Aira masih ingat pagi itu dengan sangat jelas, seolah setiap detil tersimpan dalam ingatannya. Ia baru saja pulang dari kampus, masih mengenakan seragam praktik. Sambil melonggarkan ikatan rambutnya, ia berusaha menghilangkan rasa lelah yang menumpuk setelah seharian penuh kegiatan.
Namun, ketenangan itu buyar begitu ia masuk ke ruang tamu. Di sana, duduk kedua orang tuanya bersama seorang pria paruh baya dengan jas mahal dan wajah yang tidak asing. Itu adalah Tuan Ardan, sahabat lama ayahnya dan seorang pengusaha yang terkenal di kota ini.
Aira mengerutkan kening. Kehadiran Tuan Ardan tak biasa. Ada getaran aneh yang membuatnya merasa bahwa pertemuan ini bukanlah pertemuan biasa.
“Aira, duduklah sebentar. Ayah ingin bicara,” ujar ayahnya dengan nada lembut, tapi tak bisa menyembunyikan kekakuan dalam suaranya.
Aira menatap ayahnya dengan heran. “Ada apa, Yah?” tanyanya, mencoba membaca raut wajah kedua orang tuanya.
Ibunya hanya menunduk, seakan menghindari tatapan mata Aira, dan itu membuat Aira semakin gelisah. Ayahnya terdiam sejenak, sebelum akhirnya memulai dengan suara yang lirih, namun penuh keyakinan.
“Ayah sudah lama memikirkan ini, dan… keputusan ini adalah demi kebaikan kamu juga, Aira. Ayah ingin menjodohkanmu dengan anak Tuan Ardan.”
Jantung Aira seperti berhenti berdetak seketika. Kata-kata itu seakan menghantamnya tanpa ampun, membuatnya terpaku dalam kebingungan dan ketidakpercayaan.
“Apa?!” suaranya sedikit bergetar. “Yah, Ibu, ini… kalian pasti bercanda, kan?”
Tuan Ardan tersenyum tipis, tapi ada sesuatu dalam tatapan matanya yang membuat Aira merasa tak nyaman, seolah pria itu memiliki kendali penuh atas situasi ini.
“Aira,” ujar Tuan Ardan tenang, “aku mengerti ini mungkin terdengar mendadak, tapi perjodohan ini adalah demi masa depan yang lebih baik untuk keluargamu. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu.”
Aira merasakan campuran marah dan putus asa yang menyesakkan dadanya. “Tapi ini hidupku! Bagaimana bisa kalian membuat keputusan sebesar ini tanpa bertanya pendapatku?”
Ayahnya mendesah berat. “Aira, dengarkan dulu. Raka—anak Tuan Ardan—adalah pemuda yang baik, pintar, dan bertanggung jawab. Dengan dia, Ayah yakin kamu akan bahagia. Ayah melakukan ini demi masa depanmu.”
“Tapi aku bahkan belum pernah bertemu dengan Raka! Bagaimana Ayah bisa yakin bahwa aku akan bahagia dengan dia?” Nada suaranya meninggi, penuh dengan perasaan yang berkecamuk.
Tuan Ardan meletakkan tangannya di atas meja dengan perlahan, menginterupsi pertengkaran kecil itu. “Aira, aku tidak akan memaksamu. Pertemuan ini hanya awal. Kenali Raka, lihat bagaimana kalian berinteraksi. Jika setelahnya kamu masih merasa ini tak sesuai, kami akan menghargai keputusanmu.”
Ada nada yang penuh tekanan dalam ucapan Tuan Ardan, seolah memberi peringatan yang tersirat bahwa keputusan ini sebenarnya bukan pilihan. Aira bisa merasakannya, dan itu membuat rasa tidak nyaman semakin menguat dalam hatinya.
---
Setelah pertemuan itu, pikiran Aira tak pernah tenang. Ia merasa dirinya terjebak dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan. Dalam benaknya, ia membayangkan betapa aneh dan canggungnya pertemuan pertama nanti dengan pria yang telah ditentukan menjadi “tunangan”nya tanpa persetujuannya.
Namun, rasa ingin tahunya mengalahkan ketakutannya. Pada hari yang telah dijanjikan, ia akhirnya bertemu dengan Raka di sebuah kafe sederhana yang jauh dari keramaian kota. Ketika ia melangkah masuk, pandangannya langsung tertuju pada sosok pria dengan postur tegap dan wajah dingin yang duduk di pojok ruangan.
