Di dalam sebuah mobil sedan berwarna putih, dua orang gadis terlihat sama tegangnya.
"Apa kau yakin akan menemui tuan Abimana, Livia???." Zena kembali memastikan kesungguhan hati sahabatnya itu. dari balik kaca mobilnya, Zena memandang ke arah gedung yang menjulang tinggi dihadapan mereka.
Livia mengangguk, meski dalam hatinya masih terselip keraguan. jika ia memilih tidak datang bisa jadi pria itu akan semakin marah padanya, tetapi jika ia datang menemuinya tidak menutup kemungkinan juga malam ini akan menjadi malam terakhir dirinya melihat indahnya dunia ciptaan tuhan.
"Kamu harus tetap tenang!!! Percayalah, tuan Abimana itu juga manusia biasa sama seperti kita, dia pasti masih punya hati nurani tidak mungkin sampai bertindak kelewatan padamu." Zena mencoba menenangkan Livia yang saat ini sudah tegang setengah mati.
Demi menetralkan ketegangan dalam diri, Livia menghela napas panjang lalu menghembusnya perlahan. "Doakan saja, semoga setelah bertemu dengan pria itu, kita masih bisa bertemu , Zena."
Sebenarnya apa yang saat ini ditakutkan Livia sedikit berlebihan memang, dimana ia berpikir jika pria bernama Abimana Putra Sanjaya tersebut akan menghabisinya, karena merasa tertipu olehnya.
"Semangat Livia ... semangat...." Zena memperagakan gerakan meninju udara untuk memberikan dukungan pada sahabatnya itu.
Livia mengangguk. Setelahnya, ia pun beranjak turun dari mobil sahabatnya, Zena.
*
Di dalam sebuah apartemen, seorang pria tengah duduk dengan menyilangkan kakinya, sementara kedua tangannya dilipat di depan da-da.
"Apa anda yakin dengan keputusan anda, tuan???."
"Saya tidak punya pilihan lain. saat ini kondisi kesehatan papa sangat memprihatikan, dan kita tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi ke depannya. Saya tidak ingin sampai menyesal nantinya."
Raut wajah Abi berubah seketika kala teringat kondisi kesehatan ayahnya saat ini.Ya, sudah hampir dua tahun Pria hebat yang telah membesarkan serta menjadi pelindung bagi nya tersebut mengidap penyakit jantung, dan keinginannya saat ini adalah melihat putra sulungnya menikah, itulah mengapa ia sampai menjodohkan Abimana dengan putri dari rekan bisnis mereka, tapi siapa sangka gadis yang malam itu menemui Abimana ternyata adalah gadis yang berbeda.
"Lalu apa yang akan anda katakan jika tuan besar menanyakan tentang gadis itu???."
Asisten pribadi yang akrab di sapa asisten Purba tersebut selalu berjaga demi mengantisipasi sesuatu yang tidak diinginkan ke depannya.
"Aku akan mengakui gadis itu sebagai kekasihku."
"Lalu bagaimana dengan Nona Thalia??? Bukankah selama ini tuan besar tahu nya anda menjalin hubungan dengan Nona Thalia " masih dengan posisi berdiri tegap tak jauh dari tuannya, Asisten Purna berujar.
Abi menghela napas berat kala asisten pribadinya tersebut menyebut nama kekasihnya atau lebih tepatnya mantan kekasih karena setelah kepergian wanita cantik itu, Abimana menganggap hubungan mereka telah berakhir. Ya, setahun yang lalu Thalia meninggalkannya tanpa alasan yang jelas. Ditinggal ketika sedang sayang-sayangnya membuat kehidupan Abimana hancur berantakan, bahkan semua pekerjaannya turut terbengkalai. Untungnya ada asisten Purba yang selalu setia mendampinginya dalam situasi dan kondisi apapun, asisten Purba pula lah yang mengatasi semua kekacauan di perusahaan akibat Abi yang terpuruk saat itu.
Jika ditanya apakah ia masih mendukung jika tuannya itu kembali merajut kasih dengan wanita itu??? Tentu saja jawabannya tidak, asisten Purba tidak akan rela melihat tuannya itu kembali tersakiti, namun asisten purba masih cukup tahu diri akan posisinya sehingga ia menyerahkan semua keputusan di tangan tuannya, Abimana.
Ting tong....
Suara bel apartemen menarik kesadaran Abi dari lamunannya.
