiba muncul dan mengagetkan saya!"
"Ngagetin? Saya dari tadi udah panggil Mbak Dinda tapi Mbak Dinda gak noleh malah sibuk menatap keluar jendela dan rupanya selera Mbak Dinda bule?" ujar Ghea seraya menaik turunkan alisnya.
"Siapa yang bilang selera saya bule? Udahlah jangan ngaco!"
"Udahlah Mbak, gak perlu menolak apa yang saya katakan barusan. Saya sendiri juga suka kok cowok bule apalagi cowok bule seperti yang Mbak Dinda lihat di kolam renang. Aduh rasanya gak pengen berpaling ngeliatin dia," ujar Ghea seraya memandangi pria asing itu yang masih berenang sendirian di kolam renang hotel.
"Eh kamu itu kan sebentar lagi bakal nikah, saya bilangin sama calon kamu nanti, ya kalau kamu sebenarnya gak cinta sama dia."
"Mbak Dinda nih, saya jelas cinta lah sama calon suami saya. Lagian barusan saya cuma bercanda, kok. Hidup itu jangan terlalu serius, Mbak. Kadang itu harus rileks biar gak cepet tua, biaya ke salon dan dokter kecantikan itu gak murah, lho. Apalagi biaya hidup di Jakarta makin hari makin mahal."
Dinda malas meladeni ucapan Ghea yang sudah mulai melantur soal membahas ini dan itu. Ghea sudah menjadi asistennya sejak 2 tahun lalu ketika ia diangkat menjadi manajer Research and Development di Majasari Cosmetic. Awalnya Dinda pikir Ghea tak akan bisa bertahan lama bekerja dengannya namun rupanya Ghea adalah orang yang tahan banting terbukti selama 2 tahun sudah berapa kali ia kena semprot Dinda akibat masalah personal atau pekerjaan namun Ghea tetap bertahan.
****
Hari ini jadwal Dinda dan Ghea adalah pergi ke pantai Trikora yang ada di sebelah timur pulau Bintan. Perjalanan panjang dari kota Tanjungpinang tempat mereka menginap akan disuguhkan jalanan kota yang sepi dan setelah itu jarang ada rumah penduduk dan di kanan dan kiri jalan hanya ada pohon kelapa dan bentang laut biru yang mulai terlihat.
"Mbak cantik banget pantainya!"
Ghea sejak tadi heboh sekali mengeluarkan ponselnya dan memfoto laut biru dari dalam mobil kala mereka menuju pantai. Dinda sendiri tak mengatakan apa pun dan hanya melemparkan pandangan ke luar jendela dan ia pun menikmati suasana tenang seperti ini yang tak bisa ia dapatkan di Jakarta. Akhirnya mereka pun tiba di pantai Trikora, Dinda dan Ghea turun dari dalam mobil, Ghea langsung berlarian di pantai layaknya anak kecil dan ia sibuk foto-foto sendirian sementara Dinda duduk di saung menikmati hamparan laut biru dan angin yang menyapu wajahnya.
"Mbak Dinda ayo dong ke sini!"
"Saya nggak mau basah-basahan. Saya gak bawa baju ganti!"
"Ayolah Mbak, kapan lagi kita main ke pantai yang cantik begini. Kayak ini tuh pantai private milik kita."
Memang pengunjung pantai itu hanya ada mereka saja siang hari itu dan menjadikan sensasi seperti pantai itu milik mereka berdua saja.
****
Dinda hanya foto-foto saja dari pinggir pantai, ia lebih banyak diam dan menikmati suara deburan ombak, laut biru yang lumayan tenang, bebatuan besar yang ada di pantai sungguh pemandangan yang sangat menakjubkan. Tiba-tiba saja Dinda jadi teringat kenangannya beberapa tahun lalu kala mantan kekasihnya mengajaknya datang ke pantai yang ada di Ancol dan kala itu mereka sedang berkencan.
