Nyokap sudah pindah ke Jakarta sejak gue ada di dalam kandungannya. Jadi, dia kenal hampir sama semua orang di deretan tetangga perumahan ini.
Hampir, ya!
Karena ada satu tetangga yang belum terjamah oleh Nyokap gue.
Iya, keluarga Batari.
Kenapa?
Ya, bisa dibilang mereka itu keluarga konglomerat yang tertutup, dan sedikit menyebalkan juga. Kalau saja kita pernah tegur sapa lebih dari tiga kali, itu sudah lumayan banget. Keluarga ini terdiri dari Ibu Astuti, suaminya yang bernama Batari, dan tiga anak mereka: Anan, Antari, dan Asta.
Terus, kenapa gue bisa tahu banyak hal soal mereka, padahal kita jarang banget ngobrol?
Alasannya cuma satu, Anan Batari.
Hati gue melayang setiap kali ingat dia. Walaupun Anan enggak satu sekolah sama gue karena dia disekolahin di sekolah elite. Tapi gue tetap tahu semuanya tentang dia, karena gue selalu stalking mulai dari sosial media sampai jadwal kegiatan dia sehari-hari.
Ya, bisa dibilang gue punya obsesi yang sedikit enggak sehat sama dia.
Anan sudah jadi cinta pertama gue sejak pertama kali melihat dia lagi bermain di taman belakang. Main bola di halaman belakangnya waktu gue baru berumur delapan tahun. Ya, namanya juga cinta monyet, obsesi gue sama dia mulai memudar seiring berjalannya waktu.
Sampai hari ini, gue bahkan belum pernah ngomong sama dia, kita enggak pernah juga saling tatap mata. sepertinya dia bahkan enggak pernah sadar kalau gue ada di sekitarnya. Meski gue sering mengintipnya dari balik jendela kamar ini.
Sedikit doang, kok, santai saja.
Di kamar gue yang kecil ini, lagu "Die With A Smile" lagi mengudara, gue bernyanyi-nyanyi sambil melepas sepatu.
Gue baru pulang, dan sumpah gue capek banget. Harusnya di umur gue yang 18 ini, gue masih lincah, tapi kenyataannya enggak. Nyokap gue bahkan lebih berenergi daripada gue, dan terpaksa harus gue akui kalau dia lebih hebat dari gue.
Gue luruskan tangan sambil menguap. Anoi, anjing gue, yang jenisnya Siberian Husky, ikutan menguap di sebelah gue. Kata orang, anjing itu mirip majikannya. Anoi itu kayak gue tapi versi anjing, kadang-kadang dia tiru ekspresi muka gue juga.
Pas gue lagi berputar-putar di kamar, mata gue jatuh ke poster-poster dengan kutipan motivasi yang sengaja ditempelkan di dinding. Cita-cita gue, sih kepingin jadi Psikolog biar bisa bantu orang lain, makanya gue lagi berharap banget biar dapat beasiswa.
Gue jalan ke arah jendela untuk melihat matahari terbenam. Ini memang momen favorit gue setiap hari, rasanya tenang bisa melihat matahari perlahan menghilang di balik cakrawala dan membuka jalan buat bulan yang cantik. Seolah-olah mereka berjanji untuk enggak pernah saling bertemu, tapi tetap berbagi langit yang megah ini satu sama lain.
Kamar gue di lantai dua, jadi pemandangannya cukup bikin hati gue tenang. Tapi, pas gue buka gorden, yang gue lihat bukannya matahari terbenam, melainkan seseorang yang lagi duduk di halaman belakang, tetangga gue.
Asta Batari.
Sudah lama gue enggak melihat anggota keluarga itu nongol di halaman. Ya, bisa dimaklumi, sih. Karena rumah mereka agak jauh dari pagar yang memisahkan halaman kita.
Asta ini anak paling kecil dari tiga bersaudara, umurnya 15 tahun, dan dari yang pernah gue dengar, dia anak yang ramah, beda banget sama kedua kakaknya. Memang, gen-ganteng itu ada di keluarga mereka, ketiga kakak-beradik ini ganteng-ganteng, bahkan bokap mereka juga cakep.