Raka berdiri saat melihat Aira mendekat, menyambutnya dengan anggukan singkat. Tanpa basa-basi, ia duduk kembali, meninggalkan Aira yang sedikit kaget dengan sikapnya yang dingin.
“Aira, kan?” tanyanya datar, seolah pertemuan ini hanya sekadar urusan bisnis.
Aira menahan napas, berusaha menetralkan rasa canggung yang tiba-tiba muncul. “Ya, dan kamu… Raka?”
“Benar.” Tatapannya tajam, penuh kehati-hatian, seakan mencoba membaca setiap gerak-gerik Aira.
Dalam hening yang canggung itu, Raka mulai bicara lagi, “Aku tidak tahu bagaimana pendapatmu tentang ini, tapi aku tidak pernah setuju dengan perjodohan. Ini adalah keputusan yang diambil tanpa persetujuanku.”
Aira mengangguk pelan, merasa sedikit lega mendengar ketidaksetujuan Raka. “Aku juga merasa demikian. Ini hidupku, dan aku tidak ingin ada yang mengatur masa depan tanpa pendapatku.”
Raka tersenyum kecil, tapi senyum itu jauh dari kesan ramah. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik sorot matanya. “Bagus. Setidaknya kita sepakat di satu hal.”
Aira merasa ada nada sinis dalam kata-kata Raka, tapi ia tidak ingin memperumit suasana. “Kalau begitu, bagaimana kalau kita kenal satu sama lain dulu sebagai teman? Mungkin ini bisa jadi jalan tengah.”
“Teman, ya?” Raka mengulangi kata itu, seolah-olah itu adalah konsep yang asing baginya.
Percakapan mereka berlanjut dengan obrolan ringan, meski ada jeda panjang di antara setiap pertukaran kata. Aira berusaha mencari celah untuk memahami pemuda di depannya, tapi yang ia temukan hanya dinding dingin yang seakan enggan terbuka.
Namun, di akhir pertemuan itu, Raka mengatakan sesuatu yang membuat Aira tertegun.
“Aira, kalau suatu hari nanti kamu merasa terjebak dalam situasi yang tak bisa kamu hadapi… ingat bahwa kamu bukan satu-satunya yang merasakannya.”
Aira menatapnya bingung. “Maksudmu?”
Raka tidak menjawab. Ia hanya bangkit dari duduknya, memberikan pandangan singkat yang dalam namun sulit diterjemahkan. Sejenak sebelum pergi, ia berkata, “Aku harap kamu siap dengan segala konsekuensi dari keputusan ini.”
Kata-kata itu menggantung, meninggalkan Aira dalam kebingungan dan rasa penasaran yang mencekam. Ada sesuatu yang Raka sembunyikan, sesuatu yang ia rasa bisa mengubah seluruh kehidupannya.
---
Malam itu, Aira tidak bisa tidur. Kata-kata Raka terus berputar dalam pikirannya, seperti teka-teki yang memintanya untuk dipecahkan. Ada sesuatu yang salah, tapi ia tak bisa menebak apa. Dalam keheningan malam, Aira merasa dirinya sudah melangkah memasuki dunia yang berbahaya, dunia yang mungkin bisa menghancurkannya jika ia tidak berhati-hati.
---
Pertemuan pertama Aira dan Raka penuh dengan ketegangan yang tidak terlihat. Aira merasakan ada rahasia besar yang tersembunyi di balik sikap dingin Raka, tapi ia tak tahu apa yang sebenarnya ia hadapi. Keputusan untuk bertahan dalam perjodohan ini atau mundur terasa semakin sulit setelah kata-kata Raka yang menggantung di pikirannya. Apa yang sebenarnya disembunyikan Raka?
Aira duduk sendirian di kamarnya, pikirannya bercampur aduk setelah pertemuannya dengan Raka. Semua yang terjadi hari ini terasa seperti mimpi buruk. Dulu, ia selalu membayangkan kebebasan dalam menentukan masa depan, termasuk cinta. Tapi sekarang, ia malah terjebak dalam perjodohan yang tidak pernah ia inginkan. Dan yang lebih membuatnya gusar adalah kata-kata Raka yang masih menggema dalam benaknya: "Aku harap kamu siap dengan segala konsekuensi dari keputusan ini."
Aira mengerutkan alis, merasa ada makna tersirat yang mengancam di balik kata-kata itu. Apa yang sebenarnya disembunyikan Raka? Kenapa ia tampak begitu misterius dan penuh teka-teki? Pikirannya terus memutar berbagai kemungkinan, tapi ia tak mampu menemukan jawaban.