"Mbak Dinda mikirin apa, sih?"
Lagi-lagi lamunan Dinda mengenai mantan kekasihnya itu menguap entah ke mana setelah Ghea yang baru selesai bilas datang menghampirinya bahkan sudah duduk di sebelahnya.
"Bukan apa-apa, sudah ayo kita pulang."
"Eh Mbak sebentar, kita belom foto untuk yang terakhir kali di sini, mumpung sunset bagus tahu."
Awalnya Dinda menolak namun Ghea terus saja membujuknya hingga Dinda tak lagi menolak, sopir yang mengantarkan mereka mengambil foto mereka berdua.
"Ghea, bisa minta tolong fotokan saya sendiri dengan latar belakang matahari terbenam?"
"Tentu saja bisa dong Mbak."
Maka dengan semangat Ghea membidikan lensa kameranya ke arah Dinda yang berdiri dengan latar belakang matahari terbenam yang sungguh cantik sekali.
"Mbak Dinda gaya dong jangan yang flat-flat aja."
"Jangan berisik kamu!"
Seusai sesi foto-foto barusan, maka Dinda dan Ghea kemudian gegas masuk ke dalam mobil dan bersiap kembali ke hotel.
****
Mereka tiba di hotel pukul 9 malam karena tadi makan malam dulu di sebuah rumah makan pinggir jalan dalam perjalanan pulang ke hotel. Dinda dan Ghea sudah tiba di depan kamar masing-masing dan siap untuk tidur.
"Selamat malam Mbak."
"Selamat malam."
Ghea sudah masuk duluan ke kamarnya yang ada di seberang kamar Dinda dan Dinda baru hendak membuka pintu kamarnya hingga terdengar suara ribut dari kamar sebelah. Dinda tak mau terlalu terlibat dalam drama orang lain memutuskan untuk melangkah masuk saja ke dalam kamar namun tiba-tiba saja pria yang tadi pagi ia lihat tengah berenang seorang diri di kolam renang mendorong paksa seorang wanita keluar dari dalam kamarnya.
"Pergi dari sini!"
Dinda cukup terkejut karena rupanya pria bule itu bisa bahasa Indonesia dan alih-alih masuk ke dalam kamarnya justru Dinda malah bertahan melihat drama yang tersaji di depannya. Pria bule itu menatap Dinda dan membuat Dinda jadi gelagapan dan buru-buru masuk ke dalam kamarnya.
"Ya ampun, kenapa aku malah mau tahu urusan orang lain?" gumam Dinda.
Dinda menggelengkan kepalanya, ia kemudian segera mengambil handuk dan perlatan mandinya. Baru saja ia hendak masuk ke dalam kamar mandi, pintu kamarnya diketuk dari luar dan ia pikir orang yang mengetuk pintu kamarnya adalah Ghea dan ia langsung saja membuka pintu kamar denga raut wajah malas namun rupanya bukan Ghea yang berdiri di depannya.
****
Dinda mematung menatap sosok pria bule di depannya, pria bule yang dilihatnya tadi bertengkar beberapa menit yang lalu dengan seorang wanita yang ia duga adalah psangannya itu kini sudah berdiri di depannya.
"Kenapa menatap saya begitu? Saya tahu saya memang tampan."
Dinda seketika tersadar dari keterkejutannya, ia berusaha mengusai dirinya kembali saat ini.
"Kamu bisa bicara Bahasa Indonesia rupanya."
"Mama saya orang Indonesia, wajar dong kalau saya bisa ngomong Bahasa Indonesia."
"Saya lihat tadi kamu melihat dan memerhatikan saya dari depan pintu kamar kamu ketika keributan terjadi antara saya dan perempuan yang bersama saya, apakah kamu merekam kejadian barusan?"
"Tentu saja tidak!"
"Kalau begitu bisakah saya lihat ponsel kamu, untuk membuktikan kalau kamu tidak merekamnya?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!