"Sepertinya gadis itu sudah datang, tuan." asisten purba beranjak, hendak menyambut tamu yang datang.
"Selamat malam, Nona. Silahkan masuk, tuan Abimana sudah menunggu di dalam."
Livia tak langsung masuk, menghela napas dalam-dalam, seakan mempersiapkan diri untuk bertemu dengan pria yang sudah hampir dua pekan ini mengganggu ketenteraman hidupnya.
"Silahkan masuk, Nona!!!." asisten Purba mengulang ucapannya.
"Ba-baik, terima kasih."
Dengan memaksakan kakinya melangkah, Livia masuk ke dalam unit apartemen tersebut.
Dari jarak yang masih berkisar lima meter saja, Livia sudah dapat merasakan aura yang mampu membuat tubuhnya kembali diselimuti ketegangan.
"Sampai kapan kau akan berdiri di situ???."
Livia sampai terperanjat, saking terkejutnya.
"Silahkan duduk, Nona!!!." asisten Purba mempersilahkan Livia duduk di sofa, tepat berhadapan dengan tuannya.
"Terima kasih." balas Livia sambil meremas ujung kemejanya.
Livia kembali melangkah. menelan salivanya dengan susah payah saat baru saja mendaratkan bobotnya.
"Untuk semua yang telah terjadi, saya benar-benar mohon maaf, tuan. jujur, saya sama sekali tidak bermaksud menipu anda tuan, saya hanya membantu sahabat saya demi menghindari perjodohan yang tidak diinginkannya."
Dengan memberanikan diri, Livia mengutarakan hal itu. Bukannya ingin membela diri, namun seperti itulah kenyataannya.
Abimana tersenyum mendengarnya, tapi senyuman itu justru semakin menakutkan di mata Livia.
"Memohon maaf....." Abimana mengulang kosa kata yang baru saja di ucapkan Livia, dan itu kembali membuat tubuh gadis itu merinding. "Apa kau pikir dengan memohon maaf semuanya akan selesai begitu saja, hah???." intonasi mulai meninggi hingga Livia terperanjat mendengarnya.
Livia masih diam mematung, tak berani bersuara. bahkan pandangannya pun ikut tertunduk seiring dengan nyalinya yang semakin menciut.
"Satu yang harus kau camkan baik-baik Nona Liviana.... saya tidak butuh permintaan maaf karena yang saya butuhkan saat ini adalah pertanggung jawaban." masih terus menatap datar ke arah lawan bicaranya.
Dengan ragu Livia mengangkat pandangannya. "Pertanggung jawaban seperti apa yang anda inginkan dari gadis seperti saya, tuan??? Saya tidak punya apapun yang bisa saya berikan kepada anda, yang notabenenya sudah memiliki segala-galanya." balas Livia. dengan susah payah Livia menahan air matanya agar tak jatuh dihadapan pria itu, ia tak ingin terlihat semakin menyedihkan.
"Siapa bilang...." kembali menyeringai hingga Livia mengeryit bingung.
"Karena kau sudah menggagalkan rencana perjodohan itu, maka untuk mempertanggung jawabkan semuanya. kau harus menikah denganku!!!."
Bisa-bisanya dia bercanda di saat seluruh tubuhku sudah gemetar begini.....apa semua orang kaya candaannya seperti ini???? Dasar.....
"Saya tidak sedang bercanda." seakan paham dengan pikiran Livia saat ini. "berapa mahar yang kau inginkan dariku????".
"haaaahhhh....?????." Livia terbelalak. sebelumnya ia memang sudah mempersiapkan diri kalau saja pria itu sampai memukul dirinya saking kesalnya, namun tidak ada sedikit pun terbesit dihati dan pikiran Livia jika pria itu sampai mengutarakan hal konyol seperti ini, mengajaknya menikah.
"Kenapa harus menikah tuan?? Apa tidak ada cara lain, selain menikah dengan anda???."
Livia menunjukkan penolakan dan itu mampu mengundang seringai di sudut bibir Abimana.
"Tentu saja ada, Nona Liviana....kalau memang kau tidak ingin menikah denganku, itu artinya kau lebih memilih mendekam di balik jeruji besi, karena saya akan melaporkan mu ke pihak yang berwajib atas tuduhan penipuan serta pele-cehan. Kau masih ingat kan, saat itu kau sudah lancang menyentuh tubuhku. walaupun saat itu aku membiarkan mu melakukannya, tetap saja itu termasuk dalam kategori pelec-ehan, bukan???." Abimana menyentuh bagian da-da bidangnya yang malam itu sempat disentuh oleh Livia.