Keesokan harinya, saat sarapan, suasana di meja makan terasa kaku. Ayah dan ibunya tampak berhati-hati menatapnya, seakan menunggu reaksinya setelah pertemuan dengan Raka.
"Bagaimana pertemuanmu kemarin, Nak?" tanya ayahnya hati-hati, memecah keheningan.
Aira meletakkan sendoknya dengan perlahan. "Ayah, kenapa harus aku? Kenapa aku yang dijodohkan dengan Raka? Aku belum siap dan aku tidak mengenalnya."
Ayahnya menghela napas panjang, tampak menahan perasaan bersalah yang terpendam. "Aira, keputusan ini Ayah buat karena Ayah ingin kamu mendapatkan masa depan yang lebih baik. Raka berasal dari keluarga baik-baik, mereka bisa memberimu kehidupan yang nyaman."
Aira menggeleng, berusaha memahami maksud ayahnya. "Apa cuma itu alasan Ayah?"
Ibunya ikut bicara, mencoba menenangkan. "Nak, ada hal-hal yang mungkin belum kamu pahami. Keluarga kita memiliki hubungan erat dengan keluarga Raka sejak dulu. Ini bukan sekadar soal kenyamanan materi, tapi juga menjaga amanah dan persahabatan yang sudah dibangun bertahun-tahun."
Aira menarik napas dalam-dalam, merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. "Tapi, Bu, aku merasa ini semua tidak adil. Hidupku, masa depanku, tapi kenapa aku yang harus menanggung keputusan ini?"
Ibu Aira menunduk, tidak mampu membalas tatapan putrinya. Ayahnya tampak berusaha untuk tetap tenang, meski terlihat jelas bahwa ia menahan emosi yang bercampur aduk.
"Ayah mengerti, Aira. Tapi, setidaknya, cobalah mengenalnya dulu," ujar ayahnya, penuh harap. "Berikan kesempatan pada dirimu untuk melihat, mungkin saja ada sesuatu yang baik dari hubungan ini."
---
Hari-hari berikutnya berlalu dengan perasaan berat di hati Aira. Setiap kali ia bertemu dengan Raka, suasananya selalu tegang dan penuh ketidaknyamanan. Raka tetap dingin dan tertutup, membuatnya sulit untuk mendekat atau memahami perasaannya. Tapi di balik sikapnya yang dingin, Aira bisa melihat ada sesuatu yang tersembunyi di balik tatapan Raka. Sesuatu yang mendalam, sesuatu yang mungkin bukan sekadar ketidaksetujuan terhadap perjodohan ini.
Suatu sore, Aira mengumpulkan keberanian untuk menanyakan hal yang selama ini mengganggunya. Mereka bertemu di sebuah taman kota, tempat di mana mereka bisa berbicara lebih leluasa tanpa gangguan.
"Raka, aku ingin bertanya sesuatu," ujar Aira, menatapnya langsung dengan sorot mata yang serius.
Raka menoleh padanya, sedikit terkejut dengan nada tegas Aira. "Apa yang ingin kamu tanyakan?"
Aira menghela napas, mencoba menenangkan debaran jantungnya. "Kamu bilang aku harus siap dengan konsekuensi dari perjodohan ini. Maksudmu apa? Apa ada sesuatu yang aku belum tahu?"
Raka menatapnya tajam, seolah-olah mencoba menilai apakah ia bisa mempercayai Aira dengan rahasianya. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya berkata, "Aira, ada banyak hal yang kamu tidak tahu. Perjodohan ini bukan hanya keputusan orang tua kita. Ini juga tentang sesuatu yang lebih besar dari itu."
Aira mengerutkan alisnya, merasa semakin penasaran. "Maksudmu apa? Kenapa kamu selalu berbicara dengan penuh teka-teki?"
Raka tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tak mengandung kehangatan. "Karena ini bukan sekadar hubungan biasa, Aira. Keluargaku… mereka punya ekspektasi yang sangat tinggi terhadapku. Dan perjodohan ini adalah bagian dari rencana besar mereka."
Aira merasa ada sesuatu yang menggelitik rasa ingin tahunya, tapi di saat yang sama, ia juga merasa takut. "Rencana besar? Apa yang mereka inginkan darimu, dari kita?"
"Mereka ingin aku… mewarisi segalanya, tapi dengan syarat aku harus menikah dengan seseorang yang mereka pilih. Mereka ingin memastikan bahwa keluarga ini tetap berkuasa, tetap solid," jawab Raka, nadanya penuh beban. "Dan kamu, Aira, adalah bagian dari rencana itu."