Asta punya rambut coklat terang dan wajah yang kelihatan polos, matanya warna madu, sama kayak bokapnya.
Gue bersandar di jendela dengan kedua siku di sana, dan langsung melihat dia. Ada laptop di pangkuannya, dan dia lagi mengetik dengan terburu-buru.
“Tunjukkan pesona lo, Zielle!!” Suara kecil di otak gue mendadak muncul buat menegur.
Gue harus sapa dia enggak, ya?
“Jelas harus, kan dia calon adik ipar lo,” gumam otak gue lagi.
Akhirnya gue berdehem, siap-siap pakai senyum terbaik gue. “Hei, sore, tetangga!” teriak gue sambil melambaikan tangan.
Asta langsung mengangkat kepala, mukanya kaku. “Oh!” Dia kaget sampai-sampai berdiri mendadak, laptopnya jatuh ke tanah. “Sial!” Dia menggerutu sambil buru-buru ambil laptop dan langsung mengeceknya.
“Baik-baik aja, enggak, tuh laptop?” tanya gue. Sepertinya itu laptop mahal.
Asta akhirnya menyengir lega. “Iya, aman.”
“Oh, ya, gue Zielle, gue tetangga lo di…”
Dia menyengir ramah. “Gue tahu kok, kita kan udah tetanggaan dari kecil.”
Oh iya, ya.
Aduh, Zielle, lo bego banget.
“Eh iya, benar juga.” jawab gue malu.
“Gue mesti balik ke dalam dulu, nih.” Dia melipat kursinya. “Eh, makasih, ya, udah kasih kita password Wi-Fi. Kita udah enggak bisa ngapa-ngapain beberapa hari ini karena lagi ganti provider baru. Lo baik banget mau kasih hotspot.”
Gue mendadak beku. “Hotspot? Maksud lo apaan?”
“Ya, lo ngasih kita password Wi-Fi, makanya gue nongkrong di sini. Soalnya sinyalnya enggak sampai ke dalam rumah.”
“Apa? Tapi gue enggak pernah kasih siapa pun password Wi-Fi gue.…” Gue benaran bingung.
Asta mengerutkan alisnya. “Anan bilang lo yang kasih dia passwordnya.”
Nama itu bikin jantung gue kayak mau lepas dari dada. “Gue enggak pernah ngomong sama abang lo seumur hidup gue.” jawab gue.
Percaya deh, gue pasti bakal ingat kalau itu benaran kejadian. Asta kelihatan sadar kalau gue benar-benar enggak tahu soal ini, mukanya langsung merah.
“Maaf, Anan bilang lo yang kasih passwordnya, makanya gue di sini. Maaf banget, ya.”
Gue cuma geleng-geleng kepala. “Tenang aja, bukan salah lo.”
“Tapi kalau lo enggak kasih dia password, terus bagaimana dia bisa dapat? Gue barusan internetan pakai sinyal Wi-Fi lo.” Asta garuk-garuk kepala, bingung.
Gue juga garuk kepala. “Gue juga enggak tahu.”
“Ya udah, gue janji enggak bakal nyolong Wi-Fi lo lagi. Maaf banget, ya.” Dia mengangguk, terus balik lewat deretan pohon di halaman belakangnya.
Gue bengong melihat tempat di mana Asta tadi duduk.
Apaan sih barusan?
Kok Anan bisa dapat password Wi-Fi gue?
Ini benaran bikin gue penasaran. Gue tutup jendela, terus bersandar di situ. Password Wi-Fi gue itu malu-maluin banget kalau sampai ada orang yang tahu, dan sekarang Asta tahu.
Sial!
Tapi, bagaimana caranya password itu bisa sampai ke tangan Anan?
Asta itu bukan cuma yang paling ganteng di antara mereka bertiga, tapi juga yang paling introvert dan susah didekati.
“Zielle! Makan malam udah siap!”
“Iya, Ma, sebentar!”