"Aaaappaaaa????." suara keterkejutan kembali terdengar memenuhi seisi ruangan, namun kali ini bukan berasal dari mulut Livia melainkan dari mulut asisten Purba. Sebagai asisten pribadi yang sudah melayani tuannya selama bertahun-tahun, asisten purba tahu betul bahwa tuannya itu paling tidak suka di sentuh oleh lawan jenisnya, terlebih orang asing, tapi kenapa saat ini Abimana justru dengan begitu santainya menceritakan apa yang pernah dilakukan gadis itu kepadanya. seakan tidak merasa keberatan sama sekali.
Untuk episode pertama, semoga kalian suka ya....sayang-sayangku....
Suara asisten Purba mampu menarik atensi Abimana dan juga Livia.
"Maafkan saya, tuan...." Asisten Purba menundukkan kepala sebagai permintaan maaf atas kelancangan mulutnya.
sangat sulit di percaya. Bagaimana mungkin tuan Abimana tidak merasa keberatan saat nona Liviana, yang notabenenya orang asing, menyentuh tubuhnya????. Asisten Purba.
"Tapi tuan....."
Livia kembali fokus pada sosok Abimana. Hendak melayangkan penolakan, namun pria itu langsung menyela.
"Cih.... tidak perlu berlebihan, saya menikahi mu hanya untuk sebuah status. Jadi tidak perlu berpikir sejauh itu, saya sama sekali tidak tertarik untuk menyentuhmu!!!."
"Lagi pula ada seribu satu wanita di luar sana yang mengantri untuk sekedar menghabiskan malam denganku." sambung Abimana dengan penuh percaya diri, saking kesalnya pada Livia yang tak kunjung menerima tawarannya.
Untuk beberapa saat suasana hening. Sampai beberapa saat kemudian Abimana kembali memecahkan keheningan. "Sepertinya anda memang lebih memilih mendekam di balik jeruji besi ketimbang menerima tawaran saya, Nona Livia." hampir kehabisan kesabaran menyaksikan gadis dihadapannya itu masih diam saja.
Mendengar Abimana kembali menyebut jeruji besi, berhasil membawa ingatan Livia pada kejadian yang pernah menimpa dirinya beberapa tahun lalu, di saat ia masih duduk di bangku kuliah, di mana ia menerima tuduhan telah mengambil ponsel milik teman seangkatannya. Fitnah yang di alamatkan padanya ketika itu mampu membuat Livia merasakan dinginnya ubin jeruji besi selama seminggu lamanya. Untungnya saat itu ia memiliki sahabat yang luar biasa baik kepadanya. siapa lagi kalau bukan Zena. Zena meminta bantuan ayahnya untuk menjamin kebebasan Livia, dengan mengganti ponsel yang hilang.
Bukan sampai di situ saja, setelah menghirup udara bebas pun, Livia masih saja mendapat sindiran pedas dari teman-temannya. kalimat tak mengenakan menjadi santapan Livia hampir sebulan lamanya. tapi sepertinya tuhan masih memberi jalan untuk membersihkan nama baiknya, hingga ponsel temannya tersebut ditemukan terselip dalam kondisi of baterai di dalam kotak loker miliknya sendiri.
Sejak saat itu hingga kini, Livia selalu merasa trauma setiap kali mendengar kata jeruji besi.
Oh tuhanku..... rencana apalagi yang ingin engkau gariskan di dalam takdirku????. Livia.
Cukup lama Livia terdiam, memikirkan keputusan yang tepat.
"Baiklah....Jika anda tetap menolak maka saya tidak akan memaksa, karena saya bukanlah tipikal pria yang suka memaksakan kehendak kepada orang lain, terlebih pada seorang wanita." kalimat tersebut terucap datar dari mulut Abimana ketika menyaksikan Livia masih saja terdiam untuk waktu yang cukup lama.
"Tapi_." Abimana sengaja menggantung ucapannya.
"Tapi apa????."
Intonasi Livia masih terdengar lembut namun terkesan menuntut.
"Tapi anda harus menerima konsekuensinya."
Livia bukanlah gadis bodoh, meskipun Abimana masih berbicara dengan nada manusia, namun ia tau betul di setiap kata-kata pria itu mengandung ancaman, dan itu tidak terdengar main-main.