"Tapi… kenapa aku?" tanya Aira, suaranya bergetar. "Kenapa harus aku?"
"Karena keluargamu dianggap memiliki 'darah yang tepat' untuk mendukung warisan keluarga kami. Mereka menganggapmu sebagai pasangan yang tepat untukku, bukan karena cinta atau kecocokan, tapi karena latar belakang keluarga kita."
Aira merasa hatinya semakin berat mendengar penjelasan Raka. "Jadi, semua ini hanya soal warisan dan kekuasaan?"
"Benar," jawab Raka dingin. "Dan itu sebabnya aku ingin kamu siap dengan segala konsekuensinya. Karena pernikahan ini tidak akan seperti yang kamu bayangkan."
Aira merasakan air matanya menetes tanpa bisa ia kendalikan. Ia merasa terjebak dalam skenario yang tidak pernah ia inginkan. Semua impian tentang cinta dan kebebasan yang ia miliki seolah dirampas begitu saja oleh kenyataan ini.
"Apa kamu… pernah berpikir untuk melawan?" tanyanya dengan suara lirih.
Raka menghela napas panjang. "Melawan? Tidak semudah itu, Aira. Keluargaku… mereka punya cara untuk membuat siapa pun tunduk pada keinginan mereka."
"Termasuk kamu?"
Raka tertawa pahit. "Termasuk aku. Bahkan mungkin aku yang paling terjebak di dalamnya."
---
Aira pulang malam itu dengan perasaan hancur. Di kamarnya, ia merenung, mencoba mencari jalan keluar dari situasi ini. Namun, semakin ia berpikir, semakin ia merasa bahwa tidak ada pilihan yang tersisa untuknya. Ia hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, akan ada celah untuk membebaskan dirinya dari perjodohan yang mengikat hidupnya ini.
Di tengah malam yang sepi, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Raka muncul di layar: "Kita akan menikah dalam waktu dekat. Persiapkan dirimu, dan jangan berharap akan ada perubahan."
Aira menatap pesan itu dengan perasaan dingin. Pesan itu bukan sekadar pengumuman, tapi seolah-olah menjadi sebuah peringatan bahwa hidupnya kini berada di bawah kendali orang lain. Air mata jatuh lagi dari pelupuk matanya, tapi ia bertekad untuk tidak menyerah.
Bab ini diakhiri dengan pesan dari Raka yang mempertegas bahwa pernikahan ini bukanlah sesuatu yang bisa dihindari. Pesan tersebut meninggalkan Aira dalam dilema antara menerima atau mencoba mencari cara untuk keluar dari perjodohan yang telah ditetapkan.
Aira merasakan jantungnya berdebar-debar saat ia melangkah memasuki kafe tempat Raka menunggunya. Ini adalah kali pertama mereka akan bertemu secara resmi setelah perjodohan itu diumumkan, dan meski hatinya penuh kekhawatiran, Aira mencoba menjaga ketenangannya. Kafe itu sepi, hanya ada beberapa pengunjung yang tampak sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing, tetapi semua itu tidak mampu menghilangkan kegugupannya.
Saat ia melihat sosok Raka duduk di sudut ruangan, pandangannya langsung terfokus. Raka duduk dengan tenang, wajahnya tanpa ekspresi, seakan-akan pertemuan ini hanyalah hal sepele baginya.
“Aira,” Raka menyapanya singkat, tatapan dinginnya mengintimidasi.
Aira mengangguk pelan, duduk di hadapannya dengan senyum kecil. “Terima kasih sudah mau bertemu,” katanya dengan sopan.
Raka menatapnya dengan mata tajam yang tak terbaca. “Aku di sini karena ini yang diinginkan oleh orang tua kita,” ujarnya datar. “Jadi, langsung saja. Apa yang ingin kamu bicarakan?”
Aira terdiam sejenak, berusaha mengumpulkan kata-kata. “Aku hanya ingin mengenalmu lebih jauh, Raka. Kalau kita akan menikah, setidaknya kita harus tahu satu sama lain, kan?”
Raka menyilangkan tangan di depan dada, wajahnya tanpa emosi. “Kamu yakin ingin mengenalku lebih jauh, Aira? Karena, seperti yang sudah aku katakan sebelumnya, pernikahan ini hanya bagian dari rencana besar orang tua kita. Tidak ada tempat untuk cinta atau keintiman di sini.”