Ini belum selesai. Gue bakal cari tahu bagaimana Anan bisa dapat password gue. Ini bakal jadi Proyek gue ke depan.
“Zielle!”
“Iya, iya, Zielle datang!”
Proyek yang harus segera gue selesaikan.
Gue benci banget kalau ada yang ganggu pas lagi tidur. Itu benar-benar salah satu hal yang paling enggak bisa ditolerir. Gue orangnya santai, damai, tapi kalau lo membangunkan gue, siap-siap saja melihat sisi gelap Zielle.
Jadi, gue kebangun gara-gara suara lagu asing. Gue bolak-balik di kasur, tutupi kepala pakai bantal, tapi telanjur. Tidur gue sudah rusak, dan enggak bisa lanjut lagi. Dengan kesal, gue buang bantal ke samping, duduk, sambil buang kata-kata enggak pantas.
Dari mana sih suara itu datang?
Ya ampun, sudah tengah malam begini. Siapa coba yang berisik di jam segini?
Ini bahkan bukan malam minggu.
Gue jalan ke arah jendela kayak zombi, dan angin dingin yang mulai masuk dari sela-sela gorden bikin gue merinding. Gue biasa tidur dengan jendela terbuka, enggak pernah ada masalah, enggak pernah ada suara berisik malam-malam. Tapi sekarang beda. Gue garuk-garuk kepala, terus buka gorden buat cari tahu sumber suaranya.
Melihat ada orang duduk di kursi kecil di halaman belakang keluarga Batari, gue langsung kaget. Tapi kali ini bukan Asta. Jantung gue langsung loncat dari dada pas gue sadar kalau itu, Anan.
Kalau harus mendeskripsikan Anan, kayaknya kata-kata gue enggak bakal cukup, nafas gue juga mungkin habis. Dia itu cowok paling ganteng yang pernah gue lihat, dan percaya, deh, gue sudah sering ngintip dia. Badannya tinggi, atletis, dengan kaki yang kekar banget, dan bokong yang sangat luar biasa.
Wajahnya punya struktur ala Pangeran Jawa, dengan tulang pipi tegas dan hidung mancung yang sempurna. Bibirnya tebal, selalu kelihatan basah. Bibir atasnya berbentuk lekukan hati, dan di bibir bawahnya ada lekukan kecil yang hampir enggak kelihatan.
Matanya itu selalu bikin gue kehilangan napas tiap kali melihatnya. Warna biru pekat dengan sedikit semburat hijau yang menakjubkan. Rambutnya hitam legam, kontras banget sama kulitnya yang putih, lembut kayak es krim, dan jatuh berantakan di kening dan kupingnya.
Di lengan kirinya ada tato barong yang keren, penuh seni, kelihatan banget kalau itu hasil tukang tato yang profesional. Semua tentang Anan seperti kasih sinyal bahaya, seakan mengingatkan gue buat menjauh, tapi bukannya menjauh, gue malah makin tertarik, dia seperti magnet yang bikin gue susah kabur.
Dia pakai celana pendek, Converse, dan kaos hitam yang matching sama rambutnya. Gue bengong memperhatikan dia yang lagi mengetik di laptop, sambil gigit bibir bawah.
Gila, cakep banget!
Dan saat itu terjadi. Anan mengangkat kepala dan melihat gue. Mata birunya langsung ketemu sama pandangan gue, dan dunia gue nyaris berhenti sesaat.
Ini pertama kalinya kita saling tatap sedalam ini. Tanpa sadar, gue langsung merona, tapi gue enggak bisa mengalihkan pandangan. Anan angkat alis, matanya sedingin es. “Lo butuh sesuatu?” suaranya datar banget, tanpa emosi.
Gue telan ludah, berusaha keras menemukan suara gue. Pandangannya bikin gue terdiam.
Bagaimana mungkin ada orang seusia dia yang berana mengintimidasi gue seperti ini?
“Gue… eh, halo,” sahut gue hampir tergagap. Dia enggak bilang apa-apa, cuma terus-terusan melihat gue, bikin gue makin grogi. “Eh, musik lo ngebangunin gue.”