Asisten Purba yang sejak tadi menjadi pendengar setia, hanya bisa menatap prihatin pada sosok Livia.
Memandang ke arah asisten Purba. "Sepertinya besok kita perlu ke kantor poli-si untuk membuat laporan."
"Nyes." hati Livia semakin tak tenang.
Abimana berdiri dari duduknya, hendak berlalu dan itu membuat otak Livia tak lagi memiliki kesempatan untuk berpikir panjang.
"Saya bersedia menerima tawaran anda, tuan." hingga kalimat itu terucap begitu saja dari bibir ranum nya.
Abimana menyeringai. "Bagus, sepertinya anda masih menggunakan akal sehat anda, Nona Liviana." Abimana kembali ke tempat duduknya semula, mengulas senyum penuh kemenangan.
*
Zena yang sejak tadi menunggu Livia kembali, akhirnya bernapas lega ketika menyaksikan sahabatnya itu berjalan keluar dari gedung apartemen. Ternyata sahabatnya itu masih bisa bernapas setelah bertemu dengan Abimana Putra Sanjaya, tidak seperti yang ditakutkan oleh Livia sebelumnya.
"Aku bilang juga apa, Liv...tuan Abimana itu hanya manusia biasa sama seperti kita, mana mungkin dia sampai menghabisi kamu. kamu nya saja yang terlalu berlebihan." kalimat itulah yang terucap dari mulut Zena di saat Livia baru saja masuk ke mobil.
"Tuan Abimana memang tidak sampai menghabisi nyawaku, Zena, tapi sebentar lagi dia akan merenggut kebebasanku."
Livia menyerahkan sebuah amplop berwarna coklat pada Zena.
"Apa ini???." cukup lama Zena menatap benda itu, lalu kemudian meraihnya dari tangan Livia.
Kedua bola mata Zena terbelalak melihat isi amplop tersebut.
"Apa maksud semua ini, Livia???."
Livia menghela napas panjang, sebelum sesaat kemudian mulai menceritakan semua inti dari pembahasan mereka tadi di apartemen Abimana.
Semakin bertambah rasa bersalah dihati Zena terhadap sahabatnya itu. Jika saja saat itu ia tidak meminta bantuan Livia pasti sahabatnya itu tidak akan berurusan dengan Abimana Putra Sanjaya, seorang pemuda berusia dua puluh tujuh tahun, yang terkenal disegani di kalangan pebisnis tanah air.
Jika sesama pebisnis saja segan terhadap sepak terjang pria itu, lalu bagaimana dengan Livia yang tak ubahnya remahan rengginang.
Livia mencoba mengulas senyum di hadapan Zena. Walaupun ia sendiri tak tahu bagaimana nasibnya ke depannya nanti. ia juga tak ingin sampai Zena terus merasa bersalah seperti ini kepadanya.
Livia merengkuh pundak Zena, cukup peka dengan apa yang tengah dirasakan oleh sahabatnya itu terhadap dirinya saat ini. "Sudahlah.... tidak perlu terus-terusan merasa bersalah seperti itu, mungkin ini cara tuhan mempertemukan aku dengan pangeran ku." di tengah kegundahan hatinya, Livia masih sempat-sempatnya melontarkan celetukan yang diiringi dengan tawa renyahnya.
Semakin Livia tersenyum, semakin Zena yakin jika saat ini sahabatnya itu sedang tidak baik-baik saja.
"Maafkan aku, Livia." Zena memeluk Livia.
"Tidak perlu minta maaf, ini bukan sepenuhnya kesalahan kamu, aku juga bersalah dalam hal ini." balas Livia, membalas pelukan Zena.
Ya tuhan berikan aku kekuatan menghadapi semua ini..... jika ini adalah takdir yang harus aku jalani, aku ikhlas menerimanya. Livia .
Zena masih ingat betul dengan pengalaman pahit Livia dahulu maka tak heran jika sahabatnya itu tidak berpikir panjang ketika Abimana mengancam akan memenjarakannya. bahkan syarat yang tertulis di dalam kontrak pernikahan yang dibuat Abimana sepertinya tak lagi terlalu dipedulikan oleh Livia, padahal didalam kontrak tersebut jelas-jelas sahabatnya itu harus mematuhi semua perintah Abimana, setelah mereka resmi menikah nanti.
"Bagaimana kau akan menjelaskan pada orang tuamu tentang rencana pernikahan kalian???."