Aira merasa ada sesuatu yang menusuk hatinya mendengar kata-kata itu. Namun, ia menolak untuk menyerah. “Aku tahu. Tapi, tidak bisakah kita mencoba untuk membangun hubungan ini dengan lebih baik? Aku tidak ingin hidup dalam ketidakpastian, Raka.”
“Ketidakpastian?” Raka mengangkat alisnya. “Aira, hidupku sendiri penuh dengan batasan dan aturan yang harus aku ikuti. Jadi, jika kamu ingin hubungan ini menjadi lebih baik, kamu harus siap untuk menghadapi kenyataan di balik nama keluargaku.”
Aira mulai merasakan ada sesuatu yang janggal. “Apa maksudmu, Raka? Apa yang sebenarnya terjadi di keluargamu?”
Raka menatapnya dalam diam selama beberapa detik, sebelum akhirnya menjawab dengan suara pelan, “Keluargaku memiliki pengaruh yang besar, Aira. Mereka adalah orang-orang yang hidup dalam kekuasaan dan kendali penuh. Aku… tidak bebas, dan pernikahan ini hanyalah satu langkah kecil dalam rencana besar mereka.”
Aira terkejut. “Jadi, kamu hanya boneka dalam rencana mereka?”
Raka tersenyum pahit. “Kamu cepat memahami situasinya. Ya, boneka, pion, apapun sebutannya. Dan sekarang, kamu juga akan menjadi bagian dari permainan ini.”
Kata-kata itu membuat Aira merasakan sensasi ketakutan yang tak bisa ia jelaskan. “Permainan? Apa sebenarnya yang mereka rencanakan?”
Raka menggeleng, ekspresinya datar. “Kamu tidak perlu tahu detailnya sekarang, karena semakin kamu tahu, semakin sulit hidupmu. Yang perlu kamu lakukan adalah menjalani peranmu dengan baik dan bersikap seolah-olah kamu puas dengan kehidupan ini.”
Aira merasa ada kemarahan yang mendidih di dadanya. “Jadi, aku hanya harus berpura-pura bahagia dan mengikuti semua yang mereka inginkan? Apa kamu tidak pernah berpikir untuk melawan, Raka?”
Raka tersenyum sinis, tetapi ada kesedihan yang terpendam di balik matanya. “Melawan? Di dunia ini, melawan artinya menghancurkan diri sendiri, Aira. Keluargaku punya kekuatan untuk membuat siapa pun tunduk pada keinginan mereka.”
---
Percakapan itu berakhir dalam keheningan yang canggung. Aira menyadari betapa dalam luka yang disimpan Raka, tetapi ia juga merasakan amarahnya sendiri yang tumbuh. Ia tidak ingin hidup dalam bayang-bayang kekuasaan keluarga Raka, tetapi ia juga tidak tahu harus berbuat apa.
Setelah beberapa saat, Aira mencoba mengalihkan topik. “Baiklah, kalau begitu, apa rencanamu setelah kita menikah?”
Raka menatapnya lama sebelum menjawab. “Rencanaku sederhana. Aku akan menjalani pernikahan ini sesuai dengan keinginan mereka. Aku akan menjaga tampilan yang baik di depan publik dan menjalankan peranku sebagai suami yang sempurna di mata mereka. Tapi di luar itu, aku tidak bisa menjanjikan apa-apa.”
Aira terdiam, merasa semakin tertekan dengan situasi ini. Namun, ia tidak mau menyerah. “Mungkin aku juga bisa belajar untuk beradaptasi, Raka. Tapi setidaknya beri aku kesempatan untuk mengenalmu lebih baik. Mungkin, meskipun sulit, kita bisa menemukan cara untuk hidup dengan damai.”
Raka menghela napas, tampak seperti seseorang yang terlalu lelah untuk berharap. “Kalau itu yang kamu inginkan, kita bisa mencobanya. Tapi jangan berharap terlalu banyak, Aira. Aku tidak ingin kamu terluka karena ekspektasimu sendiri.”
Aira menatapnya dalam diam, merasa bahwa di balik dinginnya sikap Raka, ada seseorang yang terluka dan rapuh. Namun, ia tidak tahu apakah ia mampu mencapai hatinya yang tersembunyi di balik semua lapisan kegelapan ini.
Pertemuan pertama Aira dan Raka berakhir dengan Aira yang merasa semakin penasaran dan bingung. Raka membuka sedikit tentang kehidupan di keluarganya yang penuh kontrol dan rahasia, tetapi tetap menjaga jarak. Aira merasa bahwa ada lebih banyak hal yang belum diungkapkan, dan ia bertekad untuk menggali lebih dalam, meskipun itu berarti ia harus menghadapi bahaya yang mungkin mengintai di balik semua itu.