Gue berhasil ngomong sama Anan.
Astaga, please, jangan sampai pingsan di sini, Zielle.
Tarik napas, buang.
“Telinga lo bagus juga ya, padahal kamar lo jauh,” katanya tanpa niat minta maaf. Gue mengerucutkan bibir.
Setelah beberapa detik, dia sadar kalau gue masih di situ, terus melihat gue lagi sambil angkat alis dengan nada tinggi. “Lo butuh sesuatu?” ulangnya.
“Iya, gue mau ngomong sama lo.” Dia kasih isyarat buat gue lanjut ngomong. “Lo pakai Wi-Fi gue?”
“Iya.” Enggak ada ragu sama sekali pas dia jawab.
“Tanpa izin gue?”
“Iya.”
Ya ampun, sumpah, ini orang memang parah banget.
“Lo enggak boleh kayak gitu.”
“Gue tahu.” Dia angkat bahu, cuek banget, kayak enggak peduli.
“Gimana caranya lo bisa tahu password Wi-Fi gue?”
“Gue jago komputer, loh.”
“Maksud lo, lo dapat password itu dengan cara yang enggak benar, ya?”
“Iya, gue nge-hack Wi-Fi lo.”
“Dan lo, bisa santai banget ngomong kayak gitu.”
“Jujur itu salah satu kelebihan gue, coy.”
Gue gigit rahang. “Lo tuh…” Dia menunggu gue buat kata-kata in dia, tapi mata dia bikin pikiran gue nge-blank. Akhirnya gue cuma bisa jawab “Lo tuh benar-benar idiot.”
Dia senyum tipis. “Buset, gitu doang? Gue kira lo bakal lebih terkejut setelah tahu password lo ke bongkar.”
Pipi gue panas, pasti sudah merah. Dia tahu passwordnya, orang yang gue suka dari kecil tahu isi dari kata sandi Wi-Fi gue yang super memalukan itu.
“Harusnya enggak ada yang tahu,” gue menunduk.
Anan tutup laptopnya dan tatapan dia cuma fokus ke gue, dia kelihatan senang. “Gue tahu banyak hal tentang lo yang harusnya enggak gue tahu, Zielle.”
Dengar dia memanggil nama gue bikin perut gue berasa penuh kupu-kupu.
Gue coba tetap melawan. “Oh, ya? Memang lo tahu apa?”
“Kayak situs-situs yang lo buka pas semua orang udah tidur.”
Mulut gue langsung menganga, tapi buru-buru gue tutup lagi.
Ya ampun!
Dia melihat riwayat pencarian gue, sial, gue malu enggak ketolongan. Gue pernah iseng buat buka beberapa situs dewasa, cuma iseng doang, sumpah.
“Gue enggak tahu lo ngomong apa.”
Anan senyum licik. “Lo tahu kok.”
Gue enggak suka arah obrolan ini. “Udah, bukan itu intinya. Jangan pakai Wi-Fi gue dan jangan berisik.”
Anan berdiri dari kursi kecilnya. “Atau?”
“Atau… gue bakal ngaduin lo.”
Anan ketawa, suaranya berat dan seksi banget. “Lo mau ngadu ke nyokap lo?” Dia mengejek.
“Iya, atau ke nyokap lo.” Gue merasa aman di balkon ini, tapi kayaknya gue enggak bakal seberani ini kalau kita dekat. Anan memasukkan tangan ke kantong celananya.
“Gue bakal tetap pakai Wi-Fi lo, dan lo enggak bisa ngelakuin apa-apa.”
“Tentu aja bisa.”
“Enggak ada yang bisa lo lakuin. Kalau lo kasih tahu Nyokap gue, gue bakal mengelak dan dia pasti percaya sama gue. Kalau lo bilang ke Nyokap lo, gue bakal tunjukin situs-situs dewasa yang lo buka pas orang lain enggak ada.”
“Lo ngancem gue?”