"Aku tidak perlu memikirkan hal itu karena tuan Abimana yang akan datang menemui kedua orang tuaku." Livia hanya menjawab sesuai dengan apa yang dikatakan Abimana padanya beberapa saat yang lalu.
Setelahnya, Livia pun mengajak Zena untuk segera berlalu meninggalkan tempat itu. Mengajak Zena bersenang-senang ke area pasar malam adalah tujuan Livia saat ini. Menikmati detik-detik kebebasannya tanpa harus terus memikirkan apapun tentang pria bernama Abimana putra Sanjaya, dengan begitu mungkin suasana hatinya akan sedikit lega.
Terima kasih sayang sayangku sudah mampir ke kisahnya Livia dan Abimana....😘😘😘😘
Tempat paling indah, yang selalu mampu membuatnya tenang dari seribu satu macam beban hidup, kini tak lagi seindah seperti sebelumnya. hampir semua wahana di pasar malam telah di nikmati oleh Livia bersama Zena, namun tak mampu membuat kegundahan hati Livia sirna. Bayangan suram akan mahligai rumah tangga yang akan ia jalani bersama pria asing terus menyeruak bagai bola panas yang mampu meledakkan jantungnya kapan saja.
Jika dulu Livia kerap kali bersedih karena tidak memiliki waktu untuk mencari tambatan hati, hari ini hal itu yang paling disyukuri oleh Livia. Bayangkan saja jika saat ini ia sedang menjalani hubungan asmara dengan seorang pria, bisa jadi kepalanya akan benar-benar pecah untuk mencari cara mengakhiri hubungan mereka akibat tawaran konyol seorang Abimana Putra Sanjaya. bisa jadi sang kekasih akan berpikir ia telah berkhianat.
"Zena, kita pulang aja yuk!!! Aku udah ngantuk."
Beranjak dari bangku. beberapa kali berakting menguap untuk meyakinkan Zena.
Zena bergeming, namun tetap ikut menyusul langkah Livia. hingga mobil Zena tiba di depan rumah orang tua Livia, kedua gadis tak lagi banyak terlibat obrolan. Sepertinya keduanya terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Sudah malam, masuk gih ....!!!." Sekilas Zena memandang ke arah ibunya Livia yang kini berdiri di ambang pintu. tersenyum ramah sambil mengangguk sopan.
Livia mengangguk, namun ia tak langsung masuk, justru meminta Zena untuk segera pulang mengingat waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Barulah setelah mobil Zena tak lagi terlihat oleh pandangannya, Livia kemudian berlalu.
"Kamu dari mana saja, kenapa jam segini baru pulang nak???." ibunya bergerak masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Livia.
"Via habis main sama Zena, Bu." seperti biasa, Livia menunjukkan wajah seceria mungkin, tak ingin sampai anggota keluarganya sampai menyadari kegundahan hatinya. bagi Livia sudah sepatutnya berbagi kebahagiaan dengan anggota keluarganya, namun untuk kesedihannya biarlah dirinya dan tuhan saja yang tahu. Ia tidak ingin membebani keluarganya dengan permasalahan yang saat ini dihadapinya.
Livia memandang ke arah ayahnya yang baru saja keluar dari kamar. Dari mimik wajah sang ayah sepertinya ingin menyampaikan sesuatu padanya.
"Apa ada yang ingin ayah dan ibu sampaikan sama Via???."
Pria paruh baya yang terkenal dengan sikapnya yang begitu sabar dan penyayang terhadap keluarganya tersebut mengayunkan langkah menuju ruang tengah, lalu menepuk sisi yang kosong di sebelahnya.
Paham dengan maksud ayahnya, Livia pun beranjak, duduk di samping ayahnya.
Livia merasa ada yang berbeda dengan sikap ayah dan ibunya. "Ada apa ayah???.". membalas tatapan ayahnya.
"Apa benar kamu sudah menjalani hubungan dengan tuan Abimana selama dua tahun terakhir ini, nak???."
Livia tidak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya ketika sang ayah menyebut nama Abimana. berprofesi sebagai pengusaha sekaligus pebisnis muda ternama di Tanah air, tidak heran jika ayahnya sangat mengenal sosok Abimana, terlebih Sanjaya group merupakan perusahaan besar yang setara dengan galaxy group. tapi yang jadi pertanyaan, kenapa ayahnya sampai bertanya demikian???
"Tadi tuan Abimana ditemani asisten pribadinya datang ke sini, nak. dan tujuan kedatangan beliau ke sini adalah untuk melamar kamu." ibunya turut bersuara, seakan paham dengan pertanyaan Livia yang terukir jelas dari sorot mata gadis itu.