Aira mengambil napas dalam-dalam sebelum memasuki kafe tempat Raka menunggunya. Suara detak jantungnya nyaris menyamarkan langkahnya sendiri, setiap langkah terasa berat, namun ia bertekad untuk tetap tenang. Bagaimanapun, ini adalah pertemuan pertama mereka setelah berita perjodohan itu diumumkan—hal yang mengejutkan hidupnya seketika.
Di sudut kafe, duduk seorang pria dengan postur tegap dan wajah penuh ketenangan yang terkesan dingin. Raka. Sosoknya seolah menciptakan aura yang memisahkan dirinya dari keramaian. Melihatnya, Aira merasakan sedikit ketakutan, tetapi juga rasa penasaran yang tak bisa ia tahan.
Saat ia mendekat, Raka mendongak dan memberikan tatapan yang sulit ditebak. “Aira.” Suara beratnya menghentikan langkahnya sesaat.
Aira mengangguk dan duduk di hadapannya, mencoba tersenyum, walau gugupnya tak tersembunyi. “Terima kasih sudah mau bertemu,” katanya pelan.
Raka menghela napas, matanya menelusuri wajah Aira sejenak sebelum berkata, “Aku di sini bukan karena ingin. Orang tua kita yang memintanya.”
Seketika, Aira merasakan jantungnya seperti ditusuk. “Aku tahu,” jawabnya sambil menahan nada kecewa. “Tapi… kalau kita benar-benar harus menjalani perjodohan ini, bisakah kita setidaknya mencoba untuk saling mengenal?”
Raka menatapnya dengan sorot tajam. “Mengenalku, ya? Kamu yakin, Aira?”
Aira tertegun, namun mengangguk pelan. “Kenapa tidak? Kita tidak bisa terus seperti ini—asing satu sama lain.”
“Baik,” jawab Raka, senyum kecil yang hampir sinis tergambar di wajahnya. “Tapi jangan menyesal jika kamu tidak menyukai apa yang kamu ketahui.”
Aira mengerutkan alis, merasakan ada yang ganjil dalam nada suara Raka. Ada semacam peringatan yang tersembunyi. “Kenapa begitu?” tanyanya pelan.
Raka menyandarkan tubuhnya ke kursi, tangan terlipat di depan dada. “Keluargaku bukan keluarga yang biasa, Aira. Dan pernikahan ini lebih dari sekadar ikatan antar dua orang. Ada rencana besar di baliknya.”
Aira merasa seperti ditarik ke dalam pusaran misteri yang tak terduga. “Rencana besar? Apa maksudmu?”
“Aku tidak bisa menceritakan semuanya,” jawab Raka dengan nada dingin. “Tapi yang pasti, kamu tidak akan hidup bebas setelah menikah denganku. Kamu akan hidup dalam bayang-bayang keluargaku, setiap langkahmu dipantau.”
Aira merasakan darahnya mendidih. “Jadi, ini bukan hanya perjodohan biasa? Aku hanya bagian dari rencana keluargamu?”
“Tepat.” Raka menatapnya tajam. “Dan semakin cepat kamu memahami itu, semakin baik untukmu.”
Mendengar itu, Aira merasa seperti sedang disudutkan. Emosi yang bercampur aduk memenuhi dadanya. Ia tidak ingin menjadi pion dalam permainan orang lain, tetapi ia tahu posisinya sulit. Namun, ia takkan menyerah begitu saja.
“Raka,” ucapnya, mencoba menahan amarah yang mulai tumbuh. “Kalau begitu, kenapa kamu setuju? Kenapa kamu tidak menolak seperti yang seharusnya bisa dilakukan?”
Raka terdiam sejenak, seolah pertanyaan itu mengganggunya. “Karena aku tidak punya pilihan, Aira.” Wajahnya berubah menjadi lebih serius. “Keluargaku memegang kekuatan yang lebih dari yang kamu bayangkan. Setiap keputusanku, setiap langkahku, dikendalikan oleh mereka.”
Aira terkejut. “Jadi kamu hanya… ikut aturan? Hidup tanpa kendali atas hidupmu sendiri?”
Raka hanya menatapnya, matanya kosong, seolah sudah terbiasa dengan penderitaan itu. “Mungkin kamu tidak akan pernah bisa memahami bagaimana rasanya hidup di bawah tekanan dan kendali.”