Dia elus dagunya seperti berpikir. “Gue sih enggak ngancem, lebih kayak bikin kesepakatan. Gue dapat apa yang gue mau, dan lo dapat tutup mulut dari gue.”
“Tutup mulut dari informasi yang lo dapat dengan cara yang enggak benar, itu enggak adil.”
Anan mengangkat bahu. “Lo belum tahu ya, kalau hidup ini memang enggak adil?”
Gue menggigit gigi. Dia benar-benar bikin gue kesal, tapi dia kelihatan cakep banget di bawah sinar bulan.
“Kalau lo udah enggak ada yang mau diomongin, gue mau balik ke laptop gue, gue lagi ngerjain sesuatu yang penting.” Dia putar badan, ambil laptopnya, dan duduk di kursi.
Gue cuma bisa memperhatikan dia kayak orang bodoh, bingung apa ini karena dia idiot atau karena perasaan gue waktu kecil ke dia belum sepenuhnya hilang.
Tapi yang jelas, gue harus balik masuk, dinginnya malam ini enggak enak banget. Gue tutup jendela dan mengalah, masuk ke dalam selimut.
HP gue bergetar di meja samping tempat tidur, dan gue ambil.
Siapa yang nge-chat jam segini?
Gue buka chat itu dan langsung mengerutkan dahi.
...📩...
...Dari: 085*********...
...Selamat malam, penyihir....
...Salam dari gue,...
...Anan....
Apa?
Dia panggil gue penyihir?
Dan bagaimana caranya dia bisa dapat nomor gue?
Kayaknya, urusan gue sama Anan belum kelar. Dia salah besar kalau dia pikir gue bakal diam saja.
Lo udah senggol tetangga yang salah, bro!
...***...
"Apa lo bilang, lo habis ngapain?"
Niria sahabat gue dari kecil, hampir semprot muka gue sama minuman sodanya. Kita lagi di kafe paling terkenal di kota.
"Yaps, persis kayak yang lo dengar." Gue mengeluh sambil main-main sama sedotan di jus jeruk gue.
Niria langsung kasih senyum lebar kayak baru menang lotre. Rambutnya yang hitam jatuh di sisi mukanya, tipe rambut yang kalau enggak di-styling pun juga tetap kelihatan keren. Bikin gue iri.
Niria sudah bareng gue dari dulu, persahabatan kita mulai dari taman kanak-kanak, waktu dia mencoloki pensil ke kuping gue. Iya, memang awal yang enggak biasa buat pertemanan, tapi memang begitu kita, enggak umum dan kadang suka agak gila.
Meski begitu, kita saling melengkapi satu sama lain. Kalau itu bukan persahabatan sejati, gue enggak tahu lagi apa namanya.
Niria masih senyum-senyum bego. "Kenapa sih lo kelihatan lesu banget soal ini? Kita ngomong in Anan,loh, cinta terpendam lo dari umur tujuh atau delapan, kan?"
"Gue, kan, udah bilang gimana dia nge-chat."
"Tapi dia nge-chat lo duluan, Zielle. Akhirnya Dia ngomong sama lo, dia notice kalau lo ada di dunia ini. Itu udah awal yang bagus, jauh lebih baik daripada lo cuma ngeliatin dia dari jauh kayak penguntit."
"Gue bukan penguntit!"
Niria langsung pelototi gue. "Serius, lo? Mau ngelak dari gue yang udah sering pergokin lo ngintipin dia?"
"Ya enggaklah, itu, kan, cuma kebetulan aja gue lihat dia dari jauh waktu gue lagi... jalan-jalan."
"Jalan-jalan atau ngumpet di balik semak?"
"Udahlah." Gue percepat topiknya, soalnya enggak menguntungkan buat gue. "Lo tuh harus bantu gue cari cara biar dia enggak pakai Wi-Fi gue lagi, gue enggak mau dia menang terus."
"Kenapa enggak lo ganti password-nya?"
"Biar dia hack passwordnya lagi? Enggak, makasih."
Niria keluarkan bedak-Nya dan mengaca, sambil merapikan rambutnya. "Jujur aja, gue gak tahu harus bilang apa, say. Gimana kalau kita minta bantuan Bison?"