"Melamar????." ulang Livia. Seluruh badannya seakan lemah tak bertulang, namun harus tetap bersikap baik-baik saja di depan kedua orang tuanya. Ia tidak menyangka jika Abimana akan bertindak secepat itu, bahkan sebelum ia kembali ke rumah.
Cukup lama Livia terdiam, kepalanya sungguh berisik saat ini.
"Apa ayah menerima lamarannya????." sungguh pertanyaan konyol. bagaimana mungkin ayahnya menolak sementara pria itu mengaku mereka telah menjalani hubungan selama dua tahun.
"Tentu saja ayah menerimanya, nak."
Ayahnya Livia meraih ponselnya yang berada di atas meja. "Lagi pula kata tuan Abimana, kamu sengaja memintanya datang tanpa kamu, untuk bertemu dengan ayah." ayahnya menunjukkan beberapa foto Livia dan Zena yang tengah asyik menikmati beberapa wahana bermain yang ada di pasar malam. "Tuan Abimana tadi yang mengirim gambar-gambar ini pada ayah." sambung ayahnya.
Livia sampai menutup mulutnya dengan telapak tangannya, tidak menyangka Abimana melakukan semua itu. ternyata pria itu sampai mengirim seseorang untuk memata-matai dirinya demi memuluskan semua rencananya.
*
Di kediaman utama milik keluarga Sanjaya.
"Apa-apaan kamu Abi, kenapa baru meminta persetujuan ibu setelah kamu melamar gadis itu...." meskipun raut wajahnya terlihat sangat geram, namun wanita paruh baya yang masih terlihat cantik diusianya yang sudah memasuki kepala lima tersebut, masih mencoba bicara dengan nada setenang mungkin. Tak ingin memancing kemarahan Abimana.
Abimana yang tengah duduk di sofa terlihat tetap tenang. "Aku tidak sedang meminta persetujuan ibu, aku hanya ingin menyampaikan pada ibu bahwa sebentar lagi aku akan segera menikah." raut wajah serta nadanya terdengar sangat datar. seperti itulah Abimana setiap kali berbicara dengan wanita yang merupakan ibu sambungnya tersebut. Meskipun tidak terlalu dekat dengan ibu sambungnya itu, namun Abimana masih menaruh rasa hormat pada wanita itu sebagai istri dari ayahnya. untuk ibu kandung Abimana sendiri jangan di tanya, karena wanita itu telah meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya disaat ia melahirkan Abimana.
Jawaban Abimana semakin menambah rasa geram dihati ibu sambungnya kepada sosok wanita yang akan dinikahi putranya.
"Tapi Abi, bukankah sebelum menikahi gadis itu kamu harus mencari tahu terlebih dahulu bibit bebet bobotnya! Bagaimana kalau gadis itu hanya ingin menikmati harta kamu, bukannya tulus ingin berumah tangga denganmu???."
Menatap ibu tirinya dengan tatapan datar seperti biasanya. "Kalaupun ingin menikmati hartaku, lalu apa salahnya??? Bukankah sebagai seorang istri sudah sepatutnya menikmati hasil jerih payah suaminya." kalimat Abimana terdengar menohok di hati ibu sambungnya.
"Abi...." seruan lembut.
"Hem."
"Bukankah masih banyak wanita cantik di luar sana yang sepadan dengan keluarga kita, kenapa harus gadis seperti itu yang akan kamu nikahi."
Sudut bibir Abimana berkedut. Seringai tercipta di sana. "Lalu, wanita seperti apa yang tepat menurut ibu??? wanita seperti Thalia???."
Dengan susah payah ibunya menelan saliva. Ya, Thalia adalah anak dari salah seorang sahabatnya, yang sengaja ia kenalkan pada Abimana. awalnya Abimana menolak, tapi karena ayahnya turut ambil andil dalam meminta dirinya untuk menerima Thalia, pada akhirnya Abimana membuka hati untuk wanita itu. Tapi siapa sangka setelah Abimana jatuh hati padanya, wanita itu justru bersikap semaunya sendiri, termasuk pergi meninggalkan Abimana tanpa alasan yang jelas di saat Abimana sedang sayang-sayangnya.
Tidak dapat dipungkiri kepergian Thalia setahun yang lalu membuat kehidupan Abimana sangat terpuruk.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!