Aira merasakan simpati yang tak bisa ia tahan. Mungkin, di balik sikap dingin dan ketegasan Raka, ada seseorang yang terperangkap. “Tapi, Raka… apakah kamu tidak ingin mencoba mencari jalan keluar?”
Senyum kecil muncul di sudut bibir Raka, penuh sinisme dan sedikit kesedihan. “Jalan keluar? Tidak ada jalan keluar dari ini, Aira. Satu-satunya pilihan adalah menerimanya dan hidup dengan semua konsekuensinya.”
Saat percakapan mereka berakhir, Aira merasakan campuran antara simpati dan kekhawatiran terhadap Raka. Ia menyadari bahwa perjodohan ini lebih rumit dari yang dibayangkan. Saat Raka pergi, Aira hanya bisa menatap punggungnya dengan pikiran penuh pertanyaan—apakah ada harapan di balik rencana pernikahan ini, ataukah ia akan terus terperangkap dalam permainan kekuasaan keluarga Raka?
Aira memasuki ruang tamu rumah Raka dengan perasaan cemas yang tak terbendung. Ini adalah kali pertama ia mengunjungi kediaman calon suaminya. Suasana rumah yang megah dan mewah terasa dingin dan asing, menciptakan rasa ketidaknyamanan yang semakin menguat seiring langkahnya menyusuri ruangan.
Raka sedang duduk di sofa dengan sikap tenang yang arogan. Tatapannya seperti sedang menunggu untuk menilai, seolah melihat Aira sebagai seseorang yang tidak lebih dari seorang pengunjung sementara. Aira berusaha menunjukkan ketenangannya, namun di dalam hatinya, ia tahu bahwa benturan ini akan segera terjadi.
“Kamu datang lebih awal,” kata Raka tanpa senyum, nadanya datar.
Aira mengangguk dan berusaha tersenyum walaupun terasa canggung. “Aku ingin mencoba menyesuaikan diri. Lagipula, aku rasa kita perlu lebih banyak waktu untuk mengenal satu sama lain, bukan?”
“Mengenal?” Raka tertawa kecil, nadanya terdengar seperti ejekan. “Bukankah sudah kubilang, kita hanya menjalani rencana ini? Tidak ada yang perlu kita kenali di antara kita.”
Aira menatapnya dengan tajam, perasaan kesal mulai menguasai dirinya. “Kalau memang begitu, kenapa kamu tidak menolak perjodohan ini? Kenapa kamu menerimanya jika hanya akan bersikap dingin dan tak acuh seperti ini?”
Raka mendekatkan wajahnya padanya, tatapan matanya penuh dengan ketegasan dan sedikit kekejaman. “Karena itulah yang terbaik, Aira. Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menerima apa yang sudah diatur oleh orang tua kita.”
Aira merasakan sesuatu dalam dirinya mendidih. Ia tak bisa terus-menerus diperlakukan seperti ini. “Kalau begitu, apa gunanya semua ini, Raka? Apa gunanya jika kita terus bersikap seperti orang asing?”
“Kita memang orang asing,” jawab Raka tajam. “Kamu pikir pernikahan ini adalah tentang cinta? Tidak. Ini adalah tentang keluarga, tentang kepentingan yang jauh lebih besar dari perasaan kita.”
Aira terdiam, hatinya sakit mendengar jawaban Raka yang terasa dingin dan menghancurkan. Namun, ia tidak mau menyerah begitu saja. “Aku tidak bisa hidup dalam pernikahan tanpa perasaan, Raka. Aku tidak ingin menjalani kehidupan seperti boneka.”
Raka menyeringai, lalu berkata dengan nada rendah yang tajam, “Itu pilihanmu, Aira. Tapi ingat, kamu sudah masuk ke dalam dunia yang tidak akan memberikanmu kesempatan untuk pergi begitu saja.”
Kata-kata itu menggema di kepala Aira. Ia tahu Raka mungkin benar, namun ia juga tahu bahwa ia takkan tinggal diam dan membiarkan dirinya terperangkap begitu saja. Ia ingin mencari cara untuk mengubah situasi ini, meskipun ia tidak tahu caranya.
“Kalau begitu, aku akan menunjukkan padamu bahwa aku bukan hanya boneka, Raka,” kata Aira dengan suara tegas.
Raka menatapnya, tampak terkejut oleh keberanian yang muncul dari diri Aira. “Menunjukkan apa? Bahwa kamu bisa melawan takdir? Percayalah, Aira, melawan hanya akan membuatmu semakin terluka.”