"Lo bercanda? Niria, namanya Bion, gak pake 's'."
"Sama aja." Dia keluarkan lipstik dan mulai mewarnai bibirnya dengan merah mencolok. "Dia jago soal komputer kan? Paling gak, dia paling pintar di kelas kita."
"Seriusan lo harus dandan di sini? Kita enggak lagi di rumah lo," kata gue, walaupun sudah tahu itu sia-sia. "Dan ya, kayanya dia mengerti soal gituan, dia kan bantuin Pram buat proyek komputernya."
"Tuh, kan, gue selalu kasih solusi buat lo." Niria masukan makeup-nya dan berdiri. Gue baru mau ngomong, tapi dia langsung lanjutkan, "Malah, lo mau tahu, gak, apa saran gue buat lo?"
"Apa?"
"Ya, lo itu cuma buang-buang waktu aja, benaran, deh."
"Soalnya dia tuh..." balas gue menghela napas, "Sempurna banget."
Niria mengacuhkan jawaban gue. "Gue mau ke kamar mandi, bentar ya."
Dia pergi sambil bikin beberapa cowok memperhatikan dia pas melewati meja mereka. Niria memang jago banget dandan, ditambah lagi badannya yang ramping dan tinggi. Gue bisa bilang, sahabat gue ini salah satu cewek paling cakep di sekolah.
Gue mainkan sedotan gue, sambil habiskan jus jeruk. Panasnya gila-gilaan, tapi gue suka. Gue enggak mau musim liburan semester ini kelar, soalnya itu berarti sekolah mulai masuk lagi, dan jujur saja, gue agak takut di tahun terakhir di sekolah.
Pikiran gue kembali ke Anan, dan gue keingat lagi suara dan senyum sombongnya tadi malam. Gue sadar kalau dia sebenarnya bukan orang baik.
Dunia ini aneh, kalau gue lihat, dia itu benar-benar dingin dan orang yang perfeksionis buat melakukan apa pun. Serius, dia itu kayak robot yang enggak bisa merasakan apa-apa. Gue sih berharap saja gue salah, kali aja dia sebenarnya punya sisi lembut atau manis di dalamnya, ya, kan?
Alarm HP gue bunyi, dan gue cek: Jadwal latihan sepak bola.
Senyum gue langsung mengembang. Semua orang sudah tahu kalau tiap Selasa dan Kamis jam lima sore, tim sepak bola SMA Anan latihan di lapangan dekat rumah gue.
Gue simpan HP di tas dan bayar bill-nya. Gue langsung menyender di tembok depan kamar mandi menunggu Niria. Menginjak-injak kaki enggak sabar sampai akhirnya sahabat gue itu nongol juga.
Dia angkat alis, “Gue kira kita bakal makan di sini.”
“Latihan bola,” jawab gue sambil senyum.
“Ohhh, lo mau ninggalin gue di sini buat ngelihat cowok-cowok ganteng, yang main bola sambil telanjang dada, ya?” ketusnya. Tapi gue tahu dia cuma bercanda.
“Mau ikut, enggak?”
“Ogah ah, ngintip dari jauh, sih, bukan gaya gue. Gue lebih suka dekati langsung, lo tahu itu kan?” Dia julingkan mata.
“Jangan pamer dong, kan, lo udah pengalaman,” kata gue cemberut.
“Ya udah, kalau begitu lo jangan jadi perawan terus, dong,” ejek dia sambil keluarkan lidah.
“Bisa jadi gue udah enggak, loh,” Balas gue.
“Yah, jangan, dong. Harusnya lo simpan aja tuh buat cinta pertama lo.”
“Niria. Gue enggak nyimpen apa-apa buat dia, ya!”
Dia malah melirik ke arah lain sambil senyum. “Ya, udah deh, sana gih. Gue enggak mau ngerusak kesempatan lo lihat dia tanpa baju gara-gara gue.”
“Dia enggak pernah buka baju juga kali!” balas gue lirih.
Niria ketawa. “Dia udah bikin lo mabuk kepayang gitu ya, cewek nakal.”
“Niria!”
“Oke, gue diam. Udah sana gih. Kita makan lagi lain kali, santai aja.”
Pipi gue langsung panas.
Gue keluar dari kafe dan jalan ke arah lapangan. Memang Niria itu gila, omongannya suka bikin gue salah tingkah. Walaupun gue belum punya pengalaman soal cowok, tapi gue tahu sedikit-sedikit apa yang perlu gue lakukan.
Begitu sampai di lapangan, gue beli es nanas favorit gue. Terus gue pakai kacamata hitam, tarik hoodie buat tutupi rambut, dan duduk di tribune depan lapangan bola buat nikmati pemandangan. Di sana cuma ada gue sama empat cewek lain. Cowok-cowok mulai masuk ke lapangan buat pemanasan.
Walaupun ini tim sepak bola dari sekolah elite Anan, mereka tetap latihan di sini. Anan sendiri lagi lari-lari keliling lapangan, pakai celana pendek hitam sama kaus hijau dengan angka 05 di punggungnya. Rambut hitamnya bergerak terkena angin pas dia lari. Gue memperhatikan dia sambil senyum-senyum sendiri, sampai lupa kejadian semalam.
Dia keren banget!
Pas latihan selesai, tiba-tiba langit menggelegar dengan petir, dan hujan langsung terjun tanpa aba-aba. Tetesan air dingin menyentuh gue. Gue mengomel dalam hati sambil tarik hoodie lebih rapat di kepala, buru-buru lari turun dari tribune, lewat tempat parkir, soalnya cowok-cowok sudah mau keluar, dan gue bisa ketahuan sama Anan.
Pas gue berusaha buat keluar dari sana, gue menabrak seseorang. "Au!" Gue pegang hidung sambil mengangkat kepala.
Ternyata yang gue tabrak itu salah satu pemain, cowok tinggi kulitnya gelap, matanya terang, kayak aktor FTV. "Lo enggak apa-apa?"
Gue mengangguk dan ngeloyor begitu saja. Terus, tiba-tiba gue dengar suara yang sudah gue kenal sejak semalam.
"Ngapain lo berdiri di sini kehujanan?" Gue dengar Anan ngomong ke cowok yang gue tabrak barusan di belakang gue.
"Gue ketabrak cewek aneh, pakai kacamata hitam padahal hujan," kata si cowok itu.
“Aneh apanya, aneh nenek moyang lo!” gumam gue dalam hati, sambil dengar respons Anan lewat hujan.
Gue jalan secepat mungkin, dan menghembuskan napas lega pas melihat gerbang keluar lapangan. Gue belok kanan buat jalan pulang.
Hujan makin deras, tapi gue enggak menemukan tempat buat berteduh, bahkan halte bus sekalipun enggak ada.
Tiba-tiba gue dengar suara ramai-ramai, dan refleks langsung masuk ke gang. Gue menempel ke tembok dan nekat mengintip ke jalan. Ternyata Anan lagi mengobrol sama beberapa teman satu timnya, dan mereka semua pakai payung.
Harusnya tadi gue cek dulu ramalan cuaca!
"Yakin enggak mau ikut sama kita?"
Cowok yang tadi gue tabrak, dia bertanya. Anan geleng-geleng kepala, "Enggak, gue ada urusan di rumah." Teman-temannya pun pergi, dan Anan malah diam di situ, berdiri di tengah hujan, kayak lagi menunggu sesuatu.
Gue menyipitkan mata, mengernyit penasaran, dia lagi menunggu apa ,sih?
Anan akhirnya mulai jalan, tapi dia malah enggak mengarah ke rumahnya, melainkan ke arah yang berlawanan.
Apa dia bohong ke teman-temannya?
Gue malah ambil keputusan bodoh, gue ikuti dia saat langit makin gelap, dan kita makin menjauh dari pusat kota, masuk ke jalanan yang sepi.
Sial, gue salah langkah.