Aira tersenyum pahit, matanya penuh tekad. “Aku lebih memilih terluka daripada hidup tanpa arti.”
Aira berjalan keluar dari rumah Raka dengan langkah tegas, namun perasaan di dalam dirinya semakin kacau. Ia tahu bahwa tantangan ini akan menjadi lebih sulit dari yang ia bayangkan. Namun, ia bertekad untuk menunjukkan pada Raka dan pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan menyerah begitu saja.
Aira memasuki ruang tamu rumah Raka dengan perasaan cemas yang tak terbendung. Ini adalah kali pertama ia mengunjungi kediaman calon suaminya. Suasana rumah yang megah dan mewah terasa dingin dan asing, menciptakan rasa ketidaknyamanan yang semakin menguat seiring langkahnya menyusuri ruangan.
Raka sedang duduk di sofa dengan sikap tenang yang arogan. Tatapannya seperti sedang menunggu untuk menilai, seolah melihat Aira sebagai seseorang yang tidak lebih dari seorang pengunjung sementara. Aira berusaha menunjukkan ketenangannya, namun di dalam hatinya, ia tahu bahwa benturan ini akan segera terjadi.
“Kamu datang lebih awal,” kata Raka tanpa senyum, nadanya datar.
Aira mengangguk dan berusaha tersenyum walaupun terasa canggung. “Aku ingin mencoba menyesuaikan diri. Lagipula, aku rasa kita perlu lebih banyak waktu untuk mengenal satu sama lain, bukan?”
“Mengenal?” Raka tertawa kecil, nadanya terdengar seperti ejekan. “Bukankah sudah kubilang, kita hanya menjalani rencana ini? Tidak ada yang perlu kita kenali di antara kita.”
Aira menatapnya dengan tajam, perasaan kesal mulai menguasai dirinya. “Kalau memang begitu, kenapa kamu tidak menolak perjodohan ini? Kenapa kamu menerimanya jika hanya akan bersikap dingin dan tak acuh seperti ini?”
Raka mendekatkan wajahnya padanya, tatapan matanya penuh dengan ketegasan dan sedikit kekejaman. “Karena itulah yang terbaik, Aira. Tidak ada yang bisa kita lakukan selain menerima apa yang sudah diatur oleh orang tua kita.”
Aira merasakan sesuatu dalam dirinya mendidih. Ia tak bisa terus-menerus diperlakukan seperti ini. “Kalau begitu, apa gunanya semua ini, Raka? Apa gunanya jika kita terus bersikap seperti orang asing?”
“Kita memang orang asing,” jawab Raka tajam. “Kamu pikir pernikahan ini adalah tentang cinta? Tidak. Ini adalah tentang keluarga, tentang kepentingan yang jauh lebih besar dari perasaan kita.”
Aira terdiam, hatinya sakit mendengar jawaban Raka yang terasa dingin dan menghancurkan. Namun, ia tidak mau menyerah begitu saja. “Aku tidak bisa hidup dalam pernikahan tanpa perasaan, Raka. Aku tidak ingin menjalani kehidupan seperti boneka.”
Raka menyeringai, lalu berkata dengan nada rendah yang tajam, “Itu pilihanmu, Aira. Tapi ingat, kamu sudah masuk ke dalam dunia yang tidak akan memberikanmu kesempatan untuk pergi begitu saja.”
Kata-kata itu menggema di kepala Aira. Ia tahu Raka mungkin benar, namun ia juga tahu bahwa ia takkan tinggal diam dan membiarkan dirinya terperangkap begitu saja. Ia ingin mencari cara untuk mengubah situasi ini, meskipun ia tidak tahu caranya.
“Kalau begitu, aku akan menunjukkan padamu bahwa aku bukan hanya boneka, Raka,” kata Aira dengan suara tegas.
Raka menatapnya, tampak terkejut oleh keberanian yang muncul dari diri Aira. “Menunjukkan apa? Bahwa kamu bisa melawan takdir? Percayalah, Aira, melawan hanya akan membuatmu semakin terluka.”
Aira tersenyum pahit, matanya penuh tekad. “Aku lebih memilih terluka daripada hidup tanpa arti.”
Aira berjalan keluar dari rumah Raka dengan langkah tegas, namun perasaan di dalam dirinya semakin kacau. Ia tahu bahwa tantangan ini akan menjadi lebih sulit dari yang ia bayangkan. Namun, ia bertekad untuk menunjukkan pada Raka dan pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan menyerah begitu saja.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!