Ini ide buruk, serius.
Kenapa juga gue mengikuti dia?
Sebenarnya ini bukan urusan gue, tapi gue penasaran kenapa dia harus bohongi teman-temannya.
Anan jalan terus, langkahnya pasti bak sudah tahu mau ke mana. Kita lewat jembatan kayu kecil, angin malam mulai terasa, sementara sisa-sisa cahaya matahari perlahan ditelan awan gelap. Gue rangkul diri sendiri dan basahi bibir.
Dia mau ke mana di tengah gelap begini?
Sekarang gue enggak bisa melihat jalan aspal lagi, cuma ada jalan tanah yang masuk ke dalam hutan.
Makin bingung, setahu gue, di sini enggak ada apa-apa kecuali pohon-pohon dan nyamuk.
Anan tiba-tiba melompati pagar kecil di tempat yang paling enggak gue duga.
Kuburan.
Apaan, sih?!
Gue bahkan enggak tahu kalau bisa sampai kuburan lewat sini.
Kenapa dia ke sini?
Aduh, jangan-jangan benar. Dia vampir yang ke sini buat nyiapin lahan, buat korban berikutnya atau dia tahu gue mengikuti dia dan sengaja bawa gue ke sini buat menghisap darah gue sampai kering.
Enggak, enggak, gue enggak mau mati perawan!
Gue bimbang, tapi akhirnya gue ikut loncati pagar kecil itu. Gue enggak percaya gue sampai segila ini, mengikuti dia buat masuk kuburan. Kuburan ini luas banget.
Langit yang setengah gelap tertutup awan hitam, kilat yang sesekali nyala di antara batu nisan kayak sengaja memanggil kakek-nenek yang lagi tidur buat bangun.
Gue yang bego ini masih saja mengikuti dia melewati nisan-nisan dan pohon-pohon kering yang bergoyang kena angin. Mungkin dia ke sini buat menyekar atau semacamnya. Tapi setahu gue, di keluarga Anan enggak ada yang meninggal. Percaya deh, di lingkungan kita semua orang pasti tahu segala hal tentang tetangganya.
Anan mulai jalan lebih cepat, dan gue harus mengikuti dia dengan menjaga jarak yang aman. Kita masuk ke pemakaman elite, ada bangunan seperti rumah-rumah kecil buat orang-orang yang sudah meninggal, tapi buat orang kaya. Anan belok di pojokkan, gue buru-buru mengikuti, tapi begitu gue sampai di sana, dia sudah enggak ada.
Sial.
Gue mencoba tetap tenang, jalan pelan di antara rumah-rumah kecil itu, tapi benaran, gue enggak melihat dia sama sekali. Gue telan ludah, jantung gue rasanya mau copot. Kilatan petir diikuti suara guntur bikin gue melompat.
Gue tahu ini bakal buruk.
Kenapa juga gue nekat ikuti dia ke kuburan malam-malam begini?
Gue putar balik, coba cari jalan kecil di antara makam-makam tempat gue masuk tadi. Gue harus cepat keluar dari sini sebelum ada arwah yang ikut sama gue. Ini semua gara-gara rasa penasaran, gue memang pantas dapat ini.
Petir menyala lagi, guntur menyambar dan jantung gue sudah copot. Pas gue jalan lewat depan sebuah nisan tua, gue dengar suara aneh.
Sial.
Gue enggak bakal berhenti buat cari tahu siapa atau apa itu. Gue buru-buru jalan hampir lari, tapi dasar gue kalau lagi takut suka ceroboh, gue malah kesandung akar pohon, jatuh ke depan degan tangan dan lutut menyentuh tanah.
Gue duduk sambil menyeka tangan gue, dan tiba-tiba gue merasa ada sesuatu atau seseorang di belakang gue. Ada bayangan enggak berbentuk yang terlempar ke jalan di depan gue.
Gue langsung teriak sekencang-kencangnya sampai tenggorokan gue panas. Buru-buru bangkit, panik, dan siap-siap buat berdoa, tapi gue malah melihat dia.
Anan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!